Rabu, 03 Desember 2014

Kekuatan Pembuktian Alat Bukti

KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI

Azas dalam pembuktian dibutuhkan bukti minumum yaitu :
1. Alat bukti yang sah;
2. Mencari kebenaran materiil (materil waarheid).

a. Keterangan saksi;

- syarat : yang dilihat sendiri, didengar sendiri, dialami sendiri, serta menyebut alasan pengetahuan.

- diberikan di persidangan di bawah sumpah

- didukung oleh keterangan saksi lain / alat bukti lain (Unus testis Nulus testis).
Keterangan saksi yang bukan alat bukti (Pasal 185 ayat 1 KUHAP) :
1. Testimonium de auditu
2. Pendapat, pikiran, rekaan – MARI 15 Maret 1984 No. PK/Pid/1983.
3. Tanpa sumpah – dilluar persidangan
4. Hubungan keluarga, kecuali ybs menghendakinya dengan PU dan terdakwa setuju mereka boleh didengar dengan sumpah Psl 168 KUHAP.
5. Anak-anak dibawah 15  tahun, belum  pernah  kawin orang sakit ingatan (Psl 171 KUHAP)

- Dapat dipakai sebagai penguat keyakinan Hakim

- Dapat dipakai sebagai petunjuk

-
Keterangan saksi yang disampaikan di sidang pengadilan mempunyai kekuatan pembuktian        bebas, jadi tidak sempurna (Volledig Bewijskracht) dan menentukan (Beslissend) tergantung penilaian Hakim.
Keterangan ahli
- Alat bukti baru dalam Hukum Pembuktian di Indonesia.

Ada 2 (dua) macam ahli :

1. Ahli Forensik/Visum Et Repertum dapat merupakan alat bukti surat

2. Ahli lainnya

- Diberikan di depan penyidik/PU

- Ahli mempunyai keahlian khusus untuk menjelaskan tentang pelaku dan diberikan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya.

- Diberikan di Persidangan

- Kekuatan pembuktian bebas : tidak mengikat, dan tidak menentukan.
Surat
- Surat dalam bentuk resmi dibuat oleh pejabat umum
- Dibentuk menurut ketentuan UU oleh pejabat tertentu di ;ingkup tugasnya
- Surat keterangan ahli
- Surat lain yang ada hubungannya dengan isi alat bukti lain
- Kekuatan pembuktian bersifat bebas
Keterangan terdakwa
- Menggantikan  pengakuan terdakwa yang merupakam Regina Probationis.
- Keterangan terdakwa bisa :

- Berisi pengakuan

- Keterangan tentang pengingkaran

- Syarat keterangan terdakwa :

- Diberikan di persidangan

- Pernyataan tentang apa yang diperbuat

- Pernyataan tentang apa yang diketahui dan dialaminya sendiri

- Hanya berlaku bagi dirinya sendiri


Keterangan terdakwa di luar sidang hanya dapat membantu menemukan bukti di sidang :

- Diberikan kepada penyidik

- Dibuatkan Berita Acara

- Ditandatangani oleh penyidik dan terdakwa ( Psl 189 ayat (2) KUHAP )
BEBAN PEMBUKTIAN (ONUS PROBATIO)

Dalam perkara korupsi :

a. Beban Pembuktian pada penuntut umum (beban pembuktian biasa) Penuntut umum yang mendakwa, PU yang diberi beban membuktikan berupa

- Tindak pidana yang terjadi yang dirumuskan dalam dakwaan yang berisi semua unsur tindak pidana (bestandelen)

- Bahwa terdakwalah yang bersalah atas tindak pidana yang terjadi
Dengan menggunakan alat-alat bukti sesuai UU :
▪  Alat bukti KUHAP dan
▪  Alat bukti petunjuk (pasal 26A UUPTPK)

b. Beban Pembuktian Terbalik (psl. 37 UUPTPK)  – Omkering van Bewijslast.

- Delik suap, menerima gratifikasi dengan nilai Rp.10 juta ke atas – beban pembuktian pada terdakwa 9pasal 12b)


Dapat menentukan putusan bebas karena :

- tidak terbukti dakwaan

- keyakinan Hakim tidak menjadi dasar (pasal 37 dan penjelasannya)

- tidak jelas apakah PU dapat menggagalkan bukti-bukti yang dikemukakan terdakwa sebagaimana pada putusan bebas pembuktian biasa.

