GUGATAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA
1. Cara Mengajukan Gugatan
G
|
ugatan sengketa TUN harus diajukan secara tertulis kepada pengadilan yang berwenang. Orang yang tidak
pandai menulis dapat mengajukan / mengutarakan keinginannya untuk menggugat itu
kepada Panitera Pengadilan yang akan membantu merumuskan gugatannya dalam
bentuk tertulis.
Gugatan harus tertulis, sebab hal itu akan menjadi pegangan
bagi pengadilan dan para pihak, selama pemeriksaan terhadapa sengketa TUN yang
bersangkutan.
Isi tuntutan dan petitum gugatan TUN sudah ditetapkan dalam
undang-undang Peradilan TUN, yaitu hanya berisi tuntutan pokok yang bermaksud
agar keputusan TUN yang merugikan dirinya dinyatakan batal atau tidak sah.
Tidak ada tuntutan pokok lainnya, hanya saja di samping
tuntutan pokok dimungkinkan adanya tuntutan tambahan dan juga hanya berupa
tuntutan ganti rugi.
Khusus untuk sengketa Kepegawaian diperbolehkan menambah
tuntutan / adanya tuntutan tambahan berupa tuntutan rehabilitasi.
Kecuali gugatan TUN harus tertulis, gugatan harus memuat:
a.
nama, kewarganegaraan, tempat tinggal
b.
dan pekerjaan penggugat atau
kuasanya,
c.
nama, jabatan, dan tempat kedudukan tergugat.
d.
dasar gugatan dalam hal yang diminta untuk diputuskan oleh pengadilan.
Pasal 56 UU PTUN ayat (1)
Dalam hal gugatan dibuat dan ditandatangani oleh seorang
kuasa penggugat, maka gugatan tersebut harus disertai surat kuasa penggugat,
berupa surat kuasa khusus yang sah.
Pasal 56 ayat (2)
Gugatan sedapat mungkin disertai Keputusan Tata Usaha Negara
yang disengketakan oleh penggugat.
Pasal 56 ayat (3)
Apabila keputusan TUN tidak ada / mungkin tidak ada pada
tergugat maka, sebagai bahan persiapan pemeriksaan, dapat diminta kepada Badan
atau pejabat TUN yang bersangkutan mengirimkan keputusan TUN yang dimaksud
kepada pengadilan.
2. Objek Gugatan.
Yang menjadi objek gugatan atau pangkal sengketa TUN ialah
Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh badan/pejabat Tata Usaha
Negara yang mengandung perbuatan onrechtmatig
overhead daad (perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa)
3. Alasan Mengajukan Gugatan
Alasan mengajukan gugatan TUN, ditunjukkan oleh Pasal 53 ayat
(1), Orang atau Badan Hukum perdata yang merasa dirugikan oleh suatu Keputusan
Tata Usaha Negara, dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang
berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai
tuntutan ganti rugi dan / atau direhabilitasi.
Alasan atau dasar gugatan ditunjukkan oleh Pasal 53 ayat (2):
“alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah:
a.
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangangan
dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.”
Ad. Pasal 53 Ayat (2) huruf a
Suatu Keputusan Tata Usaha Negara dinilai bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan apabila keputusan itu:
1).
Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang
bersifat prosedural / formal.
Misalnya: ketentuan peraturan perundang-undangan menentukan
bahwa sebelum keputusan pemberhentian dikeluarkan, pegawai yang bersangkutan
harus diberi kesempatan untuk membela diri. Kalau ada keputusan TUN yang tidak
memberikan kesempatan tersebut sebelum keputusan TUN dikeluarkan, maka
keputusan TUN itu bertentangan dengan ketentuan dalam perundang-undangan yang
bersifat prosedural atau formal.
2).
Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat materiil
dengan substansiil.
Misalnya: suatu keputusan ditingkat banding administratif,
yang dengan salah, menyatakan bahwa gugatan penggugat diterima, atau tidak
diterima.
4. Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan
Dalam mengajukan gugatan harus memperhatikan tenggang waktu,
kapan seseorang atau badan hukum perdata dapat mengajukan gugatannya. Tenggang
waktu ini tidak dikenal dalam Hukum Acara Perdata kecuali kadaluarsa.
Pasal 55 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara
menetapkan:
“Gugatan dapat
diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat
diterimanya atau diumumkannya keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.”
Ketentuan ini berarti, sesudah tenggang waktu sembilan puluh
hari terhitung saat diterimanya atau diumumkannya keputusan Badan atau Pejabat
TUN dinyatakan tidak dapat diterima (niet
ontvakelijk verklaard) oleh pengadilan, dan keputusan TUN yang dianggap
melawan hukum atau merugikan orang atau badan hukum perdata dinyatakan sah, dan
tidak dapat diubah lagi melalui proses hukum.
