Tampilkan postingan dengan label Ilmu Hukum Pidana. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ilmu Hukum Pidana. Tampilkan semua postingan

Rabu, 15 April 2015

Actus Reus (Kejahatan yang dilakukan) end Mens Rea (sikap bathin pelaku saat melakukan)


         Bahwa suatu perbuatan dianggap telah melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana, harus dipenuhi dua unsur, yaitu adanya unsur actus reus (physical element) dan unsur mens rea (mental element). Unsur actus reus adalah esensi dari kejahatan itu sendiri atau perbuatan yang dilakukan, sedangkan unsur mens rea adalah sikap batin pelaku pada saat melakukan perbuatan (Zainal Abidin Farid, 1995:35).
Dalam ilmu hukum pidana, perbuatan lahiriah itu dikenal sebagai actus reus, sedangkan kondisi jiwa atau sikap kalbu dari pelaku perbuatan itu disebut mens rea. Jadi actus reus adalah merupakan elemen luar (external element), sedangkan mens rea adalah unsur kesalahan (fault element) atau unsur mental (mental element).
Seseorang dapat dipidana tidak cukup hanya karena orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Sehingga, meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam peraturan perundang-undangan dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision) namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana (Prof. Sudarto,S.H.). Hal ini karena harus dilihat sikap batin (niat atau maksud tujuan) pelaku perbuatan pada saat melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum tersebut.
Di beberapa negara, perbuatan dan sikap batin seseorang dipersatukan dan menjadi syarat adanya suatu perbuatan pidana. Zainal Abidin Farid berpendapat bahwa unsur actus reus yaitu perbuatan harus didahulukan. Setelah diketahui adanya perbuatan pidana sesuai rumusan undang-undang selanjutnya barulah diselidiki tentang sikap batin pelaku atau unsur mens rea. Dengan demikian maka unsur perbuatan pidana harus didahulukan, selanjutnya apabila terbukti barulah mempertimbangkan tentang kesalahan terdakwa yang merupakan unsur pertanggungjawaban pidana.
Mens Rea adalah sikap batin pelaku perbuatan pidana. Berbeda dengan actus reus yang menyangkut perbuatan yang melawan hukum (unlawful act), mens rea mencakup unsur-unsur pembuat tindak pidana yaitu sikap batin yang disebut unsur subyektif suatu tindak pidana atau keadaan psikis pembuat (Utrecht, 1960: 257 ).
Delik disebut sebagai unsur subyektif apabila unsur-unsurnya terbukti maka berarti terbuktinya pertanggung-jawaban pembuat delik. Unsur-unsurnya adalah kemampuan bertanggungjawab, kesalahan dalam arti luas (dolus dan culpa lata), tidak adanya alasan pemaaf (veronstschuldingsgrond) yang semuanya melahirkan schuld-haftigkeit uber den tater yaitu hal dapat dipidananya pembuat delik.
Perbedaan antara unsur-unsur perbuatan melawan hukum atau perbuatan kriminal dan pertanggungjawaban pembuat delik tidak berarti bahwa keduanya tidak saling berhubungan. Hal ini harus diingat bahwa onrechtmatigheid atau hal melanggar hukum itu sebagai ketentuan timbul dari norma yang atas pelanggarannya dinyatakan sebagai dapat dihukum. Di dalam rumusan dari sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, maka unsur kesengajaan dapat dianggap sebagai termasuk di dalamnya karena menurut ketentuan hal tersebut memang disyaratkan.
Perbuatan melawan hukum dianggap sebagai unsur dari setiap tindak pidana, hal ini berdasarkan pendapat doktrin Satochid Kartanegara (415) yang membedakan dalam dua bentuk yaitu:
1.     Wederrechtelijk formil yaitu apabila sesuatu perbuatan dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
2.     Wederrechtelijk materiil yaitu sesuatu perbuatan mungkin wederrechtelijk walaupun tidak dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
Dengan demikian wederrechtelijk formil bersandar pada undang-undang, sedangkan wederrechtelijk materiil tidak bersandarkan pada undang-undang, melainkan pada asas-asas umum yang terdapat di dalam lapangan hukum, atau apa yang dinamakan algemene beginselen.
Kesalahan dalam bahasa Belanda disebut “Schuld” yang dalam pengertian hukum pidana berbentuk kesengajaan (dolus) (opzet) dan kealpaan (culpa). Sedangkan beberapa ahli hukum memberikan arti sebagai berikut ; Simons menyatakan bahwa sebagai dasar pertanggung jawaban pidana adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungannya dengan kelakuannya yang dapat dipidana dan berdasarkan kejiwaannya karena kelakuannya.
Dengan demikian untuk adanya kesalahan pada pelaku harus dicapai dan ditentukan terlebih dahulu beberapa hal yang menyangkut pelaku, yaitu;
a.      Kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid)
b.     Hubungan kejiwaan (psychologische betrekking) antara pelaku dan akibat yang ditimbulkan
c.      Dolus atau Culpa
Sedangkan Utrecht menyatakan bahwa pertanggung jawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana (schuld in ruimte zin) terdiri atas tiga anasir yaitu:
a.      Kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid) dari pembuat
b.     Suatu sikap psikhis pembuat berhubung dengan kelakuannya, yaitu Kelakuan disengaja (anasir sengaja), dan Kelakuan kurang berhati-hati atau lalai (anasir kealpaan) atau culpa (schuld in enge zin).
c.      Tidak ada alasan-alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana pembuat (anasir toerekeningsvatbaarheid).

