Kamis, 26 Maret 2015

Memiliki Integritas pasti jauh dari kemunafikan


Integritas berhubungan dengan dedikasi atau pengerahan segala daya dan upaya untuk mencapai satu tujuan. Integritas ini yang menjaga seseorang supaya tidak keluar dari jalurnya dalam mencapai sesuatu. Seorang pemimpin yang berintegritas, tidak akan mudah korupsi atau memperkaya diri dengan menyalahgunakan wewenang. Seorang pengusaha yang berintegritas tidak akan menghalalkan segala cara supaya usahanya lancar dan mendapatkan keuntungan tinggi.
Orang yang memiliki integritas lebih menyukai proses yang benar untuk menghasilkan sesuatu yang benar. Hasil tidak menjustifikasi proses dan proses tidak menjustifikasi hasil, keduanya harus berjalan dengan baik dan benar. Orang yang berintegritas itu anti jalan pintas, apalagi mendapakan sesuatu dengan cara meretas. Mereka adalah lawan dari orang-orang yang munafik. Sementara orang munafik bersikap tidak sama dengan kata-kata, orang berintegritas melakukan hal sesuai dengan yang ia katakan. Silat lidah tak berlaku bagi orang yang memiliki integritas karena ia adalah orang yang mengatakan bisa jika memang bisa dan mengatakan tidak bisa jika memang ia tidak mampu.
Pemimpin yang memiliki integritas hanya akan berpikir bahwa dirinya itu melayani siapa saja yang dipimpinnya, bukan sebaliknya. Sedangkan seorang pengikut yang memiliki integritas berpikir bahwa dirinya harus melayani pemimpin selama pemimpin itu benar sesuai nilai prinsip dan moral. Dengan begitu akan terjadi pelayanan dua arah dimana akan menunjang pembangunan yang berkelanjutan. Pemimpin yang melayani pengikut bisa menjadi adil. Hal ini membuat pengikutnya senang dan mengikuti apa yang diperintahkan karena mereka yakin bahwa pemimpin tersebut memiliki integritas dan lebih banyak benar.
Makna integritas :
1.     Integritas berarti komitmen dan loyalitas. Komitmen adalah suatu janji pada diri sendiri ataupun orang lain yang tercermin dalam tindakan-tindakan seseorang. Seseorang yang berkomitmen adalah mereka yang dapat menepati sebuah janji dan mempertahankan janji itu sampai akhir, walau pun harus berkorban. Faktor gagal dalam komitmen mulai dari keyakinan yang goyah, gaya hidup yang tidak benar, pengaruh lingkungan, hingga ketidakmampuan mengatasi berbagai persoalan kehidupan. Gagal dalam komitmen menujukkan lemahnya integritas diri.
2.     Integritas berarti tanggung jawab. Tanggung jawab adalah tanda dari kedewasaan pribadi. Orang yang berani mengambil tanggung jawab adalah mereka yang bersedia mengambil risiko, memperbaiki keadaan, dan melakukan kewajiban dengan kemampuan yang terbaik. Peluang menuju sukses terbuka bagi mereka. Orang yang melarikan diri dari tanggung jawab merasa seperti sedang melepaskan diri dari sebuah beban (padahal tidak demikian). Semakin kita lari dari tanggung jawab, semakin kita kehilangan tujuan dan makna hidup. Kita akan semakin merosot, merasa tidak berarti dan akhirnya menjadi pecundang (penghasut).
3.     Integritas berarti dapat dipercaya, jujur dan setia. Kehidupan kita akan menjadi dipercaya, apabila perkataan kita sejalan dengan perbuatan kita; tentunya dalam hal ini yang kita pandang baik atau positif.
4.     Integritas berarti konsisten. Konsisten berarti tetap pada pendirian. Orang yang konsiten adalah orang yang tegas pada keputusan dan pendiriannya tidak goyah. Konsisten bukan berarti sikap yang keras atau kaku. Orang yang konsisten dalam keputusan dan tindakan adalah orang yang memilih sikap untuk melakukan apa yang benar dengan tidak bimbang, karena keputusan yang diambil beradasrkan fakta yang akurat, tujuan yang jelas, dan pertimbangan yang bijak. Selalu ada harga yang harus dibayar untuk sebuah konsistensi dimulai dari penguasaan diri dan sikap disiplin.

5.     Berintegritas berarti menguasai dan mendisiplin diri. Banyak orang keliru menggambarkan sikap disiplin sehingga menyamakan disiplin dengan bekerja keras tanpa istirahat. Padahal sikap disiplin berarti melakukan yang seharusnya dilakukan, bukan sekedar hal yang ingin dilakukan. Disiplin mencerminkan sikap pengendalian diri, suatu sikap hidup yang teratur dan seimbang.
6.     Berintegritas berarti berkualitas. Kualitas hidup seseorang itu sangat penting. Kualitas menentukan kuantitas. Bila kita berkualitas maka hidup kita tidak akan diremehkan. Kitab Suci menuliskan dengan gamblang tentang kehidupan para tokoh Alkitab, ada yang gagal ada yang berhasil. Integritas hidup berkualitas adalah kehidupan yang membiarkan orang luar menilai diri kita. Pada saat menyenangkan ataupun pada saat tidak menyenangkan.

Rabu, 25 Maret 2015

Memiliki Integritas pasti jauh dari kemunafikan



Integritas berhubungan dengan dedikasi atau pengerahan segala daya dan upaya untuk mencapai satu tujuan. Integritas ini yang menjaga seseorang supaya tidak keluar dari jalurnya dalam mencapai sesuatu. Seorang pemimpin yang berintegritas, tidak akan mudah korupsi atau memperkaya diri dengan menyalahgunakan wewenang. Seorang pengusaha yang berintegritas tidak akan menghalalkan segala cara supaya usahanya lancar dan mendapatkan keuntungan tinggi.
Orang yang memiliki integritas lebih menyukai proses yang benar untuk menghasilkan sesuatu yang benar. Hasil tidak menjustifikasi proses dan proses tidak menjustifikasi hasil, keduanya harus berjalan dengan baik dan benar. Orang yang berintegritas itu anti jalan pintas, apalagi mendapakan sesuatu dengan cara meretas. Mereka adalah lawan dari orang-orang yang munafik. Sementara orang munafik bersikap tidak sama dengan kata-kata, orang berintegritas melakukan hal sesuai dengan yang ia katakan. Silat lidah tak berlaku bagi orang yang memiliki integritas karena ia adalah orang yang mengatakan bisa jika memang bisa dan mengatakan tidak bisa jika memang ia tidak mampu.
Pemimpin yang memiliki integritas hanya akan berpikir bahwa dirinya itu melayani siapa saja yang dipimpinnya, bukan sebaliknya. Sedangkan seorang pengikut yang memiliki integritas berpikir bahwa dirinya harus melayani pemimpin selama pemimpin itu benar sesuai nilai prinsip dan moral. Dengan begitu akan terjadi pelayanan dua arah dimana akan menunjang pembangunan yang berkelanjutan. Pemimpin yang melayani pengikut bisa menjadi adil. Hal ini membuat pengikutnya senang dan mengikuti apa yang diperintahkan karena mereka yakin bahwa pemimpin tersebut memiliki integritas dan lebih banyak benar.
Makna integritas :
1.     Integritas berarti komitmen dan loyalitas. Komitmen adalah suatu janji pada diri sendiri ataupun orang lain yang tercermin dalam tindakan-tindakan seseorang. Seseorang yang berkomitmen adalah mereka yang dapat menepati sebuah janji dan mempertahankan janji itu sampai akhir, walau pun harus berkorban. Faktor gagal dalam komitmen mulai dari keyakinan yang goyah, gaya hidup yang tidak benar, pengaruh lingkungan, hingga ketidakmampuan mengatasi berbagai persoalan kehidupan. Gagal dalam komitmen menujukkan lemahnya integritas diri.
2.     Integritas berarti tanggung jawab. Tanggung jawab adalah tanda dari kedewasaan pribadi. Orang yang berani mengambil tanggung jawab adalah mereka yang bersedia mengambil risiko, memperbaiki keadaan, dan melakukan kewajiban dengan kemampuan yang terbaik. Peluang menuju sukses terbuka bagi mereka. Orang yang melarikan diri dari tanggung jawab merasa seperti sedang melepaskan diri dari sebuah beban (padahal tidak demikian). Semakin kita lari dari tanggung jawab, semakin kita kehilangan tujuan dan makna hidup. Kita akan semakin merosot, merasa tidak berarti dan akhirnya menjadi pecundang (penghasut).
3.     Integritas berarti dapat dipercaya, jujur dan setia. Kehidupan kita akan menjadi dipercaya, apabila perkataan kita sejalan dengan perbuatan kita; tentunya dalam hal ini yang kita pandang baik atau positif.
4.     Integritas berarti konsisten. Konsisten berarti tetap pada pendirian. Orang yang konsiten adalah orang yang tegas pada keputusan dan pendiriannya tidak goyah. Konsisten bukan berarti sikap yang keras atau kaku. Orang yang konsisten dalam keputusan dan tindakan adalah orang yang memilih sikap untuk melakukan apa yang benar dengan tidak bimbang, karena keputusan yang diambil beradasrkan fakta yang akurat, tujuan yang jelas, dan pertimbangan yang bijak. Selalu ada harga yang harus dibayar untuk sebuah konsistensi dimulai dari penguasaan diri dan sikap disiplin.