Khusus terhadap keputusan yang dianggap ada berdasarkan pasal
3 (2) Undang-Undang Peratun, maka tenggang waktu 90 hari tersebut terhitung
setelah lewatnya tenggang waktu yang ditentukan peraturan dasarnya.
Misalnya:
1.
Ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian: “Dalam hal pengesahan permintaan akte pendirian ditolak, alasan
penolakan diberikan kepada pendiri secara tertulis dalam waktu paling lambat 3
(tiga) bulan setelah diterimanya permintaan”.
2.
Ketentuan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang No 25 Tahun 1992: “Pengesahan
akta pendirian diberikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah
diterimanya permintaan pengesahan”.
Contoh:
Permintaan diterima pada tanggal 1 April 2007, badan atau
pejabat Tata Usaha Negara wajib memberikan keputusan terhadap permohonan
tersebut palng lambat pada tanggal 1 Juni 2007 (keputusan tersebut dapat
menolak atau mengabulkan permintaan). Apabila permintaan ditolak, maka gugatan
atas penolakan itu adalah 29 Agustus 2007. Sesudah itu permintaan tersebut
tidak lagi mempunyai hak untuk diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
A.
Ketentuan Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang No 15 Tahun 2001 Tentang Merek:
“Dalam hal terdapat kekurangan dalam kelengkapan persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal meminta agar
kelengkapan persyaratan tersebut dipenuhi dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan
terhitung sejak tanggal pengiriman surat permintaan untuk memenuhi kelengkapan
persyaratan tersebut”.
Contoh:
Surat permintaan untuk memenuhi kelengkapan persyaratan
dikirim Direktorat Jenderal pada tanggal 24 Maret 2007 kepada pemohon, maka
pemohon pada 24 Mei 2007 harus sudah mengirimkan kelengkapan persyaratan yang
diminta oleh Direktorat Jenderal.
Dalam hal peraturan dasar tidak menentukan tenggang waktu
seperti tersebut diatas maka tenggang waktu sembilan puluh hari dihitung
setelah lewatnya batas 4 bulan, terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan
oleh Badan atau Pejabat TUN.
Misalnya:
Terhadap suatu permohonan / permintaan tertentu, peraturan
dasarnya tidak menentukan batas waktu untuk diselesaikan oleh Badan atau
Pejabat TUN. Permohonan diterima oleh badan atau pejabat TUN pada tanggal 1
Maret 2007, tetapi Badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan bersikap diam
sampai lebih dari 4 bulan sesudah menerima permohonan tersebut. Menurut
ketentuan pasal 3 ayat (3) Undang-Undang PTUN 4 bulan setelah diterimanya
permohonan tersebut, yaitu tanggal 1 Juli 2007, dianggap ada Keputusan TUN dari
Badan atau Pejabat TUN yang berkewajiban menangani permohonan tersebut, yang
bersifat penolakan.
Dalam hal ini pemohon dalam waktu sembilan puluh hari sesudah
tanggal 1 Juli 2007 dapat mengajukan gugatannya ke Pengadilan TUN paling lambat
29 September 2007. Sesudah tanggal itu pemohon tidak mempunyai hak mengajukan
gugatan ke Pengadilan TUN. Atau Pengadilan TUN dapat menolak gugatan yang
diajukan.
Pasal 55 Undang-Undang Peratun: menentukan pula bahwa bila
peraturan dasarnya menentukan bahwa suatu keputusan harus diumumkan (dalam
Berita Negara, atau surat kabar) maka tenggang waktu 90 hari untuk mengajukan
gugatan ke pengadilan TUN dihitung sejak hari pengumuman.
5. Kompetensi Mengadili Sengketa Tata Usaha
Negara.
Mengenai kompetensi / wewenang pengadilan mana yang berhak
mengadili (relative competentie) dan
sekaligus menentukan pengadilan TUN dimana gugatan harus diajukan, pasal 54
Undang-Undang Peratun menentukan:
(1).
Gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan
yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.
(2).
Apabila tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara, dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Peradilan, gugatan
diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
(3).
Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada dalam daerah
hukum Pengadilan tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman penggugat untuk selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang
bersangkutan.
(4).
Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata
Usaha Negara yang bersangkutan yang diatur dengan peraturan pemerintah, gugatan
dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat.
(5).
Apabila penggugat dan tergugat berkedudukan atau berada di
luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta.
(6).
Apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri, dan penggugat
di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kedudukan tergugat.
Ketentuan pasal 54 ayat (3), agak berbeda dengan ketentuan
dalam hukum acara perdata, dengan pertimbangan untuk meringankan beban dari
orang atau badan hukum perdata dalam mengajukan gugatan suatu keputusan TUN.
