Sabtu, 21 Februari 2015

Advokat menerima legal fee dalam menangani kasus

Advokat dan fee dalam menangani kasus

Advokat sebagai professional selain dituntut untuk memenuhi tanggung jawab kepada masyarakat juga dituntut memenuhi kebutuhan materinya. Para advokat harus menentukan pilihan dimana posisi mereka dalam hal honorarium atau legal fee ini.
Advokat sering dikatakan sebagai profesi yang terhormat (officum nobile). Padangan tersebut lahir dari fungsi kemasyarakatan yang dijalankan oleh profesi advokat. Orang yang menjalankan fungsi kemasyarakatan tersebut didorong oleh penghormatan atas martabat manusia. Karena landasannya adalah penghormatan atas martabat manusia dan menuntut keahlian serta sikap etis maka pekerjaan advokat dipandang sebagai pekerjaan bermartabat.
Kegiatan profesional harus dibedakan dari kegiatan bisinis, terutama pada pencapaian tujuannya. Dalam konteks bisnis, kembali modal/uang kepada pemilik modal adalah tujuan akhir, sedangkan profesi justru menitik beratkan tujuan pada kesdiaan melakukan kegiatan yang bermotif melayani.
Cita – cita sebuah profesi pada dasarnya menuntut individu untuk memberikan pelayanan dan memperoleh kompensasinya berupa upaya memajukan kepentingan umum.  
Menurut Talcott Parsons, hal utama yang membedakan golongan professional darientrepreneur (wirausaha) adalah perbedaan nilai. Para Profesional tidak meletakan imbalan materi (profit-oriented) sebagai tujuan utama meskipun tetap menganggapnya perlu, sebaliknya para pengusaha menganggap mencari keuntungan adalah tujuannya.
Dalam penentuan honorarium atau legal fee seseorang advokat menetapkan dengan batasan – batasan yang layak dengan mengingat kemampuan klien. Sebagaimana diamanatkan oleh kode etik advokat Indonesia dalam bab hubungan dengan klien:  Bagian II Pasal 2 butir 2.8 Advokat harus menentukan honorarium dalam batas-batas  yang layak dengan mengingat kemampuan klien.  Bagian II Pasal 2 butir 2.9 Advokat tidak dibenarkan dengan sengaja membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu.
Memberikan legal opinion merupakan salah satu bagian dari jasa hukum advokat. Hal ini sebagaimana dimaksud pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003tentang Advokat yang menyatakan “Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien”.
Terlebih, legal opinion merupakan dasar perikatan dalam hubungan antara advokat dengan kliennya maka terhitung sejak legal opinion disampaikan kepada si klien maka sejak itu pulalah advokat yang bersangkutan berhak atas honorarium. Pembayaran terhadap jasa advokat itu sendiri dilakukan oleh klien yang menggunakan jasa si advokat tersebut dengan jumlah atau nominal yang telah disepakati, ini sesuai dengan isi UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat pasal 1 ayat 7, yang menyebutkan bahwa, “Honorarium adalah imbalan atas jasa hukum yang diterima oleh Advokat berdasarkan kesepakatan dengan Klien”. Juga yang disebutkan dalam pasal satu poin (f) dalam kode etik advokat Indonesia. Hal ini dimungkinkan kerena tidak adanya standarisasi baku yang mengatur tentang minimal dan maksimal jumlah bayaran jasa advokat.
Para advokat biasanya mengenakan tarif yang dianggap pantas oleh kedua belah pihak, atau menggunakan kisaran yang menurut kantor advokat bersangkutan pantas. Tidak ada suatu standar penentuan legal fee di kalangan Advokat/Pengacara. Besar kecilnya honorarium yang akan diterima oleh Advokat/Pengacara sangat tergantung kepada kesepakatan kedua belah pihak, klien dan Advokat/Pengacara yang didasarkan kepada beberapa hal, antara lain:
1.    Profesionalitas si Advokat/Pengacara (semakin terkenal berarti semakin mahal) 2. Besar kecilnya kasus yang ditangani.
2.    Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan perkara tersebut.
3.    Kemampuan financial si klien.
4.    Lokasi kasus/perkara yangditangani (kalau di luar daerah/pulau berarti semakin mahal dengan penambahan biaya akomodasi dan transportasi).
Berdasarkan Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat dan Kode Etik Indonesia bahwa jasa Advokat lebih difokuskan pada hukum perjanjian sehingga berada pada azas kebebasan bagi mereka yang membuatnya. Itu tertuang dalam Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat pasal 1 ayat 7  “Honorarium adalah imbalan atas jasa hukum yang diterima oleh Advokat berdasarkan kesepakatan dengan Klien”.  
pasal 21 ayat (2) Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2003 yang berbunyi;  “Besarnya honorarium atas jasa hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak”. dan menurut Kode Etik Advokat Indonesia pasal 1 point (f) “Honorarium adalah pembayaran kepada advokat sebagai imbalan jasa advokat berdasarkan kesepakatan dan atau perjanjian dengan kliennya”. Berkenaan dengan perbuatan menerima legal fee sebagai bentuk hak yang boleh dilakukan ketika bantuan hukum sudah diberikan dengan ukuran yang wajar dan disepakati kedua belah pihak, hal demikian perjanjian kesepakatan antara advokat dan klien.
Bila melihat bunyi Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang  Ketenagakerjaan pasal 1 ayat 30; “Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurusuatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan”.
Honorarium advokat merupakan hak dari advokat atas dasar pekerjaan yang diberikan yaitu berupa jasa hukum kepada kliennya, menyerupai dengan rumusan upah pada pasal tersebut diatas. Dimana klien sebagai pengusaha atau majikan dan advokat sebagai pekeja atau buruh, dimana dalam hubungan advokat dengan klien ada suatu perjanjian antara mereka. Bisa disamakan bahwa perjanjian itu merupakan perjanjian kerja. Di satu sisi, advokat itu adalah profesi yang mulia (officum nobile) . Di sisi lain, ini adalah profesi untuk mencari uang juga, itu tidak bisa dipungkiri. Advokat ialah bisnis jasa yang mendapatkan penghasilan dari tugasnya yang memberikan jasa hukum. Ini lah yang dimaksudkan dengan kegiatan professional dengan kliennya yang memiliki dimensi ekonomi dalam pengertian nonekonomi. Non ekonominya yakni tugas sosial advokat untuk memberikan jasa hukum secara pro bono atau bantuan hukum cuma – cuma.
Meskipun seorang advokat mendapatkan penghasilan dari klien bukan berarti seorang advokat harus sepenuhnya turut pada perintah klien. Inilah yang membedakan advokat dengan pegawai atau buruh biasa. Tidak benar bila seorang klien mengatur seorang advokat apalagi terkait dengan langkah hukum yang akan digunakan dalam melakukan pembelaan terhadap klien.



