Kamis, 30 Juni 2016

Tax amnesty

Arti secara sederhana dari tax amnesty adalah pengampunan pajak, yaitu adanya penghapusan pajak bagi Wajib Pajak (WP) yang menyimpan dananya di luar negeri dan tidak memenuhi kewajibannya dalam membayar pajak dengan imbalan menyetor pajak dengan tarif lebih rendah. (Pengampunan Pajak merupakan penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan. Kewajiban perpajakan yang mendapatkan PengampunanPajak terdiri atas kewajiban Pajak Penghasilan dan Pajak Penjualan Nilai atau Pajak atas Barang Mewah).
Harta adalah akumulasi tambahan kemampuan ekonomis berupa seluruh berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, baik yang digunakan untuk usaha maupun bukan untuk yang berada di dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan dilakukannya tax amnesty ini, diharapkan para pengusaha yang menyimpan dananya di luar negeri akan memindahkan dananya di Indonesia dan menjadi WP baru yang patuh sehingga dapat meningkatkan pendapatan pajak negara.  Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mendorong diberlakukannya tax amnesty ini untuk menarik kembali uang milik warga Indonesia yang disimpan di luar negeri.
Indonesia pernah memberlakukan tax amnesty pada tahun 1984, tetapi pelaksanaannya tidak efektif karena respon WP sangat kurang dan tidak diikuti dengan reformasi sistem administrasi perpajakan secara menyeluruh.
pelaksanaan tax amnesty kali ini harus dilaksanakan secara hati-hati dan dipersiapkan secara matang dan Perlunya dukungan dan persetujuan masyarakat secara penuh dan adanya landasan hukum yang memadai juga menjadi faktor penting keberhasilan pelaksanaan tax amnesty ini sebagai berikut :
Pertama, Pengampunan Pajak merupakan penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan. Kewajiban perpajakan yang mendapatkan PengampunanPajak terdiri atas kewajiban Pajak Penghasilan dan Pajak Penjualan Nilai atau Pajak atas Barang Mewah.

Kedua, Harta adalah akumulasi tambahan kemampuan ekonomis berupa seluruh berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, baik yang digunakan untuk usaha maupun bukan untuk yang berada di dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ketiga, Setiap wajib pajak berhak mendapatkan Pengampunan Pajak. Jika Wajib Pajak belum mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak, Wajib Pajak mendaftarkan diri terlebih dahulu untuk memperoleh NPWP di kantor Direktorat Pajak tempat wajib Pajak bertempat tinggal atau berkedudukan.

Belajar terus seumur hidup, Paris Manalu, Tanjungpinang, 21/06/2016

Selasa, 28 Juni 2016

Pencemaran Nama Baik

Pencemaran Nama Baik

Pengertian Pencemaran Nama Baik

Pencemaran nama baik dikenal juga istilah penghinaan, yang pada dasarnya adalah menyerang nama baik dan kehormatan seseorang yang bukan dalam arti seksual sehingga orang itu merasa dirugikan. Kehormatan dan nama baik memiliki pengertian yang berbeda, tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, karena menyerang kehormatan akan berakibat kehormatan dan nama baiknya tercemar, demikian juga menyerang nama baik akan berakibat nama baik dan kehormatan seseorang dapat tercemar. Oleh sebab itu, menyerang salah satu diantara kehormatan atau Nama baik sudah cukup dijadikan alasan menuduh seseorang melakukan penghinaan.
Di Indonesia, Pasal penghinaan ini masih dipertahankan. Alasannya, selain menghasilkan character assassination, pencemaran nama baik juga dianggap tidak sesuai dengan tradisi masyarakat Indonesia yang masih menjunjung tinggi adat dan budaya timur. Karena itu, pencemaran nama baik adalah salah satu bentuk rechtsdelicten dan bukan wetdelicten. Artinya, pencemaran nama baik sudah dianggap sebagai bentuk ketidakadilan sebelum dinyatakan dalam Undang-Undang karena telah melanggar kaidah sopan santun. Bahkan lebih dari itu, pencemaran nama baik dianggap melanggar norma agama jika dalam substansi pencemaran itu terdapat fitnah.
Larangan memuat kata penghinaan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE No. 11 tahun 2008 sebenarnya dibuat untuk melindungi hak-hak individu dan institusi dikarenakan pada dasarnya informasi yang akan di publikasikan seharusnya sudah mendapat izin dari yang bersangkutan agar yang bersangkutan tidak merasa dirugikan dengan perbuatan dan bisa mempertanggung jawabkannya.
Selain Pasal 27 dan 28 UU ITE No. 11 2008 tentang pencemaran nama baik, dalam kitab-kitab undang hukum pidana juga mengatur tentang pidana penghinaan dan pencemaran nama baik.

