KAPAN KEBIJAKAN DAPAT DIPIDANA
Pemerintah Jokowi-JK untuk memenuhi target pertumbuhan ekonomi diatas 6 persen sesuai dengan janjinya, berencana membelanjakan 5000 triliun lebih selama lima tahun untuk infrastruktur. Dengan proyek-proyek infrastruktur, biaya logistik nasional dapat lebih rendah, lapangan kerja yang tersedia dapat mengurangi pengangguran, volume BBM bisa ditekan. Proyek infrastruktur ini tersebar di berbagai Kementerian dan di Pemerintah Daerah. masalah utama yang dihadapi ada dua yaitu pembebasan tanah dan masalah hukum. Pembebasan tanah akan diupayakan dengan mengundang partisipasi masyarakat. Namun masalah hukum, khususnya kekhawatiran Pimpinan Proyek (Pimpro) untuk mengambil keputusan, akan membuat seluruh proyek itu akan berjalan lambat. Keterlambatan proyek akan membuat konsekuensi besar ke eskalasi biaya, kualitas pekerjaan dan pelayanan publik.
Presiden Jokowi dan JK ingin serba cepat. “kalau bisa dipercepat, kenapa diperlambat ?.
Namun banyak Pejabat Aparatur Negara maupun Pejabat BUMN kita mengalami kegamangan ketika dihadapkan pada keputusan untuk segera bertindak cepat. Masalahnya adalah siapa yang mau menanggung resiko hukum dalam pengambilan keputusan yang cepat ? apalagi kalau disuruh harus memotong birokrasi, alias membuat pengecualian dalam prosedur tender, demi kepentingan yang lebih besar. Kasus Dahlan Iskan baru-baru ini bisa menjadi contoh bagaimana terobosan yang dilakukan pada saat menjadi Dirut PLN kemudian berbuah menjadi tersangka. Pejabat kita umumnya takut bahwa kesalahan adminsitrasi yang dilakukannya kemudian dipersepsikan oleh penegak hukum sebagai kebijakan yang koruptif atau perbuatan koruptif .
Menurut beberapa pakar hukum administrasi Negara yang diminta untuk memberikan keterangan Ahli di Persidangan menyatakan bahwa Keputusan Pejabat Negara baik dalam rangka “beleid” (“vrijsbestuur”) maupun “diskresi” (kebijaksanaan - “discretionary power”) tidak dapat dilarikan ke area Hukum Pidana. meskipun dalam kebijakan terjadi suatu penyimpangan administratif, maka penilaian terhadap penyimpangan itu adalah masuk dalam ranah Hukum Administrasi Negara, yang tidak dapat dijadikan penilaian oleh Hukum Pidana, khususnya dalam konteks Tindak Pidana Korupsi. Bahkan ada pejabat tinggi negara yang mengatakan bahwa kebijakan tidak dapat dikriminalisasi.
Di kalangan penegak hukum sendiri terdapat persepsi yang berbeda dalam memberikan batasan kapan kebijakan atau diskresi masuk dalam ranah pidana atau sekedar pelanggaran adminsitratif, khususnya dalam kaitan dengan kebijakan atau tindakan yang salah dari pejabat yang mengakibatkan kerugian negara.
Hal ini terlihat dari beberapa putusan Pengadilan atau Mahkamah Agung (MA) dimana ada terdakwa yang dikenakan pemidanaan tetapi disisi lain dibebaskan atau dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
Contoh dapat dilihat dalam pertimbangan Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 148/PID/2003/PT.DKI tanggal 29 Desember 2003, dalam kaitan dengan kasus mantan Direktur Bank Indonesia yang menyatakan:
“Menimbang, bahwa karena terbukti Keputusan Direksi Bank Indonesia tanggal 15 dan 20 September 1997 adalah sebagai Kebijaksanaan Pemerintah yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia sebagai upaya untuk menyelamatkan sistem moneter dan Perbankan, maka Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa Pengadilan tidak berhak menilai suatu kebijaksanaan (beleid) dari Pemerintah Cq. Bank Indonesia, terlepas dari pada apakah kebijaksanaan tersebut berhasil atau tidak untuk menyelamatkan sistem moneter atau perbankan atau perekonomian negara”.
