PROSES PENYIDIKAN
Bahan referensi Penulisan Tesis
Pembuktian terbalik//kumpulan tugas//arsip pribadi
I.
Pendahuluan
Upaya penyidikan ini mengacu pada
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana) Lembaran Negara Tahun 1981 No. 3209 yang diundangkan pada tanggal 31
Desember 1981, dengan diundangkan KUHAP ini
mengakibatkan perubahan fundamental di dalam sistem peradilan pidana,
dengan perubahan fundamental ini mengakibatkan pula perubahan di dalam sistem
penyidikan.
Penyidik sebagai terdepan dalam
pelaksanaan penegakkan hukum senantiasa diperlukan dalam memperhitungkan akan
terjadinya persoalan-persoalan yang tidak dapat dihindari, ketika berlakunya
hukum acara sebelum KUHAP ini berlaku. KUHAP merupakan hukum nasional berdasarkan Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945 bersifat unifikasi dan kodifikasi yang bertujuan untuk
kepentingan nasional, ini adalah merupakan realisasi Eropa kontinental seperti
Jerman, Perancis dan Belanda atau negara-negara lain seperti Jepang, yang
membedaknnya hanya keadaan dalam menetapkan bentuk juridisnya dengan teknik perundang-undangan,
dan tidak mengenai isinya, khususnya yang berkaitan dengan asas-asas Hukum
Acara Pidana.
Lahirnya KUHAP diawali dari proses
penyelidikan maupun penyidikan masih menggunakan HIR, perlakuan terhadap
seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana dalam mencari bukti dilakukan dengan cara-cara kekerasan, bahkan
penyiksaan seseorang mengalami kriminalisasi. Hal ini dilakukan karena semata-mata untuk mengejar
pengakuan, tidak didasarkan kepada pembuktian secara ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan atas kebenarannya. Tindakan ini dapat mengakibatkan cacat
pisik dan mental terhadap pelaku tindak pidana, terjadi penyalahgunaan wewenang
bahkan terjadi pelanggaran hak asasi manusia.
Penyalahgunaan wewenang dalam menjalankan hukum
pidana merupakan suatu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165,
Tambahan Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 3885, Pasal 1 ke 6 menyatakan bahwa: “Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan
seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun
tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi,
menghalangi, membatasi, dan atau mencabut haj asasi manusia seseorang atau
kelompok orang yang dijamin oleh oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan,
atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan
benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”.
Penegakkan
hukum oleh aparat penegak hukum diharapkan tidak melakukan pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM), pelanggaran ini tidak terjadi manakali aparat penegak
hukum memiliki pengetahuan tentang hukum, terampil dalam melakukan tugas secara
profesional dan proporsional sesuai kewenangan yang diberikan oleh undang-undang.
Aparat penegak hukum harus memahami
norma-norma yang berlaku pada masing-masing bidang hukum, karena masing-masing
bidang hukum mempunyai makna penormaan yang berbeda. Apabila aparat penegak
hukum khususnya Kepolisian tidak memahami “domain” masing-masing bidang hukum,
maka akan diperalat dan dimanfaatkan oleh pencari keadilan dengan jalan pintas
untuk segera mendapatkan prestasi dengan melaporkan ke pihak Kepolisian. Sesuai
tugas dan wewenangnya dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 2,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4168,
menyatakan bahwa:
a. memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. menegakan hukum;
dan
c. memberikan
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Sebagai pelayan masyarakat Polri tidak
boleh menolak laporan atau pengaduan yang disampaikan kepadanya, semua
permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat cenderung melaporkan ke kepolisian,
tidak terkecuali permasalahan yang dilaporkan menyangkut peristiwa keperdataan
maupun permasalahan lainnya. Masyarakat tidak mengerti dan memahami hukum,
sehingga setiap permasalahan yang terjadi dilaporkan. Apakah masalah yang
dihadapi masuk dalam lingkup hukum perdata atau hukum pidana, ia tetap
melaporkan ke Kepolisian dengan harapan cepat
terselesaikan. Penegak hukum
diharapkan dapat memahamai persoalan-persolan yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat, dalam kehidupan masyarakat tentu
terdapat norma-norma yang berlaku berupa norma
larangan (dwingend recht) seringkali dilanggar,
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
lain faktor lingkungan, ekonomi, keamanan
dan geografis maupun
karakter masyarakatnya. Sedangkan perkembangan dan kemajuan kejahatan saat ini
dipengaruhi pula oleh perkembangan masyarakatnya. Dalam hubungan ini, I.S.
Susanto menulis, wajah kejahatan dipengaruhi oleh bentuk dan karakter
masyarakatnya, artinya masyarakat industri akan memiliki wajah kejahatan yang
berbeda dengan masyarakat agraris. Dengan kemajuan teknologi dewasa ini pola
kehidupan masyarakat akan terpengaruh dan berkembang secara pesat, sehingga
dampak yang muncul sangat mempengarui terhadap kondisi dan tatanan kehidupan
masyarakat, secara perlahan tanpa disadari atau tidak, pola prilaku maupun pola
pikir masyarakat ikut terpengaruh pula.