Senin, 20 Oktober 2014

Asas Hukum Pidana (resume)

halaman 2 Resume Asas-asas Hukum Pidana
RESUME
ASAS – ASAS HUKUM PIDANA
Karangan : PROF. DR. JUR. ANDI HAMZAH

BAB IV

A.  ASAS LEGALITAS
Asas Legalitas tercantum di dalam pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi :”Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya”.
Asas Legalitas dalam bahasa Latin dirumuskan sebagai : “Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali” yang dapat diartikan sebagai : “Tidak ada delik, tidak ada pidana tanp ketentuan pidana yang mendahuluinya”. Atau dalam bahasa Latin juga dikenal “Nullum crimen sene lege stricta” yang dapat diartikan sebagai “Tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas”.
Dua  hal dapat ditarik sebagai kesimpulan dari rumusan tersebut :
-     Jika sesuatu perbuatan yang dilarang atau pengabaian sesuatu yang diharuskan dan diancam dengan pidana, maka perbuatan atau pengabaian tersebut harus tercantum di dalam undang-undang pidana.
-     Ketentuan tersebut tidak boleh berlaku surut, dengan satu kekecualian yang tercantum di dalam pasal 1 ayat 2 KUHP.
Moeljatno menulis bahwa asas legalitas itu mengandung tiga  pengertian :
1.      Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2.      Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas).
3.      Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
                

B.  PENERAPAN ANALOGI
Menurut Vos  :
Bahwa analogi tidak diizinkan setidak-tidaknya dalam hal yang dengan analogi diciptakan delik-delik baru dan bertentangan dengan pasal 1 ayat 1 KUHP. Dengan penerapan undang-undang secara analogi diartikan penerapan ketentuan dalam hal pembuat undang-undang belum memikirkan atau tidak dapat memikirkan tetapi alasan penerapan ketentuan pidana sama dengan kejadian yang diatur dengan ketentuan itu. Dapat dikatakan bahwa perbedaan antara penerapan analogi dan interpretasi ekstensif merupakan dua jalur tetapi satu hasil.
Garis pemisah antara penerapan analogi yang dilarang dan yang diizinkan, yaitu dilarang jika diciptakan delik-delik baru berdasar analogi itu.
Utrecht menarik garis pemisah antara interpretasi ekstensif dan penerapan analogi sebagai berikut :
I.



II.
Interpretasi

Analogi

Interpretasi

Analogi
:

:

:

:   
Menjalankan undang-undang setelah undang-undang tersebut dijelaskan.
Menjelaskan suatu perkara dengan tidak menjalankan undang-undang.
Menjalankan kaidah yang oleh undang-undang tidak dinyatakan dengan tegas.
Menjalankan kaidah tersebut untuk menyelesaikan suatu perkara yang tidak disinggung oleh kaidah tetapi yang mengandung kesamaan dengan perkara yang disinggung kaidah tersebut.


C.  HUKUM TRANSITOIR (PERALIHAN)
Atas dasar bahwa hukum pidana tidak berlaku surut sebagaimana tercantum di dalam pasal 1 ayat 1 KUHP dibatasi dengan kekecualian yang tercantum di dalam ayat 2 pasal itu. Pasal 2 ayat 2 itu berbunyi : “Apabila perundang-undangan diubah setelah waktu perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa digunakan ketentuan yang paling menguntungkan baginya”.
Kemungkinan berlakunya undang-undang yang baru (yang diundangkan kemudian dari perbuatan) merupakan kekecualian juga dari asas yang berlaku umum bahwa undang-undang yang berlaku pada saat perbuatan dilakukan (lex temporis delicti) yang diterapkan.
       Sehubungan dengan hal ini terdapat dua teori yaitu :
1.      Teori materiel : yang terdiri dari teori materiel tak terbatas dan teori materiel terbatas.
Perbedaan teori materiel tak terbatas dengan teori materiel terbatas ialah pada ajaran materiel terbatas dikatakan ada perubahan perundang-undangan jika terjadi perubahan dalam keyakinan hukum.

2.      teori formil.
Berpendapat bahwa perubahan perundang-undangan berarti redaksi undang-undang pidana yang diubah. Perubahan undang-undang lain selain dari undang-undang pidana, walaupun berhubungan dengan undang-undang pidana, bukanlah perubahan undang-undang menurut pasal 1 ayat 2 KUHP.


D. BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT RUANG TEMPAT DAN ORANG
1.      Asas Teritorialitas atau Wilayah
Hukum pidana suatu Negara berlaku di wilayah Negara itu sendiri. Asas wilayah ini menunjukkan, bahwa siapapun yang melakukan delik di wilayah Negara tempat berlakunya hukum pidana tunduk pada hukum pidana itu, dimana disini berarti bahwa orangnya yang melakukan delik itu tidak mesti secara fisik betul-betul berada di Negara itu tetapi deliknya (strafbaar feit) terjadi di wilayahnya.
Pasal 3 KUHP memperluas berlakunya asas teritorialitas dengan memandang kendaraan air (vaartuig) Indonesia sebagai ruang tempat berlakunya hukum pidana. Ketentuan pasal 3 KUHP ini dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976 telah ditambah dengan kata pesawat udara. Berlakunya hukum pidana terutama berdasarkan wilayah dibatasi atau mempunyai kekecualian yaitu hukum internasional. Hal ini tercantum di dalam pasal 9 KUHP yang berbunyi : “berlakunya pasal-pasal 2-5,7 dan 8 dibatasi oleh hal-hal yang dikecualikan, yang diakui dalam hukum internasional”.