Tanggal diterimanya gugatan oleh Panitera Pengadilan TUN
dianggap sebagai tanggal diajukannya gugatan kepada Pengadilan yang berwenang,
agar tidak melewati tenggang waktu pengajuan gugatan.
Panitera Pengadilan berkewajiban memberikan petunjuk
secukupnya kepada penggugat mengenai gugatan tersebut.
Para pihak yang bersengketa masing-masing dapat didampingi
atau diwakili oleh seorang atau beberapa orang kuasa, pemberian kuasa dapat
dilakukan dengan surat kuasa atau lisan di persidangan. Surat Kuasa yang dibuat
di luar negeri bentuknya harus memenuhi persyaratan di negara yang bersangkutan
dan diketahui oleh Perwakilan Republik Indonesia di negara tersebut, serta
kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi.
Badan / Pejabat TUN yang digugat dapat meminta bantuan
Kejaksaan sebagai kuasa / wakil di depan Pengadilan TUN. (Hal ini didasarkan
pada Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang No 16 Tahun 2005 Tentang Kejaksaan
Republik Indonesia)
Penggugat dalam mengajukan gugatannya, diwajibkan membayar
uang muka biaya perkara yang besarnya ditaksir oleh Panitera Pengadilan,
kemudian dicatat dalam daftar perkara oleh Panitera Pengadilan.
Akan tetapi penggugat dapat juga mengajukan permohonan kepada
Ketua Pengadilan untuk bersengketa secara cuma-cuma, disertai surat keterangan
tidak mampu dari kepala desa, atau lurah setempat.
Apabila penggugat telah memperoleh penetapan berperkara
dengan cuma-cuma ditingkat pertama, juga berlaku untuk tingkat banding dan
kasasi.
Selambat-lambatnya dalam jangka waktu tiga puluh hari setelah
gugatan dicatat, hakim menentukan hari, jam dan tempat persidangan, dan
menyuruh memanggil kedua belah pihak untuk hadir pada waktu dan tempat yang
ditentukan.
Demikian juga penggugat dapat mengajukan permohonan untuk
kepentingan penggugat yang dinilai cukup mendesak, yang dapat disimpulkan dari
alasan-alasan dalam permohonan:
Misalnya:
a.
Kepentingan yang bersangkutan menyangkut Keputusan TUN yang memerintahkan
harus segera membongkar bangunan rumah yang ditempatinya.
b.
Kepentingan penggugat yang bersangkutan, menyangkut keputusan TUN tentang
NEM anaknya sebagai siswa SD. Ini harus segera diputus karena berkaitan dengan
masa penerimaan siswa baru SLTP
Dalam menangani pemeriksaan secara cepat maka ketua
pengadilan dalam jangka waktu 14 hari setelah diterimanya permohonan tersebut
mengeluarkan penetapannya, apakah dikabulkan permohonannya atau tidak, terhadap
penetapan tersebut tidak ada upaya hukum, baik berupa perlawanan atau banding.
Apabila permohonan dikabulkan, maka pemeriksaan dipersidangan
dilakukan tanpa melalui prosedur pemeriksaan persiapan.
6. Acara Pemeriksaan Perkara Sengketa Tata
Usaha Negara.
Ada tiga tahap acara pemeriksaan sengketa TUN:
a.
Ketua pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang
dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu
dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar dalam hal:
a. pokok gugatan nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang
pengadilan;
b. syarat-syarat gugatan sebagaimana jawaban no 12 huruf
d,e,f, tidak dipenuhi penggugat sekalipun ia telah diberitahu dan
diperingatkan;
c. gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang
layak
d. apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah dipenuhi
oleh Keputusan TUN yang digugat;
gugatan yang diajukan sebelum waktunya atau telah lewat
waktu.
b.
Pemeriksaan persiapan oleh Hakim (majelis) yang akan menangani sengketa
TUN, sebelum pokok sengketa diperiksa di pengadilan;
c.
Pemeriksaan selanjutnya adalah pemeriksaan biasa di pengadilan-pengadilan,
yaitu prosedur pemeriksaan pokok sengketa di persidangan pengadilan baik dengan
acara biasa maupun acara cepat.
Dengan demikian pada dasarnya Undang-Undang PTUN menghendaki
proses pemeriksaan sengketa TUN dapat dilaksanakan dengan secepatnya, hal ini
dapat dilihat dari:
Pertama: Pasal 62 UU PTUN, bermaksud bahwa dari proses pemeriksaan
tersebut sedapat mungkin diselesaikan dengan cepat, sehingga dalam hal-hal
tersebut tidak menimbulkan hambatan dalam Pembangunan Nasional, dan bagi orang
atau badan hukum perdata yang bersangkutan segera mengetahui dan mendapatkan
kepastian hukum mengenai hak dan kewajibannya.
