halaman 1
RESUME
Karangan : PROF. DR. JUR. ANDI HAMZAH
BAB I
P E N D A H U L U A N
A.
PENGERTIAN HUKUM PIDANA
I.
Ilmu-ilmu hukum pidana
sistematik :
a.
hukum pidana –
hukum pidana materil;
b.
hukum acara
pidana – hukum pidana formil;
II.
Ilmu hukum pidana berdasarkan pengalaman antara
lain :
a.
kriminologi – ilmu pengetahuan tentang perbuatan
jahat dan kejahatan;
b.
kriminalistik
– ajaran tentang pengusutan;
c.
psikiatri forensic dan psikologi forensic;
d.
sosiologi
hukum pidana – ilmu hukum pidana sebagai gejala masyarakat, yang mengenai
bekerjanya pelaksanaan hukum pidana dalam arti yang luas di dalam masyarakat,
jadi tidak bekerjanya terhadap tersangka atau pembuat. Maksudnya penataan hukum
pidana di dalam masyarakat, tetapi tidak oleh tersangka atau pembuat.
III. Filsafat
hukum pidana
Pengertian hukum pidana itu sendiri, paling luas
hanya yang tersebut pada hukum pidana materiel dan hukum pidana formil atau
hukum acara pidana.
Hukum pidana materiel
berisi isi atau substansi hukum pidana itu dimana hukum pidana bermakna abstrak
atau dalam keadaan diam.
Hukum pidana formil atau
hukum acara pidana bersifat nyata atau konkret dimana kita lihat hukum
pidana dalam keadaan bergerak, atau di jalankan atau berada dalam suatu proses.
Perbedaan hukum pidana materiel (hukum
pidana) dan hukum pidana formil (hukum
acara pidana)
Menurut Van Bammelen :
Ilmu hukum acara pidana mempelajari
peraturan-peraturan yang diciptakan oleh Negara, karena adanya dugaan terjadi
pelanggaran Undang-undang pidana :
1.
Negara
melalui alat-alatnya menyidik kebenaran;
2.
Sedapat
mungkin menyidik pelaku perbuatan itu;
3.
Mengambil
tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pelaku dan kalau perlu
menahannya;
4.
Mengumpulkan
bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada penyidikan
kebenaran guna di limpahkan kepada hakim dan kemudian membawa terdakwa ke
depan hakim tersebut;
5.
Hakim
memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada
terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib;
6. Upaya
hukum untuk melawan keputusan tersebut;
7.
Akhirnya,
melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib itu.
Hukum
pidana materiel sebagai substansi yang dijalankan dengan kata-kata : “karena adanya dugaan terjadi pelanggaran
Undang-undang pidana”.
Menurut Simons :
Bahwa
hukum pidana materiel mengandung petunjuk-petunjuk dan uraian tentang delik,
peraturan-peraturan tentang syarat-syarat hal dapat dipidananya seseorang (straftbaarheid),
penunjukkan orang yang dapat di pidana dan ketentuan tentang pidananya, ia
menetapkan siapa dan bagaimana orang itu dapat di pidana. Sedangkan hukum
pidana formel mirip dengan yang di kemukakan Van Bammelen yaitu mengatur
tentang cara Negara dengan perantaraan para pejabatnya menggunakan haknya untuk
memidana.
Perbedaan Simons dan Van Bammelen, ialah Van
Bemmelen merinci tahap-tahap hukum acara pidana itu
di mulai dengan “mencari kebenaran” dan di akhiri dengan “pelaksanaan pidana
dan tindakan tata tertib” sedangkan Simons tidak
merincinya.
Menurut Pompe :
Bahwa
hukum pidana (materiel) yaitu “keseluruhan peraturan-peraturan hukum, yang
menunjukkan perbuatan-perbuatan mana yang seharusnya di kenakan pidana, dan di
mana pidana itu seharusnya terdapat”.
Menurut
Hezwinkel-Suringa :
Bahwa jus poenale (hukum pidana materiel)
adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah atau
keharusan yang terhadap pelanggarannya di ancam dengan pidana (sanksi hukum)
bagi barang siapa yang membuatnya.