2.      Asas Nasionalitas Pasif atau Asas Perlindungan
Asas ini menentukan bahwa hukum pidana suatu Negara (juga Indonesia) berlaku terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan di luar negeri, jika karena itu kepentingan tertentu terutama kepentingan Negara dilanggar di luar wilayah kekuasaan Negara itu. Asas ini tercantum di dalam pasal 4 ayat 1,2 dan 4 KUHP.

3.   Asas Personalitas atau Asas Nasionalitas Aktif
Asas personalitas ini bertumpu pada kewarganegaraan pembuat delik. Hukum Indonesia mengikuti warganegaranya kemanapun ia berada. Inti asas ini tercantum dalam pasl 5 KUHP.
Ketentuan di dalam pasl 5 ayat 1 ke-2 bermaksud agar orang Indonesia yang melakukan kejahatan di luar negeri lalu kembali ke Indonesia sebelum di adili di luar negeri. Ketentuan ini berlaku bagi semua kejahatan menurut KUHP Indonesia dan tidak berlaku untuk delik pelanggaran. Asas personalitas ini diperluas dengan pasal 7 yang disamping mengandung asas nasionalitas aktif juga asas nasionalitas pasit (asas perlindungan).

4.   Asas Universalitas
Asas ini melihat hukum pidana berlaku umum, melampaui batas ruang wilayah dan ruang orang (Indonesia). Yang dilindungi disini ialah kepentingan dunia. Jenis kejahatan yang diancam pidana menurut asas ini sangat berbahaya bukan saja dilihat dari kepentingan Indonesia tetapi juga kepentingan dunia.
Asas ini diatur dalam pasal 4 sub ke-2, pasal 4 sub ke-4 KUHP, pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976.


E.  HUKUM PIDANA SUPRANASIONAL
Hukum Pidana Supranasional pada dasarnya ditentukan dalam hukum bangsa-bangsa yang terdiri dari perjanjian-perjanjian tertutup antar Negara dan juga tidak tertutup dari kebiasaan-kebiasaan dan asas-asas yang bersifat hukum bangsa-bangsa/sumber formil berada di atas niveau Negara sendiri.
Bentuk paling sempurna berfungsinya hukum pidana supranasional ialah diterimanya sejumlah peraturan-peraturan supranasional oleh Negara-negara berupa delik-delik yang mempunyai sifat internasional. Ditetapkan sebagai dapat dipidana yang berdasarkan ketentuan umum yang seragam, dipidana oleh hakim yang supranasional.


BAB V
INTERPRETASI UNDANG-UNDANG PIDANA

A.  PENTINGNYA INTERPRETASI
Interpretasi undang-undang pidana diperlukan agar rumusan delik yang abstrak dapat diterjemahkan kedalam keaadaan yang konkret. Penafsiran yang paling sesuai dengan ini ialah penafsiran sosiologi atau sesuai dengan kehidupan masyarakat setempat.


B.  PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM PIDANA
Khusus Indonesia, pasal 27 Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman mengatakan, bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Ini berarti bahwa hakim harus menemukan hukum. Mengenai hal ini Dr. Andi Hamzah, SH berpendapat bahwa “hakim menggali hukum yang hidup di dalam masyarakat” khususnya bagi hukum pidana tidak dapat dipakai untuk menciptakan hukum melalui analogi, tetapi melalu interpretasi, hakim Indonesia dapat menerapkan hukum pidana sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat.


C.  JENIS-JENIS INTERPRETASI UNDANG-UNDANG PIDANA
Interpretasi atau penafsiran Gramatika adalah interpretasi yang didasarkan pada kata-kata undang-undang. Jika kata-kata dalam undang-undang sudah jelas, maka harus diterapkan sesuai dengan kata-kata itu walaupun seandainya maksud pembuat undang-undang lain.
Interpretasi atau penafsiran historis (historis legis) yaitu penafsiran yang didasarkan kepada hubungan secara umum suatu aturan pidana.
Interpretasi atau penafsiran teleologis yaitu penafsiran mengenai tujuan undang-undang.
      Interpretasi atau penafsiran ekstensif yaitu penafsiran luas.
Interpretasi atau penafsiran rasional (rationeele interpretatie) yaitu interpretasi yang didasarkan pada rasio atau akal.
Interpretasi atau penafsiran antisipasi (anticeperende interpretatie) yaitu interpretasi yang didasarkan kepada undang-undang baru yang bahkan belum berlaku.
Interpretasi atau penafsiran perbandingan hukum yaitu interpretasi yang didasarkan kepada perbandingan hukum yang berlaku di berbagai Negara.
Interpretasi atau penafsiran kreatif (creatieve interpretatie) yang merupakan lawan dari interpretasi ekstensif dimana disini rumusan delik dipersempit ruang lingkupnya.
Interpretasi atau penafsiran tradisionalistik (traditionalistische interpretatie) yaitu interpretasi yang didasarkan pada tradisi yang kadang-kadang tersembunyi dan kadang-kadang jelas.
Interpretasi atau penafsiran doktriner (doctrinaire interpretatie) yang didasarkan pada doktrin.
Interpretasi sosiologis yaitu interpretasi yang didasarkan pada dampak waktu (zaman).