Kamis, 12 Februari 2015

Penetapan Tersangka Bukan Wewenang Praperadilan


Pada hakikatnya wewenang praperadilan “terkunci” dalam empat alasan. Yaitu: sah tidaknya penangkapan dan atau penahanan; sah tidaknya penghentian penyidikan dan atau penghentian penuntutan; ganti rugi atau rehabilitasi atas upaya paksa (berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, pemasukan rumah, dan penyitaan); dan sah atau tidaknya penyitaan.
Permohonan Praperadilan dalam kasus penetapan tersangka yang belum dilakukan penahanan, sebab memang tidak pernah ditangkap dan ditahan. Mungkin yang dipermasalahkan pencekalan atas dirinya yang kemudian dianggap sama halnya dengan proses penahanan. Tapi sayangnya, oleh KUHAP tidak secara tegas terdapat ketentuan yang menjelaskan lebih lanjut; apakah pencengkalan merupakan bagian dari bentuk penahanan terhadap tersangka?
Permohonan praperadilan  dalam orang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka sebetulnya yang menitikberatkan pada tuntutan ganti kerugian karena penetapan statusnya sebagai tersangka. Tidak sahnya penetapan status tersangka dalam contoh kasus BG dipermasalahkan oleh karena bukti permulaan yang dimiliki oleh KPK berupa LHA PPATK dan data elektronik berikut tidak masuk sebagai terpenuhinya “bukti pemulaan” minimum dua alat bukti.
Kuasa hukum  dalam kasus BG menuntut ganti rugi kiranya dapat dilakukan karena tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan Undang-Undang atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan (vide: Pasal 95 ayat 1 KUHAP). In casu a quo frasa ‘tindakan lain” ini ditafsirkan sebagai penetapan status tersangka tidak layak (baca: tidak sah), oleh karena bukti permulaannya tidak terpenuhi. Tapi sayang sekali, mungkin karena tidak jeli atas penjelasan frasa “tindakan lain” dalam ketentuan tersebut, sehingga ditafsirkan hanya untuk menguntungkan semata kliennya. Padahal secara “ketat” tindakan lain sudah dijelaskan dalam KUHAP ”kerugian karena tindakan lain adalah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan, dan penyitaan tidak sah menurut hukum.” Itu artinya pemaknaan tindakan lain sebagai penetapan tersangka yang tidak sah sudah pasti terjadi kesalahan tafsir. Sehingga kesimpulan yang dapat ditarik, bahwa penetapan status tersangka sama sekali keluar kotak (out of the box) dari limitasi wewenang praperadilan.
Yang harus diperhatikan, bahwa tidak dipenuhinya atau tidak diakomodasinya “hak atas perlindungan” tersangka dari persangkaan yang tidak wajar dalam forum praperadilan tidak berarti tersangka akan kehilangan hak-haknya untuk melakukan perlawan. Sebab masih ada tempat untuk menguji persangkaan tindak pidana ini di forum pengadilan nantinya.
Hal ini harus dikembalikan pada asas presumption of guilty yang secara deskriptif faktual menjadi dasar terhadap seorang bisa ditetapkan sebagai tersangka. Makna praduga bersalah di sini adalah sifatnya deskriptif faktual yang disandarkan pada dua alat bukti permulaan. Sehingga seorang tersangka yang dinyatakan terduga “bersalah” tidak ada otoritas lain yang bisa memberikan kepastian selain hakim pengadilan. Bukanlah hakim tunggal yang diberi kewenangan untuk mengadili, memeriksa dan memutus dalam kompetensi praperadilan atas terduganya orang sebagai pelaku tindak pidana.
Satu dan lain hal yang perlu dicamkan dalam persidangan untuk membuktikan bersalah tidaknya terdakwa. Antara alat bukti, termasuk cara memperoleh alat bukti (relevan atau tidak), harus bersesuaian dan mendukung ketentuan tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa.
========================================
MENGGUNAKAN LOGIKA HUKUM YANG ABSURD

Pertimbangan putusan yang menyebutkan jabatan Kepala Biro Pembinaan Karyawan (Karo Kumkar) Mabes Polri sebagai jabatan administratif dan bukan sebagai penyelidik negara, merupakan pertimbangan yang yang aneh.
"sebenarnya apapun jabatannya di kepolisian, selama masih mengenakan pakaian polisi entah pangkatnya balok merah, brigadir maupun jenderal, semuanya jelas merupakan petugas penegak hukum. Jadi sangat aneh kalau hakim menyebutkan jabatan Karo Binkar Mabes Polri dianggap bukan jabatan penegak hukum,''.
bila logika hukum yang digunakan hakim diterapkan, maka banyak sekali pejabat-pejabat kepolisian di jabatan administrif, yang akan dianggap bukan sebagai penegak hukum.
Sementara dalam hal pengertian korupsi, menyebutkan, dalam aturan hukum yang ada sudah ditegaskan bahwa korupsi tidak hanya hal-hal yang menyangkut masalah kerugian negara. Tapi juga mencakup masalah penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan untuk kepentingan pribadi.
Hakim praperadilan yang menyidangkan masalah ini sudah menggunakan logika hukum yang absurd.

