Tampilkan postingan dengan label Ilmu HukumPidana. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ilmu HukumPidana. Tampilkan semua postingan

Senin, 20 Oktober 2014

Asas Hukum Pidana (resume)

halaman 1
RESUME
Karangan : PROF. DR. JUR. ANDI HAMZAH

BAB I

P E N D A H U L U A N 

A.     PENGERTIAN HUKUM PIDANA

I.              Ilmu-ilmu hukum pidana sistematik :
a.      hukum pidana – hukum pidana materil;
b.      hukum acara pidana – hukum pidana formil;
II.            Ilmu hukum pidana berdasarkan pengalaman antara lain :
a.      kriminologi – ilmu pengetahuan tentang perbuatan jahat dan kejahatan;
b.      kriminalistik – ajaran tentang pengusutan;
c.       psikiatri forensic dan psikologi forensic;
d.      sosiologi hukum pidana – ilmu hukum pidana sebagai gejala masyarakat, yang mengenai bekerjanya pelaksanaan hukum pidana dalam arti yang luas di dalam masyarakat, jadi tidak bekerjanya terhadap tersangka atau pembuat. Maksudnya penataan hukum pidana di dalam masyarakat, tetapi tidak oleh tersangka atau pembuat.
III.    Filsafat hukum pidana
Pengertian hukum pidana itu sendiri, paling luas hanya yang tersebut pada  hukum   pidana materiel dan hukum pidana formil atau hukum acara pidana.
Hukum pidana materiel berisi isi atau substansi hukum pidana itu dimana hukum pidana bermakna abstrak atau dalam keadaan diam.
Hukum pidana formil atau hukum acara pidana bersifat nyata atau konkret dimana kita lihat hukum pidana dalam keadaan bergerak, atau di jalankan atau berada dalam suatu proses.
Perbedaan hukum pidana materiel (hukum pidana) dan hukum  pidana formil (hukum acara pidana)
 Menurut Van Bammelen :
Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh Negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran Undang-undang pidana :
1.      Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran;
2.      Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu;
3.      Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pelaku dan kalau perlu menahannya;
4.      Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna di limpahkan kepada hakim dan kemudian membawa terdakwa ke depan hakim tersebut;
5.      Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib;
6.      Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut;
7.      Akhirnya, melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib itu.
 Hukum pidana materiel sebagai substansi yang dijalankan dengan kata-kata : “karena adanya dugaan terjadi pelanggaran Undang-undang pidana”.  
Menurut Simons :
 Bahwa hukum pidana materiel mengandung petunjuk-petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan-peraturan tentang syarat-syarat hal dapat dipidananya seseorang (straftbaarheid), penunjukkan orang yang dapat di pidana dan ketentuan tentang pidananya, ia menetapkan siapa dan bagaimana orang itu dapat di pidana. Sedangkan hukum pidana formel mirip dengan yang di kemukakan Van Bammelen yaitu mengatur tentang cara Negara dengan perantaraan para pejabatnya menggunakan haknya untuk memidana.
Perbedaan Simons dan Van Bammelen, ialah Van Bemmelen merinci tahap-tahap hukum acara pidana itu di mulai dengan “mencari kebenaran” dan di akhiri dengan “pelaksanaan pidana dan tindakan tata tertib” sedangkan Simons tidak merincinya.
Menurut Pompe :
 Bahwa hukum pidana (materiel) yaitu “keseluruhan peraturan-peraturan hukum, yang menunjukkan perbuatan-perbuatan mana yang seharusnya di kenakan pidana, dan di mana pidana itu seharusnya terdapat”.
Menurut Hezwinkel-Suringa :
Bahwa jus poenale (hukum pidana materiel) adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarannya di ancam dengan pidana (sanksi hukum) bagi barang siapa yang membuatnya.
Menurut Leo Polak :
Bahwa pengertian jus puniendi yang merupakan hak untuk menjatuhkan pidana. Hak untuk menjatuhkan pidana berada di tangan Negara. 
Dengan demikian maka jus poenale bersifat obyektif, maka jus puniendi bersifat subyektif. Disamping itu di kenal pula hukum penitentiair, yaitu hukum sanksi yang khusus menguraikan tentang sanksi-sanksi di dalam hukum pidana.
Menurut Moeljatno :
Merumuskan hukum pidana yang meliputi hukum pidana materiel dan hukum pidana formil, seperti yang di maksud oleh Enschede – Heijder dengan hukum pidana sistematik yaitu “Hukum pidana adalah sebagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
1.      Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh di lakukan, yang di larang, dengan di sertai ancaman atau sanksi (sic) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
2.      Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat di kenakan atau di jatuhi pidana sebagaimana yang di ancam.
3.      Menentukan dengan cara bagaimana pengenaanpidana itu dapat di laksanakan apabila ada orang yang di sangka telah melanggar larangan tersebut.