BAB VI
PERBUATAN DAN RUMUSAN DELIK

A.  PENGERTIAN DELIK
Hukum pidana Belanda memakai istilah strafbaar feit, kadang-kadang juga delict dan negara-negara Anglo Saxon memakai istilah offense atau criminal act untuk maksud yang sama. Sedangkan Indonesia memakai istilah yang sama dengan Belanda dan pada tulisan ini dipakai istilah yang netral yang delik.

B.  RUMUSAN DELIK
Ada dua golongan penulis yang pertama merumuskan delik itu sebagai suatu kesatuan yang bulat, seperti Simon, yang merumuskan bahwa strafbaar feit ialah kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.
      Rumusan Simon merupakan rumusan yang lengkap yang meliputi :
1.      Diancam dengan pidana oleh hukum;
2.      Bertentangan dengan hukum;
3.      Dilakukan oleh orang yang bersalah;
4.      Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.

A.Z. Abidin menyebut cara perumusan delik seperti ini sebagai aliran monistis tentang delik, yang lain, yaitu yang memisahkan antara perbuatan dan akibatnya di suatu pihak dan pertanggungjawaban di lain pihak sebagai aliran dualistis.
Berdasarkan uraiannya, ia membuat bagan tentang syarat pemidanaan yang dibagi dua :
1.      Acus reus (delictum) yaitu perbuatan kriminal sebagai syarat pemidanaan obyektif;
2.      Mens rea yaitu pertanggungjawaban kriminal sebagai syarat pemidanaan subyektif A ditambah B=C (syarat pemidanaan)

Jadi bertemulah pendapat golongan yang menyatakan actus reus dan mens rea dalam rumusan delik dan golongan yang memisahkan keduanya yaitu kedua golongan memandang seseorang baru dapat dipidana jika memenuhi syarat pemidanaan yang obyektif dan subyektif.

C.  PERBUATAN DAN RUMUSAN DELIK DALAM UNDANG-UNDANG
      Code penal memakai istilah Insfarction yang terbagi atas crime (kejahatan), delct (kejahatan ringan). Hukum pidana Inggris memakai istilah act dan lawannya omission. Menurut pendapat penulis act dapat dibaca tindakan dan omission dibaca pengabaian. Oleh sebab itu istilah “tindak pidana” tidak tepat karena ”tindak” pasti hanya meliputi perbuatan positif dan tidak meliputi “pengabaian” (nalaten).


D.  CARA MERUMUSKAN DELIK
      Pada umumnnya rumusan suatu delik di dalam undang-undang dengan subyek atau pelaku delik yang dirumuskan itu sebagian dimulkai dengan “Barang Siapa” ini menandakan bahwa yang menjadi subyek delaik ialah “siapapun”.
      Pada umumnya rumusan delik berisi “bagian inti” suatu delik, Artinya bagian-bagian inti tersebut harus sesuai dengan perbuatan yang dilakukan, berulah seseorang diancam dengan pidana.
Beberapa rumusan delik membedakan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan yang dilakukan dengan tidak sengaja.
Tentang arti kualifikasi suatu delik, dipersoalkan apakah kualifikasi itu dipandang sebagai singkatan atau kata pendek bagi perbuatan yang dirumuskan disitu ataukah mempunyai arti tersendiri, lepas dari penentuan unsur-unsur, sehingga menjadi dua batasan untuk perbuatan yang dilarang, yaitu batasan menurut unsur-unsurnya dan menurut pengertian yang umum (kualifikasi).

E.  PEMBAGIAN DELIK
      Delik itu dapat dibedakan atas pelbagai pembagian tertentu seperti sebagai berikut :
a.      Delik Kejahatan dan Delik Pelanggaran (misdrijven en overtredingen).
b.      Delik Materiel dan Delik Formil (materiele en formeledelicten)
c.       Delik Komisi dan Delik Omisi (Commissiedelicten en omissiedelicten).
d.      Delik yang berdiri sendiri dan Delik yang diteruskan (Zelsftandige en voorgezette delicten).
e.      Delik selesai dan Delik berlanjut (aflopende en voordurende delicten)
f.        Delik tunggal dan Delik berangkai (enkelvoudige en samengestelde delicten)
g.      Delik bersahaja dan Delik berkualifikasi (eenvoudige en gequalificeerde delicten)
h.      Delik sengaja atau Delik kelalaian atau culpa (doleuse en culpose delicten)
i.        Delik politik dan Delik komun atau umum (politieke en commune delicten)
j.        Delik propria dan Delik komun atau umum (delicte propria en commune delicten)
k.       Delik-delik dapat dibagi juga atas kepentingan hukum yang dilindungi.
l.        Untuk Indonesia, menurut Undang-undang Hukum Acara Pidana Pasal 284, dikenal pula delik umum dan delik khusus, seperti delik ekonomi, korupsi, subversi dan lain-lain.
                     Pembagian delik-delik dapat dirinci sebagai berikut :
-            Delik kejahatan dan pelangaran.
-            Pada delik materiel disebutkan adanya akibat tertentu, dengan atau tanpa menyebut perbuatan tertentu. Pada delik formel, disebut hanya suatu perbuatan tertentu sebagai dapat dipidana.
-            Delik komisi ialah delik yang dilakukan dengan perbuatan.
-            Delik dibaca pada uraian gabungan delik atau perbarengan (samenloop)
-            Delik yang selesaiialah delik terjadi dengan melakukan suatu atau beberapa perbuatan tertentu dan delik yang berlangsung ialah delik yang terjadi kerena meneruskan suatu keadaan yang dilarang.
-            Delik berangkai berarti suatu delik yang dilakukan dengan lebih dari suatu perbuatan untuk terjadinya delik itu.
-            Delik berkualifikasi ialah delik khusus, mempunyai semua unsur bentuk dasar, tetapi satu atau lebih keadaan yang memperberat pidana.
-            Delik yang dilakukan dengan sengaja dan delik kelalaian (culpa) penting dalam hal percobaan, penyertaan, pidana kurungan, pidana perampasan.
-            Delik politik dibagi atas : Yang murni
-            Dengan delicta propria delik yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kualitas tertentu seperti delik jabatan, delik militer dan sebagainya.