Menurut Leo Polak :
Bahwa pengertian jus
puniendi yang merupakan hak untuk menjatuhkan pidana. Hak
untuk menjatuhkan pidana berada di tangan Negara.
Dengan demikian maka jus poenale bersifat
obyektif, maka jus puniendi bersifat subyektif. Disamping itu di kenal pula hukum penitentiair, yaitu hukum sanksi yang khusus menguraikan tentang
sanksi-sanksi di dalam hukum pidana.
Menurut Moeljatno :
Merumuskan hukum pidana
yang meliputi hukum pidana materiel dan hukum pidana formil, seperti yang di
maksud oleh Enschede – Heijder dengan hukum pidana sistematik yaitu “Hukum
pidana adalah sebagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara,
yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
1.
Menentukan
perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh di lakukan, yang di larang, dengan di
sertai ancaman atau sanksi (sic) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa
melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan
kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan itu dapat di kenakan atau di jatuhi pidana sebagaimana yang
di ancam.
3. Menentukan
dengan cara bagaimana pengenaanpidana itu dapat di laksanakan apabila ada orang
yang di sangka telah melanggar larangan tersebut.
B. TEMPAT DAN SIFAT HUKUM PIDANA
Hukum acara pidana (hukum pidana formil) corak hukum publiknya lebih
nyata daripada hukum pidana materiel karena yang bertindak menyidik dan
menuntut adalah alat Negara (polisi, jaksa) jika terjadi pelanggaran hukum
pidana.
Terdapat beberapa pengecualian, misalnya dalam delik aduan, alat Negara
hanya bertindak jika ada pengaduan dari pihak yang di rugikan, di mana hal ini
merupakan gejala sisa-sisa sifat privat hukum pidana.
Pompe menyatakan bahwa :
Hukum pidana adalah hukum
publik dengan menunjuk alasan penjatuhan pidana di jatuhkan untuk
mempertahankan kepentingan umum. Walaupun yang dirugikan atau korban delik
memaafkan terdakwa, tuntutan pidana tetap diadakan oleh penuntut umum, kecuali
dalam delik aduan.
Van Hammel menyatakan bahwa :
Hukum pidana telah berkembang
menjadi hukum publik karena pelaksanaannya berada sepenuhnya di dalam tangan
pemerintah dengan pengecualian misalnya delik aduan, yang dilakukan pengaduan
atau keberatan pihak yang dirugikan agar pemerintah dapat menerapkan.
Simons berpendapat
bahwa :
Hukum pidana termasuk hukum
publik karena ia mengatur hubungan antara individu dan masyarakat/Negara dan
dijalankan untuk kepentingan masyarakat serta hanya diterapkan jika masyarakat
itu sungguh-sungguh memerlukannya.
Van Bammelen menunjukkan
bahwa :
Hukum pidana itu sama saja dengan bagian lain dari hukum, karena
seluruh bagian hukum menentukan peraturan untuk menegakkan norma-norma yang di
akui oleh hukum. Tujuan utama semua bagian hukum ialah menjaga ketertiban,
ketenangan, kesejahteraan dan kedamaian dalam masyarakat, tanpa dengan sengaja
menimbulkan penderitaan. Selanjutnya Van Belemmen mengajukan pendapat bahwa
hukum pidana itu merupakan ultimum remedium (obat terakhir), sedapat mungkin dibatasi, dalam arti bila bagian lain
dari hukum itu tidak cukup untuk menegakkan norma-norma yang diakui oleh hukum,
barulah hukum pidana di terapkan.
C.
PERBEDAAN ANTARA HUKUM PIDANA DAN HUKUM PERDATA
Perbedaan yang menganut common law yang berlaku juga untuk
sebagian besar untuk hukum pidana. Perbedaan itu antara lain :
1. Perbedaan antara hakim yang mengadili.
Di
Indonesia dan Belanda untuk sebagian besar diadili oleh hakim dan pengadilan
yang sama, yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Namun
di Mahkamah Agung ada ketua muda pidana dan ketua muda perdata.