“Menimbang, bahwa walaupun Terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya dalam dakwaan Primair, tetapi karena perbuatan Terdakwa bukan merupakan suatu perbuatan pidana, maka Terdakwa harus dilepas dari segala tuntutan hukum (Onstlag van alle rechtevervolging) ”. Namun Putusan PT DKI. Jakarta yang melepaskan terdakwa tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung dan MA. malah menghukum terdakwa. Begitu pula dalam kasus EC. Neloe dalam pemberian kredit perbankan yang didakwa dengan tindak pidana korupsi. Di Pengadilan Negeri Neloe dibebaskan namun kemudian di MA dihukum.
Memang pemahaman yang berkembang dalam praktek peradilan oleh Penegak hukum bisa berbeda dengan kajian akademik yang disampaikan oleh pakar hukum dalam memberikan solusinya. Dalam kerangka Hukum Administrasi Negara, parameter yang membatasi gerak bebas kewenangan Aparatur Negara (“discretionary power”) adalah detournement de povouir (penyalahgunaan wewenang) dan abus de droit (sewenang-wenang), sedangkan dalam area Hukum Pidana-pun memiliki pula kriteria yang membatasi gerak bebas kewenangan Aparatur Negara berupa unsur “wederrechtelijkheid” (perbuatan melawan hukum pasal 2 UUTPK) dan “menyalahgunakan kewenangan” (pasal 3 UUTPK). Permasalahannya adalah manakala Aparatur Negara melakukan perbuatan yang dianggap menyalahgunakan kewenangan dan melawan hukum, artinya mana yang akan dijadikan ujian bagi penyimpangan Aparatur Negara ini, Hukum Administrasi Negara ataukah Hukum Pidana, khususnya dalam perkara-perkara Tindak Pidana Korupsi.
Saya sendiri berpendapat bahwa Kebijakan publik yang dibuat dan dijalankan dengan itikad baik, pastilah tidak dapat dikriminalisasikan. Sebaliknya kebijakan yang dibuat dan dijalankan dengan itikad buruk (melawan hukum dan atau menyalahgunakan wewenang) yang disadarinya membawa dampak merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, adalah merupakan tindak pidana (korupsi). Bahkan korupsi jenis inilah yang sangat berbahaya, Karena apa? Sebabnya dari luar tidak nampak korupsi, karena dibalut oleh kebijakan, yang acapkali berbentuk peraturan, keputusan dan lain-lain. Namun sesunggunya akibatnya sangat luas, merugikan perekonomian di berbagai sektor dan merugikan keuangan negara kita.
Namun bagaimana sebenarnya kebijakan atau tindakan pejabat itu dapat dipidana atau tidak. Tulisan pendek ini mencoba menjawab permasalahan tersebut agar pemahaman kita lebih jelas.
Kita mulai dari Kewenangan. Menurut Phillipus M. Hadjon, Kewenangan atau wewenang adalah konsep dalam hukum publik. Dalam konsep hukum publik, wewenang merupakan suatu konsep inti dalam hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi. Dalam hukum Tata Negara, wewenang (bavoegheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (teehtement). Jadi, dalam konsep hukum publik wewenang berkaitan dengan kekuasaan. (lihat Phillipus M. Hadjon dalam tulisannya dengan judul Tentang Wewenang, yang dimuat dalam gema Peratun. Tahun IV, Nomor 12, Triwulan II. Agustus 2000, Penerbit Mahkamah Agung RI, Lingkungan peradilan Tata Usaha Negara).
Oleh SF. Marbun dikemukakan: menurut hukum administrasi “kewenangan” (authority,gezag) adalah kekuasaan yang diformalkan baik terhadap segolongan orang tertentu maupun terhadap suatu bidang pemerintahan tertentu yang berasal dari kekuasaan legislatif atau dari kekuasaan pemerintah, sedangkan pengertian wewenang (competence, bevoegheid) hanyalah mengenai onderdil tertentu atau bidang tertentu saja. Dengan demikian wewenang adalah kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik atau secara yuridis wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh Undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan hukum tertentu. (lihat SF. Marbun dalam tulisannya dengan judul Analisa teoritik yuridis kasus Ir. Akbar Tanjung dari optik Hukum Administrasi yang dimuat dalam Amir Syamsuddin dkk., Putusan Perkara Akbar Tanjung, Pustaka sinar harapan Jakarta,2004).
Ditinjau dari sudut perolehan Kewenangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan wewenang menurut Hukum Tata Usaha Negara dapat dapat dibedakan sebagai berikut :
Pertama, wewenang yang bersumber atau diperoleh dengan cara atribusi, yaitu wewenang yang langsung diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Misalnya wewenang Gubernur, Bupati, bendahara dsb.