F.  WAKTU DAN TEMPAT TERJADINYA DELIK (TEMPUS ET LOCUS DELICTI)
      Ada 5 (lima) hal waktu menentukan terjadinya delik :
1.      Menyangkut berlakunya hukum pidana (Pasal 1 ayat 1 KUHP).
2.      Berlakunya peradilan anak, apakah anak itu sudah dewasa pada saat melakukan delik ataukah belum.
3.      Menyangkut Ketentuan Residive (apakah pengulangan delik atau gabungan/concurcus) delik.
4.      Menyangkut lewat waktu (verjaring).
5.      Rumusan delik sendiri menentukan, pencurian pada waktu malam dst.; pencurian pada waktu banjir, gempa, dst.).

Pentingnya tempat terjadinya delik ditentukan karena :
1.      Menyangkut kompetensi relative hakim.
2.      Berlakunya KUHP Indonesia (Pasal 2 - Pasal 8 KUHP).
3.      Ada delik yang menentukan di tempat tertentu, misalnya di muka umum,
4.      Tempat-tempat yang terbatas berlakunya suatu ketentuan pidana, misalnya peraturan daerah yang hanya berlaku di wilayahnya sendiri.
5.      Tempat menjadi bagian rumusan delik misalnya seperti tersebut di muka pencurian di sebuah rumah atau pekarangan yang tertutup yang ada rumahnya. Kejahatan yang dilakukan diatas kapal laut, udara dll.



BAB VII
KESALAHAN DALAM ARTI LUAS DAN MELANGGAR HUKUM

Kesalahan dalam arti luas meliputi :
A.     Sengaja
Jenis-jenis sengaja
a.      Sengaja sebagai maksud;
b.      Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian;
c.       Sengaja dengan kesadaran kemungkinan sekali terjadi

B.      Kelalaian (Culpa)
Menurut Hazewinkel – Suringa delik culpa merupakan delik semu sehingga diadakan pengurangan pidana.
Van Hamel membagi culpa atas dua bagian yaitu :
1.      Kurang melihat kedepan yang perlu.
2.      Kurang hati-hati yang perlu.

C.      Kesalahan dan Pertanggung jawaban Pidana.
      Dalam pengertian hukum pidana dapat disebut ciri atau unsur kesalahan dalam arti yang luas, yaitu :
-            Dapat dipertanggung jawabkan pembuat.
-            Adanya kaitan psikis antara pembuat dan perbuatan, yaitu adanya sengaja atau kesalahan dalam arti seperti (culpa).
-            Tidak adanya dasar penidaan pidana yang menghapus dapat dipertanggung jawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat.
Ketiga-tiganya merupaka unsur subjektif syarat pemidanaan atau jika mengikuti golongan yang memasukkan unsur kesalahan dalam arti luas kedalam pengertian delik (strafbaar feit) sebagai unsur subjektif delik dan melawan hukum juga dimasukkan dalam bagian objektif.

D.   Melawan Hukum
Seringkali dalam praktek sehari-hari ada yang sepintas lalu sebagai perbuatan yang diperbolehkan hukum, jadi tidak berlaku pembelaan terpaksa  untuk melawannya.
Menurut Hazewinkel – Suringa, pembelaan terpaksa (noodweer) itu merupakan dasar pembenar, oleh karena itu barang siapa yang membela diri mempunyai hak untuk itu. Jadi, tidak diperbolehkan pembelaan dengan terpaksa terhadap pembelaan terpaksa. Pembelaan terpaksa hanya terjadi jika ada perbuatan membela diri terhadap serangan yang melawan hukum.
Pengertian melawan hukum itu sendiri bermacam-macam diantaranya adalah: tanpa hak sendiri, bertentangan dengan hak orang lain, dan bertentangan dengan hukum objektif.

E.    Subsosialitas (subsocialiteit)
Ada kecendrungan hukum pidana modern untuk memperkenalkan suatu teori baru menyangkaut syarat pemindanaan, yaitu apa yang disebut sebagai subsosialitas (subsocialiteis).
Subsosialitas ini berlaku bahwa suatu tingkah laku akan penting artinya bagi hukum pidana, jika perbuatan itu mengakibatkan bahaya bagi masyarakat, walaupun bahaya itu kecil sekali.

F.     Tatbestandmassigkeit dan Wasenchau.
Didalam hukum pidana Jerman yang diikuti Zevenbergen di negara Belanda, diterima adanya delik dengan syarat Tatbestandmassigkeit, yang berarti bahwa suatu rumusan delik tidak perlu semua bagian inti ada. Zevenbergen tidak memasukkan kedalam Tatbestandmassigkeit unsur-unsur seperti kesalahn melawan hukum dan patutnya sesuatu perbuatan dipidana, walaupun semua itu dimasukkan sebagai unsur delik.
Sebaliknya,  Rutgers dalam pidato hukum pidana dan negara hukum melihat Tatbestandmassigkeit sebagai onrecht seperti juga sarjana Jerman yang mengatakan bahwa Tatbestandmassigkeit tidak dipisahkan dari unsur melawan hukum. Mereka melihat unsur delik Tatbestandmassigkeit yang melawan hukum ditambah dengan kesalahan.