Sedangkan di Inggris pengadilan antara
perkara perdata benar-benar terpisah. dimana
Pengadilan yang mengadili perkara
perdata yaitu High Court untuk
gugatan dalam jumlah besar sedangkan Country
Court mengadili selebihnya. Untuk perkara pidana pengadilan tingkat pertama
ialah Crown Court dan magistrate court umumnya jika terdakwa
mengaku (pleaguilty). Ada pengadilan
appel yaitu Divisional Court atau Court of Appeal. Pengadilan tingkat
terakhir the final appeal court ialah
House of Lords.
2. Perbedaan
istilah.
Dalam perkara pidana tuntutan dilakukan oleh
jaksa penuntut umum atas nama Negara dengan surat dakwaan yang mengandung
uraian delik yang didakwakan. Sedangkan dalam perkara perdata gugatan diajukan
oleh pihak-pihak yang berkepentingan (yang dirugikan) sendiri.
3. Perbedaan
Hasil .
Jika
dalam perkara pidana tuntutan jaksa penuntut umum yang tercantum dalam dakwaan
terbukti dan meyakinkan hakim, maka terdakwa akan dijatuhi pidana (nestapa).
Dalam perkara perdata jika gugatan diterima maka tergugat akan dihukum untuk
mengganti kerugian atau melakukan suatu perbuatan. Ada pengecualian karena
sering dalam perkara pidana pun terdakwa diperintahkan untuk mengganti kerugian,
baik karena perkara perdata digandengkan pada perkara pidana berdasarkan KUHAP
atau dikenakan pidana bersyarat khusus untuk mengganti kerugian.
4. Perbedaan
pembuktian.
Dalam perkara pidana yang dicari ialah
kebenaran materiel, yaitu kebenaran yang sungguh-sungguh, sedangkan dalam
perkara perdata cukup dengan kebenaran formel.
D. PEMBAGIAN
HUKUM PIDANA UMUM DAN KHUSUS
Hukum pidana secara tradisional di bagi menjadi
hukum pidana umum dan hukum pidana khusus seperti hukum pidana ekonomi, hukum
pidana fiskal dan hukum pidana militer.
Van Poelje berpendapat bahwa yang disebut
pidana umum adalah semua hukum pidana yang bukan hukum pidana militer. Van
Poelje selanjutnya menyatakan bahwa hukum pidana ekonomi bukan hukum pidana
khusus karena berdasarkan artikel 91 WvS Belanda (=103 KUHP Indonesia) yang
berbunyi : “aturan kedelapan bab yang pertama dalam buku ini (Buku I), boleh
diberlakukan terhadap perbuatan yang atasnya ditentukan pidana menurut
Undang-undang, peraturan umum atau ordonansi kecuali undang-undang menentukan
lain”, sedangkan hukum pidana ekonomi tidak ada yang dengan tegas dan jelas
menunjuk asas-asas hukum pidana lain dari buku I WvS aturan umum.
Pompe yang diikuti Utrecht, memandang hukum pidana ekonomi
sebagai pidana khusus karena adanya penyimpangan ketentuan Undang-undang
tersebut dari Ketentuan Umum KUHP menurut Pasal 103 KUHP.
Paul Scholten membagi hukum pidana umum dan
hukum pidana khusus, dengan kriterianya tidak di dasarkan pada Pasal 103 KUHP,
melainkan semua hukum pidana yang berlaku umum disebut sebagai hukum pidana
umum, hukum pidana khusus menurutnya adalah perundang-undangan bukan pidana
yang bersanksi pidana, yang di sebut juga hukum pidana pemerintahan.
Dr. Andi Hamzah, SH sependapat dengan Pompe untuk memakai patokan Pasal
103 KUHP yang mengandung asas lex specialis derogat legi generali, dengan
mengemukakan istilah baru yaitu perundang-undangan hukum pidna umum dan hukum
perundang-undangan pidana khusus. Perundang-undangan pidana umum ialah KUHP
beserta semua perundang-undangan yang mengubah dan menambah KUHP itu sedangkan
perundang-undangan pidana khusus ialah semua perundang-undangan di luar KUHP
beserta perundang-undangan pelengkapnya, baik perundang-undangan pidana maupun
yang bukan pidana tetapi bersanksi pidana.
BAB II
SEJARAH SINGKAT HUKUM
PIDANA DI INDONESIA
A.
ZAMAN VOC
Menurut Utrecht, hukum yang berlaku di daerah yang
dikuasai oleh VOC ialah:
1. Hukum
statute yang termuat di dalam : Statuten van Batavia.