5.     Berintegritas berarti menguasai dan mendisiplin diri. Banyak orang keliru menggambarkan sikap disiplin sehingga menyamakan disiplin dengan bekerja keras tanpa istirahat. Padahal sikap disiplin berarti melakukan yang seharusnya dilakukan, bukan sekedar hal yang ingin dilakukan. Disiplin mencerminkan sikap pengendalian diri, suatu sikap hidup yang teratur dan seimbang.
6.     Berintegritas berarti berkualitas. Kualitas hidup seseorang itu sangat penting. Kualitas menentukan kuantitas. Bila kita berkualitas maka hidup kita tidak akan diremehkan. Kitab Suci menuliskan dengan gamblang tentang kehidupan para tokoh Alkitab, ada yang gagal ada yang berhasil. Integritas hidup berkualitas adalah kehidupan yang membiarkan orang luar menilai diri kita. Pada saat menyenangkan ataupun pada saat tidak menyenangkan.

Leasing



 
Dasar hukum leasing : SKB Menkeu dan Memperin dan Mendag No. 122/MK/2/1974, No. 32/M/SK/1974, No. 30/KPK/I/1974 tanggal 7 Pebruari 1974 tentang Perjanjian Leasing. SK MenKeu No. 650/MK/IV/5/1974 tentang Penegasan Ketentuan Pajak Leasing dan besarnya Bea materei terhadap usaha leasing.
Pengertian leasing menuirut Keputusan Menteri Keuangan RI No. 1169/KMK/.01/1991 adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (financial lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan lesee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala
Pihak dalam perjanjian lease :
1.     Lessor adalah perusahan atau pihak yang memberikan jasa pembiayaan kepada lessee dalam bentuk barang modal.
2.     Lesse adalah perusahaan atau pihak yang memperoleh pembiayaan dalam bentuk barang modal dari lessor.
3.     Supplier adalah perusahaan atau pihak yang mengadakan atau menyediakan barang untuk dijual kepada lesse dengan pembayaran secara tunai oleh lessor.
4.     Bank, Pihak yang tidak terlihat secara langsung dalam perjanjian leasing, tetapi menyediakan dana bagi Lessor dan Supplier.
Perjanjian leasing merupakan perjanjian timbal balik, karena menimbulkan hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak, meskipun ketentuan dalam perjanjian telah ditentukan oleh salah satu pihak yaitu lessor dalam suatu formulir yang siap ditanda tangani oleh lessee, oleh karenanya perjanjian leasing juga merupakan perjanjian standar.
Didalam perjanjian Leasing memuat :
-      Hubungan jangka waktu lease dan masa kegunaan benda lease tersebut.
-      Hak milik benda lease ada pada leasor
-      Benda yang menjadi objek leasing adalah benda-benda yang digunakan dalam suatu perusahaan.
Obyek perjanjian leasing adalah barang modal dan harga leasing. Barang modal adalah setiap aktiva tetap yang berwujud termasuk tanah sepanjang diatas tanah tersebut melekat aktiva tetap berupa bangunan (plant) dan tanah serta aktiva dimaksud merupakan satu kesatuan kepemilikan, yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun dan digunakan secara langsung untuk menghasilkan atau meningkatkan ataupun memperlancar produksi barang atau jasa oleh lessee (Pasal 1 b. Kepmenkeu RI No.1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (leasing).
Unsur perjanjian leasing, yaitu:
-      Pihak Lessor, yaitu pihak yang memiliki suatu benda yang bersedia memberikan hak pakai atas benda-benda miliknya kepada pihak lain untuk suatu jangka waktu tertentu, dengan pembayaran sejumlah uang yang disepakati bersama.
-      Pihak Lessee, yaitu pihak yang bermaksud untuk memakai benda milik orang lain untuk jangka waktu tertentu, dengan pembayaran sejumlah uang yang besarnya telah disepakati bersama.
-      Ada benda yang menjadi obyek perjanjian tersebut.
-      Ada suatu jangka waktu tertentu.
-      Ada sejumlah uang yang merupakan harga lease yang besarnya telah disepakati bersama.

Mekanisme Perjanjian leasing sebaga berikut :
1.     Lesse bebas memilih dan menentukan peralatan yang dibutuhkan, mengadakan penawaran harga dan menunjuk supplier peralatan yang dimaksudkan.
2.     Setelah lesse mengisi formulir permohonan lease, maka dikirimkan kepada lessor disertai dokumen lengkap.
3.     Lessor mengevakuasi kelayakan kredit dan memutuskan untuk memberikan fasilitas lease dengan syarat dan kondisi yang disetujui lesse (lama kontrak pembayaran sew lease), setelah ini maka kontrak lease dapat ditandatangani.
4.     Pada yang sama, lesse dapat menandatangani kontrak asuransi untuk peralatan yang dilease dengan perusahaan asuransi yang disetujui lessor, seperti yang tercantum dalam kontrak lease. Antara lessor dan perusahaan asuransi terjalin perjanjian kontrak utama. Kontrak pembelian peralatan akan ditandatangani lessor dengan supplier peralatan tersebut.
5.     Supplier dapat mengirimkan peralatan yang dilease ke lokasi lesse. Untuk mempertahankan dan memelihara kondisi peralatan tersebut, supplier akan menandatangani perjanjian purna jual.
6.     Lessee menandatangani tanda terima peralatan dan menyerahkan kepada supplier.
7.     Supplier menyerahkan tanda terima (yang diterima dari lesse), bukti pemilikan dan pemindahan pemilikan kepada supplier.
8.     Lessor membayar harga peralatan yang dilease kepada supplier.
9.     Lesse membayar sewa lease secara periodik sesuai dengan jadwal pembayaran yang telah ditentukan dalam kontrak lease.

Kegunaan Leasing
-      Menghemat modal; Pemanfaatan sistem leasing memungkinkan pihak lessee menghemat modal kerja, karena untuk memulai produksinya, lessee tidak harus menyediakan uang dalam jumlah besar untuk membeli mesin-mesin, dan sebagainya.
-      Sangat luwes; Keluwesan ini menyangkut berbagai aspek antara lain struktur kontrak, besarnya sewa, jangka waktu kontrak serta niali sisa atau nilai residu.
-      Sebagai sumber dana; Sumber dana diciptakan usaha leasing adalah dari jenis sale and lease back.
-      Menguntungkan cash flow; Keluwesan dalam penentuan besarnya sewa akan menguntungkan cash flow lessee.
-      Menciptakan keuntungan dari pengaruh inflasi; Pembayaran sewa bersifat tetap dan dalam jangka menengah atau panjang.
-      Sarana kredit jangka menengah dan panjang; Leasing jenis lease and lease back merupakan sarana kredit jangka menengah dan panjang tersebut.  
-      Dokumentasi sederhana. Dokumentasi leasing biasanya sudah standar, sehingga untuk melakukan transaksi leasing berikutnya tinggal mengikuti dokumentasi yang sudah ada.
-      Berakhirnya perjanjian leasing dapat terjadi secara normal dan tidak normal. Perjanjian leasing berakhir secara normal jika kewajiban-kewajiban semua pihak telah dilaksanakan sebagaimana mestinya menurut perjanjian leasing, yaitu sejak lessee melunasi pembayaran uang sewa terakhir ditambah biaya-biaya lain jika ada. Sedangkan suatu perjanjian leasing berakhir secara tidak normal apabila jangka waktu berlakunya perjanjian leasing belum berakhir, tetapi kewajiban salah astu pihak terhenti karena adanya suatu peristiwa tertentu. Perjanjian leasing berakhir secara tidak normal baik karena consensus, wanprestasi maupun overmacht.