Dewasa ini
perkembangan kejahatan semakin canggih, dengan modus maupun cara-cara dalam
melakukan kejahatan semakin modern dengan meninggalkan pola-pola tradisional,
pola-pola tradisional saat ini sudah tidak digunakan karena sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan dan situasi masyarakat dewasa ini, bahkan dalam
kegiatan berinteraksi maupun pergaulan masyarakat sehari-hari dalam melakukan kegiatan cenderung mengikutinya.
Penyidik (polisi) sesuai tugas dan kewenangannya sebagai
pelayan masyarakat dan aparat penegak hukum, senantiasa bertindak secara
profesional dan proporsional, dan mampu memahami terhadap peraturan
perundang-undangan yang ada serta dalam
melakukan proses penyelidikan maupun penyidikan terhadap suatu kasus yang
diterimanya. Dalam melakukan tugas penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus
yang ditangani ternyata tidak ditemukan unsur-unsur pidananya, maka pihak
Kepolisian khususnya penyidik dapat untuk menghentikan perkara, dengan
mengeluarkan surat ketetapan berupa Surat Perintah Penghentian Penyidikan
(SP3), hal tersebut di atur dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang menyatakan
bahwa: “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup
bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau
penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada
penuntut umum, tersangka atau keluarganya.
Penghentian
penyidikan adalah merupakan salah satu kegiatan penyelesaian perkara yang
dilakukan apabila :
a) Tidak terdapat
cukup bukti;
b) Peristiwa tersebut
bukan merupakan tindak pidana;
c) Demi hukum karena
:
-
Tersangka meninggal dunia;
-
Tuntutan tindak pidana telah kadaluarsa;
-
Nebis en idem (tindak pidana tersebut telah memperoleh
putusan hakim yang mempunyai kekuatan
hukum tetap).
II.
Pembahasan
1.
Pemeriksaan
Pemeriksaan adalah kegiatan
untuk mendapatkan keterangan, kejelasan
dan keidentikan tersangka, saksi
ahli dan atau barang bukti maupun
tentang unsur-unsur tindak pidana yang telah terjadi, sehingga kedudukan atau
peranan seseorang maupun barang bukti di dalam tindak pidana tersebut menjadi
jelas dan dituangkan di dalam berita
acara pemeriksaan.
Berita acara pemeriksaan (BAP) adalah catatan atau tulisan yang bersifat
otentik, dibuat dalam bentuk tertentu
oleh penyidik atau penyidik pembantu atas kekuatan sumpah jabatan, diberi
tanggal dan ditanda tangani oleh penyidik atau penyidik pembantu dan tersangka
serta saksi/ahli yang diperiksa, memuat uraian tindak pidana yang
mencangkup/memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang dipersangkakan dengan menyebut waktu, tempat dan keadaan
pada waktu tindak pidana dilakukan, identitas penyidik/penyidik pembantu dan
yang diperiksa, keterangan yang diperiksa.
Berita acara pemeriksaan (BAP) yang tertuang dalam berkas perkara (BP)
sangat berperan penting dalam sistem peradilan pidana sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP), yaitu yang dikenal dengan Criminal
Justis Sistem, Polri sebagai Penyidik, Jaksa Penuntut Umum sebagai Pebutut dan
Hakim sebagai pemutus dalam Persidangan. Kita ketahui hasil berita acara
pemeriksaan (BAP) yang tertuang dalam berita acara pemeriksaan (BAP) yang
dibuat oleh Penyidik, dapat dijadikan dasar oleh Jaksa Penuntut Umum untuk
mendakwa seseorang dalam proses peradilan yang diduga sebagai pelaku tindak
pidana. Apabila hasil pemeriksaan yang dituangkan dalam berkas (BP) yang dibuat
oleh Penyidik, maka dakwaan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum pun akan
mengalami kekliruan, termasuk vonis Hakim yang dijatuhkan terhadap seseorang
palaku tindak pidana akan mengalami kesesatan.
2.
Syarat-Syarat
Pemeriksaan
Pemeriksa selaku penyidik dalam melakukan pemeriksaan harus memiliki
kewenangang untuk melakukan pemeriksaan dalam membuat berita acara pemeriksaan
(BAP), memilki pengetahuan yang cukup tentang hukum pidana, hukum acara pidana
dan perarturan perundang-undangan lainnya. Mempunyai pengetahuan yang cukup dan
mahir dalam melaksanakan fungsi tehnis kepolisian di bidang reserse, mahir
dalam taktik dan tehnik dalam melakukan pemeriksaan.
Memilki kepriabdian yang baik, percaya diri, sabar, tidak gampang
terpengaruh, tekun, ulet dan memiliki kemapuan menilai dengan tepat dan
bertindak secara cermat serta obyketif tanpa pilih kasih. Seorang penyidik
selaku pemeriksa hendaknya melihat seseorang yang diperiksa, apakah seorang
tersangka maupun seorang saksi dan ahli harus memiliki kemampuan untuk
mempersiapkan rencana pemeriksaan dengan
baik efektif dan efesien.
Dalam melakukan pemeriksaan terhadap seorang tersangka, saksi dan ahli
ditetapkan secara khusus tempat maupu sarana pemeriksaan, sehingga tujuan dari
pemeriksaan dapat berjalan sesuai dengan harapan yaitu pelayanan kepada
masyarakat pencari keadilan.