B. TEMPAT DAN SIFAT HUKUM PIDANA
Hukum acara pidana (hukum pidana formil) corak hukum publiknya lebih nyata daripada hukum pidana materiel karena yang bertindak menyidik dan menuntut adalah alat Negara (polisi, jaksa) jika terjadi pelanggaran hukum pidana.
Terdapat beberapa pengecualian, misalnya dalam delik aduan, alat Negara hanya bertindak jika ada pengaduan dari pihak yang di rugikan, di mana hal ini merupakan gejala sisa-sisa sifat privat hukum pidana.
Pompe menyatakan bahwa :
Hukum pidana adalah hukum publik dengan menunjuk alasan penjatuhan pidana di jatuhkan untuk mempertahankan kepentingan umum. Walaupun yang dirugikan atau korban delik memaafkan terdakwa, tuntutan pidana tetap diadakan oleh penuntut umum, kecuali dalam delik aduan.
Van Hammel menyatakan bahwa :
Hukum pidana telah berkembang menjadi hukum publik karena pelaksanaannya berada sepenuhnya di dalam tangan pemerintah dengan pengecualian misalnya delik aduan, yang dilakukan pengaduan atau keberatan pihak yang dirugikan agar pemerintah dapat menerapkan.
Simons berpendapat bahwa :
Hukum pidana termasuk hukum publik karena ia mengatur hubungan antara individu dan masyarakat/Negara dan dijalankan untuk kepentingan masyarakat serta hanya diterapkan jika masyarakat itu sungguh-sungguh memerlukannya.
Van Bammelen menunjukkan bahwa :
Hukum pidana itu sama saja dengan bagian lain dari hukum, karena seluruh bagian hukum menentukan peraturan untuk menegakkan norma-norma yang di akui oleh hukum. Tujuan utama semua bagian hukum ialah menjaga ketertiban, ketenangan, kesejahteraan dan kedamaian dalam masyarakat, tanpa dengan sengaja menimbulkan penderitaan. Selanjutnya Van Belemmen mengajukan pendapat bahwa hukum pidana itu merupakan ultimum remedium (obat terakhir), sedapat mungkin dibatasi, dalam arti bila bagian lain dari hukum itu tidak cukup untuk menegakkan norma-norma yang diakui oleh hukum, barulah hukum pidana di terapkan.