Bentuk Pencemaran Nama Baik,  dibagi menjadi sebagai berikut :
a. Penghinaan materiil, Penghinaan yang terdiri dari suatu kenyataan yang meliputi pernyataan yang objektif dalam kata-kata secara lisan maupun secara tertulis, maka yang menjadi faktor menentukan adalah isi dari pernyataan baik yang digunakan secara tertulis maupun lisan. Masih ada kemungkinan untuk membuktikan bahwa tuduhan tersebut dilakukan demi kepentingan umum.
b. Penghinaan formil,  dalam  hal ini tidak dikemukakan apa isi dari penghinaan, melainkan bagaimana pernyataan yang bersangkutan itu dikeluarkan. Bentuk dan caranya yang merupakan faktor menentukan. Pada umumnya cara menyatakan adalah dengan cara-cara kasar dan tidak objektif. Kemungkinan untuk membuktikan kebenaran dari tuduhan tidak ada dan dapat dikatakan bahwa kemungkinan tersebut adalah ditutup.
Perlu diketahui bahwa pencemaran nama baik tersebut dapat dilakukan secara lisan (Pasal 310 ayat [1] KUHP) maupun dengan tulisan atau gambar (Pasal 310 ayat [2] KUHP). Lebih lanjut,R. Soesilomengatakan bahwa penghinaan itu sendiri ada 6 macam, yaitu:
 (1) Penistaan (Pasal 310 ayat (1) KUHP),  Menurut pasal ini, maka penghinaan itu harus dilakukan dengan cara “menuduh seseorang telah melakukan perbuatan tertentu” dengan maksud agar tuduhan itu tersiar (diketahui oleh orang banyak).
(2) Penistaan dengan surat (Pasal 310 ayat (2) KUHP),  dalam penjelasan Pasal 310 KUHP, apabila tuduhan tersebut dilakukan dengan tulisan (surat) atau gambar, maka kejahatan itu dinamakan “menista dengan surat”. Jadi seseorang dapat dituntut menurut pasal ini jika tuduhan atau kata-kata hinaan dilakukan dengan surat atau gambar.
(3) Fitnah (Pasal 311 KUHP),  Pasal 310 KUHP, sebagaimana kami sarikan, perbuatan dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP tidak masuk menista atau menista dengan tulisan (tidak dapat dihukum), apabila tuduhan itu dilakukan untuk membela kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri. Jadi, yang dimaksud dengan memfitnah dalam pasal ini adalah kejahatan menista atau menista dengan tulisan dalam hal ketika ia diizinkan untuk membuktikan bahwa tuduhannya itu untuk membela kepentingan umum atau membela diri, ia tidak dapat membuktikannya dan tuduhannya itu tidak benar.
(4) Penghinaan ringan (Pasal 315 KUHP),  Penghinaan seperti ini dilakukan di tempat umum yang berupa kata-kata makian yang sifatnya menghina. Pasal 315 KUHP, sebagaimana kami sarikan, mengatakan bahwa jika penghinaan itu dilakukan dengan jalan lain selain “menuduh suatu perbuatan”, misalnya dengan mengatakan “anjing”, “sundel”, dan sebagainya, masuk Pasal 315 KUHP dan dinamakan “penghinaan ringan”. Penghinaan ringan ini juga dapat dilakukan dengan perbuatan seperti meludahi di mukanya.
(5) Pengaduan palsu atau pengaduan fitnah (Pasal 317 KUHP),  Dalam buku yang berjudulKitab Undang-Undang Hukum Pidana memberikan uraian pasal tersebut, yakni diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang dengan sengaja:
a. memasukkan surat pengaduan yang palsu tentang seseorang kepada pembesar negeri;
b. menyuruh menuliskan surat pengaduan yang palsu tentang seseorang kepada pembesar negeri (R. Sugandhi, S.H. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hal 337).
(6) Perbuatan fitnah (Pasal 318 KUHP), Pasal 318 KUHP, yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang dengan sengaja melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan orang lain secara tidak benar terlibat dalam suatu tindak pidana, misalnya: dengan diam-diam menaruhkan sesuatu barang asal dari kejahatan di dalam rumah orang lain, dengan maksud agar orang itu dituduh melakukan kejahatan.
Delik dalam pencemaran nama baik merupakan delik yang bersifat subyektif yang artinya penilaian terhadap pencemaran nama baik sangat bergantung pada pihak yang diserang nama baiknya.
Oleh karenanya, delik dalam pencemaran nama baik merupakan delik aduan yang hanya bisa diproses oleh pihak yang berwenang jika ada pengaduan dari saksi korban pencemaran nama baik.
Dengan kata lain tulisan atau lisan bisa dikatakan mencemarkan nama baik diukur dari bagaimana korban merasa hal tersebut menyerang nama baiknya. Walaupun dalam pembuktiannya nanti hakimlah yang memutuskan. Tindak pidana atas nama baik yan dimaksud melalui lisan yang secara sengaja disiarkan (disebar) atau dipertunjukkan untuk menyerang reputasi atau kehormatan orang lain (A.Vebriyanti Rasyid, 2014:24).
