Kedua, wewenang yang bersumber atau diperoleh dengan cara delegasi yaitu wewenang yang diperoleh dari adanya pelimpahan atau penyerahan wewenang dari pemberi delegasi (delegans) kepada penerima delegasi (delegataris). Karena wewenang telah didelegasikan maka delegans sudah tidak lagi mempunyai wewenang tersebut dan tanggung jawab atas pelaksanaan wewenang yang telah didelegasikan menjadi tanggung jawab dari delegataris. Dalam delegasi tidak diperuntukkan pelimpahan wewenang dari atasan kepada bawahan.
Dalam pengelolaan keuangan daerah (PP Nomor 58 Tahun 2005), Kepala Daerah sebagai Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah mendelegasikan sebagian atau seluruhnya kepada Sekretaris Daerah dan atau perangkat pengelola keuangan daerah. Penetapan pendelegasian wewenang kepada perangkat pengelola keuangan daerah tersebut dengan Surat Keputusan Kepala Daerah. Penetapan tersebut merupakan salah satu syarat pelaksanaan anggaran.
Pelimpahan wewenang dari Kepala Daerah kepada Sekretaris Daerah atau Perangkat Pengelola Keuangan Daerah, sebenarnya lebih menyerupai dekonsentrasi (pelimpahan wewenang pusat kepada daerah). karena dalam konsep pelimpahan wewenang dengan cara delegasi tidak diperuntukkan pelimpahan wewenang dari atasan kepada bawahan. Sekretaris Daerah dan Perangkat Pengelola Keuangan Daerah secara hirarkhi sebagai bawahan dari Kepala Daerah.
Namun terkait dengan siapa yang bertanggung jawab secara hukum dalam hal terjadi perbuatan melanggar hukum (“melawan hukum” dan “penyalahgunaan wewenang”) yang berakibat kerugian pada keuangan daerah atau perekonomian daerah (korupsi)? Maka konsep Pelimpahan wewenang dari Kepala Daerah kepada Sekretaris Daerah atau Perangkat Pengelola Keuangan Daerah adalah dalam bentuk delegasi meskipun konsep delegasi dalam peraturan perundang-undangan tersebut keliru.
Contoh kasus yang dapat dikemukakan sebagai berikut: Pengguna Anggaran (Kepala Dinas) pada Dinas Kebersihan akan melakukan pembelian alat pengolahan sampah. Kepala Dinas (Kadis) tersebut menunjuk salah satu Kepala Seksi sebagai Kuasa Pengguna Anggaran. Atas dasar pelimpahan wewenang, selanjutnya Kepala Seksi membentuk Panitia Lelang (Panitia Tender), Panitia lelang dan Kepala Seksi yang telah ditunjuk tersebut tidak melaksanakan lelang sesuai wewenang yang telah dilimpahkan kepadanya melainkan dengan cara melakukan penunjukan langsung (PL) dengan tujuan untuk memenangkan rekanan tertentu, yang berakibat merugikan keuangan negara. Dalam hal ini siapa saja yang dapat dimintai pertanggungjawaban?
Terkait dengan kasus posisi tersebut untuk menjawab siapa yang dapat dimintai pertanggung- jawaban menurut hukum pidana adalah delegatoris (penerima pelimpahan wewenang), yaitu Panitia lelang.
Ketiga, wewenang yang diperoleh dengan cara mandat, yaitu wewenang yang diperoleh penerima mandat (mandataris) yang hanya terbatas melaksanakan wewenang tersebut atas nama pemberi mandat. Dalam mandat tanggung jawab atas pelaksanaan wewenang masih tetap menjadi tanggung jawab pemberi mandat.
Setelah mendapat gambaran lebih jelas tentang apa itu kewenangan, cara memperolehnya dan bagaimana penerapannya, selanjutnya kita masuk kepada pokok inti permasalahan yaitu : Kapan suatu kebijakan yang dilekati wewenang kemudian menjadi masalah hukum ? jawabannya adalah ketika terjadi penyalahgunaan kewenangan.
Menurut Prof. Jean Rivero dan Prof. Waline, pengertian penyalahgunaan kewenangan dalam Hukum Administrasi dapat diartikan dalam 3 wujud, yaitu:
1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan.
2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh Undang-undang atau peraturan-peraturan lain,
3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.