BAB VIII
DASAR PENIADAAN PIDANA

A.  Pengertian

Suatu contoh tentang dasar peniadaan ialah apabila suatu perbuatan telah lewat waktu dimana penuntut tidak dapat lagi melakukan penuntutan. Hilangnya hak menuntut karena lewat waktu diatur dalam pasal 78 KUHP. Di situ dalam putusan hakim dapat diubah, maka orang tidak dapat dituntut sekali lagi sebab perbuatan atau feit yang baginya telah di putuskan oleh hakim Indonesia dengan keputusan yang telah tetap. Van Hamel menunjukkan tiga pengertian perbuatan (feit) itu :
1.      Perbuatan (feit) = terjadinya kejahatan (delik). Pengertian ini sangat luas, misalnya dalam suatu kejadian beberapa orang dianiaya, dan apabila dalam suatu penganiyaan dilakukan pula pencurian, maka tidak mungkin dilakukan pula penuntutan salah satu dari perbuatan-perbuatan itu kemudian dari yang lain.
2.      Perbuatan (feit) = perbuatan yang didakwakan. Ini terlalu sempit, contoh : seseorang dituntut melakukan perbuatan penganiayaan yang menyebabkan kematian ternyata ia sengaja melakukan pembunuhan, maka masih dapat dilakukan penuntutan atas dasar “sengaja melakukan pembunuhan” karena ini lain dari pada “penganiayaan yang mengakibatkan kematian”. Vos tidak dapat menerima pengertian feit dalam arti yang kedua ini.
3.      Perbuatan (feit) = perbuatan material, jadi perbuatan itu terlepas dari unsur kesalahan dan terlepas dari akibat. Dengan pengertian ini maka ketidak pantasan yang ada pada kedua pengertian terdahulu dapat di hindari.

B. Pembagian Dasar Peniadaan Pidana

Pertama dilihat dari segi sumbernya, maka dasar peniadaan pidana di bagi atas dua kelompok, yaitu yang tercantum di dalam undang-undang dan yang lain terdapat di luar undang-undang di perkenalkan oleh yurisprudensi dan doktrin.
Yang tercantum di dalam undang-undang dapat di bagi lagi atas yang umum (terdapat didalam ketentuan umum buku 1 KUHP) dan berlaku atas semua rumusn delik. Yang khusus, tercantum didalam pasal tertentu yang berlaku untuk rumusan-rumusn delik itu saja. Rincian yang umum terdapat di dalam :
a.      Pasal 44 : tidak dpat dipertanggung jawabkan;
b.      Pasal 48 : daya paksa;
c.       Pasal 49 : ayat (1) pembelaan terpaksa,
d.      Pasal 49 : ayat (2) pembelaan terpaksa yang melampaui batas;
e.      Pasal 50 : menjalankan peraturan yang sah;
f.        Pasal 51 : ayat (1) menjalankan perintah jabatan yang berwenang;
g.      Pasal 51 : ayat (2) menjalankan perintah jabatan yang tidak berwenang jika bawahan itu dengan itikat baik memandang atasan yang bersangkutan sebagai berwenang.

Alasan peniadaan pidana di luar undang-undang atau yang tidak tertulis dapat dibagi pula atas “yang merupakan dasar pembenaran (tidak ada melawan hukum) dan yang merupakan dasar pemaaf (tidak ada kesalahan). Yang disebut pertama merupakan segi luar dari pembuat atau factor objektif, sedangkan yang tersebut kedua merupakan segi dalam pembuatan atau factor subjektif.Kedua istilah dasar pembenar (rechvaadigingsgrondden) dan dasar pemaaf (schulduitsluitingsgrondden) sangat penting bagi acara pidana, sebab apabila dasar pembenar itu ada, atau perbuatan itu tidak melawan hukum, sedangkan “melawan hukum” itu merupakan bagian into (bestanddeel) delik, maka putusannya ialah bebas, sedangkan kalau kesalahan tidak ada atau dasar pemaaf ada, maka putusannya adalah lepas dari segala tuntutan hukum.


C. Tidak Dapat Dipertanggungjawabkan

Sesudah secara umum dan skematis di kemukakan dasar peniadaan pidana itu, maka perlu diuraikan jenis-jenisnya secara terinci. Biasanya uraian para pengarang hukum pidana di mulai dengan pasal 48 KUHP (daya paksa) atau pasal 49 KUHP (pembelaan terpaksa) ialah pasal 44 yang dikaitkan        dengan hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan (ontoerekeningvatbaarheid).
Terjemahan pasal itu sebagai berikut  :
“Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena akal sehatnya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu keran penyakit, tidak di pidana”.
Masalah ada tidaknya pertanggungjawaban pidana diputuskan oleh hakim. Menurut pompe itu merupakan pengertian yuridis bukan medis. Dapat dipertanggungjawabkan terdakwa berarti keadaan jiwanya dapat menentukan perbuatan itu dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Menurut Van Bemmelen, dapat dipertanggungjawabkan itu meliputi :
1.      Kemungkinan menentukan tingkah lakunya dengan kemauannya.
2.      Mengerti tujuan nyata perbuatannya.
3.      Sadar bahwa perbuatan itu tidak dapat diperkenankan oleh masyarakat.
Menurut Jonkers pengertian tersebut agak sulit karena dalam praktek ketiganya sering saling bertentangan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sebagai manusia normal mereka dipandang dapat dipertanggungjawabkan. Disamping pasal 44 KUHP, yang menyebut dasar tidak dapat dipertanggungjawabkan yang lain, misalnya umur yang belum cukup (belum dewasa) berada dibawah hipnose, tidur sambil berjalan-jalan dan lain-lain. Pengaruh hypnose dan tidur sambil berjalan tidak dapat dipertanggungjawabkan karena menurut Hoge Raad 10 November 1942, N.J. 1952, hlm, 169, itu merupakan unsur diam-diam pada setiap delik. Karena dasar peniaadan pidana maka hilang pula dapatnya si pidana pembuat.