C.  PERBEDAAN ANTARA HUKUM PIDANA DAN HUKUM PERDATA
Perbedaan yang menganut common law yang berlaku juga untuk sebagian besar untuk hukum pidana. Perbedaan itu antara lain :
1.      Perbedaan antara hakim yang mengadili.
Di Indonesia dan Belanda untuk sebagian besar diadili oleh hakim dan pengadilan yang sama, yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Namun di Mahkamah Agung ada ketua muda pidana dan ketua muda perdata.
Sedangkan di Inggris pengadilan antara perkara perdata benar-benar terpisah. dimana
Pengadilan yang mengadili perkara perdata yaitu High Court untuk gugatan dalam jumlah besar sedangkan Country Court mengadili selebihnya. Untuk perkara pidana pengadilan tingkat pertama ialah Crown Court dan magistrate court umumnya jika terdakwa mengaku (pleaguilty). Ada pengadilan appel yaitu Divisional Court atau Court of Appeal. Pengadilan tingkat terakhir the final appeal court ialah House of Lords.
2.      Perbedaan istilah.
Dalam perkara pidana tuntutan dilakukan oleh jaksa penuntut umum atas nama Negara dengan surat dakwaan yang mengandung uraian delik yang didakwakan. Sedangkan dalam perkara perdata gugatan diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan (yang dirugikan) sendiri.
3.      Perbedaan Hasil .
 Jika dalam perkara pidana tuntutan jaksa penuntut umum yang tercantum dalam dakwaan terbukti dan meyakinkan hakim, maka terdakwa akan dijatuhi pidana (nestapa). Dalam perkara perdata jika gugatan diterima maka tergugat akan dihukum untuk mengganti kerugian atau melakukan suatu perbuatan. Ada pengecualian karena sering dalam perkara pidana pun terdakwa diperintahkan untuk mengganti kerugian, baik karena perkara perdata digandengkan pada perkara pidana berdasarkan KUHAP atau dikenakan pidana bersyarat khusus untuk mengganti kerugian.
4.      Perbedaan pembuktian.
Dalam perkara pidana yang dicari ialah kebenaran materiel, yaitu kebenaran yang sungguh-sungguh, sedangkan dalam perkara perdata cukup dengan kebenaran formel.


D.  PEMBAGIAN HUKUM PIDANA UMUM DAN KHUSUS
Hukum pidana secara tradisional di bagi menjadi hukum pidana umum dan hukum pidana khusus seperti hukum pidana ekonomi, hukum pidana fiskal dan hukum pidana militer.
Van Poelje berpendapat bahwa yang disebut pidana umum adalah semua hukum pidana yang bukan hukum pidana militer. Van Poelje selanjutnya menyatakan bahwa hukum pidana ekonomi bukan hukum pidana khusus karena berdasarkan artikel 91 WvS Belanda (=103 KUHP Indonesia) yang berbunyi : “aturan kedelapan bab yang pertama dalam buku ini (Buku I), boleh diberlakukan terhadap perbuatan yang atasnya ditentukan pidana menurut Undang-undang, peraturan umum atau ordonansi kecuali undang-undang menentukan lain”, sedangkan hukum pidana ekonomi tidak ada yang dengan tegas dan jelas menunjuk asas-asas hukum pidana lain dari buku I WvS aturan umum.
Pompe yang diikuti Utrecht, memandang hukum pidana ekonomi sebagai pidana khusus karena adanya penyimpangan ketentuan Undang-undang tersebut dari Ketentuan Umum KUHP menurut Pasal 103 KUHP.
Paul Scholten membagi hukum pidana umum dan hukum pidana khusus, dengan kriterianya tidak di dasarkan pada Pasal 103 KUHP, melainkan semua hukum pidana yang berlaku umum disebut sebagai hukum pidana umum, hukum pidana khusus menurutnya adalah perundang-undangan bukan pidana yang bersanksi pidana, yang di sebut juga hukum pidana pemerintahan.
Dr. Andi Hamzah, SH sependapat dengan Pompe untuk memakai patokan Pasal 103 KUHP yang mengandung asas lex specialis derogat legi generali, dengan mengemukakan istilah baru yaitu perundang-undangan hukum pidna umum dan hukum perundang-undangan pidana khusus. Perundang-undangan pidana umum ialah KUHP beserta semua perundang-undangan yang mengubah dan menambah KUHP itu sedangkan perundang-undangan pidana khusus ialah semua perundang-undangan di luar KUHP beserta perundang-undangan pelengkapnya, baik perundang-undangan pidana maupun yang bukan pidana tetapi bersanksi pidana.