Senin, 23 Maret 2015

Jaminan Fidusia (UUJF)


Pengertian Fidusia menurut Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang jaminan fidusia, pada Pasal 1 angka 1 menyatakan : “Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.” Kemudian pada Pasal 1 angka 2 menyatakan : Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.
Defenisi yang disebutkan di atas memperjelas perbedaan antara Fidusia dan jaminan Fidusia, dimana fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan dan Jaminan fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia, hal ini menunjukkan bahwa pranata jaminan fidusia yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999.
Hak jaminan dalam fidusia merupakan hak kebendaan, dimana kreditur memperjanjikan suatu jaminan khusus atas suatu atau sekelompok benda tertentu yang didahulukan dalam mengambil pelunasan atas hasil eksekusi tersebut, atau disebut juga sebagai hak preferen dan dalam undang-undang fidusia digunakan istilah “hak yang diutamakan” (Pasal 1 angka 2 UUJF) dan “hak yang didahulukan” (Pasal 27 UUJF).
Sifat dari hak jaminan dapat dibedakan yakni jaminan kebendaan dan jaminan perseorangan. Hak kebendaan memberikan kekuasaan langsung terhadap bendanya dan bertujuan memberikan hak verhaal (hak untuk meminta pemenuhan piutangnya kepada di kreditur) terhadap hasil penjualan benda-benda tertentu untuk pemenuhan piutangnya, hak kebendaaan ini mempunyai ciri khas dapat dipertahankan (dimintakan pemenuhan) terhadap siapun juga, yaitu terhadap mereka yang memperoleh hak, baik berdasarkan atas hak yang umum maupun yang khusus, juga terhadap pihak kreditur dan pihak lawannya dan selalu mengikuti bendanya dan haknya tetapi juga kewenangan untuk menjual bendanya dan eksekusi (droit de suite; zaaksgevolg) sedangkan hak perorangan menimbulkan hubungan langsung antara perorangan yang satu dengan yang lainnya yang bertujuan memberikan hak verhaal kepada kreditur terhadap benda keseluruhan dari debitur untuk memperoleh pemenuhan dari piutangnya.
Sifat dari perjanjian fidusia adalah assessoir (perjanjian buntutan), maksudnya perjanjian fidusia ini tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi mengikuti/ membuntuti perjanjian lainnya yang merupakan perjanjian pokok yaitu perjanjian hutang piutang.
Benda yang menjadi objek Jaminan fidusia dapat dirumuskan dalam pengertian yang luas,  (Pasal 3 UUJF ditafsirkan secara argumentum a contrario), meliputi :
1.     Benda bergerak yang berwujud;
2.     Benda bergerak tidak berwujud, termasuk piutang;
3.     Benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah;
4.     Benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan Hipotek sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan kitab Undang- Undang hukum dagang.
Benda bergerak adalah benda yang dimaksud dalam KUH Perdata dan setelah berlakunya UUPA memungkinkan status rumah/bangunan yang dipisahkan secara secara horizontal, yaitu memiliki bangunan diatas tanah orang lain yang mempunyai ciri sebagai berikut ;
1.     Bangunan dibangun oleh pemilik dengan bahan-bahannya milik sendiri diatas tanah orang lain.
2.     Hak membangun didasarkan atas persetujuan dengan pemilik tanah.
3.     Bangunan dianggap dan diperlakukan sebagai “benda bergerak”.
4.     Tanah dan bangunan merupakan dua benda yang terpisah (zelfstandige zaak) dan dapat dialihkan.
5.     Hubungan pemilik tanah pemilik bangunan diatur didalam perjanjian sewa.
6.     Jika hak sewa berakhir, pemilik bangunan tidak memperoleh ganti rugi. Pemilik tanah tidak wajib mengambil alih bangunan dan karena itu pemilik bangunan wajib membongkar bangunan itu.
7.     Pemutusan sewa harus seizin pejabat yang berwenang.
Jaminan Fidusia hapus secara hukum disebabkan oleh hal-hal tertentu, hal ini dapat kita lihat pada Pasal 25 angka (1) Undang-Undang Fidusia berbunyi jaminan fidusia hapus karena hal-hal sebagai berikut :
a)     Hapusnya hutang yang dijamin dengan fidusia
b)    Pelepasan hak atas jaminan Fidusia oleh penerima fidusia atau
c)     Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
Jaminan fidusia adalah pranata jaminan dan bahwa pengalihan hak kepemilikan dengan cara constitutum possessorium adalah semata-mata untuk memberi agunan dengan hak yang didahulukan kepada penerima fidusia, maka sesuai dengan Pasal 33 UUJF, setiap janji yang memberi kewenangan kepada penerima fidusia untuk memiliki benda yang menjadi objek jaminan fidusia apabila debitur cidera janji, batal demi hukum. Ketentuan tersebut dibuat untuk melindungi pemberi fidusia, terutama jika objek jaminan fidusia melebihi besarnya utang yang dijamin, jika hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitor tetap bertanggungjawab atas utang yang belum terbayar.