3.
Pembuatan Berita
Acara Pemeriksaan
Dalam pembuatan berita acara pemeriksaan, terdapat persyaratan yang harus dipenuhi yaitu, syarat
formal dan materiil.
Pertama, syarat formal dibuat dalam bentuk tertentu dan tertulis kata-kata Pro Justitia atau untuk keadilan artinya bahwa format
berita acara yang dibuat oleh penyidik atas dasar untuk keadilan, bukan untuk
kepentingan lain. Kemudian setiap lembar dari produk itu ditanda tangani oleh
penyidik dan orang yang diperiksa, baik
sebagai saksi, tersangka dan ahli.
Kedua, syarat materiil yaitu keseluruhan isi atau meteri menyangkut urang
dari peristiwa tindak pidana yang terjadi dan dapat memenuhi unsur-unsur pasal
yang dilanggar atau yang disangkakan kepada pelaku tindak pidana.
4.
Evaluasi
Evaluasi pembuatan berita acara pemeriksaan, senantiasa dilakukan dengan
cara: tahap inventarisasi, tahap seleksi dan pengkajian. Hal ini dilakukan agar
keterangan para saksi, ahli dapat dijadikan dasar dan memenuhi unsur-unsur
pasal yang disangkakan kepada seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak
pidana. Selanjutnya dilakukan seleksi, siapa saja yang layak untuk dijadikan
saksi untuk dimasukan dalam berkas perkara (BP), dan dilakukan pengkajian untuk
menguji kebenaran dengan bukti-bukti serta petunjuk-petunjuk yang ada, sehingga
dapat ditarik suatu kesimpulan tentang kebenaran dan dapat dipercaya tentang
peristiwa pidana yang terjadi dan dapat menentukan pelaku tindak pidana.
5. Pembuktian
- Arti Pembuktian
Pembuktian adalah suatu proses untuk
mencari kebenaran dalam menyelesaikan suatu sengketa atau perselisihan
kepentingan, kepentingan-kepentingan tersebut dapat berhubungan dengan hukum
perdata, hukum pidana, hukum administrasi dan hukum tata usaha negara.
Pembuktian memegang peranan sangat penting dalam proses pemeriksaan di sidang
pengadilan, apabila seseorang didakwa telah melakukan pelanggaran hukum dan
hasil pembuktian “tidak cukup“ maka seorang terdakwa wajib dibebaskan, namun
apabila dapat dibuktikan maka seorang terdakwa dinyatakan bersalah dan
diberikan sanksi berupa hukuman badan atau denda.
Pembuktian memegang peranan penting
dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan, dengan bukti-bukti yang diajukan
untuk mencari dan membuktikan kebenaran atau membuktikan kesalahan-kesalahan
seseorang, dengan pembuktian yang telah diajukan dalam persidangan, maka
seseorang dapat diketahui kesalahan-kesalahan disangkakan kepadanya sebagai
dasar untuk menjatuhkan sanksi pidana.
Dari dua pengertian tersebut, maka
proses pembuktian merupakan inti dari penentuan salah atau tidak seorang yang disangka atau didakwa
melakukan tindak pidana, dalam menjalani proses penyidikan atau pemeriksaan sidang persidangan. Penentuan
salah atau tidak seseorang tidak boleh hanya ditentukan oleh pendapat pribadi
Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim, atau pada pengakuan tersangka/terdakwa, akan
tetapi harus melalui proses pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan.
Menurut M. Yahya Harahap
menyatakan bahwa, pembuktian adalah merupakan titik sentral pemeriksaan perkara
dalam sidang pengadilan. Pembuktian merupakan ketentuan-ketentuan yang berisi
penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang,
untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepadanya.
Pembuktian juga merupakan ketentuan
yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan
hakim untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan. Dalam proses persidangan
pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan
terdakwa.
Dari uraian tersebut di atas arti
pembuktian ditinjau dari segi hukum acara pidana sebagaimana di atur dalam Undang-undang Nomor
8 Tahun 1981, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan penjelasannya termuat dalam tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3209.
-
Alat Bukti
Dalam Pasal 184 KUHAP menyatakan, bahwa macam- macam
alat-alat bukti sebagai berikut :
Ayat (1) alat bukti
yang sah :
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuak;
e. Keterangan terdakwa.
Ayat (2) hal yang
secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Pengertian hal-hal
secara umum adalah suatu hal yang secara umum diketahui tentang suatu hal atau
keadaan yang biasa lazim terjadi dalam penilaian masyarakat, hal demikian yang
sudah diketahui umum tidak perlu dibuktikan, yang diatur dalam Pasal 184 ayat
(2) KUHAP. Macam-macam alat bukti dahulu
di atur dalam pasal 295 HIR, yang terdiri dari
sebagai berikut:
a. Keterangan saksi;
b. Surat-surat;
c. Pengakuan;
d. Tanda-tanda (petunjuk).