BAB II
SEJARAH SINGKAT HUKUM PIDANA DI INDONESIA

A.  ZAMAN VOC
Menurut Utrecht, hukum yang berlaku di daerah yang dikuasai oleh VOC ialah:
1.      Hukum statute yang termuat di dalam : Statuten van Batavia.
2.      Hukum Belanda kuno.
3.      Asas-asas hukum Romawi.
Hubungan hukum Belanda yang kuno dengan statuta itu ialah sebagai pelengkap, jika statuta tidak dapat menyelesaikan masalah, maka hukum Belanda kuno yang diterapkan, sedangkan hukum Romawi berlaku untuk mengatur kedudukan hukum budak (slaven recht).
Pada tahun 1848 di bentuk intermaire stafbepalingen dan pada tahun 1866 muncul kodifikasi yang sistematis dimana mulai tanggal 10 Pebruari 1866 berlaku dua KUHP di Indonesia :
1.       Het Wetboek Straftrecht vor European (Stbl. 1866 Nomor 55) yang berlaku bagi golongan Eropa mulai 1 Januari 1867. kemudian dengan Ordonansi tanggal 6 Mei 1972 berlaku KUHP untuk golongan Bumiputra dan Timur Asing.
2.       Het Wetboek van Straftrecht voor Inlands en Daarmede Gelijkgestelde (Stbl. 1872 Nomor 85), mulai berlaku 1 Januari 1873.

B.      ZAMAN HINDIA BELANDA
Dari tahun 1811 sampai dengan 1814 Indoensia pernah jatuh dari tangan Belanda ke tangan Inggris. KUHP yang berlaku bagi golongan Eropa adalah salinan dari Code Penal yang berlaku di Negeri Belanda tetapi berbeda sumbernya dimana yang berlaku di Indonesia terdiri hanya atas 2 buku sedangkan Code Penal terdiri atas 4 buku.
KUHP yang berlaku bagi golongan Bumiputra juga saduran dari KUHP yang berlaku bagi golongan Eropa, tetapi diberi sanksi yang lebih berat sampai pada KUHP 1918 pun, dananya lebih berat dari pada KUHP Belanda 1886.
Berdasarkan Azaz Konkordansi (Corcondantie) menurut pasal 75 Regering Reglement, dan 131 Indische Staatregeling, maka KUHP di Negeri Belanda harus diberlakukan pula di daerah jajahan seperti Hindi Belanda dengan penyesuaian pada situasi dan kondisi setempat. Dengan Koninklijk Besluit tanggal 15 Oktober 1919 dan diundangkan pada September 1915 Nomor 732 lahirlah Wesboek van Straafrecht voor Nederlandsch Indie yang baru untuk seluruh golongan pendudukan, dan dengan Invoeringsverordening berlakulah pada tanggal 1 Januari 1918 WvSI tersebut.

C.      ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG
Hal ini didasarkan pada Undang-undang (Osamu Serei) Nomor 1 tahun 1942 yang mulai berlaku pada tanggal 7 Maret 1942 sebagai peraturan peralihan Jawa dan Madura.
Pasal 3 Osamu Serei berbunyi :
“Semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum undang-undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah buat sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer”.
Dibanding dengan hukum pidana Materiel, maka hukum acara pidana lebih banyak berubah, karena terjadi unifikasi acara dan susunan pengadilan, ini diatur didalam Osamu Serei nomor 3 tahun 1942 tanggal 20 September 1942.