Minggu, 22 Maret 2015

Penyelesaian Barang Rampasan


Tugas dan Wewenang Kejaksaan   Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan  negara secara merdeka di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan  undang-undang, jadi antara kejaksaan dengan kekuasaan negara di bidang penuntutan  serta kewenangan lain tidak terpisahkan satu sama lain.
Berdasarkan Pasal 30 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan  Republik Indonesia, maka tugas dan wewenang Kejaksaan adalah:    
-      Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: 
a)     melakukan penuntutan; 
b)     melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah  memperoleh kekuatan hukum tetap; 
c)     melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,  putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; 
d)     melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan  undang-undang;
e)     melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan  pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam  pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. 
-      Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus  dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama  negara atau pemerintah. 
-      Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut  menyelenggarakan kegiatan: 
a.     peningkatan kesadaran hukum masyarakat; 
b.     pengamanan kebijakan penegakan hukum; 
c.     pengawasan peredaran barang cetakan; 
d.     pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat  dan negara; 
e.     Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; 
f.      penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.   
Di samping tugas dan wewenang tersebut dalam UU No. 16 Tahun 2004  tentang Kejaksaan Republik Indonesia, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang  lain berdasarkan undang-undang, di antaranya Kejaksaan membina hubungan kerja  sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi  lainnya. Kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan  wewenang Kejaksaan itu harus ditetapkan dan dikendalikan oleh Jaksa Agung. 
Penataan Barang Bukti  Barang bukti dalam proses persidangan mempunyai fungsi untuk memperkuat  keyakinan hakim dalam menilai kebenaran material dan formal atas kesalahan, Pasal 32, 33 dan Pasal 35 UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik  Indonesia, lihat juga Pasal 38 dan Pasal 39 yang menyatakan untuk meningkatkan kualitas kinerja  kejaksaan, Presiden dapat membentuk sebuah komisi yang susunan dan kewenangannya diatur oleh  Presiden. Kejaksaan berwenang menangani perkara pidana yang diatur dalam Qanun sebagaimana  dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi  Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 
Untuk menjaga agar sifat, jumlah dan atau bentuk barang bukti tidak berubah  yang dapat menyulitkan Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan kesalahan  terdakwa, maka mekanisme penerimaan, penyimpanan dan penataan barang bukti  tersebut harus tersusun. 
Setiap penyerahan barang bukti/temuan secara pisik oleh penyidik kepada  kejaksaan diterima oleh:  
1.     Kejaksaan Tinggi oleh Kasi Penuntutan Tingkat Pidana Para Tindak Pidana  Khusus. 
2.     Kejaksaan Negeri oleh Kasi Tindak Pidana Umum/Kasi Tindak Pidana Khusus. 
3.     Cabang Kejaksaan Negeri oleh Kasubsi Tindak Pidana. 
Adapun prosedur penerimaan barang bukti tersebut adalah: 
a)    Barang bukti yang akan diterima oleh petugas wajib terlebih dahulu secara pisik  dicocokkan dengan daftar yang terdapat dalam berkas perkara, dengan disaksikan  oleh tersangka/terdakwa dan penyidik.  
b)    Selain wajib mencocokkan barang bukti dengan daftar barang bukti, penerimaan  barang bukti juga meneliti jumlah satuan berat, kadar nilai barang bukti, serta bagian I angka 1 Lampiran Keputusan Jaksa Agung R.I. Nomor: KEP.112/JA/19/1989  tentang Mekanisme Penerimaan Penyimpanan Dan Penataan Barang Bukti.  Bagian I Lampiran Keputusan Jaksa Agung R.I. Nomor: KEP.112/JA/19/1989 tentang  Mekanisme Penerimaan Penyimpanan Dan Penataan Barang Bukti.
-      Hasil penelitian dituangkan dalam Berita Acara Penelitian Barang Bukti  (B-1) dan ditandatangani bersama oleh yang menyerahkan dan yang meneliti/  menerima.  Terhadap barang bukti yang memerlukan penelitian khusus dari ahli tertentu  antara lain seperti logam mulia, perhiasan, narkotika dan sebagainya, jika tidak  dapat diselesaikan dengan segera, sebelum dibungkus dan disegel, dibuatkan  Tanda Terima Sementara yang memuat perincian berat, jumlah, jenis, ciri dan  sifat khusus. 
-      Setelah barang bukti dicocokkan dengan daftar barang bukti atau setelah diteliti  oleh pejabat yang berwenang untuk itu segera dibukukan dalam Register Barang  Bukti (RB-1) diberikan label barang bukti (B-5) dan dicatat dalam Kartu Barang  Bukti (B-4) kemudian disimpan dalam gudang barang bukti. 
-      Setelah ditunjuk Jaksa Penuntut Umum (Pemegang PK-5A) ia wajib meneliti  kembali pisik barang bukti seperti tersebut dalam daftar barang bukti dengan  disaksikan oleh Petugas Barang Bukti Penerima Barang Bukti. Hasil penelitian agar dituangkan dalam Berita Acara Peneltiian Barang Bukti (B-1)  dan ditandatangani oleh Jaksa Penuntut Umum dan Petugas Penerima Barang  Bukti. 
-      Barang bukti yang diterima di Kejaksaan Tinggi harus diregister tersendiri oleh  Kasi Penuntutan Tindak Pidana Umum atau Kasi Penuntutan Tindak Pidana  Khusus sesuai dengan jenis perkaranya dan selanjutnya segera disampaikan  kepada Kejaksaan Negeri yang bersangkutan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari.  Perkara dan barang bukti  wajib meneliti kembali barang bukti tersebut dan hasilnya dituangkan dalam  Berita Acara Penelitian (B-1). 
-      Setelah selesai melaksanakan penelitian barang bukti sebagaimana dimaksud,  barang bukti tersebut dibungkus kembali dengan menggunakan kertas  pembungkus warna coklat, dilak dan dicap dengan cap segel Kejaksaan serta  dibuatkan Berita Acara Pembungkus dan Penyegelan Barang Bukti.  Setelah barang bukti diregister, diberi label barang bukti dan diisi Kartu Barang  Bukti, maka barang bukti dengan Berita Acara Penitipan diserahkan kepada  pemegang barang bukti untuk disimpan.  
-      Barang bukti dapat dititipkan/dikembalikan kepada mereka, dari siapa benda  itu disita, atau kepada mereka yang paling berhak, karena: 
1)      Kepentingan penuntutan tidak diperlukan lagi (Pasal 46, 194 KUHAP).                                                    Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Pelaksanaan Kitab Undang-Undang  Hukum Acara Pidana, dinyatakan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara selanjutnya disebut  RUPBASAN adalah tempat benda yang disita oleh Negara untuk keperluan proses peradilan (Pasal 1  angka 3).
2)      Di tiap Ibukota Kabupaten/Kotamadya dibentuk RUPBASAN oleh Menteri, dan apabila  dipandang perlu Menteri dapat membentuk RUPBASAN di luar tempat sebagaimana dimaksud yang  merupakan cabang RUPBASAN dengan Kepala Cabang RUPBASAN diangkat dan diberhentikan oleh  Menteri (Pasal 26).
Selanjutnya dalam Pasal 27 dinyatakan:  
1)     Di dalam RUPBASAN ditempatkan benda yang harus disimpan untuk keperluan barang bukti  dalam pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan  termasuk barang yang dinyatakan dirampas berdasarkan putusan hakim.  
2)     Dalam. hal benda sitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mungkin dapat disimpan  dalam RUPBASAN, maka cara penyimpanan benda sitaan tersebut diserahkan kepada Kepala  RUPBASAN.  
3)     Benda sitaan disimpan di tempat RUPBASAN untuk menjamin keselamatan dan keamanannya.  
4)     Kepala RUPBASAN tidak boleh menerima benda yang harus disimpan untuk keperluan barang  bukti dalam pemeriksaan, jika tidak disertai surat penyerahan yang sah, yang dikeluarkan oleh  pejabat yang bertanggungjawab secara juridis atas benda sitaan tersebut.  Sangat dibutuhkan oleh pemiliknya (perhatikan penjelasan dari Pasal 194 ayat (2)  KUHAP).
-      Pengembalian barang bukti kepada orang yang berhak menerimanya  dibuatkan Berita Acara Pengembalian yang ditandatangani Jaksa Penuntut Umum  dan Penerima Barang Bukti. Selain dibuatkan Berita Acara Pengembalian pemegang  barang bukti dari penerima barang bukti wajib menandatangani Kartu Barang Bukti  setelah ia menerima kembali barangnya. 