- Terhadap harta milik yang belum didakwakan (pasal 38b)
PU pada pembacaan tuntutan menuntut juga perampasan benda-benda yang tidak didakwa. Terdakwa wajib membuktikan bahwa benda-benda tersebut bukan merupakan hasil korupsi.
Beban Pembuktian Terbalik Terbatas/Berimbang Terbalik (diatur dalam psl 37a UUPTPK)

- Beban pembuktian ada pada terdakwa.

- dalam hal kekayaannya tidak berimbang dengan penjelasan / sumber perngadaan kekayaannya

- yang diduga ada hubungannya dengan perkara yang didakwakan kepadanya.

- Disamping itu beban pembuktian ada pada PU pada perkara pokok yang diatur dalam pasal 2,3,4,13,14,15,16 dan pasal 5 s/d pasal 12.

- Ketidakberhasilan terdakwa membuktikan / memperkuat bukti pada TPK pokok merupakan alat bukti tambahan.


 



Penelitian Perkara dan Pemeriksaan Tambahan

           Penelitian Perkara dan Pemeriksaan Tambahan



Menurut Remmelink hukum pidana bukan tujuan pada diri sendiri tetapi ditujukan untuk menegakan tertib hukum, melindungi masyarakat hukum. Menurut C. Beccaria, tujuan hukum pidana tiada lain agar penjahat tidak lagi melakukan kejahatan dan orang lain ngeri melakukan hal yang sama. Dari kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat dan menciptakan ketertiban.
Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap hukum pidana maka hukum akan bertindak melalui instrumennya yaitu para penegak hukum. Para penegak hukum akan memproses suatu perkara mulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai dengan pada proses pemeriksaan di pengadilan. Hal ini dimaksudkan untuk mencari kebenaran materiil yang merupakan tujuan dari hukum acara pidana.
Hubungan antara penyidik dengan jaksa penuntut umum dalam proses pidana sangat erat. Mulai dari proses penangkapan, penahanan sampai dengan proses penyerahan tersangka dan barang bukti, semuanya atas koordinasi antara penyidik dengan jaksa sebagai penuntut umum.
Dalam pelaksanaan tugasnya menangani perkara pidana, antara penyidik dan penuntut umum terjalin hubungan yang bersifat fungsional dan instansional.
Yang dimaksud dengan koordinasi fungsional adalah hubungan kerja sama antara penyidik dan penuntut umum menurut fungsi dan wewenangnya masing-masing dalam penanganan perkara pidana. Hubungan tersebut adalah hubungan kerja sama yang bersifat saling mengawasi antara penyidik dengan penuntut umum dalam proses penanganan perkara pidana. Hubungan ini diatur di dalam KUHAP. Sedangkan hubungan yang bersifat instansional adalah hubungan yang bersifat instansi antara kepolisian dengan kejaksaan yaitu diatur dengan petunjuk teknis atau petunjuk palaksanaan yang dikeluarkan oleh masing-masing pimpinan instansi maupun yang dikeluarkan dalam bentuk produk bersama. Hubungan antara penyidik dengan jaksa pada perkara pidana,dimulai sejak penyidik mengirimkan surat pemberithuan dimulainya penyidikan (SPDP) kepada jaksa.  Hal ini sebagai bentuk koordinasi penyidik kepada jaksa bahwa penyidik telah mulai melakukan tindakan penyidikan setelah melalui proses penyelidikan.
SPDP bertujuan untuk mempersiapkan penuntutan, agar jaksa penuntut umum mengikuti perkembangan pernyidikan suatu perkara yang akan dijadikan dasar penuntutan.
Selain dari pemberitahuan dimulainya penyidikan, penyidik juga berkoordinasi dalam hal penangkapan, penahanan, perpanjangan penahanan, penyitaan, penyerahan berkas perkara, sampai dengan penghentian penyidikan harus memberitahukan kapada jaksa.
Penyerahan berkas perkara dari penyidik kepada jaksa penuntut umum dalam prakteknya disebut sebagai penyerahan tahap I. Penyerahan tahap I dilakukan setelah penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dinyatakan cukup dan dapat diajukan kepada jaksa/penuntut umum kemudian dituangkan dalam bentuk berkas perkara dan diserahkan kepada jaksa penuntut umum untuk diperiksa dan sebagai dasar penuntutan perkara pidana.
Apabila jaksa penuntut umum berpendapat masih terdapat kekurangan baik secara formil maupun materiil dari berkas perkara tersebut maka jaksa penuntut umum memberitahukan hal itu kepada penyidik dengan menggunakan surat model P-18 perihal pemberitahuan bahwa berkas perkara hasil penyidikan belum lengkap dan segera dilakukan penyidikan tambahan, dan surat model P-19 yang berisi petunjuk yang harus dilengkapi.  Dan dalam waktu 14 hari penyidik wajib menyampaikan kembali berkas perkara yang sudah dilengkapi kepada jaksa penuntut umum.