Minggu, 26 Juni 2016

Penuntut Umum

Penuntut Umum

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 memberikan uraian pengertian Jaksa dan Penuntut Umum pada Pasal 1 butir 6a dan b serta Pasal 13 menegaskan bahwa: 
a)  Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang- undang ini untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ( Pasal 1 butir 6a KUHAP ).
b)  Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim ( Pasal 1 butir 6a jo. Pasal 13 KUHAP ).

Beberapa pengertian yang berkaitan dengan Penuntutan :
a)  Penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalah hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di siding pengadilan;
b)  Penuntut Umum adalah Jaksa yang di beri wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim;
c)  Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang- Undang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memporeleh kekuatan hukum yang tetap;
d) Surat Dakwaan adalah surat atau akta yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum yang berisi rumusan tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa berdasarkan kesimpulan yang ditarik dari hasil penyelidikan dan merupakan dasar pemeriksaan didepan siding pengadilan;
e)  Suarat Tuntutan adalah Naskah atau Surat yang berisi uraian Penutut Umum mengenai hasil pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan tentang pembuktian berdasarkan surat dakwaan, disertai tuntutan pidana terhadap terdakwa, apabila terdakwa telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan. Dan apabila dinilai terdakwa tidak terbukti bersalah dituntut untuk dibebaskan atau dilepaskan dari segala tuntutan hokum;
f)  Tuntutan pidana adalah permintaan Penuntut Umum kepada Pengadilan ( Hakim ) mengenai jenis dan berat / ringannya pidana ( hukuman ) yang dijatuhkan terhadap terdakwa. 

Wewenang Penuntut Umum :
a)  Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu;
b)  Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat (3) dan ayat (4) dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
c)  Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d)  Membuat surat dakwaan ( letter of accuasation );
e)  Melimpahkan perkara ke pengadilan;
f)  Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentangketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk dating pada siding yang telah ditentukan;
g)  Melakukan penuntutan ( to carry out accusation );
h)  Menutup perkara demi kepentingan hukum;
i)  Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;
j)  Melaksanakan penetapan hakim; 







Eksepsi

Eksepsi

Eksepsi secara umum berarti pengecualian, akan tetapi dalam konteks hukum acara, bermakna tangkisan atau bantahan yang ditujukan kepada hal- hal yang menyangkut syarat-syarat atau formalitas gugatan yang mengakibatkan gugatan tidak dapat diterima. Tujuan pokok pengajuan eksepsi yaitu agar proses pemeriksaan dapat berakhir tanpa lebih lanjut memeriksa pokok perkara (M.Yahya Harahap, 2002:418).