Dalam pasal 184
KUHAP, mengandung makna ketentuan yang
membatasi hakim, penuntut umum, terdakwa, maupun penasehat hukum dalam
pemeriksaan sidang pengadilan. Tidak boleh sembarangan dalam menilai pembuktian
dan terikat pada ketentuan maupun tata cara
penilian alat bukti yang ditentukan undang-undang. Alat-alat bukti yang
dipergunakan dalam persidangan maupun dalam mempertahankan tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang. Pasal 184 KUHAP dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1)
Alat Bukti Keterangan Saksi.
Keterangan saksi adalah merupakan alat bukti yang paling
utama dalam perkara pidana. Syarat-syarat agar keterangan saksi dapat digunakan
sebagai alat bukti yang sah dan memiliki nilai kekuatan pembuktian yang
sempurna sebagai berikut:
a. Harus mengucapkan sumpah atau janji (pasal 160 ayat (3)
KUHAP). Pada prinsipnya sumpah diucapkan sebelum memberi keterangan. Pasal 160
(4) KUHAP memberi kemungkinan untuk mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi
memberi keterangan.
b. Keterangan Saksi yang bernilai sebagai bukti. Berdasarkan
pasal 1 angka 27, keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti ialah
keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana : 1. Yang didengar sendiri
oleh saksi; 2.Yang dilihat sendiri oleh saksi; 3. Yang dialami sendiri oleh
saksi; 4. Menyebut alasan dari pengetahuannya.
c. Testimonium de auditu
(mendengar orang lain tidak bernilai sebagai alat bukti). Pendapat atau rekaan
dari hasil pemikiran saksi bukan merupakan alat bukti dan tidak bernilai
sebagai alat bukti. Kadangkala dalam praktek pemeriksaan pertanyaan penyidik
kepada seorang saksi sudah dimulai dengan bagaimana pendapat saudara dan
seterusnya, pertanyaan seperti itu jelas keliru karena saksi tidak boleh
bependapat, yang berpendapat adalah
ahli.
d. Keterangan saksi dalam penyidikan sebagai bahan dasar
keterangan saksi di pengadilan. Keterangan saksi dalam berita acara pemeriksaan pada saat penyidikan
harus diulang dan dipertahankan oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai keterangan
saksi di sidang pengadilan. Tidak ada salahnya jika Jaksa Penuntut Umum
membacakan kembali keterangan-keterangan saksi yang penting dan mendukung surat
dakwaan dalam berita acara
pemeriksaan dalam berkas perkara.
e. Keterangan seorang saksi tidak cukup, tanpa didukung alat
bukti yang lain, dan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti untuk membuktikan
kesalahan tersangka/terdakwa. Agar dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah,
maka keterangan satu orang saksi harus ditambah dengan alat bukti yang lain
yaitu keterangan ahli, surat, pentunjuk atau keterangan terdakwa, dengan
ketentuan antara alat bukti tersebut harus saling bersesuaian dan saling
menguatkan. Keterangan satu orang saksi tanpa didukung oleh alat bukti yang
lain, maka alat bukti tunggal tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk
menentukan kesalahan tersangka/terdakwa. (unus
testis nullus testis). Timbul suatu pertanyaan bagaimana kalau saksi hanya
dua orang saja, yang keterangannya saling bersesuaian dan menguatkan tanpa
didukung oleh alat bukti keterangan ahli, surat petunjuk dan terdakwa
menyangkal. Apakah dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah untuk menentukan
kesalahan tersangka/ terdakwa. Dalam praktek, keterangan dua orang saksi yang saling bersesuaian dan
menguatkan, dapat diterima oleh hakim sebagai alat bukti untuk menentukan
kesalahan terdakwa.
2) Cara pembuktian keterangan saksi yang bernilai pembuktian :
-
Keterangan antara
saksi satu dengan yang lainnya saling
bersesuaian dan menguatkan bukan bertentangan dan berdiri
sendiri-sendiri.
-
Alasan saksi memberi
keterangan, pada saat saksi memberi keterangan sesuatu peristiwa atau keadaan
tertentu yang tidak pasti, seorang saksi dalam memberi keterangan tidak boleh
ragu-ragu, keterangan saksi harus sungguh-sungguh yang dialami sendiri, dilihat
sendiri atau didengar sendiri.
-
Latar belakang
kehidupan saksi, untuk mengetahui latar belakang kehidupan saksi, perlu untuk
mengetahui apakah ada pengaruh dengan faktor-faktor kepribadian misalnya suka
bohong, pemabuk dan lain-lain terhadap keterangan yang berikan.
-
Pada saat penyidikan,
keterangan saksi diberikan dengan mengucapkan sumpah, jika tidak hadir di
sidang keterangannya dibacakan dan keterangan saksi tersebut mempunyai nilai
sebagai alat bukti yang sah.
-
Keterangan saksi
diberikan dengan mengucapkan sumpah.
Suatu kesaksian agar
mempunyai kekuatan sebagai alat bukti, maka harus memenuhi syarat
sebagai berikut, antara lain :
1. Syarat obyektif :
a. idak boleh bersama-sama sebagai terdakwa;
b. tidak boleh ada hubungan keluarga;
c. mampu bertanggung jawab, yakni sudah berumur 15 tahun atau
sudah pernah kawin dan tidak sakit ingatan.