-      Terhadap barang bukti yang dikembalikan tetapi tidak diambil, maka  pemilik  atau yang berhak berdasarkan Keputusan Pengadilan dipanggil kembali secara sah  dan diberitahukan melalui mass media dan/atau diumumkan melalui Kantor  Pengadilan Negeri, Kecamatan, Kelurahan dan lain-lain.  Sesudah 6 (enam) bulan sejak putusan menjadi tetap tidak diambil oleh yang  berhak menerimanya, barang bukti dilelang berdasarkan kepada Peraturan  Pemerintah Nomor 11 Tahun 1947 jo Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1948. 
-      Barang bukti yang tidak mempunyai nilai ekonomis, sedangkan biaya lelang lebih  tinggi dari barangnya atau diperkirakan tidak ada peminatnya, supaya barang bukti  tersebut diusulkan kepada Jaksa Agung untuk dimanfaatkan bagi:
a.     Kepentingan  Dinas Kejaksaan,
b.     Badan-badan Sosial, dan
c.     Korban Bencana Alam.
-      Selanjutnya,  barang bukti yang rusak sehingga tidak mungkin dilelang atau dimanfaatkan supaya  diusulkan kepada Jaksa Agung untuk dimusnahkan. Selanjutnya, barang bukti itu dapat serahkan kembali bila diminta pengadilan.  Berkas perkara yang dilimpahkan ke Pengadilan, bila barang buktinya diminta oleh  Pengadilan, agar diserahkan (Pasal 44 ayat (2) KUHAP) dengan dibuat Berita Acara  Penyerahan.
Demikian pula bila perkara tersebut sudah diputus dan mempunyai  kekuatan hukum tetap, pada waktu penerimaan kembali barang bukti dari Pengadilan  untuk pelaksanaan eksekusi, agar dibuat Berita Acara Penerimaan, Mekanisme  penyerahan dan penerimaan ke/dari Pengadilan agar disesuaikan dengan mekanisme  penerimaan barang bukti dari penyidik. 
Pada dasarnya  merupakan barang bukti berupa barang hasil temuan, barang sitaan, dan selanjutnya  dapat menjadi barang rampasan Negara dalam kaitan dengan perkara pidana. Barang Temuan  Barang Temuan adalah yang berdasarkan pemeriksaan ditemukan penyidik  atau instansi-instansi terkait yang tidak diketahui identitas yang memiliki atau yang  menguasai atau yang mengangkut, baik nama maupun alamatnya. Sehingga, barang  temuan tersebut harus dibuatkan Berita Acara Penemuan oleh Petugas Kejaksaan  yang menemukan sendiri barang tersebut atau oleh petugas yang menerima barang  temuan tersebut dari pihak ketiga. barang temuan tersebut harus diberitakan dalam mass media dan  atau diumumkan melalui kantor Pengadilan Negeri, Kecamatan, Kelurahan yang  dapat diketahui secara luas oleh penduduk di dalam wilayah Kejaksaan Negeri yang  bersangkutan; Dalam pengumuman tersebut di atas supaya dinyatakan bahwa barang  siapa yang merasa dirinya sebagai pemilik barang tersebut yang berhak supaya  mengambil ke Kantor Kejaksaan Negeri yang bersangkutan dalam jangka waktu 6  (enam) bulan.
Dalam jangka waktu 6 (enam) bulan ada yang datang dan mengaku sebagai  pemilik barang-barang tersebut/yang berhak supaya mengajukan bukti-bukti tertulis,  serta dengan membawa surat keterangan mengenai jati diri dari Lurah/Kepala Desa  yang dikukuhkan oleh Camat setempat. Apabila ternyata dari hasil penelitian bukti- bukti tertulis tersebut adalah benar dan meyakinkan, maka barang-barang tersebut  harus diserahkan kepada pemilik yang berhak dengan disertai Berita Acara.  Sedangkan, seseorang yang datang mengaku sebagai pemilik yang berhak tetapi tidak  dapat menunjukkan bukti-bukti tertulis, atau bukti-bukti yang dibawa tidak benar atau  diragukan kebenarannya maka permohonan pengambilan barang bukti itu harus ditolak.  
Penolakan atas permohonan pengambilan barang tersebut tidak dapat diterima  oleh orang yang merasa dirinya sebagai pemilik/yang berhak, maka yang                                                     Bagian VI angka 3 Lampiran Keputusan Jaksa Agung R.I. Nomor: KEP-12/JA/19/1989  tentang Mekanisme Penerimaan, Penyimpanan Dan Penataan Barang Bukti   Bagian VI angka 4 Lampiran Keputusan Jaksa Agung R.I. Nomor: KEP-12/JA/19/1989  tentang Mekanisme Penerimaan, Penyimpanan Dan Penataan Barang Bukti bersangkutan dapat mengajukan gugatan perdata. Selanjutnya penyelesaian barang  temuan tersebut disesuaikan dengan bunyi amar putusan Pengadilan Perdata yang  sudah memperoleh kekuatan hukum tetap.  
Setelah lewat jangka waktu 6 (enam) bulan itu ternyata tidak ada orang yang  datang dan mengajukan sebagai pemilik/yang berhak atau ada orang yang datang dan  mengaku sebagai pemilik tetapi permohonannya ditolak oleh Kejaksaan atau adanya  putusan Pengadilan Perdata yang menyatakan barang temuan tidak ada pemiliknya,  maka barang temuan tersebut harus dilelang melalui Kantor Lelang Negara.
Kantor  Lelang Negara yang dimaksud disini adalah Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan  Lelang (KPKNL) yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor  150/PMK.06/2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor  40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang,   Terhadap barang temuan tersebut dapat juga tidak dilelang.
Apabila lelang  tidak mungkin dilaksanakan karena diperkirakan biaya lelang lebih besar dari pada  harga yang dilelang atau tidak ada peminat atau barang yang akan dilelang tidak  mempunyai nilai ekonomis, supaya barang-barang tersebut diusulkan ke Kejaksaan  Agung untuk dimanfaatkan bagi:
-     kepentingan Dinas Kejaksaan,
-        Badan-badan Sosial, Bagian VI angka 5 Lampiran Keputusan Jaksa Agung R.I. Nomor: KEP-12/JA/19/1989  tentang Mekanisme Penerimaan, Penyimpanan Dan Penataan Barang Bukti  71  Bagian VI angka 6 Lampiran Keputusan Jaksa Agung R.I. Nomor: KEP-12/JA/19/1989  tentang Mekanisme Penerimaan, Penyimpanan Dan Penataan Barang Bukti Menurut Instruksi Presiden R.I Nomor 9 Tahun 1970,  bahwa pemanfaatan barang-barang temuan yang diusulkan oleh Kejaksaan kepada  Kejaksaan Agung untuk diteruskan usul tersebut kepada Menteri Keuangan untuk  mendapat persetujuan.
Selanjutnya, barang temuan yang rusak sehingga tidak  mungkin dilelang atau dimanfaatkan supaya diusulkan ke Kejaksaan Agung untuk  dimusnahkan.
Dengan demikian, barang temuan yang sudah diumumkan di mass media dan  belum lewat jangka waktu 6 (enam) bulan ada pihak yang menyatakan sebagai  pemiliknya yang berdasarkan penelitian oleh Kejaksaan bahwa dokumen secara  tertulis tentang kepemilikan barang temuan itu adalah benar, maka pihak Kejaksaan  harus menyerahkan barang temuan tersebut kepada yang bersangkutan dengan Berita  Acara.
Sedangkan setelah lewat jangka waktu 6 (enam) bulan, ada pihak yang  mengajukan permohonan sebagai pemilik barang temuan tersebut, maka pihak  Kejaksaan dapat menolak permohonan tersebut, tetapi masih diberi kesempatan bagi  pemohon untuk mengajukan gugatan perdata atas kepemilikan barang temuan itu. Selanjutnya, dengan adanya putusan pengadilan secara perdata yang menyatakan  barang temuan tidak ada pemiliknya, maka barang temuan dapat dilelang melalui  Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Berdasarkan keterangan Keputusan Jaksa Agung R.I. Nomor: KEP-12/JA/19/1989  tentang Mekanisme Penerimaan, Penyimpanan Dan Penataan Barang Bukti
Barang Sitaan  Barang sitaan yang dimaksud adalah barang-barang yang  disita sebagai barang bukti sitaan perkara pidana, mengingat penyitaan sering  dijumpai dalam perkara perdata, misalnya terkait hal hutang piutang. Dalam perkata perdata, jika sesudah lewat waktu yang ditentukan belum juga  dipenuhi putusan tersebut, atau jika pihak yang dikalahkan tersebut, sesudah  dipanggil dengan patut tidak juga menghadap, maka ketua pengadilan karena  jabatannya memberikan perintah secara tertulis supaya disita sejumlah barang tidak  tetap (barang bergerak) dan jika tidak ada barang seperti itu, atau ternyata tidak  cukup, maka barang tetap kepunyaan orang yang dikalahkan tersebut, sehingga dirasa  cukup sebagai pengganti jumlah uang yang tersebut dalam putusan dan seluruh biaya  pelaksanaan putusan tersebut (Pasal 197 ayat (1) HIR).