Apabila dalam jangka waktu yang ditentukan tersebut penyidik tidak menyerahkan kembali berkas perkara maka jaksa penuntut umum harus mengirimkan surat susulan kepada penyidik dengan menggunakan formulir model P-20 yang isinya mengingatkan/meminta perhatian agar penyidik secepatnya menyelesaikan penyidikan tambahan dan segera menyerahkan kembali berkas perkara kepada jaksa penuntut umum.
Setelah dilakukan penyidikan tambahan dan berkas disampaikan kembali kepada jaksa penuntut umum, ternyata menurut penilaian jaksa masih belum lengkap maka penyidik harus melengkapi lagi, dan begitu seterusnya hingga jaksa berpendapat bahwa berkas telah lengkap dan dapat dilanjutkan pada Penyerahan Tahap II.
Penyidik dalam melakukan penyidikan tambahan, ternyata tidak mampu melengkapi petunjuk dari jaksa penuntut umum maka dalam hal ini untuk menghindari kekecewaan dan ketidakadilan yang dirasakan oleh korban tindak pidana, dan lepasnya seorang tersangka/terdakwa dari tuntutan hukum, yang berakibat pada tidak tercapainya tujuan hukum pidana. Seharusnya jaksa dapat melakukan pemeriksaan tambahan untuk melanjutkan memeriksa perkara dan untuk menunjang pembuktian pada proses penuntutan.
Pemeriksaan tambahan untuk menunjang pembuktian dalam suatu perkara pidana termaktub dalam perumusan pada Pasal 30 (1) huruf e Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI yaitu melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Untuk mengetahui pengertian dari pemeriksaan tambahan maka perlu diketahui mengenai kelengkapan berkas perkara.
Berkas perkara dapat dinyatakan lengkap apabila telah memenuhi syarat formil dan materiil.
Syarat formil adalah kelengkapan dalam hal surat-surat atau dokumen yang harus dilengkapi misalnya, Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), Surat Perintah Penyidikan, Surat Perintah Penangkapan, Surat Perintah Penahanan, Laporan Polisi, Berita Acara Pemeriksaan Saksi, Berita Acara Pemeriksaan Tersangka, Berita Acara Penahanan,dan lain-lain sesuai dengan yang tercantum dalam lampiran Petunjuk Teknis Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor B-401 /E/9/1993 tentang Pelaksanaan Tugas Prapenuntutan. Sedangkan kelengkapan materiil berkas perkara adalah hal-hal yang menyangkut isi atau fakta-fakta hukum yang terdapat dalam berkas perkara, misalnya unsur delik yang disangkakan, alat bukti, kejadian perkara.
Dari penjelasan mengenai kelengkapan berkas perkara maka dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan tambahan adalah semua tindakan yang ditujukan untuk melengkapi berkas perkara, yaitu antara lain; memanggil dan memeriksa saksi, ahli, tersangka, memeriksa surat serta menggeledah dan menyita serta semua tindakan yang dilaksanakan untuk mencari alat bukti guna melengkapi berkas perkara.
Dalam Pasal 203 ayat 3 huruf b KUHAP yang berbunyi, sebagai berikut :
“Dalam hal Hakim memandang perlu pemeriksaan tambahan supaya diadakan pemeriksaan tambahan dalam waktu paling lambat 14 hari dan bilamana dalam waktu tersebut Penuntut Umum juga dapat menyelesaikan pemeriksaan tambahan, maka Hakim memerintahkan perkara itu diajukan ke sidang Pengadilan dengan acara biasa”.
Jadi Perbedaan prinsipil pada kedua pemeriksaan tambahan tersebut adalah : Pemeriksaan tambahan yang dilakukan Penuntut Umum atas dasar Pasal 30 (1) huruf e Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004; Dilakukan atas inisiatif dari Penuntut Umum dan dilakukan sebelum perkara dilimpahkan ke Pengadilan negeri. Sedangkan pemeriksaan tambahan yang dilakukan penuntut Umum atas dasar Pasal 203 (3) huruf b KUHAP; Dilakukan atas permintaan Hakim dan dilakukan sesudah perkara dilimpahkan ke Pengadilan Negeri. Hanya dalam acara pemeriksaan singkat, yaitu perkara-perkara kejahatan/ pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan Pasal 205 KUHAP, yang menurut Penuntut Umum, pembuktian serta penerapan hukumya mudah dan sifatnya sederhana.
Dalam kaitannya dengan pemeriksaan tambahan dari perumusan Pasal 30 (1) huruf e Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan tambahan hanya dapat dilakukan terhadap :
1.
Perkara-perkara yang sulit pembuktiannya ;
2.
Perkara-perkara yang dapat meresahkan masyarakat;
3.
Perkara-perkara yang dapat membahayakan keselamatan negara.