D. Daya Paksa (overmacht)
Daya paksa (overmacht) tercantum di dalam pasal 48 KUHP undang-undang hanya menyebut tidak dipidana seorang yang melakukan perbuatan karena dorongan keadaan yang memaksa. Undang-undang tidak menjelaskan apakah itu keadaan yang memaksa (overmacht). Tidaklah jelas, apakah ovrmacht itu, apa sebab sehingga di pidana, apakah menyangkut perbuatan (feit) ataukah pembuatnya. Didalam hukum alam orang berpendapat bahwa pebautan karena dalam keadaan terpaksa itu berada di luar semua hukum. Dalam literature hukum pidana biasanya daya paksa itu dibagi dua, yang pertama daya paksa absolut atau mutlak biasanya disebut vis absoluta. Bentuk ini sebenarnya bukan daya paksa sesungguhnya, karena disini pembuat sendiri menjadi korban paksaan fisik orang lain. Daya paksa relatif ini dibagi dua lagi, yaitu daya paksa dalam arti sempit dan daya paksa dalam keadaan darurat. Daya paksa dalam arti sempit ialah yang disebabkan oleh orang lain, sedangkan daya paksa dalam keadaan darurat di sebabkan oleh bukan manusia. Bentuk ketiga dari daya paksa, kewajiban yang berhadapan dengan kewajiban, atau dengan kata lain pembuat harus melakukan dua kewajiban sekaligus yang saling bertentangan. Misalnya kewajiban seorang penjaga keamana yang setiap saat harus berada diposnya, berhadapan denga kewajiban untuk melaporkan pemufakatan jahat untuk melakukan delik yang di ketahuinya, (pasal 164 KUHP). Kalau ia melapor ke pos polisi tenntang adanya pemufakatan itu, berarti ia meninggalkan pos penjagaanya yang berarti melalaikan kewajiban tersebut.


E.  Pembelaan Terpaksa
Pembelaan terpaksa ada dalam setiap hukum pidana dan sama usianya dengan hukum pidana itu sendiri.
Pasal 49 ayat (1)  mengatakan :
“Tidak di pidana barang siapa yang melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri atau orang lain, kehormatan, kesusilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain, Karena serangan sekejap itu ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum”.
Unsur-unsur suatu pembelaan terpaksa (noodwer) tersebut :
1.      Pembelaan yang bersifat terpaksa.
2.      Yang dibela ialah diri sendiri, orang lain, kehormatan kesusilaan, atau harta benda sendiriatau orang lain.
3.      Ada serangan sekejap atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu.
4.      Serangan itu melawan hukum.

Pembelaan itu harus seimbang dengan serangan atau ancaman. Serangan tidak boleh melampaui batas keperluan dan keharusan. Asas ini disebut subsidaritas (subsidiariteit).


F.  Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas
Pasal 49 ayat (2) menyatakan :
“Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu tidak dipidana.“
Ada persamaan antara pembelaan terpaksa dan pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yaitu keduanya mensyaratkan adanya serangan yang melawan hukum yang dibela juga sama, yaitu tubuh kehormatan kesusilaan, dan  harta benda, baik diri sendiri maupun orang lain.


G.  Menjalankan Ketentuan Undang-undang
Pasal 50 KUHP menyatakan  :
“Barang siapa yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana”.
Kalau kita bandingkan dengan dengan sejarahnya di Belanda, maka mula-mula Hoge Raad (27 Juni 1887, W5447) mengartikan undang-undang dalam arti formal yaitu yang dibuat oleh raja setan dan staten general ditambah dengan AMvB dan peraturan sebagai pelengkap undang-undang secara keseluruhan atau diperintahkan oleh undang-undang. Kemudian, pandangan ini berubah dengan mengartikan ketentuan undang-undang sebagai setiap ketentuan yang dikeluarkan oleh suatu kekuasaan yang mempunyai wewenang mengeluarkan undang-undang menurut undang-undang dasar atau undang-undang (HR 26 Juni 1889 W7303;30 Nov.1941, NJ.1915,282,W9747). Bagaimana kalau seorang penyidik dalam menjalankan ketentuan undang-undang misalnya akan menangkap tersangka, ia melukai bahkan membunuhnya karena melarikan diri atau melawan? Hal seperti ini bersifat kasusistia. Mungkin terjadi daya paksa atau overmacht, mungkin pembelaan terpaksa atau noodwer, mungkin pula pembelaan terpaksa yang melampaui batas atau noodweer excess, bagi petugas yang menjalankan ketentuan undang-undang itu.