2. Syarat formal:
a. kesaksian harus diucapkan dalam sidang;
b. kesaksian tersebut
harus diucapkan di bawah sumpah;
c. tidak dikenakan asas unus testis nulun testis.
3. Syarat
subyektif/material:
a. saksi menerangkan apa yang ia lihat, ia ketahui, ia dengar
dan ia alami sendiri;
b. dasar-dasar atau alasan mengapa saksi tersebut melihat,
mendengar dan mengalami sesuatu yang diterangkan tersebut.
3) Alat Bukti Keterangan
Ahli
Keterangan ahli adalah keterangan yan diberikan oleh seorang
yang memiliki keahlian khusus, tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang
suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan yang di atur dalam asal 1
angka 28 KUHAP.
Dalam pasal 120 KUHAP bahwa, dalam hal penyidik menganggap
perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian
khusus. Ahli mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidik, bahwa
ia akan memberi keterangan menurut pengetahuannya yang
sebaik-baiknya kecuali apabila disebabkan karena harkat serta
martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan menyimpan rahasia
dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta.
Pasal 133 KUHAP, dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang koban baik luka,
keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan secara tertulis disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka
atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. Mayat dikirm kepada
ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan
secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label
yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan
pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.
Menurut Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor :
SE-003/J.A./2/1984, pemeriksaan ahli terhadap otentikasi tanda tangan dan
tulisan yang akan digunakan sebagai alat bukti tentang suatu peristiwa pidana,
telah disepakati oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung
Republik Indonsia dan Kepala Kepolisian Rpublik Indonesia sebagai berikut:
a. Untuk tindak pidana umum dan tindak pidana khusus keterangan ahli otentikasi diberikan oleh
Laboratorium Kriminal Mabes Polri;
b. Untuk tindak pidana militer, keterangan ahli otentikasi
diberikan oleh Laboratorium Kriminal POM ABRI;
c. Untuk perakara yang bersifat koneksitas dapat diberikan oleh
salah satu Laboratorium Kriminal
berdasarkan kesepakatan antara unsur
penegak hukum yang duduk dalam team untuk perakara koneksitas.
Pasal 179 KUHAP,
setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau
dokter ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. Dalam
memberikan keterangan dengan mengucapkan sumpah atau janji dan memberikan
keterangan yang sebenarnya menurut
pengetahuan dalam bidang keahliannya.
Dari pengaturan tentang keterangan ahli tersebut dapat diuraikan hal-hal
sebagai berikut :
1. Permintaan keterangan ahli dilakukan pada tahap penyidikan :
-
Penyidik meminta
keterangan ahli dan untuk itu ahli membuat "Laporan hasil
pemeriksaan" misalnya; Visum et Repertum, laporan Audit. Dibuat dengan
mengingat sumpah waktu menerima jabatan atau pekerjaan. Laporan ahli tertentu sudah mempunyai sifat
dan nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang.
-
Laporan hasil
pemeriksaan dituangkan dalam bentuk berita acara pemeriksaan Ahli.
2. Keterangan ahli diberikan di sidang pengadilan.
Apabila dianggap perlu dan dikehendaki baik oleh hakim ketua
sidang karena jabatan, maupun atas permintaan Jakasa Penuntut Umum, terdakwa
atau penasihat hukum, dapat meminta pemeriksaan keterangan ahli dalam pemeriksaan
di sidang pengadilan.
Bentuk keterangan ahli menurut tata cara ini berbentuk
"keterangan lisan" dan "secara langsung" diberikan oleh
yang bersangkutan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan.
Bentuk keterangan lisan secara langsung dicatat dalam berita
acara pemeriksaan sidang pengadilan oleh panitera, dan untuk itu ahli yang memberi keterangan
lebih dulu mengucapkan sumpah atau janji sebelum ia memberikan keterangan.
Jadi dalam tata cara dan bentuk keterangan ahli di sidang
pengadilan tidak dapat diberikan hanya berdasar sumpah atau janji pada waktu ia
menerima jabatan atau pekerjaan. Tapi harus mengucapkan sumpah atau janji di
sidang pengadilan sebelum ia memberikan keterangan.
Dengan dipenuhinya
tata cara dan bentuk keterangan yang demikian dalam pemeriksaan di sidang
pengadilan, bentuk keterangan ahli tersebut menjadi alat bukti yang sah menurut
undang-undang. Sekaligus keterangan ahli yang seperti ini mempunyai nilai
kekuatan pembuktian.
3. Keterangan ahli sebagai alat bukti
a. Keterangan seorang ahli yang mempunyai keahlian khusus.
b. Keterangan ahli diperlukan untuk membuat terang perkara pidana
yang diperiksa sesuai dengan
pengetahuannya.
4. Dualisme alat bukti keterangan ahli tetap satu alat bukti:
a. Keterangan ahli dalam bentuk "Laporan" dapat dikategorikan
alat bukti surat (Pasal 187 c KUHAP).
b. Keterangan ahli secara
lisan dan langsung
baik dalam berita acara penyidik
maupun keterangan dalam sidang pengadilan.
4) Alat Bukti Surat.
Dalam pasal 187 KUHAP surat sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat
atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:
a.
Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat
umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan
tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya
sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang
termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang
diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta
secara resmi dan padanya;
d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya
dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Yang dimaksud dengan surat dalam pasal 187 huruf a KUHAP adalah: surat
yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang untuk jabatan”, misalnya berita acara yang dibuat
oleh seorang penyidik; surat yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau
yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan
yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, sesuai dengan ketentuan
undang-undang, misalnya paspor, surat ijin mendirikan bangunan, surat kartu penduduk, surat ijin mengemudi,
surat yang dibuat oleh seorang notaris dan sebagainya, yang kesemuanya bernilai
sebagai alat bukti surat.
Macam-macam surat dapat
dibedakan, adalah:
-
Surat biasa;
-
Surat otentik;
-
Surat dibawah tangan.
Jika macam-macam
surat tersebut dihubungkan dengan ketentuan pasal 187 KUHAP, maka Pasal 187 huruf a, b dan c KUHAP
termasuk surat otentik dan pasal 187 huruf d termasuk surat biasa. Nilai
kekuatan pembuktian dalam hukum acara perdata surat autentik atau surat dalam
bentuk resmi sebagaimana tersebut pasal 187 huruf a dan b KUHAP, dinilai
sebagai alat bukti yang “sempurna”, dan mempunyai nilai kekuatan pembuktian
yang mengikat bagi hakim. Sedangkan dalam hukum acara pidana tidak mengatur
secara khusus tentang nilai kekuatan pembuktian surat. Ditinjau dari segi teori
dan di hubungkan beberapa prinsip pembuktian yang diatur dalam KUHAP dapat
ditinjau, sebagai berikut:
1. Ditinjau dari segi formal, alat bukti surat yang disebut
dalam pasal 187 huruf a,b, dan c merupakan alat bukti yang “sempurna”. Sebab
bentuk surat-surat di dalamnya dibuat secara resmi menurut formalitas yang
ditentukan dalam undang-undang, dan dibuat oleh pejabat yang berwenang yang
memiliki nilai bukti yang sempurna. Oleh karena itu, alat bukti surat resmi
mempunyai nilai “pembuktian formal yang
sempurna”, dari segi formal ini dititikberatkan dari sudut “teoritis”
dikesampingkan oleh beberapa asas dan ketentuan yang terdapat dalam KUHAP,
yaitu adanya batas minimum pembuktian yang ditentukan oleh pasal 183 KUHAP.
2. Ditinjau dari segi
materiil, semua bentuk surat yang
disebut dalam pasal 187 KUHAP “bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan
mengikat”. Nilai kekuatan pembuktian sama halnya dengan nilai kekuatan
pembuktian saksi dan alat bukti
keterangan ahli, sama-sama mempunyai nilai kekuatan yang “bersifat
bebas”. Hakim bebas untuk menilai kekuatan pembuktian, bebas untuk menggunakan
atau menyingkirkan.
Dasar alasan
ketidakterikatan atas alat bukti surat tersebut, didasarkan pada beberapa asas;
antara lain :
a. asas proses pemeriksaan perkara pidana ialah untuk mencari kebenaran materiil atau “kebenaran
sejati” (meteriel waarheid), bukan
mencari kebenaran formal;
b. asas keyakinan hakim, asas ini berhubungan erat dengan
sistem pembuktian yang dianut dalam KUHAP.
c. asas batas minimum pembuktian, ditinjau dari segi formal
alat bukti surat (autentik) sebagai alat bukti
yang sah dan bernilai sempurna, akan tetapi kesempurnaan tidak berdiri
sendiri, melainkan perlu bukti pendukung lainnya.
5) Alat Bukti Petunjuk
Dalam pasal 188 KUHAP, pengertiannya alat bukti petunjuk
adalah sebagai berikut:
1. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang
karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan
tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana
dan siapa pelakunya.
2. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
diperoleh dari; keterangan saksi; surat;
keterangan terdakwa.
3. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam
setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana,
setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan
berdasarkan hati nuraninya.
Alat bukti petunjuk
diperlukan apabila alat bukti yang lain belum mencukupi batas minimum
pembuktian yang dutentukan dalam pasal 183 KUHAP, alat bukti petunjuk tidak
dapat berdiri sendiri melainkan berhubungan dengan alat bukti lainnya. Alat
bukti petunjuk dapat digambarkan sebagai alat bukti yang lahir dari
kandungan alat bukti yang lain, karena :
1. Selamanya tergantung dan bersumber dari alat bukti yang
lain;
2. Alat bukti petunjuk baru diperlukan dalam pembuktian,
apabila alat bukti yang lain belum
dianggap hakim cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Atau dengan kata
lain, alat bukti petunjuk baru dianggap
mendesak mempergunakannya apabila upaya pembuktian dengan alat bukti yang lain
belum mencapai batas minimum pembuktian;
3. Oleh karena itu, hakim harus lebih dahulu berdaya upaya mencukupi
pembuktian dengan alat bukti lain sebelum mempergunakan alat bukti petunjuk;
4. Dengan demikian upaya mempergunakan alat bukti petunjuk baru
diperlukan pada tingkat keadaan daya upaya pembuktian sudah tidak mungkin diperoleh lagi dari alat
bukti yang lain.