Berdasarkan Pasal 156 ayat (1) KUHAP pengajuan keberatan adalah hak dari terdakwa dengan memperhatikan bahwa eksepsi harus diajukan pada siding pertama yaitu setelah Penuntut Umum membacakan surat dakwaan. Eksepsi yang dapat diajukan di luar tenggang waktu tersebut adalah eksepsi mengenai kewenangan mengadili sebagaimana disebut dalam Pasal 156 ayat (7) KUHAP.

Eksepsi di bagi menjadi beberapa jenis yaitu:

1)  Eksepsi Kewenangan Mengadili (exception of incompetency) pengadilan yang dilimpahi perkara tidak berwenang mengadili. Kewenangan mengadili sendiri terdapat dua jenis yaitu tidak berwenang secara absolutyang didasarkan pada faktor perbedaan lingkungan peradilan berdasarkan UU Kekuasaan Kehakiman dan jugatidak berwenang secara relatifyang didasarkan pada faktor daerah atau wilayah hukum dari suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama.

2)  Eksepsi Kewenangan Menuntut Gugur dalam ini terjadi karena tindak pidana yang didakwakan telah pernah diputus dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau dalam bahasa latinnya ne bis in idem atau terjadi karena penuntutan yang diajukan telah melampau tenggang waktu atau daluarsa (soal daluarsa dalam KUHP diatur dalam Pasal 78 – 82) atau terjadi karena terdakwa telah meninggal dunia.

3)  Eksepsi Dakwaan Tidak Dapat Diterima, hal ini diajukan bila tata cara pemeriksaan yang dilakukan tidak memenuhi syarat formil. Apabila tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa sedang dalam pemeriksaan di pengadilan negeri lain. Apabila orang yang diajukan sebagai terdakwa keliru (salah orang) dalam artian yang seharusnya diajukan adalah orang lain (dalam hal ini pelaku tindak pidana yang sebenarnya), Apabila bentuk dakwaan yang diajukan tidak tepat dalam hal ini berarti Penuntut Umum keliru dalam merumuskan tindak pidana .

4)  Eksepsi Dakwaan Batal Demi Hukum, dalam hal ini dakwaan tidak memunhi syarat yang diminta dalam Pasal 142 ayat (2) KUHAP sehingga dianggap kabur, membingungkan, sekaligus menyesatkan yang berakibat sulit bagi terdakwa untuk melakukan pembelaan diri. Ada beberapa sebab yang menyebabkan dakwaan batal demi hukum diantaranya adalah Dakwaan tidak memuat tanggal dan tanda tangan dimana berdasarkan Pasal 143 ayat (2) KUHAP meminta Jaksa Penuntut Umum untuk membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan tanda tangan, Dakwaan tidak memuat secara lengkap identitas terdakwa yang terdiri dari nama lengkap, tempat lahir, tanggal lahir atau umur, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan (Pasal 143 ayat (2) KUHAP). Dakwaan tidak menyebut tempat dan waktu kejadian dimana tindak pidana tersebut terjadi (Pasal 143 ayat (2) huruf (b) KUHAP). Dakwaan tidak disusun secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai uraian tindak pidana yang didakwakan dalam artian semua unsur delik dirumuskan dalam pasal pidana yang didakwakan harus cermat disebut satu persatu serta menyebut dengan cermat, lengkap, dan jelas mengenai cara tindak pidana dilakukan secara utuh. 

Tanjungpinang, Paris Manalu, SH MH.