D.     ZAMAN KEMERDEKAAN
Situasi dan kondisi setelah zaman pendudukan Jepang dipertahankan sesudah Proklamasi Kemerdekaan.
Pasal II aturan peralihan UUD 1945 berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945  menyatakan :
“Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”.
 Peraturan mendasar atas WvSI barulah diadakan dengan Undang-undang Nonor 1 tahun 1946 yang menetukan bahwa : “hukum pidan yang berlaku sekarang (mulai 1946) ialah hukum pidana yang berlaku pada tanggal 8 Maret 1942 dengan pelbagai perubahan dan penambahan yang disesuaikan dengan keadaan Negara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dengan nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie diubah menjadi Wetboek van Strafrecht yang dapat disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

E.      RANCANGAN KUHP BARU
Hasrat untuk mengadakan modifikasi KUHP Nasional yang disusun oleh Putera-putera Indonesia sendiri yang sumbernya digali dari bumi Indonesia dengan memperhatikan perkembangan dunia modern dibidang hukum pidana, sudah lama dicetuskan di dalam pelbagai kesempatan.
Perbedaan mencolok antara Rancangan dan KUHP (lama) ialah Rancangan hanya terdiri atas 2 (dua) buku, sedangkan KUHP (lama) yang sama dengan WvSI Belanda terdiri atas 3 buku. Dengan sendiri perbedaan antara Delik Kejahatan dan Delik Pelanggaran didalam Rancangan telah ditiadakan.



BAB III
TEORI-TEORI TENTANG HUKUM PIDANA

A.  PENGERTIAN
Sarjana Hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dan pidana yang dalam Bahasa Belanda hanya dikenal satu istilah untuk keduanya, yaitu Straft. Istilah hukuman adalah istilah umum untuk segala macam sanksi baik perdata administrative, disiplin dan pidana. Sedangkan istilah pidana diartikan sempit yang berkaitan dengan hukum pidana.
Pidana merupakan karekteristik hukum pidana yang membedakannya dengan hukum perdata. Pidana di pandang sebagai sesuatu nestapa yang di kenakan kepada pembuat karena melakukan suatu delik dan bukan merupakan tujuan akhir tapi tujuan terdekat. Perbedaan antara pidana dan tindakan karena tindakan dapat merupakan nestapa juga tetapi bukan tujuan. Tujuan akhir pidana dan tindakan dapat menjadi satu yaitu memperbaiki pembuat.


B.  TUJUAN PIDANA
      Tujuan pidana dalam literature berbahasa Inggris sering di sebut :
Reformasi berarti memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat.
Renstrait maksudnya mengasingkan pelanggar dari masyarakat yang berarti masyarakat itu akan menjadi lebih aman.
Restribution ialah pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan.
Deterrence berarti menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa.
       Tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana :
1.      Teori absolute teori pembalasan (vergeldings theorien)
Mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirlah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat menjatuhjkan pidana itu. Setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkan pidana kepada pelanggar. Oleh karena itu teori ini disebut pula dengan teori absolute karena Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan Hakikat suatu pidana ialah pembalasan.
      Variasi-variasi teori pembalasan diperinci oleh Leo Polak menjadi :
1.         Teori pertanahan kekuasaan hukum atau pertanahan kekuasaan pemerintah Negara (rechtsmacht of gezagshandhaving).
2.         Teori kompemsasi keuntungan (voordeelscompensatie).
3.         Teori melenyapkan segala sesuatu yang menjadi akibat suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan penghinaan (onrechtfustrering en blaam).
4.         Teori pembalasan dalam menyelenggarakan persamaan hukum (talioniserende handhving van rechtgelijkheid).
5.         Teori untuk melawan kecenderungan untuk memuaskan keinginan berbuat yang bertentangan dengan kesusilaan (kering van onzedelijke neigingsbevredining).
6.         Teori mengobyektifkan (objektiveringstheorie).
2.      Teori relative atau tujuan (doeltheorien)
mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan untuk prevensi terjadinya kejahatan. Wujud pidana ini berbeda-beda : menakutkan, memperbaiki, atau membinasakan. Lalu dibedakan prevensi umum dan khusus. Prevensi umum menghendaki agar orang-orang pada umumnya tidak melakukan delik, sedangkan prevensi khusus ialah untuk mencegah niat buruk pelaku (dader) bertujuan mencegah pelanggar mengulangi perbuatannya atau menceah bakal pelanggar melaksanakan perbuatan jahat yang direncanakannya.
3.      Teori gabungan (vereningingstheorien)