Praperadilan


Praperadilan dan mekanismenya


Secara harfiah, praperadilan adalah memeriksa hukum acara pidana dalam proses hukum pidana. Secara limitatif, pasal 77 telah menegaskan “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang (a) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; (b) ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Pentingnya proses praperadilan diatur didalam KUHAP, selain memberikan kepastian hukum kepada tersangka agar proses hukum menjadi fair dan memberikan perlindungan Hak-hak tersangka, juga memastikan agar proses hukum terhadap tersangka dapat dibuktikan berdasarkan alat-alat bukti yang cukup sebagaimana diatur didalam KUHAP.
Selain itu juga agar memastikan agar pihak penyidik tidak salah didalam melakukan penyidikan dan tersangka merupakan pelaku yang harus dipertanggungjawabkan sebagaimana tuduhkan penyidik.
Proses praperadilan merupakan “semi hukum” perdata. Dimana acara pemeriksaannya dimulai dari pembacaan materi praperadilan, tanggapan dari pihak termohon (eksepsi), replik dan duplik. Barulah dimulai dengan pemeriksaan saksi, saksi ahli dan bukti-bukti lainnya. Dan terakhir kesimpulan.
Cara-cara ini biasa dikenal dalam hukum acara perdata. Sehingga walaupun praperadilan termasuk kedalam hukum pidana, namun hukum acaranya biasa dikenal dalam hukum acara perdata. Sehingga tidak salah kemudian dikenal dengan istilah “semi hukum” perdata.

Menurut pasal 1 angka 10 KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana), praperadilan adalah wewenang hakim untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang tentang:
  1. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
  2. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
  3. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Pihak-pihak yang dapat mengajukan praperadilan adalah sebagai berikut:

  1. Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya (pasal 79 KUHAP).

  1. Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya (PASAL 80 KUHAP).

  1. Permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya (pasal 81 KUHAP).

Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera (pasal 78 ayat [2] KUHAP).

Acara pemeriksaan praperadilan dijelaskan dalam pasal 82 ayat (1) KUHAP yaitu sebagai berikut:
  1. dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang;
  2. dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan; permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dan tersangka atau pemohon maupun dan pejabat yang berwenang;
  3. pemeriksaan tersebut dilakukan cara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya;
  4. dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur;
  5. putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru.
Pemeriksaan sah atau tidaknya Surat Penghentian Penyidikan Perkara atau SP3 merupakan salah satu lingkup wewenang praperadilan. Pihak penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan permintaan pemeriksaan (praperadilan) tentang sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan. Permintaan tersebut diajukan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya (pasal 1 angka 10 huruf b jo. pasal 78 KUHAP).
Peraturan Perundang-undangan terkait: UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Penyidik KPK bukan hanya dari Polri


Penyidik KPK

Pertanyaan : apakah Penyidik KPK yang bukan berasal dari Polri bisa menyidik perkara korupsi?

UU KPK bersifat khusus atau lex specialis yang bisa mengesampingkan ketentuan-ketentuan maupun undang-undang yang bersifat umum.  Artinya, penyelidik, penyidik, maupun penuntut umum KPK tidak terikat penuh ketentuan dalam KUHP melainkan dengan UU KPK.
"Kalau penyelidik di KUHAP itu untuk tindak pidana umum yang diatur dalam pasal-pasal di KUHP, seperti perkara pembunuhan, pencurian dan lainnya, itu penyelidiknya Polisi. Tetapi kalau tindak pidana khusus, seperti korupsi, pencucian uang, diatur khusus di masing-masing UU nya bisa Kejaksaan, KPK dan Kepolisian sendiri. Jadi penyelidiknya tidak harus polisi,".

Dengan demikian, pihaknya menilai keberadaan penyelidik maupun penyidik KPK dalam menangani perkara Korupsi tetap sah karena diakui dan diatur dalam UU KPK sendiri, kalau KPK bisa mengangkat juga memberhentikan penyelidik, dan penyidik. "Tentunya sah karena sesuai ketentuan Pasal 43 (mengenai penyelidik) dan 45 (mengenai penyidik) UU KPK,".


Rabu, 11 Februari 2015

Takaran bisa dikatakan Ahli

Ukuran dapat dikatakan sebagai ahli  “ahli “ dalam  persidangan berikut ini:

1.     keahlian seseorang harus dibuktikan terlebih dahulu dengan melampirkan curiculum vitae dan sertifikasi akademik secara tertulis yang diperlukan. Dari bukti surat itu, hakim baru dapat menilai apakah seseorang yang dihadirkan di persidangan tersebut bisa dikatakan sebagai ahli atau bukan. Misalnya, untuk menguji apakah foto yang dijadikan barang bukti adalah foto asli atau hasil rekayasa, maka dibutuhkan pendapat seorang ahli. Dalam era teknologi yang sudah sedemikian maju, anak SMA yang tekun dapat mempelajari teknik rekayasa photo digital. Tapi apakah anak itu dapat dikatakan ahli dan sejajar kedudukannya dengan  Perguruan Tinggi yang ada atau tidak? Dalam beberapa perkara sidang di Mahkamah Konstitusi, hakim kadang bertanya kepada ahli sebelumnya: berapa banyak buku yang dia tulis, dan jurnal apa saja yang pernah diterbitkan. Hanya untuk menakar keahlian seseorang.
2.     keahliannya berhubungan dan relevan dengan perkara yang tengah diperiksa. Seorang ahli hukum tata negara yang menulis disertasi tentang pemakzulan Presiden, sangat tidak relevan dihadirkan dalam sidang pengadilan perkara korupsi (pidana). Sebab kadang-kadang, ada upaya generalisasi bahwa semua doktor, semua profesor dan semua ahli hukum tata negara mahluk segala tahu. Ada tekanan pada KUHAP yakni: keahlian khusus. Misalnya dalam praperadilan perkara Budi Gunawan dengan obyek perkara penetapan sebagai tersangka. Apa relevansinya keterangan ahli Margarito Kamis sebagai ahli hukum tata negara dalam perkara ini? Lebih relevan jika menghadirkan Mudzakir atau JE Sahetapi, sebagai ahli hukum pidana. Tapi bila ingin lebih khusus lagi, perkara suap yang menimpa BG bisa jadi tidak relevan dengan keahlian khusus JE Sahetapi yang disertasinya tentang ancaman pidana mati. Atau tinjauan dari sisi ekonomi, dapat menghadirkan Nugroho Sumarjiyanto yang disertasinya khusus tentang teori perilaku penyuapan.
3.     keterangan ahli hanya berdasarkan keahlian dan pengetahuannya. Dalam perkara pidana seperti praperadilan, ahli tidak diperkenankan menafsirkan peraturan perundang-undangan. Karena tafsir itu merupakan domain dari hukum tata negara bukan hukum (acara) pidana. Jika berlandaskan tafsir, keterangan ahli satu dengan yang lain bisa berbeda-beda (bahkan bertolak belakang) dan tidak memberi keyakinan pada hakim.
4.     ahli bukanlah saksi. Keterangan ahli lebih ditekankan pada bidang keahlian khusus yang dimilikinya dan berhubungan dengan perkara yang sedang diperiksa. Keterangan ahli tidak memberi keterangan berdasarkan pengalaman (dilihat, didengar dan dialami sendiri). Seseorang yang dihadirkan menceritakan pengalaman saat membentuk undang-undang bukanlah ahli tetapi saksi. Seperti praperadilan BG, Prof. Romly yang dihadirkan memberi keterangan perihal pembentukan UU KPK pada tahun 2002. Keterangan yang diberikan bukan bermuatan ahli tetapi sebatas saksi.
5.     Keterangan ahli tidak bermuatan dengan alasan sebab akibat dari suatu perkara yang tengah diperiksa. Menguraikan fakta dan kenyataan. Pada dasarnya keterangan ahli suatu bentuk penghargaan dari peradilan atas keahlian khusus yang dimilikinya. Ahli balistik yang dihadirkan akan menjelaskan jika lubang yang ditimbulkan dari tekanan peluru yang berdiameter tertentu, maka berdasarkan pengetahuannya peluru yang digunakan adalah jenis kaliber tertentu. Ahli tidak dapat menilai atau membatah fakta misalnya di tempat kejadian perkara, proyektil peluru yang ditemukan berbeda dengan jenis kaliber tertentu yang diungkap dalam keterangannya.
Sumber : http://hukum.kompasiana.com/2015/02/11/menakar-keterangan-ahli-701140.html