2.
Hukum Belanda kuno.
3.
Asas-asas hukum Romawi.
Hubungan hukum Belanda yang kuno dengan statuta itu
ialah sebagai pelengkap, jika statuta tidak dapat menyelesaikan masalah, maka
hukum Belanda kuno yang diterapkan, sedangkan hukum Romawi berlaku untuk
mengatur kedudukan hukum budak (slaven recht).
Pada tahun 1848 di bentuk intermaire stafbepalingen dan pada tahun 1866 muncul kodifikasi
yang sistematis dimana mulai tanggal 10 Pebruari 1866 berlaku dua KUHP di
Indonesia :
1.
Het Wetboek Straftrecht vor European (Stbl. 1866 Nomor 55) yang
berlaku bagi golongan Eropa mulai 1 Januari 1867. kemudian dengan Ordonansi
tanggal 6 Mei 1972 berlaku KUHP untuk golongan Bumiputra dan Timur Asing.
2. Het
Wetboek van Straftrecht voor Inlands en Daarmede Gelijkgestelde
(Stbl. 1872 Nomor 85), mulai berlaku 1 Januari 1873.
B.
ZAMAN HINDIA BELANDA
Dari tahun 1811 sampai
dengan 1814 Indoensia pernah jatuh dari tangan Belanda ke tangan Inggris. KUHP
yang berlaku bagi golongan Eropa adalah salinan dari Code Penal yang berlaku di
Negeri Belanda tetapi berbeda sumbernya dimana yang berlaku di Indonesia terdiri
hanya atas 2 buku sedangkan Code Penal terdiri atas 4 buku.
KUHP yang berlaku bagi golongan Bumiputra juga
saduran dari KUHP yang berlaku bagi golongan Eropa, tetapi diberi sanksi yang
lebih berat sampai pada KUHP 1918 pun, dananya lebih berat dari pada KUHP
Belanda 1886.
Berdasarkan Azaz Konkordansi (Corcondantie) menurut pasal 75
Regering Reglement, dan 131 Indische Staatregeling, maka KUHP di Negeri Belanda
harus diberlakukan pula di daerah jajahan seperti Hindi Belanda dengan
penyesuaian pada situasi dan kondisi setempat. Dengan Koninklijk Besluit tanggal 15 Oktober 1919 dan diundangkan pada
September 1915 Nomor 732 lahirlah Wesboek
van Straafrecht voor Nederlandsch Indie yang baru untuk seluruh golongan pendudukan, dan dengan Invoeringsverordening berlakulah pada tanggal 1 Januari 1918
WvSI tersebut.
C.
ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG
Hal ini didasarkan pada
Undang-undang (Osamu Serei)
Nomor 1 tahun 1942 yang mulai berlaku pada tanggal 7 Maret 1942 sebagai
peraturan peralihan Jawa dan Madura.
Pasal 3 Osamu Serei berbunyi :
“Semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaannya,
hukum undang-undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah buat sementara
waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer”.
Dibanding dengan hukum pidana Materiel, maka hukum acara
pidana lebih banyak berubah, karena terjadi unifikasi acara dan susunan
pengadilan, ini diatur didalam Osamu Serei nomor 3 tahun 1942 tanggal 20
September 1942.
D.
ZAMAN KEMERDEKAAN
Situasi dan kondisi
setelah zaman pendudukan Jepang dipertahankan sesudah Proklamasi Kemerdekaan.
Pasal II aturan peralihan
UUD 1945 berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945
menyatakan :
“Segala badan negara dan
peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-undang Dasar ini”.
Peraturan mendasar atas WvSI barulah diadakan
dengan Undang-undang Nonor 1 tahun 1946 yang menetukan bahwa : “hukum pidan
yang berlaku sekarang (mulai 1946) ialah hukum pidana yang berlaku pada tanggal
8 Maret 1942 dengan pelbagai perubahan dan penambahan yang disesuaikan dengan
keadaan Negara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dengan nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch
Indie diubah menjadi Wetboek
van Strafrecht yang dapat disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP).
E.