Bentuk bentuk penyalahgunaan kewenangan inilah yang seringkali dipergunakan penegak hukum untuk melakukan kriminalisasi bentuk-bentuk perbuatan dalam lingkup/ranah kompetensi Hukum Administrasi Negara dan Hukum Perdata sebagai koruptif.
Namun apakah sesederhana itu menyimpulkan bahwa seorang pengambil kebijakan yang ketika mengambil kebijakan berdasarkan jabatannya yang ternyata telah melanggar undang-undang atau peraturan atau melanggar prosedur (SOP) yang telah ditetapkan dan akibatnya telah merugikan negara berarti telah melakukan tindak pidana korupsi ?
Hukum pidana menempatkan pelaksanaan perintah Undang-undang (pasal 50 JUHP), Perintah jabatan (pasal 51 ayat 1 KUHP), dan melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik (pasal 51 ayat 2 KUHP) dalam kualifikasi “tidak dapat dipidana”, karena tergolong ke dalam kelompok dasar peniadaan pidana. Artinya dalam hukum pidana, tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi juga dipisahkan. Pemisahan tersebut dikontruksikan dalam bentuk : tidak dapat dipidananya perbuatan, sepanjang dalam kualifikasi tanggung jawab jabatan.
Persoalannya adalah bagaimana menentukan batasan antara perbuatan atau tindakan yang termasuk dalam kualifikasi menjalankan perintah Undang-undang, melaksanakan perintah jabatan maupun melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik, dengan perbuatan atau tindakan dalam kualifikasi pribadi pejabat tersebut ?
Tanggung jawab pejabat dalam menjalankan fungsinya dibedakan antara tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi, perbedaan tersebut membawa konsekuensi yang berbeda dalam kaitannya dengan tanggung jawab pidana, tanggung gugat perdata dan tanggung gugat tata usaha negara (TUN).
1. Tanggung jawab pidana adalah tanggung jawab pribadi. Dalam tindak pemerintahan tanggung jawab pribadi seorang pejabat berhubungan dengan adanya maladministrasi yaitu perbuatan tercela pejabat dalam bentuk perbuatan penyalahgunaan wewenang atau pejabat menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain yang menyimpang dari tujuan yang telah diberikan kepada wewenang itu.
Menurut Tatiek Sri Djatmiati, Penyalahgunaan wewenang (detournament de pouvoir/abuse of power) dapat terjadi karena :
a. Menggunakan wewenang untuk kepentingan pribadi atau tujuan politik
b. Menggunakan wewenang bertentangan dengan Undang-undang yang memuat dasar hukum wewenang yang diberikan
c. Menjalankan wewenang untuk tujuan lain dari nyata-nyata dikehendaki oleh undang-undang dengan wewenang tersebut.
(lihat Tatiek Sri Djatmiati dalam bukunya Hukum administrasi dan tindak pidana korupsi: pelayanan publik dan tindak pidana korupsi (Yogyakarta, Gadjah Mada University press, 2001)
2. Tanggung gugat perdata dalam kaitannya dengan perbuatan melanggar hukum oleh penguasa/pejabat
3. Tanggung gugat TUN adalah tanggung jawab jabatan.
Dengan demikian Maladministrasi menjadi penentu dalam konsepsi pemisahan tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi pejabat. Dalam hukum pidana menganut prinsip pertanggungjawaban pribadi (personal responsibility), sedangkan pada hukum administrasi berlaku prinsip pertanggungjawaban jabatan (liability jabatan). Dalam kaitan dengan tanggung jawab jabatan, jika perbuatan tersebut masih dalam tahapan “beleid”, hakim tidak dapat melakukan penilaian. Berbeda halnya dalam pembuatan “beleid” tersebut ada indikasi penyalahgunaan wewenang, misalnya menerima suap, maka perbuatan pejabat tersebut dapat dituntut pidana.
Sebagai ilustrasi dapat diketengahkan contoh sebagai berikut: “Gubernur Bank Indonesia (BI) mengesahkan kebijakan “dana talangan” untuk menanggulangi dampak krisis global. Kebijakan atau “Beleid” yang dalam hal ini dituangkan dalam bentuk Peraturan BI, hakim tidak dapat melakukan penilaian. Akan tetapi jika terbukti pengesahan yang dilakukan oleh Gubernur BI tersebut dikarenakan telah menerima suap, maka penerimaan suap itulah yang menjadi objek tuntutan pidana.
Penyalahgunaan wewenang dalam Diskresi.
Diskresi/kebijakan. Dalam bahasa jerman disebut freis ermessen.