Sedangkan untuk perkara-perkara lain yang tidak termasuk salah satu dari 3 kriteria tersebut diatas tidak dilakukan pemeriksaan tambahan oleh Jaksa Penuntut Umum, akan tetapi pemeriksaan tambahan yang dilakukan hanyalah oleh penyidik atas permintaan / petunjuk Jaksa Penuntut Umum.
Pemeriksaan tambahan yang dilakukan oleh penyidik atas petunjuk dari Jaksa Penuntut Umum biasa dikenal dengan penyidikan tambahan. Penyidikan tambahan dilakukan dengan memperhatikan dasar hukum pada KUHAP, sebagai berikut: 

1.
“Dalam hal Penuntut Umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap, Pasal 110 ayat (2) KUHAP mengaturnya bahwa Penuntut Umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada Penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi.

2.
Dan Pasal 110 ayat (3) KUHAP menyebutkan “Dalam hal Penuntut Umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi Penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk Penuntut Umum”.

3.
Pasal 138 ayat (2) KUHAP “Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap Penuntut Umum mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu 14 hari sejak tanggal penerimaan berkas perkara kepada Penuntut Umum”.
Pemeriksaan tambahan dilakukan dengan tujuan untuk mewujudkan salah satu asas dalam hukum acara pidana yaitu asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Hal ini dimaksudkan demi terciptanya kepastian hukum dan menghormati hak asasi tersangka.
Asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan disebutkan dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yaitu pada pasal 4 ayat 2 yang berbunyi ; Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi harapan para pencari keadilan. Yang dimaksud dengan ”sederhana” adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan acara yang efisien dan efektif. Yang dimaksud dengan ”biaya ringan” adalah biaya perkara yang dapat terpikul oleh rakyat. Dan “cepat” berarti bahwa peradilan harus dilaksanakan secara cepat yang diwujudkan melalui kata segera dalam KUHAP, untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan hakim yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Namun demikian, dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan.
Menurut Ramelan, bahwa pemeriksaan tambahan tidak dapat mengatasi masalah bolak balik perkara yang menyebabkan tidak terwujudnya asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Hal ini karena pemeriksaan tambahan dalam pelaksanaannya tidak di optimalkan artinya jarang dilakukan dan karena undang-undang tidak menentukan kapan pemeriksaan tambahan dapat dilakukan, apakah setelah dua kali, tiga kali atau berapa kali bolak balik berkas perkara.
Dalam praktek, pemeriksaan tambahan sangat jarang dilakukan dalam menyelesaikan perkara pidana. Dengan tidak berjalannya pemeriksaan tambahan maka akibatnya adalah tidak terwujudnya asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Karena dapat terjadi bolak balik berkas perkara antara penyidik dengan jaksa penuntut umum apabila pada pengembalian berkas hasil penyidikan tambahan ternyata tidak dapat dipenuhi petunjuk jaksa penuntut umum. Hal ini sangat merugikan para pencari keadilan karena proses menuju penuntutan dan pemeriksaan di persidangan menjadi lebih lama.
Tidak optimalnya pelaksanaan pemeriksaan tambahan berakibat pada dihentikannya penyidikan oleh penyidik. Apabila penyidik menyatakan sudah tidak mampu lagi melengkapi petunjuk dari jaksa maka penyidik menyimpulkan bahwa perkara tersebut kurang alat bukti atau bukan merupakan perkara pidana, dan akhirnya penyidik mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan.
Dengan dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan ini maka korban dari tindak pidana merasa dirugikan karena tersangka/terdakwa dibebaskan, dan masyarakat juga dirugikan karena tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa telah meresahkan masyarakat tidak dapat ditindak lanjuti menurut proses hukum pidana serta tujuan dari hukum pidana dan hukum acara pidana tidak terwujud.
Oleh karena itu, maka pemeriksaan tambahan seharusnya dapat dioptimalkan demi tercapainya tujuan dari hukum pidana yakni menegakan tertib hukum dan melindungi masyarakat. Serta tujuan dari hukum acara pidana juga akan tercapai yaitu mencari kebenaran materiil, sebab dengan dilakukan pemeriksaan tambahan diharapkan dapat menemukan fakta-fakta baru guna menunjang proses penuntutan perkara dan pemeriksaan di sidang pengadilan.