Surat Dakwaan

Surat Dakwaan

KUHAP tidak mengatur mengenai adanya Surat Dakwaan. Surat dakwaan adalah suatu surat yang diberi tanggal dan ditandatangani oleh penuntut umum, yang memuat uraian tentang identitas lengkap terdakwa, perumusan tindak pidana yang didakwakan yang dipadukan dengan unsur-unsur tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan pidana yang bersangkutan, disertai uraian tentang waktu dan tempat tindak pidana dilakukan oleh terdakwa, surat mana menjadi dasar dan batas ruang lingkup pemeriksaan di sidang pengadilan (Harun M. Husein dan Hamrat Hamid, 1994:43).

Surat Dakwaan

KUHAP tidak mengatur mengenai adanya Surat Dakwaan. Surat dakwaan adalah suatu surat yang diberi tanggal dan ditandatangani oleh penuntut umum, yang memuat uraian tentang identitas lengkap terdakwa, perumusan tindak pidana yang didakwakan yang dipadukan dengan unsur-unsur tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan pidana yang bersangkutan, disertai uraian tentang waktu dan tempat tindak pidana dilakukan oleh terdakwa, surat mana menjadi dasar dan batas ruang lingkup pemeriksaan di sidang pengadilan (Harun M. Husein dan Hamrat Hamid, 1994:43).

Fungsi Surat dakwaan :

Bahwa surat dakwaan merupakan dasar dan sekaligus membatsi ruang lingkup pemeriksaan siding, hal ini berarti :
(1) Dalam pemeriksaan sidang, pemeriksaan itu dibatasi  oleh fakta-fakta perbuatan yang didakwakan oleh  penuntut umum dalam surat dakwaan yang menjadi
dasar pemeriksan siding tersebut.
(2) Hakim/Pengadilan dalam menjatuhkan putusannya harus semata-mata didasarkan pada hasil pemeriksaan dan penilain terhadap fakta-fakta yang didakwakan dalam surat dakwaan.
 (3) Keseluruhan isi dakwaan yang terbukti di persidangan merupakan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan.
(4)Tindak pidana apa yang dinyatakan terbukti di persidangan harus dapat dicari dan ditemukan kembali dalam surat dakwaan.

Fungsi Surat Dakwaan untuk pihak-pihak :
(1)  Fungsi surat dakwaan bagi penuntut umum merupakan dasar pelimpahan perkara, karena dengan pelimpahan perkara tersebut penuntut umum meminta agar perkara tersebut di periksa dan di putus dalam sidang pengadilan, atas dakwaan yang dilampirkan dalam pelimpahan perkara tersebut.
(2)  Fungsi surat dakwaan bagi hakim merupakan dasar pemeriksaan, membatasi ruang lingkup pemeriksaan, dasar pertimbangan dan dasar pengambilan keputusan tentang bersalah tidaknya terdakwa dalam tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
(3) Fungsi surat dakwaan bagi terdakwa atau penasihat hukum merupakan dasar untuk mempersiapkan pembelaan dan oleh karena itulah surat dakwaan harus disusun secara cermat, jelas, dan lengkap. Surat dakwaan yang tidak memenuhi syarat tersebut, akan merugikan hak pembelaan terdakwa dan oleh karenanya dapat dinyatakan batal demi hukum (Harun M. Husein dan Hamrat Hamid, 1994:94-95).

Syarat-Syarat Surat Dakwaan
a)  Syarat Formil, diatur didalam Pasal 143 ayat  (2) huruf a KUHAP memuat hal-hal yang berhubungan dengan :
(1) Surat dakwaan diberi tanggal dan di tandatangani oleh penuntut umum/jaksa.
(2) Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa.
b)  Syarat Materiil, diatur didalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP memuat dua unsur yang tidak boleh di lalaikan yaitu :
(1) Uraian cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang di dakwakan.
(2) Menyebut waktu dan tempat tindak pidana dilakukan (tempus delecti dan locus delicti).