Nilai kekuatan
pembuktian petunjuk sifat dan kekuatan pembuktian sama dengan pembuktian keterangan saksi, keterangan ahli
dan alat bukti surat sifat kekuatan
pembuktian yang “bebas”. Hakim tidak terikat
atas kebenaran persesuaian oleh petunjuk, hakim bebas menilai dan
mempergunakan dalam pembuktian.
6). Alat
Bukti Keterangan Terdakwa
Adalah suatu
keterangan terdakwa yang disampaikan di dalam sidang pengadilan. Keterangan
terdakwa lebih luas dari pengakuan terdakwa. Pengakukan terdakwa tidak menghapuskan
kewajiban pembuktian, proses pemeriksaan dalam pembuktian selamanya tetap
diperlukan sekalipun terdakwa mengaku, jaksa penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan
kesalahan terdakwa dengan alat bukti yang lain, pengakuan terdakwa “bersalah“
sama sekali tidak menghapuskan pembuktian. Pasal 189 ayat (4) KUHAP
menyatakan bahwa:
1. Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di
sidang tentang perbuatan yang ia lakukan
atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri;
2. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat
digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu
didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan
kepadanya;
3. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya
sendiri;
4. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa
ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus
disertal dengan alat bukti yang lain.
Pengakuan terdakwa
atau keterangan terdakwa bukan merupakan alat bukti yang sempurna, juga tidak
memiliki pembuktian yang menentukan untuk menjatuhkan kesalahan terdakwa,
melainkan perlu alat pembuktian yang lain. Dari ketentuan pasal 189 ayat (1)
dan ayat (2) KUHAP tersebut keterangan
terdakwa dapat dibagi dua yaitu ;
a. Keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang pengadilan
(The Confession Outside Court), asas
ini menerangkan bahwa keterangan yang diberikan di luar sidang pengadilan tidak
mempunyai nilai kekuatan alat bukti, melainkan dapat membantu dan menemukan alat
bukti dalam persidangan.
b. Keterangan terdakwa yang diberikan dalam sidang pengadilan,
baru merupakan alat bukti. Keterangan
terdakwa tersebut berisi pernyataan terdakwa tentang apa yang ia diperbuat, apa yang ia lakukan dan apa yang ia alami.
6) Sistem Pembuktian
Sistem pembuktian ada beberapa
ajaran yang berhubungan dengan teori
pembuktian, dalam teori dikenal
4 sistem pembuktian yaitu :
a. Conviction in
Time
Sistem pembuktian Conviction
in time adalah sistem pembuktian
yang mengajarkan dalam menentukan kesalahan terdakwa semata-mata
ditentukan oleh penilaian pada ”keyakinan” hakim.
Hakim dalam menjatuhkan kesalahan
terdakwa tidak terikat dengan alat bukti. Dari mana hakim menyimpulkan
keyakinan yang dijadikan dasar untuk menjatuhkan putusan terdakwa, dalam sistem ini tidak menjadi
masalah.
Keyakinan boleh diambil dari alat
bukti yang dihasilkan dalam persidangan atau tidak mempergunakan alat
bukti yang ada dipersidangan. Hakim langsung menarik keyakinan dari keterangan
atau pengakuan terdakwa.
Sekalipun kesalahan terdakwa telah
cukupbukti, jika hakim tidak yakin maka terdakwa dapat dibebaskan, sebaliknya
walaupun kesalahan terdakwa tidak terbukti dengan melihat alat-alat bukti yang
sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah,
semata-mata atas dasar “keyakinan” hakim.
Sistem ini unsur subyektif sangat
dominan. Sistem pembuktian conviction in
time ini dipergunakan dalam sistem
peradilan juri, misalnya di Inggris dan
Amerika serikat.
b. Conviction in
Raisone
Sistem pembuktian Conviction
in Raisone ini masih mendasarkan pada “keyakinan” hakim dalam menentukan
kesalahan terdakwa, akan tetapi hakim dibatasi.
Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa berdasar
keyakinannya dan menguraikan alasan-alasan yang rasional (reasonable). Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan dapat diterima oleh
akal, tidak semata-mata berdasar
keyakinan tanpa batas. Sistem pembuktian ini disebut dengan sistem pembuktian
bebas.
c. Sistem Pembuktian
Secara Positif
Sistem pembuktian positif ini menganut sistem pembuktian menurut undang-undang, yang
berdasar pada alat-alat bukti yang telah ditentukan dalam undang-undang,
keyakinan hakim tidak ikut berperan. Dalam menentukan kesalahan seseorang
terdakwa didasarkan atas alat-alat bukti yang sah yang ditentukan dalam
undang-undang, sudah cukup bagi hakim untuk menentukan kesalahan terdakwa tanpa
mempersoalkan keyakinan hakim. Sistem ini, hakim seolah-olah sebagai robot
dalam menjalankan undang-undang, hati nurani hakim tidak ikut dalam menentukan
kesalahan terdakwa. Sistem pembuktian positif ini yang dicari adalah kebenaran
formal, dan sistem pembuktian ini dipergunakan dalam hukumacara perdata.