Selasa, 10 Februari 2015

Perampasan Aset (Pengertian) Makalah


Pengertian aset dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “aset” mengandung arti sesuatu yang memiliki nilai tukar; modal; kekayaan.[1]  Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) pasal 499 yang dinamakan kebendaan, yaitu tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik. Sedangkan menurut sifatnya, benda dibedakan menjadi benda bergerak yaitu yang dihabiskan dan tidak dapat dihabiskan, serta benda tidak bergerak baik yang sudah ada ditangan pihak ketiga.[2]  Dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu “Harta kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung.”
Perampasan secara terminologi berasal dari kata “rampas” memiliki makna ambil/dapat dengan paksa (dengan kekerasan).[3] Menurut UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPK), dalam pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa perampasan  dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita. Dan sebagaimana diatur dalam pasal 18 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 dikatakan bahwa perampasan sebagai salah satu bentuk pidana tambahan.
Secara terminologi tentang pihak ketiga dalam sistem hukum pidana tentunya dilihat pada subjek yang terkait, karena dalam hal kedudukan pihak ketiga memiliki banyak orientasi yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan defenisi dan bahkan peranannya pada perkara hukum pidana.
Pada pengertian pihak ketiga yang diatur didalam KUHAP adalah “pihak ketiga yang berkepentingan” meliputi pihak-pihak yang secara langsung maupun tidak menderita kerugian karena dihentikannya penyidikan dan penuntutan, maupun dalam permintaan ganti rugi dan rehabilitasi.
Terkait dengan tindak pidan korupsi dalam modus operandinya, pihak ketiga tentunya berperan penting dalam kegiatannya. Pihak ketiga dalam hal ini bisa sebagai subjek yang turut serta dalam melakukan tindak pidana korupsi. Secara modusnya pelaku korupsi akan mengikut sertakan pihak-pihak lain untuk melakukan upaya penghilangan jejak dan penyelamatan aset hasil kejahatan dari pengintaian pihak berwajib.
Sementara dalam prakteknya terdapat berbagai kemungkinan yang dapat menghalangi penyelesaian mekanisme penindakan seperti itu, contohnya tidak ditemukannya  atau meninggalnya atau  adannya halangan lain yang mengakibatkan pelaku tidak bisa menjalani pemeriksaan dipengadilan, atau tidak ditemukannya bukti yang cukup untuk mengajukan tuntutan ke pengadilan dan sebab-sebab yang lainnya.
Bahwa Penyitaan aset para pelaku korupsi baik yang sudah jatuh ketangan pihak ketiga merupakan langkah antisipatif yang bertujuan untuk menyelamatkan atau mencegah larinya harta kekayaan. Harta kekayaan inilah yang kelak diputuskan oleh pengadilan, apakah harus diambil sebagai upaya untuk pengembalian kerugian keuangan negara atau sebagai pidana tambahan berupa merampas hasil kejahatan.


[1] Kamus Besar bahasa Indonesia, Jakarta; Pusat bahasa Depertemen Pendidkan nasional, 2008, hal 4.
[2] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cetakan 26, Jakarta; Intermasa, 1994, hal. 60.
[3] Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta; Balai Pustaka. 1998. Hal. 451.

Pemulihan Aset (Asset Recovery) oleh Kejaksaan RI



 
Perja No : PER-013/A/JA/06/2014 tentang Pemulihan Aset, jo. Perja No. PER-027/A/JA/10/2014 tentang Pemulihan Aset.

Maksud Pemulihan Aset yaitu meliputi kegiatan penelusuran, pengamanan, pemeliharaan, perampasan dan pengembalian asset yang juga mencakup penghapusan dan pemusnahan asset.
Untuk mewujdukan tata kelola pemerintahan yang baik (good governace), pemulihan asset harus dilaksanakan secara efektif, efesien, tranparan dan akuntabel.
Bahwa penegakan hukm pidana, pada hakekatnya tidak hanya ertujuan menghukum pelaku tindak pidana (kejahatan/pelanggaran) agar menjadi jera atau tidak mengulagi perbuatannya, tetapi bertujuan  memulihkan kerugian yang diderita oleh korban secara finansial akibat dari perbuatan pelaku tersebut, semua ini sesuai asas dominus litis merupakan tugas tanggung jawab kejaksaan.
Kejaksaan sebagai Pengacara Negara/penasehat hukum Negara (soliciur/barrister/government lawyer) mempunyai tugas dan tanggung jawab memberikan pertimbangan hukum, bantuan hukum, pelayanan hukum dan perlindungan hukum serta penegakan hukum atas hak keperdataan Negara atau masyarakat umum dari pihak lain, khususnya terhadap kerugian yang bersifat finansial/materi, yang harus dipulihkan keposisi semula.