Prapenuntutan

Prapenuntutan


Pengertian prapenuntutan terdapat istilah penyidikan. Hal ini diatur Didalam pasal 1 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Penyidikan dilakukan oleh pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, hal ini disebutkan didalam pasal 6 ayat 1 KUHAP.
Setelah penyidikan dinyatakan selesai maka KUHAP mengatur dalam pasal 110 ayat 1 KUHAP, yang berbunyi “Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum”. Hal ini untuk memenuhi asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.
Berkas perkara diterima oleh jaksa/penuntut umum kemudian jaksa memulai untuk mempelajari dan meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan tersebut, dan apabila terdapat kekurangan baik secara formil maupun materiil maka jaksa/penuntut umum segera memberitahukan kepada penyidik untuk dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk yang harus dilengkapi. Dan jika jaksa/penuntut umum menyatakan berkas telah lengkap maka perkara tersebut segera untuk dilimpahkan ke pengadilan dan proses prapenuntutan telah selesai kemudian masuk ke proses penuntutan.
Selain pemeriksaan tambahan yang dilakukan oleh penyidik dalam tingkat prapenuntutan dengan pedoman pada petunjuk Jaksa Penuntut Umum. Jaksa Penuntut Umum juga dapat melakukan pemeriksaan tambahan baik yang dilakukan pada penyerahan tahap I dan setelah penyerahan tahap II (Penyerahan fisik, penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti) yang dilakukan oleh pihak penyidik kepada Penuntut Umum.
Jaksa/Penuntut Umum dapat melakukan pemeriksanaan tambahan untuk perkara-perkara tertentu. Pemeriksaan tambahan disebutkan pada perumusan Pasal 30 ayat (1) huruf e Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004, yang berbunyi “melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik”.
Hal ini dilakukan apabila Penuntut Umum masih menganggap kurangnya alat bukti yang ada namun dalam praktek timbul permasalahan, mengingat batas waktu 14 hari untuk penyelesaian pemeriksaan tambahan terlalu singkat; keragu-raguan tentang dapat atau tidak dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan. Meskipun terdapat dasar hukum untuk dapat melakukan pemanggilan saksi dan ahli yang berbunyi : Pemanggilan saksi/ahli dilakukan secara langsung oleh Jaksa Penuntut Umum atau dengan bantuan instansi lain.  Tetapi hal ini masih dianggap kurang karena untuk mencari kelengkapan berkas perkara tidak hanya bisa melalui saksi tetapi juga hal-hal lain untuk mendukung pembuktian dalam proses penuntutan jaksa penuntut umum.
Dengan berdasarkan pada perumusan Pasal 30 ayat (1) huruf e Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, pada kenyataannya masih terdapat banyak hambatan dalam melakukan pemeriksaan tambahan meskipun dalam penjelasan telah dijelaskan bahwa antara lain sebagai berikut :
a.
Tidak dilakukan terhadap tersangka ;
b.
Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya dan atau dapat meresahkan masyarakat dan atau dapat membahayakan keselamatan negara ;
c.
Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 hari setelah dilakukan ketentuan Pasal 110 dan Pasal 138 ayat (2) KUHAP ;
d.
Prinsip koordinasi dan kerja sama dengan penyidik.
Dari penjelasan tersebut diatas, dapat dilihat bahwa pemeriksaan tambahan dalam pelaksanaannya kurang optimal artinya jarang sekali dilakukan, padahal hal tersebut penting guna memperoleh pembuktian yang cukup/lengkap dalam penanganan suatu perkara dan kepastian hukum serta penegakan hukum yang maksimal. Kekurangan ini menyebabkan ketidakadilan karena perkara yang merugikan korban tidak disidik secara maksimal, dan masyarakat juga dirugikan karena perkara yang meresahkan masyarakat tidak dapat dimaksimalkan penyidikannya.
Dengan tidak dilaksanakannya pemeriksaan tambahan maka akibat yang ditimbulkannya adalah bebasnya tersangka/terdakwa. Karena penyidik tidak dapat memenuhi petunjuk yang harus dilengkapi guna pemeriksaan tingkat penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan yang berujung pada dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).