Surat perintah inilah yang  lazim disebut (penetapan) atau yang biasa disebut suatu penetapan perintah eksekusi. Surat penetapan ini menjamin sahnya perintah menjalankan eksekusi, baik terhadap  panitera atau juru sita yang mendapat perintah maupun pihak yang kalah  (tereksekusi). Tanpa surat penetapan, pihak yang kalah dapat menolak tindakan. Sedangkan yang dimaksud barang sitaan yang dieksekusi lelang Kejaksaan  adalah barang-barang sitaan yang merupakan barang bukti dalam perkara pidana,  karena pertimbangan sifatnya cepat rusak, busuk, berbahaya atau biaya  penyimpannya terlalu tinggi, maka dapat dilelang mendahului Keputusan Pengadilan  berdasarkan Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP).
Barang sitaan yang dijadikan barang bukti, misalnya berupa kayu gergajian  yang dengan pertimbangan sifatnya cepat rusak/busuk dan biaya penyimpanan tinggi,  maka Kejaksaan Negeri yang menangani perkara memohon barang sitaan tersebut  untuk dilelang. Lelang barang bukti sitaan memerlukan ijin dari Ketua Pengadilan  tempat perkara berlangsung, dan uang  hasil lelang dipergunakan sebagai bukti dalam  perkara.   Dalam Pasal 46 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)   dinyatakan:   Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada  mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka  yang paling berhak apabila : 
a.     kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi; 
b.     perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata  tidak merupakan tindak pidana; 
c.     perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara  tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari                                                      suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak  pidana.
Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan  dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan  tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk  negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat  dipergunakan lagi atau, jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang  bukti dalam perkara lain  Selanjutnya, barang sitaan sebagai barang bukti tersebut dapat menjadi barang  rampasan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum  Pidana, bahwa barang kepunyaan si terhukum yang diperoleh dengan kejahatan atau  yang dengan sengaja dipakai untuk melakukan kejahatan dapat dirampas untuk  negara.  
Barang sitaan yang digunakan sebagai barang bukti dalam perkara pidana,  dapat menjadi barang rampasan Kejaksaan, jika terdapat beberapa unsur yang  dipenuhi oleh hakim untuk dapat merampas suatu barang, yaitu barang sitaan itu  kepunyaan si terhukum yang diperoleh dengan kejahatan atau yang dengan sengaja  dipakai untuk melakukan kejahatan. Bahwa barang sitaan itu dapat menjadi barang  rampasan, maka barang tersebut haruslah merupakan barang kepunyaan pelaku, jadi  jika barang sitaan itu walaupun dipergunakan oleh terpidana untuk melakukan tindak  pidana atau merupakan hasil dari tindak pidana akan tetapi barang tersebut bukanlah  milik terpidana maka atas barang tersebut tidak dapat dirampas tetapi hanya sebagai  barang bukti dan harus dikembalikan kepada yang berhak, kecuali dalam hal pemalsuan uang sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 250 bis KUHP yang mengatur  tentang tindak pidana pemalsuan uang.  
Barang sitaan yang dijadikan barang  bukti dalam suatu perkara pidana dapat dijual lelang sebelum ataupun sesudah adanya  putusan pengadilan terhadap perkara tersebut, apabila barang sitaan sebagai barang  bukti itu merupakan barang yang bersifat cepat rusak atau busuk atau memerlukan  biaya penyimpanan yang tinggi, dan uang hasil lelang digunakan sebagai pengganti  barang bukti dalam perkara pidana tersebut. 
Barang Rampasan  Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa barang temuan atau barang  sitaan sebagai barang bukti dalam perkara pidana tersebut dapat menjadi barang  rampasan, yang selanjutnya dilaksanakan lelang eksekusi terhadap barang rampasan  tersebut.   Berdasarkan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP- 089/J.A/8/1988 tentang Penyelesaian Barang Rampasan, dinyatakan barang rampasan  adalah barang bukti yang berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh  kekuatan hukum tetap dinyatakan dirampas untuk Negara (Pasal 1).
Penyelesaian  barang rampasan dilakukan dengan cara dijual lelang melalui Kantor Lelang Negara  atau dipergunakan bagi kepentingan Negara, kepentingan sosial atau dimusnahkan     atau dirusak sampai tidak dapat dipergunakan lagi (Pasal 3). Tenggang waktu untuk  menyelesaikan barang rampasan selambat-lambatnya 4 (empat) bulan setelah putusan  Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 4). 
Barang rampasan yang telah diputus oleh Pengadilan dilimpahkan  penanganannya kepada Bidang yang berwenang menyelesaikan barang rampasan  sesegera mungkin setelah keputusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap,  dengan menyertakan salinan vonnis atau extract vonnis dan pendapat hukum. Setelah  menerima barang rampasan, bidang yang berwenang menyelesaikan barang rampasan  mengajukan permohonan kepada Kepala Kejaksaan Negeri atau Kepala  Kejaksaan Tinggi atau Jaksa Agung Muda yang berwenang menyelesaikan barang  rampasan.   
Setiap barang rampasan yang akan dijual lelang oleh Kejaksaan terlebih  dahulu mendapat izin dari Kepala Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Tinggi  atau Jaksa Agung Muda yang berwenang menyelesaikan barang rampasan, menurut  harga dan barang rampasan yang dikeluarkan oleh Instansi yang berwenang.    
Barang rampasan yang termasuk dalam satu putusan Pengadilan tidak  diperkenankan dijual lelang secara terpisah-pisah kecuali dalam keadaan yang  mendesak, dan harus mendapat izin untuk menjual lelang barang rampasan yang, Pasal 5 Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP-089/J.A/8/1988  tentang Penyelesaian Barang Rampasan. Pasal 6 Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP-089/J.A/8/1988  tentang Penyelesaian Barang Rampasan. dipisah-pisahkan oleh Kepala Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Tinggi atau  Jaksa Agung Muda yang berwenang menyelesaikan barang rampasan.
Adapun barang  rampasan suatu putusan Pengadilan yang tidak diperkenankan dijual lelang secara  terpisah kecuali dalam keadaan yang mendesak, yaitu:    
a.     Barang sengketa dalam perkara perdata, yaitu apabila dalam satu Putusan  Pengadilan terdapat barang rampasan yang terkait dalam perkara perdata, sambil  menunggu Putusan perdatanya dapat diajukan permohonan izin untuk dijual  lelang. 
b.     Barang yang dituntut oleh pihak ketiga, yaitu apabila dalam satu Putusan  Pengadilan terdapat barang rampasan yang dituntut oleh pihak ketiga yang  beritikad baik, sambil menunggu penyelesaian tuntutan tersebut barang-barang  rampasan lainnya dapat diajukan permohonan izin untuk dijual lelang. 
c.     Barang yang akan diajukan bagi kepentingan Negara atau Sosial, yaitu:  
1)     Barang rampasan yang sebelumnya telah diagunkan kepada salah satu Bank.  Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Instruksi Mahkamah Agung  R.I. Nomor 01/1971 dan Surat Edaran Mahkamah Agung R.I. Nomor 3 Tahun  1983 yang antara lain berbunyi: Barang-barang bukti yang disita dari Bank  atau yang menurut hukum yang paling berhak adalah Bank, supaya  dikembalikan kepada Bank, kecuali Undang-Undang menentukan lain. Pasal 7 Keputusan Jaksa Agung R.I. Nomor: KEP-089/J.A/1988 tentang Penyelesaian  Barang Rampasan, dan lihat juga Bagian II Izin Lelang dan Pendapat Umum angka 9 Surat Edaran  Nomor: SE-03/B/B.5/1988 tentang Penyelesaian Barang Rampasan. Sesuai dengan ketentuan tersebut terhadap barang-barang rampasan yang  sebelumnya telah diagunkan pada bank dapat diajukan permohonan bagi  kepentingan Bank yang bersangkutan ke Kejaksaan Agung R.I. Permohonan  dari Bank yang bersangkutan dilampiri dengan bukti akad kredit dan bukti- bukti agunan. 
2)     Barang-barang rampasan yang akan diajukan permohonan bagi kepentingan  Negara atau Sosial oleh Badan Badan Instansi Pemerintah. Permohonan izin  bagi kepentingan Negara atau Sosial diajukan bersamaan waktunya dengan  permohonan izin untuk menjual lelang barang rampasan lainnya. 