Menurut Laica Marzuki, Freis ermessen merupakan kebebasan yang diberikan kepada tata usaha negara dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, sejalan dengan meningkatnya tuntutan pelayanan publik yang harus diberikan tata usaha negara terhadap kehidupan sosial ekonomi warga yang kian komplek.
Menurut Sjachran Basah, diperlukannya freis ermessen dalam administrasi negara dimungkinkan oleh hukum agar pemerintah dapat bertindak atas inisiatif sendiri, terutama dalam penyelesaian persoalan-persoalan penting yang timbul secara tiba-tiba, dalam hal demikian, administrasi negara terpaksa bertindak cepat membuat penyelesaian. Namun keputusan-keputusan yang diambil itu harus dapat dipertanggungjawabkan.
S. Pramudji Atmosudirdjo mengatakan bahwa diskresi diperlukan sebagai pelengkap dari asas legalitas, sebab tidak mungkin undang-undang untuk mengatur segala macam dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu perlu adanya diskresi dari pejabat yang terdiri dari diskresi bebas dan diskresi terikat.
Pada diskresi bebas undang-undang hanya menetapkan batas-batas, dan pejabat bebas mengambil keputusan apa saja asalkan tidak melampaui/melanggar batas-batas tersebut.
Apa batasan tersebut yang tidak boleh dilanggar ?
- Tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku baik tertulis maupun tidak tertulis.
- Penggunaannya hanya ditujukan demi kepentingan umum
Pada diskresi terikat, undang-undang menetapkan beberapa alternatif dan pejabat bebas memilih salah satu alternatif.
Dalam praktek pemerintahan, freis ermessen dilakukan dalam hal :
Belum ada peraturan per-UU-an yang mengatur tentang maslaah inkonkrito terhadap suatu masalah padahal masalah tersebut harus segera penyelesaian segara. Misalnya dalam menghadapi suatu bencana alam ataupun wabah penyakit menular, aparat pemerintah harus segera mengambil tindakan yang menguntungkan bagi negara maupun bagi rakyat, tindakan mana semata-mata atas praksarsa sendiri.
Kasus yang terkait dengan Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari yang menunjuk langsung rekanan, bisa menjadi contoh mengenai apa yang disebut diskresi (anda boleh berbeda dalam hal ini).
Yusril Ihza Mahendra, menyatakan, kasus hukum yang menimpa Siti Fadilah adalah terkait dengan kebijakan/diskresi. Kebijakan yang dikeluarkan Siti Fadilah tak lama setelah banjir bandang di kota Cane, Aceh Tenggara pada 2005. Kondisi itu mengharuskannya sebagai Menteri Kesehatan bertindak cepat. Saat itu sebanyak 26 orang dilaporkan meninggal, puluhan orang luka-luka, sementara saat itu semua fasilitas kesehatan hancur oleh banjir. Karena kondisi luar biasa saat itu, maka seorang Menteri kesehatan bertanggung jawab untuk memenuhi segera kebutuhan pelayanan kesehatan yang hancur agar korban tidak bertambah. “beliau dapat usul dari anak buah, harus ada penanganan darurat. Melalui sekjen DEPKES, beliau meminta harus ada peralatan kesehatan yang sifatnya segera. Kata Yusril sebagaimana kepada VIVAnews, kamis, 19 April 2012.
Kebijakan dalam pengadaan bantuan pascabencana sekitar 15 milyar itu, kata Yusril, telah sesuai kepres 80/2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang dan jasa Pemerintah.
Melalui bawahannya, Siti Fadilah meminta diadakan peralatan kesehatan yang sifatnya segera untuk menangani korban bencana “dan beliau meminta kepada sekjen dan Biro keuangan supaya itu ditelaah lebih dahulu. Setelah proses penelahan dilakukan, siti fadilah pun menjawab surat tersebut bahwa penunjukkan langsung bisa dilakukan namun dengan catatan mengharuskan pelaksanaan penunjukkan langsung sesuai peraturan yang berlaku.
Kata yusril “tidak semua penunjukkan langsung melanggar hukum, harus dilihat case by case. Orang melihatnya saat ini penunjukkan langsung saja, tapi tidak melihat kondisi pada saat itu.bagaimana jika saat itu tidak ditangani segera.