RANCANGAN KUHP BARU
Hasrat untuk mengadakan modifikasi KUHP Nasional yang
disusun oleh Putera-putera Indonesia sendiri yang sumbernya digali dari bumi
Indonesia dengan memperhatikan perkembangan dunia modern dibidang hukum pidana,
sudah lama dicetuskan di dalam pelbagai kesempatan.
Perbedaan mencolok antara Rancangan dan KUHP (lama) ialah
Rancangan hanya terdiri atas 2 (dua) buku, sedangkan KUHP (lama) yang sama
dengan WvSI Belanda terdiri atas 3 buku. Dengan sendiri perbedaan
antara Delik Kejahatan dan Delik Pelanggaran didalam Rancangan telah
ditiadakan.
BAB III
TEORI-TEORI TENTANG HUKUM PIDANA
A.
PENGERTIAN
Sarjana Hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dan
pidana yang dalam Bahasa Belanda hanya dikenal satu istilah untuk keduanya,
yaitu Straft. Istilah hukuman adalah istilah umum untuk segala macam sanksi
baik perdata administrative, disiplin dan pidana. Sedangkan istilah pidana
diartikan sempit yang berkaitan dengan hukum pidana.
Pidana merupakan
karekteristik hukum pidana yang membedakannya dengan hukum perdata. Pidana di
pandang sebagai sesuatu nestapa yang di kenakan kepada pembuat karena melakukan
suatu delik dan bukan merupakan tujuan akhir tapi tujuan terdekat. Perbedaan
antara pidana dan tindakan karena tindakan dapat merupakan nestapa juga tetapi
bukan tujuan. Tujuan akhir pidana dan tindakan dapat menjadi satu yaitu
memperbaiki pembuat.
B. TUJUAN
PIDANA
Tujuan pidana dalam literature
berbahasa Inggris sering di sebut :
Reformasi berarti memperbaiki atau
merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat.
Renstrait maksudnya mengasingkan
pelanggar dari masyarakat yang berarti masyarakat itu akan menjadi lebih aman.
Restribution ialah pembalasan terhadap
pelanggar karena telah melakukan kejahatan.
Deterrence berarti menjera atau mencegah
sehingga baik terdakwa sebagai individual maupun orang lain yang potensial
menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan, melihat pidana
yang dijatuhkan terhadap terdakwa.
Tiga golongan utama teori
untuk membenarkan penjatuhan pidana :
1. Teori absolute teori pembalasan (vergeldings theorien)
Mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk
yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirlah yang
mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada,
karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat
menjatuhjkan pidana itu. Setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkan pidana
kepada pelanggar. Oleh karena itu teori ini disebut pula dengan teori absolute
karena Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu
dijatuhkan tetapi menjadi keharusan Hakikat suatu pidana ialah pembalasan.
Variasi-variasi teori pembalasan diperinci oleh Leo Polak menjadi :
1.
Teori pertanahan kekuasaan hukum
atau pertanahan kekuasaan pemerintah Negara (rechtsmacht of gezagshandhaving).
2.
Teori kompemsasi keuntungan (voordeelscompensatie).
3.
Teori melenyapkan segala sesuatu
yang menjadi akibat suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan
penghinaan (onrechtfustrering en blaam).
4.
Teori pembalasan dalam
menyelenggarakan persamaan hukum (talioniserende handhving van
rechtgelijkheid).
5.
Teori untuk melawan kecenderungan
untuk memuaskan keinginan berbuat yang bertentangan dengan kesusilaan (kering
van onzedelijke neigingsbevredining).
6.
Teori mengobyektifkan (objektiveringstheorie).
2. Teori relative atau tujuan (doeltheorien)
mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan
tertib masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan untuk prevensi terjadinya
kejahatan. Wujud pidana ini berbeda-beda : menakutkan, memperbaiki, atau
membinasakan. Lalu dibedakan prevensi umum dan khusus. Prevensi umum
menghendaki agar orang-orang pada umumnya tidak melakukan delik, sedangkan
prevensi khusus ialah untuk mencegah niat buruk pelaku (dader) bertujuan
mencegah pelanggar mengulangi perbuatannya atau menceah bakal pelanggar
melaksanakan perbuatan jahat yang direncanakannya.
3.
Teori gabungan (vereningingstheorien)