Barang-barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 12 Keputusan  Jaksa Agung R.I. Nomor: KEP-089/J.A/1988 tentang Penyelesaian Barang  Rampasan, yaitu: apabila dalam satu Putusan Pengadilan terdapat diantaranya  barang-barang rampasan berupa Narkotika dan atau Elektronika yang dilarang  untuk diimport, yaitu semua jenis pesawat penerima siaran radio dan televisi  dalam keadaan terpasang, bawang putih, buah-buahan segar, makanan dalam  kaleng, kertas koran dan lain-lain yang berasal dari perkara penyelundupan,  penyelesaiannya tidak dijual lelang dan barang-barang tersebut supaya dilaporkan  ke Kejaksaan Agung R.I untuk ditentukan lebih lanjut.  e. Barang akan diajukan untuk dimusnahkan, yaitu apabila dalam satu Putusan  Pengadilan terdapat barang rampasan yang akan diajukan untuk dimusnahkan,  permohonan izin pemusnahan diajukan ke Kejaksaan Agung R.I.
Barang rampasan yang berada di luar daerah hukum Kejaksaan yang  bersangkutan, yaitu apabila Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri, Cabang  Kejaksaan Negeri mempunyai barang rampasan yang berada di luar daerah  hukumnya, maka permohonan izin lelang terhadap barang rampasan lainnya  (yang berada di wilayah hukum Kejaksaan tersebut) supaya didahulukan. Kecuali  apabila Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri, Cabang Kejaksaan Negeri yang  bersangkutan akan melelang barang-barang rampasan tersebut secara bersama-sama. 
Jadi, terhadap barang rampasan yang termasuk dalam satu Putusan Pengadilan  pada prinsipnya tidak diperkenankan dijual lelang secara terpisah-pisah, kecuali  dalam keadaan mendesak. Namun, sebaliknya barang rampasan dalam beberapa  putusan Pengadilan dapat dijual lelang secara bersama-sama. bahwa  penjualan lelang barang-barang rampasan dapat digabungkan dari beberapa Putusan  apabila penggabungan tersebut akan memperoleh hasil yang lebih baik dari pada  penjualan dilakukan berdasarkan satu Putusan Pengadilan saja atau jika barang- barang tersebut seandainya dilelang berdasarkan satu Putusan Pengadilan saja, tidak  mungkin ada pembelinya karena barang-barang tersebut terlalu sedikit. Pasal 7 ayat (3) Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP- 089/J.A/8/1988 tentang Penyelesaian Barang Rampasan.
Barang rampasan yang telah diterbitkan Keputusan Izin Lelang barang  rampasan, segera dilaksanakan pelelangannya dengan perantaraan Kantor Pelayanan  Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Menurut Keputusan Jaksa Agung Republik  Indonesia Nomor: KEP-089/J.A/8/1988 tentang Penyelesaian Barang Rampasan,  maka terhadap barang-barang rampasan dengan harga tertentu yang ditetapkan  Instansi yang berwenang dapat dijual tanpa melalui Kantor Pelayanan Kekayaan  Negara dan Lelang (KPKNL) (Pasal 9).
Dengan telah dilaksanakan lelang barang  rampasan, maka hasil penjualan lelang barang rampasan segera disetor ke Kas Negara  dan Pelaksanaan penjualan lelang barang rampasan segera dilaporkan kepada Jaksa  Agung Muda yang berwenang menyelesaikan barang rampasan (Pasal 10).  Selanjutnya tenggang waktu untuk menyelesaikan barang rampasan menurut  Pasal 273 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP dibatasi selambat-lambatnya dalam masa 4  (empat) bulan semenjak Putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.  Tenggang waktu tersebut mengikat dan merupakan kewajiban bagi Kejaksaan untuk  mentaatinya. 
Penyelesaian barang rampasan pada umumnya diselesaikan dengan cara dijual  lelang melalui KPKNL, kecuali untuk barang-barang rampasan tertentu Jaksa Agung  dapat menetapkan lain yaitu digunakan bagi kepentingan Negara, kepentingan sosial  atau dimusnahkan. Terutama terhadap barang-barang rampasan dalam perkara  penyelundupan yang dilarang untuk import dan dilarang untuk diedarkan, Jaksa Agung dapat menetapkan untuk digunakan bagi kepentingan Negara atau sosial atau  untuk dimusnahkan. Tindakan ini perlu diambil untuk mengamankan dan atau  melindungi barang-barang yang telah dapat diproduksi di dalam Negeri.  Setiap satuan barang rampasan dari suatu perkara yang putusan  Pengadilannya telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam tenggang waktu 7  (tujuh) hari setelah putusan tersebut diterima sudah harus dilimpahkan penangannya  oleh Bidang yang menangani sebelum menjadi barang rampasan kepada Bidang yang  berwenang menyelesaikannya dengan melampirkan salinan vonnis atau extract  vonnis, dan pendapat hukum. Pelimapahan harus dilakukan dengan suatu Berita  Acara.   
Untuk dipergunakan bagi kepentingan Negara atau sosial atau  pemusnahan barang-barang rampasan terutama yang berasal dari perkara  penyelundupan dan pelanggaran wilayah perairan R.I dapat digunakan sebagai  dasar Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1970 tentang Penjual dan atau  Pemindahtanganan barang-barang yang dimiliki atau dikuasai Negara, dalam  rangka pengajuan premi/ganjaran. Sedangkan untuk dipergunakan bagi  kepentingan Negara atau sosial atau pemusnahan barang rampasan yang berasal  dari perkara lainnya dapat digunakan sebagai dasar Peraturan Pemerintah Nomor                                                    81  Penjelasan Umum angka 3 Surat Edaran Nomor: SE-03/B/B.5/8/1988 tentang Penyelesaian  Barang Rampasan. 11 Tahun 1947 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Peraturan  Pemerintah Nomor 43 Tahun 1948. 
Jadi, dari uraian di atas, barang-barang rampasan dapat dijual lelang,  yang terlebih dahulu dilakukan permohonan izin penjualan lelang barang  rampasan yang diajukan kepada: 
a.     Kepala Kejaksaan Negeri oleh Bagian yang berwenang menyelesaikan  barang rampasan atau Kepala Cabang Kejaksaan Negeri. 
b.     Kepala Kejaksaan Tinggi oleh Asisten Bidang yang berwenang  menyelesaikan barang-barang rampasan atau Kepala Kejaksaan Negeri atau  Kepala Cabang Kejaksaan Negeri. 
c.     Jaksa Agung Muda yang berwenang menyelesaikan barang rampasan oleh  Kepala Kejaksaan Tinggi atau Kepala Kejaksaan Negeri atau Kepala Cabang  Kejaksaan Negeri. 
Permohonan izin untuk menjual barang rampasan dilampirkan dokumen  atau surat-surat sebagai berikut: 
a.     Turunan Putusan Pengadilan atau extract vonnisnya yang membuktikan  bahwa barang bukti dimaksud telah dinyatakan dirampas untuk Negara. 
b.     Pertelaan yang jelas dari barang-barang yang akan dilelang tersebut  (macamnya, jenisnya, jumlahnya, karat-karatnya, berat dan sebagainya)  dalam satu daftar. 
c.     Kondisi dari barang rampasan oleh instansi yang ada kaitannya dengan  barang rampasan tersebut, setelah dilakukan penelitian di tempat.
d.     Perkiraan harga dasar yang wajar dari instansi berwenang yang didasarkan  pada kondisi barang rampasan tersebut. 
Barang-barang rampasan dapat dijual lelang, jika  putusan pengadilan mengenai barang rampasan tersebut sudah memperoleh  kekuatan hukum tetap, dan barang rampasan tersebut tidak dijadikan bukti atau  tidak akan dijadikan bukti dalam perkara perdata atau dituntut oleh pihak ketiga. 
Eksekusi Kejaksaan yang  dapat mengakibatkan lelang adalah merupakan barang bukti dalam perkara  pidana, yang merupakan barang temuan, sitaan dan rampasan.   Barang temuan, sitaan dan rampasan yang dieksekusi lelang Kejaksaan  tersebut dapat berasal dari instansi-instansi terkait lainnya, misalnya instansi  Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) ataupun dari PT. Perhutani.  Lelang barang Direktorat Jenderal Bea dan Cukai  (DJBC) dapat  diadakan terhadap barang yang dinyatakan tidak dikuasai, barang yang dikuasai  Negara dan barang yang menjadi milik Negara. DJBC telah mengelompokkan  barang menjadi tiga, yaitu  barang yang dinyatakan tidak dikuasai, barang yang  dikuasai Negara dan barang yang menjadi milik Negara. Lelang barang tak  bertuan dimaksudkan untuk menyebut  lelang yang dilakukan terhadap barang yang dalam jangka waktu yang ditentukan tidak dibayar bea masuknya,  sebagaimana yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No.  36/KMK.01/2002 tanggal 12 Februari 2002 tentang Jasa Pra Lelang Dalam  Lelang Barang Yang Dinyatakan Tidak Dikuasai, Barang Yang Dikuasai Negara  dan Barang Yang Menjadi Milik Negara Pada Direktorat Jenderal Bea dan  Cukai.
Barang yang dinyatakan tidak dikuasai, adalah: 
a.     Barang yang tidak dikeluarkan dari tempat penimbunan sementara yang  berada di dalam area pelabuhan dalam jangka waktu 30 (tigapuluh) hari  sejak penimbunannya;