Minggu, 08 Februari 2015

Penyitaan


PENYITAAN
 bahan referensi penambah pengetahuan  ttg penyitaan

Esensi fundamental sebagai landasan penerapan “sita” atau “penyitaan”yang perlu diperhatikan paling tidak ada dua tindakan, yaitu “tindakan hukum eksepsional” dan “tindakan perampasan”. Dalam hal “penyitaan” merupakan suatu “tindakan hukum eksepsional”, berarti penyitaan merupakan tindakan hukum yang diambil oleh pengadilan mendahului pemeriksaan pokok.
Istilah “penyitaan” berasal dari terminologi Beslag (bahasa Belanda), dan istilah ini (beslag) juga lazim dipakai dalam bahasa indonesia, namun istilah bakunya ialah kata “sita” atau “penyitaan”.
Beberapa pengertian penyitaan yaitu:
(1) tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat selama tindakan paksa berada ke dalam keadaan penjagaan;
(2) tindakan paksa penjagaan (custody) itu  diberitahukan secara resmi (official)
berdasarkan permintaan pengadilan atau hakim; dan
(3) barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut, berupa barang yang disengketakan, tetapi boleh juga barang yang akan dijadikan sebagai alat pembayaran atas keputusan hutang debitur atau tergugat dengan jalan menjual lelang (exsekutorial verkoop) barang yang disita tersebut.
Tindakan sita jaminan merupakan upaya hukum dan tindakan hukum“pengecualian”. Bahwa tidak selalu proses pemeriksaan perkara harus diikuti dengan tindakan sita jaminan dan sebagai upaya untuk perkara atau mendahului putusan pengadilan. Seringkali penyitaan dilakukan pada saat proses pemeriksaan perkara sedang berjalan. Dengan demikian seolah-olah pengadilan telah menghukum tergugat lebih dulu, sebelum pengadilan sendiri menjatuhkan putusan.
Tindakan penyitaan membenarkan putusan yang belum dijatuhkan. Tegasnya, sebelum pengadilan menyatakan pihak tergugat bersalah berdasarkan putusan, tergugat sudah dijatuhi hukuman berupa penyitaan harta sengketa atau harta kekayaan tergugat. Itu sebabnya, tindakan penyitaan merupakan tindakan hukum yang sangat ekspensional. Pengabulan permohonan penyitaan merupakan tindakan hukum pengecualian, yang penerapannya mesti dilakukan pengadilan dengan segala pertimbangan yang hati-hati sekali.
Tindakan penyitaan harus didukung fakta-fakta yang kuat dan mendasar. Karena itu tindakan penyitaan tidak boleh diterapkan secara serampangan. Jangan sampai terjadi misalnya penyitaan telah diletakkan atas harta kekayaan tergugat, tetapi gugatanternyata ditolak oleh pengadilan.
Kebijakan mengabulkan “sita jaminan”, sejak semula sebaiknya sudah dilandasi oleh bukti-bukti yang kuat tentang akan dikabulkannya gugatan penggugat.
Oleh karena penjatuhan sita (beslag) seolah-olah merupakan pernyataan kesalahan tergugat sebelum putusan dijatuhkan, dengan sendirinya tindakan penyitaan menimbulkan berbagai dampak yang harus dipikul tergugat, antara lain dari segi kejiwaan. Dengan adanya penyitaan maka tentunya telah menempatkan tergugat dalam posisi keresahan dan kehilangan harga diri. Karena di dalam proses persidangan sedang berlangsung, putusan yang akan dijatuhkan belum tentu akan menghukum dan menyalahkan tergugat. Namun dengan adanya penyitaan tersebut, kepercayaan masyarakat terhadap tergugat sudah mulai hilang dan luntur. Itu artinya pengadilan berdampak psikologis.
Dengan memperhatikan akibat-akibat negatif seperti ini, para hakim harus dituntut untuk teliti di dalam menjalankan permohonan sita. Hakim harus menyadari bahwa tindakan penyitaan (sita) tersebut dapat bergerak sangat eksepsional, dan sitamemaksakan kebenaran gugatan, dimana sebelum putusan dijatuhkan kepada tergugat atau sebelum putusan untuk menghukumnya belum mempunyai kekuatan hukum tetap (inkrach), tetapi tergugat telah dihukum dan dinyatakan bersalah dengan jalan menyita harta kekayaannya. Menjamin hak-hak penggugat, andaikata gugatan penggugat dikabulkan karena dimenangkan, maka akan lebih pasti bahwa putusannya itu dapat dilaksanakan dan ia dapat menikmati kemenangannya tersebut. Oleh karena alasan yang eksepsional itulah, maka penerapannya haruslah:
(a) secara bijaksana Majelis Hakim (Pengadilan) mempertimbangkan secara hati-hati disertai dasar alas an yang kuat serta didukung pula oleh fakta-fakta yang mendasar; dan
(b) kebijaksanaan mengabulkan sita jaminan, sejak semula didasarkanoleh adanya bukti yang kuat tentang akan dikabulkannya gugatan penggugat.
Dari segi pelaksanaannya, penyitaan sifatnya terbuka yang umum. Dalam pelaksanaannya:
(1) penyitaan secara fisik dilakukan ditengah-tengah kehidupan masyarakat sekitarnya;
(2) secara resmi disaksikan oleh dua orang saksi maupun oleh kepala desa namun bisa pula disaksikan oleh masyarakat luas;
(3) administratif justisial, dimana penyitaan barang tertentu harus diumumkan dalam buku register kantor yang bersangkutan yang sesuai dengan asas publisitas.
Dengan demikian jelas bahwa tindakan penyitaan berdampak terdapat psikologis yang sangat merugikan nama baik atau kredibilitas seseorang baik sebagai pribadi, apalagi sebagai pelaku bisnis.
Tindakan penyitaan dapat meruntuhkan kepercayaan orang atas bonafilitas korporasi dan bisnis yang dijalankan. Pengaruh buruk tindakan penyitaan dari segi psikologis bukan hanya ditanggung dan menimpa diri pribadi dan bisnis tersita, tetapi berdampak luas kepada keluarga dalam pergaulan sosial-kemasyaraakatan.
Pada hakikatnya tindakan penyitaan merupakan perintah perampasan atas harta sengketa atau harta kekayaan tergugat. Perintah perampasan itu dilakukan oleh pengadilan dalam surat penetapan berdasarkan permohonan  penggugat. Perampasan harta tergugat tersebut adakalanya bersifat permanendan juga temporer (sementara)