Selasa, 25 November 2014

Perbenturan Kepentingan Jaksa Sebagai Jaksa Pengacara Negara


  “Perbenturan Kepentingan Jaksa Sebagai Jaksa Pengacara Negara”// (contoh kasus)//Suatu Pendapat  para pemerhati//

Permasalahan pokok yang terjadi pada fungsi Jaksa sebagai jaksa pengacara negara terletak pada kedudukan struktural mereka yang berada di bawah Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara yang akan berimbas pada letak pertanggungjawaban kepada Jaksa Agung.
Salah satu contoh perbenturan kepentingan ini terjadi pada sengketa tanah antara PT. PELINDO dengan warga di Makassar.
Dalam kasus sengeketa tanah tersebut terjadi dalam proses perkara pidana dan perkara perdata. Dalam perkara pidana Jaksa yang bertindak sebagai jaksa penuntut umum menuntut warga melakukan tindak pidana penyerobotan berdasarkan laporan dari PT.Pelindo, namun majelis hakim memutus bahwa Perbuatan Terdakwa adalah bukan perbuatan pidana dan menyatakan terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum, dengan pertimbangan bahwa status hak atas tanah harus dibuktikan dulu dalam sidang perkara perdata.
Setelah itu, pihak Kejaksaan selanjutnya bertindak dalam kapasitas sebagai Jaksa Pengacara Negara (kuasa hukum PT. Pelindo) melakukan pemanggilan kepada satu-persatu warga (termasuk mantan Terdakwa yangg diputus lepas) untuk melakukan negosiasi mengenai objek tanah yg disengketakan.
Dalam contoh kasus tersebut sangat jelas terjadi “konflik kepentingan, pada satu sisi Kejaksaan bertindak sebagai Jaksa Penuntut Umum untuk menegakkan dan menerapkan hukum pidana materiil secara objektif dan proporsional, namun pada sisi lain pada kasus pokok yang sama bertindak sebagai Jaksa Pengacara Negara mewakili kepentingan keperdataan PT. Pelindo.

Kasus selanjutnya yang sempat marak ialah dalam sengketa pemilihan presiden (pilpres), keterlibatan Jaksa Pengacara Negara mewakili Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga sempat menimbulkan sengketa di Mahkamah Konstitusi. Kala itu, Kubu Megawati Soekarnoputri protes. Mereka menilai Komisi Pemilihan Umum seakan tidak netral menggunakan Jaksa Pengacara Negara yang berada langsung di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga menjadi pihak terkait dalam sengketa pilpres itu. Putusan Mahkamah Konstitusi memang membolehkan Jaksa Pengacara Negara menjadi kuasa hukum Komisi Pemilihan Umum dalam sengketa pilpres ini. Namun Mahkamah berpendapat bahwa di masa datang hal tersebut akan dipertimbangkan kembali demi menjaga independensi dan netralitas Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara pemilu.