Bentuk Surat Dakwaan
Di dalam KUHAP tidak menetapkan bagaimana bentuk surat  Dakwaan yang dibuat Jaksa Penuntut Umum, bentuk yang lajimnya sebagai berikut :
a)  Dakwaan Tunggal/Biasa, umumnya perumusan dakwaan tunggal dijumpai dalam tindak pidana yang jelas serta tindak mengandung fakta “penyertaan” (mededaderschap) atau factor concursus maupun faktor “alternatif” atau factor “subsidair”. Baik pelakunya maupun tindak pidana yang dilanggar sedemikian rupa jelas dan sederhana, sehingga surat dakwaan cukup dirumuskan dalam bentuk tunggal (Yahya Harahap,2002:398). Hal ini berarti bahwa penyusunan surat dakwaan tunggal mempunyai sifat sederhana yaitu sederhana dalam perumusannya maupun sederhana dalam pembuktian dan penerapan hukumnya.
b)  Dakwaan Alternatif,  Surat dakwaan ini didakwakan beberapa perumusan tindak pidana, tetapi pada hakekatnya yang merupakan tujuan utama ialah hanya ingin membuktikan satu tindak pidana saja diantara tindak pidana yang didakwakan. Dakwaan ini digunakan dalam hal antara kualifikasi tindak pidana yang satu dengan kualifikasi tindak pidana yang lain menunjukkan corak atau ciri yang sama atau hampir bersamaan dan bila belum didapat keputusan tentang tidak pidana mana yang paling tepat dapat dibuktikan. Dalam dakwaan ini terdapat beberapa dakwaan yang disusun secara berlapis, lapisan yang satu merupakan alternatif dan bersifat mengecualikan dakwaan pada lapisan lainnya. Meskipun dakwaan terdiri dari beberapa lapisan, tetap hanya satu dakwaan yang akan dibuktikan. Pembuktian dakwaan tidak perlu dilakukan secara berurut sesuai lapisan dakwaan, tetapi langsung kepada dakwaan yang dipandang terbukti. Apabila salah satu telah terbukti maka dakwaan pada lapisan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi.
c) Dakwaan Subsidair,  Susunan dakwaan subsidair ini umumnya dalam lingkup suatu perbuatan yang parallel atau satu jurusan yang dalam dakwaan disusun berdasar pada urutan berat ringannya perbuatan yang tentu akan berbeda tentang berat ringan ancaman pidananya. Dalam dakwaan ini terdiri dari beberapa lapisan dakwaan yang disusun secara berlapis dengan maksud lapisan yang satu berfungsi sebagai pengganti lapisan sebelumnya. Sistematik lapisan disusun secara berurut dimulai dari tindak pidana yang diancam dengan pidana terberat sampai dengan tindak pidana yang diancam dengan pidana teringan. Pembuktian dilakukan secara berurut dimulai dari lapisan teratas sampai dengan lapisan terbawah.
d) Dakwaan Kumulatif,  Bentuk surat dakwaan ini terdapat beberapa tindak pidana masing-masing berdiri sendiri artinya tidak ada hubungan antara tindak pidana yang satu tehadap yang lain dan didakwakan secara serempak. Dalam hal ini didakwakan beberapa tindak pidana sekaligus dari kesemua dakwaan harus dibuktikan satu demi satu. Tindak pidana yang didakwakan masing-masing berdiri sendiri, tetapi didakwakan secara serempak asal saja pelaku dari tindak pidana itu adalah sama. Dakwaan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas dan dituntut pembebasan dari dakwaan tersebut. Dakwaan ini dipergunakan dalam hal terdakwa melakukan beberapa tindak pidana yang masing- masing merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri.
e) Dakwaan Kombinasi atau Gabungan,  dakkwaan kombinasi adalah merupakan kombinasi dari dakwaan yang berbentuk alternatif dengan dakwaan subsidair atau antara dakwaan komulatif dengan dakwaan subsidair atau antara dakwaan komulatif dengan dakwaan alternatif, dan sebagainya. Dakwaan ini harus diperhatikan secara teliti mengenai bentuk-bentuk dari kumulasinya, dan jangan sampai upaya untuk mencegah terdakwa lepas dari dakwaan. Timbulnya bentuk ini seiring dengan perkembangan di bidang kriminalitas yang semakin variatif baik dalam bentuk atau jenisnya maupun dalam modus operandi yang dipergunakan.

Paris Manalu, SH MH, Tanjungpinang