Kedua: adalah diadakan pemeriksaan persiapan oleh hakim (Majelis
Hakim) yang akan menangani sengketa TUN, sebelum pokok sengketa TUN diperiksa
dipersidangan Pengadilan, hal ini diatur dalam Pasal 63 UU PTUN.
Ketiga: adalah prosedur biasa di pengadilan yaitu prosedur
pemeriksaan pokok persengketaan di persidangan pengadilan, baik dengan acara
biasa atau acara cepat.
Pemeriksaan dengan acara
cepat dimungkinkan apabila penggugat dengan gugatannya mohon kepada
Pengadilan agar pemeriksaan sengketa yang bersangkutan dipercepat mengingat
adanya kepentingan penggugat yang dinilai cukup mendesak, hal ini dapat
disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya.
Misalnya:
Kepentingan yang bersangkutan, menyangkut Keputusan TUN yang
berisikan perintah untuk segera membongkar bangunan rumah yang ditempatinya.
Dalam menangani permohonan pemeriksaan secara cepat maka
Ketua Pengadilan dalam jangka waktu 14 hari setelah diterimanya permohonan
tersebut mengeluarkan penetapannya yaitu dikabulkannya atau tidak permohonannya
tersebut. Terhadap penetapan tersebut tidak ada upaya hukum, baik berupa
perlawanan atau banding.
Apabila permohonan dikabulkan, maka pemeriksaan acara cepat
dilakukan dengan hakim tunggal dan pemeriksaan dipersidangan dilakukan tanpa
melalui prosedur pemeriksaan persiapan.
7. Pemberian Kuasa
Pemberian kuasa oleh pihak-pihak (kedua belah pihak) diatr
dalam pasal 57 UU PTUN jadi apabila
dikehendaki, para pihak dapat diwakili atau didampingi oleh kuasa atau beberapa
orng kuasa. Pemberian kuasa dapat
dilakukan sebelum dan selama dalam perkara. Pemberian kuasa yang
dilakukan sebelum perkara diperiksa harus secra tertulis dengan membuat surat
kuasa khusus. Dengan adanya surat kuasa khusus ini , si penerima kuasa khusus
bisa melakukan tindakan-tindakan yang berkenaan dengan jalannya pemeriksaan
perkara untuk dan atas nama si pemberi kuasa. Sedangkan pemberian kuasa yang
dilakukan di persidangan bisa dilakukan
secara lisan.
8. Gugat Rekonvensi
Dalam hukum acara
PTUN tidak mungkin dikenal gugat rekonvensi (gugat balik), karena dengan gugat
rekonvensi berarti kedudukan para pihak semula menjadi berbalik. Kedudukan para
pihak dalam hukum acara TUN telah definitif, tidak dapat berubah-ubah .
Penggugat tetap merupakan individu atau badan hukum perdata, sedangkan tergugat
tetap merupakan badan atau pejabat TUN.
Daftar Pustaka
Daftar Pustaka
1.
Agus
M. Mazwan Sosrokusumo, S.H. Freis Ermessen, sebuah type Tindak Pidana Hukum
di Bidang Hukum Tata Pemerintahan, Seri Karangan Tersebar, Fakultas Hukum
Universitas Jember, 1983.
2.
Prof.DR.
Baharudin Lopa ,S.H. dan DR A. Hamzah, S.H. Mengenal Peradilan Tata Usaha
Negara, Sinar Grafika, Jakarta.
3.
Prof
DR. Mr Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Seri Pustaka Ilmu
Administrasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981
4.
Indroharto,
Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I,
Cetakan Keenam, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996
5.
Ismail
Saleh, S.H. Pidato Sambutan Pemerintah Atas Persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat Terhadap Rancangan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Tanggal 20
Desember 1986.
6.
Joko
Widodo, Good Governance telahaan dari Demensi Akuntabilitas Dan Kontrol
Birokrasi Pada Era Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Penerbit, Insan Cendekia
2001.
7.
Y.W
Sunindya, S.H., Dra Ninik Widiyanti, Administrasi Negara Dan Peradilan Administrasi.
Aneka Cipta, Jakarta, 1990.
8.
Martiman
Prodjohamidjojo, S.H. Hukum Acara Peradilan Tata Usah Negara, Ghalia
Indonesia 1993.
9.
Zairin
Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Revisi , PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta 2007
10.
Undang-Undang
Dasar 19945
11.
Undang-Undang
Dasar 1945 peruhan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat dalam satu naskah
12.
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara serta Penjelasannya,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987.
13.
UNdang-Undang
No 7 Tahun 2004 Tentang
---------------------------------Arsip Pembelajaran Pembelajaran TUN