Manakala tindakan penyitaan dimaknai sebagai tindakan perampasan berdasarkan perintah hakim, makna perampasan dalam penyitaan tidak boleh diartikan secarasempit dan bersifat mutlak. Karena dengan mengartikannya secara sempit dan mutlak akan dapat menimbulkan penyalahgunaan lembaga sita jaminan.
Penyalah-gunaan ini terus terjadi dalam praktek sebagai akibat dari kelemahan menafsirkan arti “sita jaminan” sebagai perampasan yang mutlak. Tidak demikian halnya bahwa sita atau penyitaan sebagai tindakan-tindakan perampasan harta sengketa atau harta kekayaan tergugat bukan bersifat mutlak terlepas dari hak danpenguasaan serta pengusahaan barang yang disita dari tangan tergugat. Oleh karena itu, agar tidak terjadi kesalahan penafsiran maupun penyalahgunaannya maka perlu diketahui acuan yang tepat dan proposional untuk memberlakukan “barang sitaan”. Acuan yang mesti dipedomani terhadap perlakuan barang sitaan terutama bagi hakim adalah:
a. Sita semata-mata hanya sebagai jaminan. Istilah, maksud dan esensi jaminan,harta yang disita ditunjukkan untuk menjamin gugatan tergugat, agar gugatan itu tidak ilusioner.
b. Hak atas benda sitaan tetap dimiliki tergugat. Sekalipun barang yang disita dirampas atas perintah hakim, hak milik atas barang tersebut masih tetap berada di tangan tergugat sampai putusan dieksekusi. Keliru sekali anggapan sementara pihak-pihak maupun hakim, yang berpendapat sita bersifat melepaskan hak milik tergugat atas barang yang disita sejak tanggal berita acara sita dibuat.
c. Penguasaan benda sitaan tetap dipegang tergugat.
Sejalan dengan acuan yang menegaskan hak milik atas benda sitaan tidak tanggal (lepas) dari kekuasaantergugat, maka penguasaan atas benda sitaan tetap berada ditangantergugat. Maka sungguh keliru praktik hukum yang mengabsahkan pelimpahan benda sitaan berpindah ke tangan penggugat. Penerapan dan praktek hukum yang seperti itu, jelas bertentangan Pasal 197 ayat 9 HIR atau Pasal 212 Rbg.
Penyitaan bisa bersifat permanen, apabila penyitaan kelak dilanjutkan dengan perintah penyerahan kepada Penggugat berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, atau apabila penyitaan dilanjutkan kelak dengan penjualan lelang untuk melunasi pembayaran hutang tergugat kepada penggugat.
Penyitaan yang dilakukan atas harta sengketa atau harta kekayaan tergugat dapat dinyatakan bersifat temporer apabila hakim memerintahkan pengangkatan sita. Perintah pengangkatan sita jaminan yang seperti ini terjadi berdasarkan surat penetapan pada saat proses persidangan mulai berlangsung, dan bisa juga dilakukan hakim sekaligus pada saat menjatuhkan putusan, apabila gugatan penggugat ditolak. Pasal ini memberikan kewenangan kepada hakim atau juru sita untuk menyerahkan penjagaan, penguasaan, dan pengusahaan barang yang disita ditangan penggugat atau dibawah penjagaan pengadilan.
Asset Recovery merupakan hak milik, atau barang yang disita dapat dieksekusi melalui penjualan lelang, jika perkara yang sengketakan merupakan perselisihan hutang-piutang atau tuntutnan ganti rugi berdasarkan Toratau Wanprestasi.
Barang yang menjadi objek sitaan dapat langsung menjadi objek eksekusi, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 214 Rbg, yang menegaskan bahwa setiapbarang yang disita dilarang diperjualbelikan atau dipindahkan tergugat kepada
pihak ketiga atau pihak lain. Dalam hal ini, perbuatan jual-beli merupakan salah satuperbuatan yang dilarang, dimana jual-beli akan batal demi hukum, apabila terlebih dahulu telah didaftarkan dan diumumkan. Dalam kasus seperti ini, sita itu masih tetap menjangkau pihak ketiga atau pihak lain yang ingin memiliki harta sitaan tersebut, sehingga eksekusi dapat dilaksanakan dan tanpa halangan.
Namun dalam hal ini, penggugat harus menjelaskan secara terperinci dan menunjukkan identitas barang yang hendak disita pada saat permohonan sita diajukan pada Ketua Majelis guna menjaga objek eksekusi yang sudah pasti tadi benar-benar ada dan sesuai data di lapangan. Misalnya, penggugat harus menjelaskan letak, ukuran dan batasan-batasannya.
Lebih lanjut adalah penegasan MA memberi kepastian atas objek eksekusi yang apabila telah berketentuan hukum tetap, kemenangan atas penggugat dapat langsung dijamin dengan pasti terhadap adanya barang sitaan tersebut. 
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa tujuan pokok dari tindakan penyitaan (sita) adalah:
(1) untuk melindungi kepentingan penggugat dari itikad buruk tergugat sehingga gugatan menjadi tidak hampa (ilusioner), pada saat putusan setelah berkekuatan hukum tetap; dan
(2) memberi jaminan kepastianhukum bagi Penggugat terhadapkepastian terhadap objek eksekusi, apabila keputusan telah berkekuatan hukum tetap.
Tindakan penyitaan (sita) tidaklah mungkin dapat dilakukan tanpa memenuhi syarat-syarat yang telah ada dan berlaku sesuai peraturan perundang-undangan. Namun kecukupan syarat-syarat tidaklah cukup dan sempurna apabila tidak dibarengi dengan adanya alasan-alasan penyitaan. Pertama-tama syarat penyitaan harus melalui adanya permohonan sita kepada hakim.
Hakim tentunya akan mempelajari permohonan sita tersebut sesuai dengan tata cara pengajuan permohonan yang berlaku. Syarat penyitaan berdasarkan permohonan sita merupakan hal yang mendasar, sebab hakim tidaklah akan menjatuhkan sita apabila tidak ada inisiatif dari pengugat yang mengajukan permohonan sita. Sita berdasarkan permohonan diajukan dalam surat gugatan. Biasanya, dalam suatu permohonan sita diajukan bersama-sama di dalam surat gugatan.