Bahwa dalam pelaksanaan pengadaannya terjadi pelanggaran hukum, kata Yusril, itu bukan tanggung jawab Menteri, melainkan penanggung jawab teknis dilapangan , karena semua prosedur penunjukkan langsung sudah dipenuhi sesuai aturan. Ini bukan hukum pidana, ini administrasi negara.
Bahwa seorang pengambil kebijakan dilekati dengan wewenang. Dalam mengambil kebijakan, seorang pengambil kebijakan harus mempertimbangkan manfaat atau tidaknya kebijakan tersebut demi kepentingan umum yang dilidunginya. Intinya kebijakan yang diambil adalah pilihan terbaik pada situasi dan kondisi saat itu demi menjaga kepentingan umum. Apabila hal ini dilakukan oleh pengambil kebijakan tanpa motif jahat misanya dengan maksud memperkaya/menguntungkan diri sendiri atau orang lain, maka apa yang diputuskannya tidak dapat dipidana walaupun membawa implikasi misalnya kerugian negara.
Dasar kebijakan tidak bisa dipidana demi kepentingan umum adalah Yurisprudensi MA tahun 1966. Yurisprudensi ini menghapus pidana yang muncul dari tindakan kebijakan asal memenuhi tiga syarat yaitu : Negara tidak dirugikan, seseorang atau badan hukum tidak diuntungkan secara melawan hukum dan untuk pelayanan publik atau melindungi kepentingan umum.
Namun apabila pengambil kebijakan ketika mengambil kebijakan mengandung unsur suap, ancaman, dan penipuan tetap bisa dipidana. Jadi tergantung niat atau motivasinya.
Untuk membuktikan adanya niat jahat (mens rea) dengan tujuan memperkaya/menguntungkan diri sendiri atau orang lain harus dibuktikan adanya konflik kepentingan atau kongkalikong antara pengambil kebijakan dengan pihak lain. Itu dapat dilihat dari hal-hal objektif yang diperoleh yang menunjukkan ada masalah atau tidak.
Hikmahanto Juwana (Guru besar FH UI Jakarta) mengatakan bahwa yang perlu diperhatikan bukanlah kebijakannya yang salah dan merugikan, tetapi niat jahat dari pengambil kebijakan ketika membuat kebijakan. “harus dibuktikan dulu mens rea-nya (niat jahat). Ada motif memperkaya diri sendiri atau orang lain ngak”.
Kapan kesalahan administrasi membentuk pertanggungjawaban pidana ?
Jadi pada dasarnya kesalahan administrasi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Namun apabila kesalahan administrasi tersebut disengaja dan disadari merugikan keuangan Negara dan dilakukan dengan memperkaya/menguntungkan diri sendiri atau orang lain maka itu merupakan tempat/letak sifat melawan hukumnya korupsi.
Dalam hubungannya dengan hukum pidana korupsi, khususnya pasal 2 dan 3 UUPTPK, pelanggaran administrasi dapat merupakan tempat/letak atau penyebab timbulnya sifat melawan hukum perbuatan, apabila unsur sengaja (kehendak dan keinsyafan) untuk menguntungkan diri dengan menyalahgunakan kekuasaan jabatan, yang karena itu merugikan keuangan atau perekonomian Negara. Perbuatan administrasi yang memenuhi syarat itu membentuk pertanggungjawaban pidana.
Penutup
Bahwa penegakan hukum pemberantasan korupsi dalam konteks melakukan penyidikan atau penuntutan terhadap perbuatan / tindakan pemerintahan dalam penyelenggaraan administrasi negara, bukanlah bentuk kriminalisasi kebijakan, akan tetapi penyidikan dan penuntutan tersebut merupakan bagian dari hukum administrasi negara itu sendiri, dalam hal ini berperan sebagai security control agar administrasi negara tidak menyimpang serta semata-mata demi pencapaian tujuan bernegara. Sebab wewenang diskresi/kebijakan tidak dapat dilakukan sebebas-bebasnya dan bukan tanpa ukuran, melainkan berpijak pada konsepsi teoritik tentang diskresi/kebijakan itu sendiri. Dalam posisi inilah penyidikan dan penuntutan itu dilakukan apalagi ditengah-tengah perilaku koruptif birokrasi negara yang marak terjadi. Hal ini sejalan dengan Surat Edaran Jaksa Agung (SE JA) Nomor : 017/A/JA/2014 yang pada pokoknya menyampaikan bahwa UU No. 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan tidak menghalangi penegakan hukum khususnya dalam rangka penanganan tindak pidana korupsi.
Wallahu ’alam bissawwab.