Ketika Jaksa sebagai Jaksa Pengacara Negara berkedudukan berada dibawah Jaksa Agung maka akan menimbulkan perbenturan kepentingan. Jaksa Pengacara Negara merupakan sebuah kantor sendiri yang berisi profesional hukum perlu penyempurnaan yaitu :
1.
Delegasi Kewenangan;
Delegasi kewenangan dilakukan melalui pemisahan antara Jaksa yang bertugas sebagai penuntut dengan Jaksa yang bertugas sebagai advokat negara. Didalam tubuh kejaksaan agung dibentuk kantor advokat negara yang dipimpin oleh Jaksa Agung. Dengan adanya pemisahan kewenangan disini diharapkan tidak lagi terdapat conflict of interest yang terjadi antara fungsi penuntutan dengan fungsi sebagai kuasa khusus untuk bertindak baik di dalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau pemerintah dalam bidang perdata dan tata usaha Negara. Mereka yang bertindak sebagai advokat negara tidak dapat berkedudukan ganda sebagai jaksa penuntut. Walaupun tetap berada dibawah komando Jaksa Agung, diharapkan melalui pendelegasian kewenangan ini tercipta sebuah indepedensi agar kedepannya tidak lagi ada conflict of interest seperti kasus-kasus seperti diatas.
2.
Kantor Advokat Negara Professional;
Yang kami maksud disini sebagai Kantor Advokat Negara ialah bahwa nantinya Kantor Advokat Negara yang berada dibawah Jaksa Agung tersebut menjadi sebuah kantor professional yang dapat merekrut advokat/ahli hukum professional untuk bertindak sebagai advokat negara. Kantor Advokat Negara tidak hanya berisi jaksa yang bertindak sebagai advokat negara melainkan juga advokat/ahli hukum professional yang direkrut oleh Jaksa Agung untuk bertindak sebagai advokat negara. Konsep seperti ini mungkin bisa kita contoh dari Australia. Di Australia Kantor Advokat negara merupakan sebuah institusi profesional. Advokat dari Kantor Advokat Negara tidak hanya dinaungi oleh Jaksa sebagai Advokat Negara, namun juga para advokat/ahli hukum professional yang direkrut oleh Kejaksaan Agung Australia untuk menjadi advokat negara.
Kualifikasi untuk menjadi Advokat Negara dan pembelajaran berkelanjutan Seperti yang telah dikemukakan diatas untuk dilakukan pendelegasian kewenangan melalui pemisahan kewenangan antara fungsi penuntutan dan fungsi sebagai kuasa khusus untuk bertindak baik di dalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau pemerintah dalam bidang perdata dan tata usaha Negara. Nantinya pemisahan kewenangan fungsi tersebut akan berimbas pada pemisahan pelatihan bagi para calon jaksa. Calon jaksa penuntut akan menjalani pelatihan sebagai jaksa penuntut dan calon jaksa yang akan menjadi advokat negara akan menjalani pelatihan sebagai advokat negara.
Bahwa fungsi Jaksa sebagai kuasa khusus untuk bertindak baik di dalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau pemerintah dalam bidang perdata dan tata usaha Negara merupakan sebuah fungsi yang vital dan tetap harus dipertahankan, namun harus terdapat perbaikan baik itu dari sisi struktural, tekhnis kerja internal dan sistem rekruitmen.
Sumber : http://www.pemantauperadilan.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=232:tugas-dan-wewenang-kejaksaan-dalam-bidang-perdata-dan-tata-usaha-negara&catid=53:opini&Itemid=173