b.     Barang yang tidak dikeluarkan dari Tempat Penimbunan Sementara yang  berada di luar area pelabuhan dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari  sejak penimbunannya; 
c.     Barang yang yang tidak dikeluarkan dari Tempat Penimbunan Berikat   yang telah dicabat izinnya  dalam jangka waktu 30 (tiga puuluh) hari  sejak pencabutan ijin, atau; 
d.     Barang yang dikirim melalui pos; 
-      yang ditolak si alamat atau orang yang dituju dan tidak dapat dikirim  kembali kepada pengirim di luar Daerah Pabean. 
-      dengan tujuan luar daerah Pabean yang diterima kembali karena  ditolak atau tidak dapat disampaikan kepada alamat yang dituju, tidak diselesaikan oleh pengirim dalam jangka waktu 30 (tigapuluh) hari  sejak diterimanya pemberitahuan dari kantor pos. 
Barang yang  dikuasai Negara adalah: 
a)     Barang yang dilarang atau dibatasi untuk diimpor atau diekspor yang  tidak diberitahukan atau diberitahukan secara tidak benar dalam  Pemberitahuan Pabean; 
b)     Barang dan atau sarana pengangkut yang ditegah oleh Pejabat Bea dan  Cukai, atau;  
c)     Barang dan atau sarana pengangkut yang ditinggalkan di Kawasan  Pabean oleh Pemilik yang tidak dikenal. 
Barang yang jadi milik Negara adalah: 
a)     Barang yang dinyatakan tidak dikuasai yang merupakan barang yang  dilarang untuk diekspor atau diimpor, kecuali terhadap barang dimaksud  ditetapkan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 
b)     Barang yang dinyatakan tidak dikuasai yang merupakan  barang yang  dibatasi untuk diekspor  atau diimpor, yang tidak diselesaikan pemiliknya  dalam jangka waktu 60 (enam puluh hari) terhitung sejak disimpan di  Tempat Penimbunan Pabean; 
c)     Barang atau sarana pengangkut yang ditegah oleh Pejabat Bea dan Cukai  yang berasal dari tindak pidanan yang pelakunya tidak dikenal; B
d)     Barang  dan atau sarana pengangkut  yang ditinggalkan  di kawasan  Pabean oleh pemilik yang tidak dikenal yang tidak diselesaikan dalam  jangka waktu 30 (tigapuluh) hari sejak disimpan di Tempat Penimbunan  Pabean; 
e)     Barang yang dikuasai Negara  yang merupakan barang yang dilarang atau  dibatasi untuk diimpor atau diekspor atau  
f)      Barang dan atau sarana pengangkut yang berdasarkan putusan hakim  yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dinyatakan dirampas  untuk Negara. 
Selanjutnya, berdasarkan Keputusan Peraturan Menteri Kehutanan  Nomor: P.48/Menhut-II/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pelelangan Hasil  Hutan Temuan, Sitaan dan Rampasan, dinyatakan:  
a)     Hasil Hutan Temuan adalah hasil hutan yang berdasarkan pemeriksaan  ditemukan di dalam dan atau di luar hutan yang tidak diketahui identitas  yang memiliki atau yang menguasai atau yang mengangkut, baik nama  maupun alamatnya; 
b)     Hasil Hutan Sitaan adalah hasil hutan yang disita berdasarkan hukum  acara pidana sebagai barang bukti dalam perkara pidana;                                                    Pasal 1 angka 1, 2, dan 3 Keputusan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:  P.48/Menhut-II/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pelelangan Hasil Hutan Temuan, Sitaan dan  Rampasan.
c)     Hasil Hutan Rampasan adalah hasil hutan yang dirampas untuk Negara  berdasarkan keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan  hukum tetap. 
Pelelangan hasil hutan temuan, sitaan dan rampasan dimaksudkan untuk  mengamankan barang bukti dan menjaga hak-hak negara dari kerugian akibat  pencurian, kerusakan, penyusutan dan penurunan kualitas karena penyimpanan  dalam waktu yang lama.
Obyek Lelang meliputi hasil hutan kayu dan bukan  kayu hasil dari temuan, sitaan dan rampasan. Hasil hutan temuan, sitaan dan atau  rampasan yang tidak dapat dilelang meliputi satwa dan atau tumbuhan liar dan  hasil hutan yang berasal dari Hutan Konservasi dan atau hasil hutan kayu yang  berasal dari Hutan Lindung.
Pemohon Lelang untuk obyek lelang hasil hutan temuan adalah Kepala  Instansi yang menangani bidang Kehutanan setempat. Pemohon Lelang untuk  obyek lelang hasil hutan sitaan adalah Penyidik apabila kasus dalam proses  penyidikan atau Penuntut Umum apabila berkas penyidikan telah berada di  Penuntut Umum. Pemohon Lelang untuk obyek lelang hasil hutan rampasan  adalah Kepala Kejaksaan Negeri setempat. Pasal 2 dan Pasal 3 Keputusan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.48/Menhut- II/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pelelangan Hasil Hutan Temuan, Sitaan dan Rampasan. Pasal 7 Keputusan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.48/Menhut-II/2006  tentang Petunjuk Pelaksanaan Pelelangan Hasil Hutan Temuan, Sitaan dan Rampasan. 
Pemohon Lelang sebagaimana dimaksud, mengajukan permohonan  kepada Kepala Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN)  (sebagaimana telah diubah dengan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan  Lelang (KPKNL) setempat untuk dilaksanakan pelelangan. Pelelangan hasil  hutan temuan dilakukan oleh Kepala Instansi yang menangani bidang kehutanan  setempat. Sedangkan untuk pelelangan hasil hutan sitaan, dilakukan sebagai  berikut :
a)     Jika perkara berada pada tingkat penyidikan atau penuntutan, hasil hutan  tersebut dijual lelang oleh Penyidik atau Penuntut Umum dengan persetujuan  dan disaksikan oleh pihak tersangka atau kuasa hukumnya;
b)     Dalam hal persetujuan dan kesaksian pihak tersangka atau kuasa hukumnya  sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak dapat dilaksanakan, maka proses  lelang tetap dilaksanakan; 
c)     Jika perkara berada pada tingkat pengadilan, hasil hutan tersebut dijual  lelang oleh Penuntut Umum atas izin hakim yang menyidangkan perkaranya  dan disaksikan pihak terdakwa atau kuasa hukumnya; 
d)     Jika perkara telah diputus oleh pengadilan dan telah mempunyai kekuatan  hukum tetap serta dinyatakan hasil hutan dirampas untuk Negara, maka hasil  hutan dijual lelang oleh Jaksa pelaksana putusan.                                                    Pasal 6 Keputusan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.48/Menhut-II/2006  tentang Petunjuk Pelaksanaan Pelelangan Hasil Hutan Temuan, Sitaan dan Rampasan.
Dengan demikian diperoleh pemahaman bahwa eksekusi Kejaksaan yang  menyebabkan lelang adalah berupa barang temuan dan sitaan, rampasan  Kejaksaan yang berasal dari suatu barang bukti dalam perkara pidana. Eksekusi  lelang Kejaksaan tersebut dapat merupakan barang bukti yang berasal dari  penyidik maupun instansi-instansi lain di antaranya Direktorat Bea dan Cukai  (DJBC) atau PT. Perhutani.  
Penyetoran hasil lelang eksekusi Kejaksaan, khususnya untuk barang  bukti yang sudah mempunyai kekuatan hukum dinyatakan sebagai barang  rampasan maka hasil lelang disetorkan ke Kas Negara dalam rangka Pendapat  Negara Bukan Pajak (PNBP). Sedangkan untuk barang sitaan yang dijadikan  barang bukti dalam suatu perkara pidana dapat dijual lelang sebelum ataupun  sesudah adanya putusan pengadilan terhadap perkara tersebut, apabila barang  sitaan sebagai barang bukti itu merupakan barang yang bersifat cepat rusak atau  busuk atau memerlukan biaya penyimpanan yang tinggi maka uang hasil lelang  digunakan sebagai pengganti barang bukti dalam perkara pidana tersebut. 
Barang sitaan baik yang belum dilelang maupun sudah lelang (uang pengganti  barang bukti) dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda  itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila  kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi, perkara tersebut  tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak  pidana, serta perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau   perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari  suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak  pidana. Kemudian, dapat saja barang sitaan dari suatu perkara pidana yang sudah  diputus tidak dikembalikan, jika menurut putusan hakim benda itu dirampas  untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat  dipergunakan lagi, atau karena barang sitaan itu masih diperlukan sebagai  barang bukti dalam perkara lain. 

tulisan ini hanya membaca dan untuk dimengerti............