Bentuk dan tata cara pengguna permohonan sita jaminan yang seperti ini dalam praktiknya lazim dijumpai. Penggugat mengajukan permohonan sita secara tertulis dalam bentuk surat gugatan, sekaligus bersamaan dengan pengajuan gugatan pokok.
Pengajuan permohonan sita dalam bentuk ini tidak dapat dipisahkan dari dalil gugatan pokok. Apabila permohonan sita diajukan Kepastian objek eksekusi atas barang sitaan semakin sempurna sesuai dengan penegasan MA yang menyatakan, bila putusan telah berkekuatan hukum tetap maka barang yang disita demi hukum langsung menjadi sita eksekusi. bersamaan di dalam gugatan, perumusan permohonan sita di dalam surat gugatan biasanya mengikuti pedoman yang ada.
Pertama, gugatan sita dirumuskan setelah uraian “posita” atau“dalil gugat”. Dengan perumusan dalil gugat itulah ditentukan layak atau tidaknya diajukan permohonan sita, karena dari perumusan dalil gugat beserta penjelasan mengenai uraian fakta dan peristiwa yang mendukung dalil gugat, akan lebih tepat dan lebih mudah dirumuskan permohonan sita serta alas an-alsan kepentingan penyitaan.
Kedua, permintaan pernyataan sah biasanya diajukan pada “petitum kedua”. Biasanya setelah diuraikan perumusan permohonan sita pada akhir “posita gugat”, permohonan sita itu dipertegas lagi dalam “petitum gugat”, yang berisi permintaan kepada pengadilan supaya sita yang diletakkan atas harta sengketa atau harta kekayaan tergugat, dinyatakan sah dan berharga.
Namun ada kalanya permohonan sita juga diajukan secara terpisah dari pokok perkara. Dalam bentuk permohonan seperti ini, penggugat membuatnya atau menyiapkannya dalam bentuk tersendiri secara terpisah darigugatan pokok perkara. Penggugat dapat mengajukan permohonan sita dalam surat yang lain, bahkan dimungkinkan dan dibolehkan pengajuan permohonan sita tersendiri secara lisan.
Satu hal penting yang harus diperhatikan dalam hal pengajuan sita adalah tenggang waktu pengajuan sita, sampai batas waktu kapan permohonan sita dapat diajukan dan kepada instansi pengadilan mana saja pengajuan sita jaminan yang dibenarkan oleh hukum.
Penentuan tenggang waktu pengajuan permohonan sita diatur dalam Pasal 261 ayat 1 Rbg. Menurut ketentuan perundang- undangan yang berlaku, pengajuan permohonan sita dapat dilakukan: 
1) Selama putusan belum dijatuhkan atau selama belum berkekuatan hukum tetap. Menurut Pasal 261 ayat 1 Rbg, ketentuan tenggang waktu ini yang dibenarkan karena hukum yaitu selama putusan belum dijatuhkan atau selama putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Jadi selama putusan perkara belum diputus oleh hakim atau selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap, masih terbuka hak dan kesempatan untuk mengajukan permohonan sita.
2) Sejak mulai berlangsung pemeriksaan perkara di sidang pengadilan negeri
sampai putusan dijatuhkan. Dalam Pasal 261 ayat 1 Rbg ada ketentuan yang berbunyi “selama putusan belum dijatuhkan”. Makna dan penafsiran kalimat tersebut
Namun di dalam praktiknya, bentuk permohonan sita tersendiri secara lisan jarang terjadi. Tetapi pada hakekatnya, kelangkaan praktek itu bukan berarti dapat melenyapkan hak penggugat untuk mengajukan permohonan sita secara lisan.
3) Atau selama putusan belum dapat dieksekusi. Dalam Pasal 261 ayat 1 Rbg juga memuat ketentuan yang berbunyi “selama putusan belum dapat dieksekusi(dilaksanakan)”. Selama putusan belum dapat dilaksanakan mengandung arti yuridisselama putusan yang bersangkutan belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Berdasarkan ketentuan di atas jelas bahwa permohonan sita dapat dimohonkan ke pengadilan apabila putusan belum dapat dieksekusi, karena putusan tersebut masih belum berkekuatan hukum tetap (inkrach), yang dapat masih dapat dilakukan upaya hukum banding maupun dikasasi. Dalam hubungan ini, kendati undang-undang secara tegas memberi hak dan kewenangan kepada hakim untuk menyita hartakekayaan atau harta terpekara milik tergugat sesuai dengan Pasal 261 Rbg jo. Pasal 206 Rbg, tetapi hakim harus teliti dan cermat didalam pengabulan terhadap permohonan sita. Ini karena sita sangat eksepsional sekali sifatnya. Permohonan sita yang telah dimohonkan selayaknya disempurnakan dengan adanya alasan sita. Sangat mustahil sekali hakim mau mengabulkan sita apabila tidak dibarengi dengan suatu alasan sitayang relevan dan logis, serta kuat. Mengingat sangat eksepsionalnya sifat tindakan penyitaan (sita) ini, maka hakim harus benar-benar mengamati, memperhatikan, serta menimbang alasan sita tersebut dengan cermat dan teliti. Jangansampai permohonan sita itu dikabulkan tanpa mengkaji pengabulan sita dengan alasan yang dibenarkan oleh hukum.
Sebelum permohonan sita dikabulkan hakim, hakim berhak dan berwewenang memeriksa fakta-fakta tentang adanya dugaan atau persangkaan berupa petunjuk-petunjuk pelanggaran hokum (misalnya penggelapan) yang hendak dilakukan tergugat atas barang-barang yang menjadi objek sengketa.
Apabila alasan sita memang telah sesuaidengan aturan-aturan yang berlaku dan telah memenuhi unsur persangkaan hakim bahwa perlu dilakukan sita, maka permohonan sita dapat dikabulkan. Sebaliknya apabila alasan permohonan sita tidak sesuai dengan fakta-fakta, aturan-aturan, dan unsur-unsur penilaian persangkaan hakim, maka sewajarnya permohonan sita tersebut ditolak. Hal ini ditujukan untuk melindungi hak dari tergugat. Walaupun esensi atau alasan utama sita terletak pada “tergugat akan menggelapkan barang yang menjadi objek perkara”, namun perlu diperhatikan pula unsur sita jaminan jangan sampai terlalumerugikan pihak tergugat. Dari ketentuan Pasal 261 ayat 1 Rbg dapat kita lihat tentang batas pengajuan tenggang waktu sita. Namun terkait dengan masalah kewenangan untuk memerintahkan pelaksanaan sita, masih ada silang pendapat di antara praktisi hukum. Pendapat pertama, mutlak menjadi kewenangan Pengadilan Negeri. Menurut pendukung pendapat ini, hanyalah Pengadilan Negeri yang memmpunyai kewenangan atas sita. Di dalam undang-undang tidak ada kewenangan yang diberikan kepada Pengadilan Tinggi (PT) sebagai instansitingkat banding.