d. Sistem Pembuktian
Secara Negatif
Sistem pembuktian negatif (negatif wettelijk) ini merupakan sistem pembuktian positif dan
sistem pembuktian menurut keyakinan hakim (convictioan
in time). Dalam sistem pembuktian secara negatif ini hakim dalam mentukan
kesalahan terdakwa didasarkan pada alat-alat bukti yang sah yang ditentukan
dalam undang-undang dan adanya keyakinan hakim. Terdapat dua komponen dalam
sistem pembuktian negatif ini untuk menentukan kesalahan terdakwa, yaitu :
1. pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang;
2. dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan
dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dengan demikian, sistem
ini memadukan unsur “obyektif” dan “subyektif” dalam menentukan salah atau
tidaknya terdakwa dan tidak ada yang dominan di antara kedua unsur tersebut.
7) Sistem Pembuktian yang Dianut KUHAP.
Sistem pembuktian mana yang di
anut oleh KUHAP diatur dalam pasal 183 KUHAP, yang berbunyi “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seseorang kecuali apabila dengan sekuramg-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Dari pengertian tersebut dapat diuraikan tentang persyaratan
untuk menyatakan seseorang bersalah menurut KUHAP, yaitu Sekurang-kurangnya 2
(dua) alat bukti yang sah; hakim memperoleh keyakinan terjadinya tindak pidana
dan terdakwalah yang melakukan. Dari uraian di atas jelaslah
bahwa KUHAP mengatur sistem pembuktian “negatif
wettelijk”.
8) Penerapan dan Kecenderungan
Sistem Pembuktian KUHAP.
Dalam Pelaksanaan sistem pembuktian secara negatif dalam
penegakan hukum di Indonesia baik masa HIR maupun setelah KUHAP berlaku,
penerapan sistem pembuktian secara negatif sebagaimana diamanatkan dalam pasal
183 KUHAP, pada umumnya telah mendekati
makna dan tujuan pembuktian.
III.
Penutup
Bahwa berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh
penyidik/penyidik pembantu adalah merupakan kewenangan yang diberikan oleh
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, dibuat dalam bentuk format
tertentu yang memenuhi syarat formal maupun
syarat materiil.
Berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik/penyidik
pembantu sangat penting karena di buat atas dasar untuk kedilan, yang selanjuya
dijadikan dasar oleh Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan dakwakan kepada
seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dalam proses peradilan, bukan
untuk kepentingan lain.
Berita acara yang telah dibuat, kemudian disusun menjadi
satu bendel/berkas (yang dinamakan berkas perkara atau BP), dapat menentukan
salah tidaknya seseorang dalam proses peradilan pidana, dengan bukti-bukti yang
ada kaitannya dengan peristiwa pidana yang terjadi, dapat dijadikan dasar Jaksa
Penuntut Umum untuk membuktikan kesalahan seseorang yang diduga sebagai pelaku
tindak pidana di depan hakim pengadilan yang memutuskannya.
Berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik/penyidik
pembantu yang disusun menjadi satu bendel/berkas jika salah dan keliru, maka
berkas perkara yang dijadikan dasar oleh Jaksa Penuntut Umum untuk mendakwa
seseorang yang diduga melakukan tindak pidana, kemudian diputus oleh hakim
pengadilan akan terjadi kesesatan, pada akhirnya akan terjadi pelanggaran hak
asasi manusia.
DAFTAR BACAAN
BUKU
1) Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Arief, Barda Nawawi, Bandung, l996.
2) Pembaharuan Hukum
Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005
3) Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan penanggulangan Kejahatan, PT Citra Aditya, Bandung, 2001.
4) Dasar-Dasar
Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997. Englebecht, R.Susilo
“Sculd” diartikan kesalahan, M.Budianto dan K.Wantjik Saleh” Sculd” diartikan
kekhilafan. Lihat juga P.A.F. Lamintang.
5) Hukum Pidana, Kumpulan Bahan Penataran Hukum Pidana Prof.
Dr.D.Schaffmeister, Prof.Dr. Nico
Keijzer dan Mr. E.PH. Sitorus, Liberty, Yogjakarta, 1995. Hantum,
Van, dalam J.E.Sahetapy,.(editor penerjemah),
6) Asas-Asas Hukum Pidana, Yarsif Watampone, Jakarta, 2005.
7) Delik-Delik Khusus
Kejahatan Jabatan danKejahatan-Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana
Korupsi, Lamintang, P.AF, Pionir Jaya,
Bandung, 1991,h.276.
8) Penelitian Hukum, Mahmud Marzuki, Peter, Prenada Media,
Jakarta, 2005.
9) Penyalahgunaan
Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi Dalam
Pengelolaan Keuangan Negara,
Minarno, Nur Basuki, Laksbang Mediatama,
Cet ke 1, Surabaya, 2008.
10)Pembahasan Permasalahan dan Penerapam KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2003.
UnUndang-undang
1) Undang-undang Nomor I Tahun 1946 Jo Undang-undang Nomor 73
Tahun 1958 tentang berlakunya Peraturan Hukum Pidana.
2) Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
3) Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI.
4) Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
5) Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan Undang- undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasan
Kehakiman.
6) Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Tahun 1968 .
7) Undang-undang
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.