Jaksa Sebagai Jaksa Pengacara Negara

Jaksa Sebagai Jaksa Pengacara Negara

Salah satu tugas Kejaksaan di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara bertugas yakni mewakili pemerintah dalam beracara perdata yang biasanya dikenal dengan sebutan Jaksa Pengacara Negara. 
Lahirnya Jaksa Pengacara Negara dalam tubuh Kejaksaan dibentuk pada tahun 1991, yaitu pada masa kepemimpinan Suhadibroto.
Salah satu tugas Kejaksaan di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara bertugas yakni mewakili pemerintah dalam beracara perdata yang biasanya dikenal dengan sebutan Jaksa Pengacara Negara. Jaksa Pengacara Negara adalah Jaksa dengan Kuasa Khusus, bertindak untuk dan atas nama Negara atau Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan wewenang Kejaksaan dibidang perkara Perdata dan Tata Usaha Negara. Sebagai Kuasa dari Instansi Pemerintah atau BUMN, Jaksa Pengacara Negara diwakili oleh Kejaksaan sebagai Jaksa Pengacara Negara berdasarkan Surat Kuasa Khusus (SKK). 
Tidak semua jaksa otomatis menjadi Jaksa Pengacara Negara karena penyebutan itu hanya kepada jaksa-jaksa yang secara struktural dan fungsional melaksanakan tugas-tugas perdata dan tata usaha negara (Datun).
Pada kalimat "Jaksa Pengacara Negara", terdapat 3 (tiga) suku kata yakni, Jaksa, Pengacara dan Negara. Menurut kamus lengkap bahasa Indonesia karangan Em Zul Fajri dan Ratu Aprillia Senja diberikan definisi:
1.
Jaksa adalah penuntut dalam suatu perkara yang merupakan wakil pemerintah.
2.
Pengacara (Advokat) adalah pembela dalam perkara hukum; ahli hukum yang berwenang sebagai penasehat atau terdakwa.
3.
Negara adalah organisasi dalam suatu wilayah tertentu yang diatur oleh kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati rakyat.
Sedangkan menurut kamus hukum Indonesia karangan BN. Marbun, SH diberikan definisi:
1.
Jaksa atau Penuntut Umum adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh UU untuk bertindak sebagai penuntut umum terhadap pelanggar hukum pidana dimuka pengadilan serta melaksanakan putusan pengadilan (eksekusi) yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan UU.
2.
Pengacara atau Advokat adalah pembela perkara, penasehat hukum, pokrol, seseorang yang bertindak didalam suatu perkara untuk kepentingan yang berperkara, dalam perkara perdata untuk tergugat/penggugat dan dalam perkara pidana untuk terdakwa. Bantuan seorang pengacara itu tidak diharuskan, kecuali dalam perkara pidana dimana terdakwa ada kemungkinan dijatuhi hukuman mati.
3.
Negara adalah suatu persekutuan bangsa dalam satu wilayah yang jelas batas-batasnya, dan mempunyai pemerintahan sendiri; unsur negara adalah terdapatnya wilayah, penduduk, pemerintahan dan memiliki kedaulatan kedalam dan keluar. Pemerintahan adalah sebagai penyelenggara negara.
Dari dua penjelasan diatas, dari segi bahasa dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan "Jaksa Pengacara Negara" adalah Jaksa yang bertindak sebagai Pengacara, pembela perkara mewakili Negara dalam mengajukan sesuatu tuntutan.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku, definisi Jaksa Pengacara Negara dapat disimpulkan:
1.
Jaksa: Merujuk pada Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004: Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan UU. Sedangkan wewenang lain dari Kejaksaan sebagaimana Pasal 1 Ayat (1) diatas dibidang perdata jika merujuk pada UU RI Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, pasal 30 Ayat (2) adalah Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
2.
Pangacara (Advokat): Merujuk pada Pasal 1 Ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003: Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik didalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang (ini).


Sebutan jaksa pengacara negara (JPN) secara eksplisit tidak tercantum dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan Undang-Undang sebelumnya yaitu Undang- Undang No. 5 Tahun 1991, serta Peraturan Presiden No. 38 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia. Namun, makna “kuasa khusus” dalam bidang keperdataan dengan sendirinya identik dengan “pengacara.” Berdasarkan asumsi tersebut, istilah pengacara negara, yang adalah terjemahan dari landsadvocaten versi Staatblad 1922 Nomor 522 (Pasal 3), telah dikenal secara luas oleh masyarakat dan pemerintah.
Memang dalam hal ini jaksa sebagai penerima surat kuasa khusus mewakili Negara berperkara perdata di pengadilan, namun ia tidak dibenarkan disebut sebagai pengacara atau advokat. Lebih lanjut jika kita merujuk pada UU No. 16 Tahun 2004 memang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) bahwa Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang (salah satunya sebagai kuasa khusus untuk bertindak baik di dalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau pemerintah dalam bidang perdata dan tata usaha Negara), namun undang-undang ini sama sekali tidak menyebutkan bahwa Jaksa penerima kuasa khusus tersebut sebagai pengacara Negara atau Jaksa Pengacara Negara. Menurut kami disini penyebutan Jaksa sebagai kuasa khusus Negara pada perkara perdata atau tata usaha Negara tidaklah tepat menggunakan istilah sebagai pengacara Negara atau jaksa pengacara Negara. Karena secara tegas diatur bahwa Advokat (Pengacara) ialah sebagai salah satu profesi yang tidak dapat dirangkap jabatan oleh jaksa dan jaksa juga tidak memenuhi persyaratan untuk berprofesi sebagai Advokat atau pengacara.