Sehubungan dengan pendapat ini, telah dirinci aturan penerapan penyitaan sebagai berikut: 
a) Apabila Pengadilan Negeri (PN) menolak sita, maka Pengadilan Tinggi (PT) tidak berwewenang memerintahkan PN untuk melakukan sita, kecuali apabila PN mencabut permohonan sita, maka PT berwewenang penuh untuk mengabulkan sita dengan cara Universitas Sumatera Utaramembatalkan putusan PN. 
b) Apabila penggugat menganggap perlu dilakukan penyitaan, sedangkan perkara sudah pada tingkat banding, maka permohonan tetap diajukan kepada PN, karena PN berwewenang penuh memutus pengabulan atau permohonan sita. Pendapat kedua, Pengadilan Tinggi (PT) berwewenang memerintah sita.
Menurut Prof. Subekti, Permohonan penyitaan dapat diajukan kepada Pengadilan Tinggi (PT) selama pokok perkaranya belum diputus oleh pengadilan tingkatbanding, dengan alasan yang berpijak pada Pasal 261 Rbg karena di dalamnya terdapat kalimat: “Sebelumputusan memperoleh kekuatan hukum tetap”. Kalimat tersebut” menunjukan “bahwa permohonan sita dapat juga ditujukan kepada PT selama pokok perkaranya belum diputus dalam tingkat banding”. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa permohonan sita hanya boleh dikabulkan dan diletakan terhadap barang-barang yang ditunjuk penggugat. Penunjukan ini diwajibkan terhadap barang yang ditunjuk secara jelas dan pasti, baik mengenai sifat, letak, ukuran yangberkaitan dengan identitas barang.
Jadi, kewajiban penggugat sehubungan dengan penunjukan barang yang diminta untukdisita mengandung unsur: 
(1) menjelaskan letak, sifat, dan ukuran barang; 
(2) mengemukakan surat-surat yang berkenaan dengan identitas barang (bukti surat barang); dan 
(3) penegasan positif status barang adalah milik tergugat.
Pada diri hakim tidak ada kewajiban hukum untuk mencari dan menemukan identitas atau rincian barang yang menjadi objek sita. Hal ini adalah mutlak kewajiban penggugat. Oleh karena itu, sangat mustahil bagi penggugat memintahakim mencari dan menemukan identitas barang yang hendak disita. Oleh karena tindakan penyitaan (sita) adalah untuk kepentingan penggugat maka si penggugat yang mesti menyebut identitasnya secara terang dan pasti.
Di dalam pengajuan gugatan, penggugat harus dapat menunjukan kepada hakim tentang adanya relevansi dan urgensi penyitaan dilakukan dalam perkara yang bersangkutan. Bila ditinjau dari ketentuan Pasal 261 Rbg maupun Pasal 720 Rv, alasan-alasan pokok permintaansita adalah, sebagai berikut: Namun di antara beberapa unsur kewajiban diatas, ada yang berpendapat tidak mutlak penggugat harus dapat menunjukan atau mengajukan surat identitas atau surat bukti  barang.Menurut praktek yang sudah ada, dianggap cukup bila penggugat telah mampu menjelaskan unsur, sifat , letak, dan ukurannya, ditambah dengan unsur penegasan yang positif bahwa barang itu milik tergugat atau setidak- tidaknya dalam kekuasan tergugat.Intinya adalah penggugat tidak boleh menyebutkan barang objek sita secara umum, meskipun Pasal 1311 KUH Perdata menegaskan segala harta kekayaan debitur menjadi tanggungan untuk membayar utangnya.
a. Adanya kekhawatiran atau persangkaan bahwa tergugat berusaha mencari akal guna menggelapkan atau mengasingkan harta kekayaannya, dimana dilakukan selama proses pemeriksaan perkara berlangsung.
b. Kekhawatiran atau persangkaan itu harus nyata dan mempunyai sifat yang objektif, dimana: 1) Penggugat harus mampu menunjukan fakta-fakta tentang adanya langkah-langkah tergugat untuk menggelapkan atau mengasingkan harta kekayaannya, selama proses pemeriksaan perkara berlangsung. 2) Sekurangkurangnya, penggugat dapat menunjukan adanya indikasi objektif tentang adanya upaya untuk menghilangkan atau mengasingkan barang-barangnya guna menghindari isi gugatan penggugat. 3) Sesuai dengan pendapat Prof. Supomo yang menjelaskan dalam peradilan perdata tugas hakim adalah mempertahankan tata hukum perdata.
Hakim harus mampu melihat bahwa seandainya sita tidak diajukan akan menimbulkan kerugian dari pihak penggugat. Hal tersebut di atas harus diperkuat dengan eratnya isi gugatan dengan penyitaan, yang apabila penyitaan tidak dilakukan maka timbul kerugian dari pihak penggugat. Dengan demikian, penggugat tidak dibenarkan mendasarkan kekhawatiran dan persangkaan secara pribadi saja terhadap tergugat untuk mengajukan sita. Berdasarkan Pasal 261 Rbg atau Pasal720 Rv, alasan dapat dikatakan objektif apabila dilengkapi dengan fakta-fakta atau petunjuk-petunjuk yang nyata. Hal ini diharuskan karena hakim dapat menolak permohonan sita apabila alasan sita tidak kuat. Karenamenurut undang- undang, yang berhak menilai alasan sita adalah hakim. Jadialasan sita harus dapat benar-benar meyakinkan hakim. Semua alasan-alasan yang diangkat oleh penggugat pada akhirnya untuk kepentingan tergugat sendiri agar haknya terjamin sekiranya gugatannya dikabulkan nanti, dan telah berkekuatan hukum tetap untuk dilaksanakan.



Suber : http://www.ppatk.go.id/files/PEMULIHANASET_ASSETRECOVERY_DENGANMENYITASETILEGAL_PAPER_EDINST_10JUNI20130.pdf