H.  Menjalankan Perintah Jabatan
Pasal 51 KUHP menyatakan :
1.      Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
2.      Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana kecuali jika diperintah dengan itikad baik mengira bahwa pemerintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaanya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Perintah itu Karena jabatan, jadi antara yang memberi perintah dan yang diperintah ada hubungan hukum publik .
Menurut Vos, mengenai ketentuan ayat (2) pasal 51 KUHP itu, perintah jabatan yang diberikan oleh yang tidak berwenang untuk lolos dari pemidanaan harus memnuhi dua syarat :
1.      Syarat Subjektif : pembuat harus dengan itikad baik memandang bahwa perintah itu datang dari yang berwenang.
2.      Syarat Objektif : pelaksanaan perintah harus terletak dalam ruang lingkup pembuat sebagai bawahan.
Pasal 51 ayat (1) termasuk dasar pembenar kerana unsur melawan hukum tidak ada sedangkan pasal 51 ayat (2) masuk dasar pemaaf, karena perbuatan tetap melawan hukum, hanya pemberat tidak bersalah karena ia beritikad baik mengira menjalankan perintah jabatan yang berwenang, padahal tidak.

I.    Dasar Peniadaan Pidana Di luar Undang -undang
Dasar Pembenarnya (diluar Undang-undang dan termasuk yurisprudensi) adalah Persetujuan, izin, kerelaan, hak mendidik orang tua, guru, profesi dokter, apoteker, pengacara, olahraga (tinju), tidak melawan hukum materiel. Desuetude, non usus, zaakwaarneming, hak melawan pendudukan asing. Sedangkan dasar pemaaf  (diluar Undang-undang dan termasuk yurisprudensi) adalah Keine Strafe ohne Schuld (dasar pemaaf putatif).

BAB IX
TEORI-TEORI TENTANG SEBAB AKIBAT

A.     Pengertian
Setiap kejadian baik kejadian alam maupun kejadian social tidaklah terlepas dari rangkaian kejadian sebab akibat, peristiwa alam maupun social yang terjadi adalah merupakan rangkaian akibat dari peristiwa alam atau social yang sudah ada sebelumnya.
Terjadinya delik atau actus reus hanya ada pada delik yang mensyaratkan adanya akibat tertentu yaitu :
1.      Delik materiel, misalnya  pembunuhan (pasal 338 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP).
2.      Delik Culpa, misalnya karena kelalaian yang mengakibatkan kematian orang lain (pasal 359 KUHP), karena lalainya menyebabkan lukanya orang lain (pasal 360 KUHP), dan sebagainya.


B.      Teori-teori Kausalitas
Sebagaimana diketahui bahwa hubungan sebab dan akibat akan senantiasa di temui dalam setiap peristiwa atau kejadian dalam kehidupan sehari-hari yang merupakan rangkaian kehidupan manusia sebagai makhluk social. Bersandar kepada sulitnya penentuan sebab akibat yang mutlak mengingat banyaknya rangkaian sebab-sebab dalam hubungannya dengan penerapan ilmu hukum, menimbulkan beberapa aliran atau teori dalam hubungannya kausalitas tersebut. Yang pertama kali mencetuskan adanya teori kausalitas tersebut adalan Von Buri dengan teori conditio sine qua non yang pertama kali dicetuskan pada tahun 1873.

Teori yang mengeneralisasi dapat dibagi menjadi 3 yaitu :
1.      Teori adaequaat dari Von Kries
Adaequaat artinya adalah sebanding, seimbang, sepadan jadi dikaitkan dengan delik, maka perbuatan harus sepadan, seimbang atau sebanding dengan akibat yang sebelumnya dapat diketahui, setidak-tidaknya dapat diramalkan dengan pasti oleh pembuat.
Teori Von Kries dapat juga disebut sebagai teori generalisasi yang subjektif adequaat, oleh karena menurut Von Kries yang menjadi sebab dari rangkaian factor-faktor yang berhubungan dengan terwujudnya delik, hanya satu sebab saja yang dapat diterima yaitu sebelumnya telah dapat diketahui oleh si pembuat.


2.      Teori objektif-nachtraglicher prognose dari Rumeling
Teori Rumeling mengajarkan bahwa yang menjadi sebab atau akibat adalah factor objektif yang diramalkan dari rangkaian factor-factor yang berkaitan dengan terwujudnya delik setelah delik itu terjadi.
Tolak ukur teori tersebut adalah bukan ramalan tetapi menetapkan harud timbul suatu akibat. Jadi akibat itu walau bagaimanapun harus tetap terjadi dengan cara mengingat keadaan-keadaan objektif yang ada pada saat terjadinya delik. Tolak ukur tersebut merupakan logika yang dicapai menurut pengetahuan alam yang objektif. Jadi kalau yang tersebut pada butir berpanngkal pada yang objektif dilihat sesudah terjadi delik.


3.      Teori adequaat dari Traeger
Menurut traege bahwa akibat delik haruslah in het algemeen voorzienbaar yang artinya adalah pada umumnya dapat disadari sebagai suatu yang mungkin sekali dapat terjadi.
Sebagaimana diketahui delik omisi atau pengabaian ada dua macam, yaitu delik omisi yang sebenarnya dan delik omisi yang tidak sebenarnnya. Menurut Vos pada delik omisi yang sebenarnya tidak ada masalah kaulitas, dapat dipidana karena tidak berbuat, tidak ada akibat karena tidak berbuat.


BAB X
HUKUM PENITENSIER

A.     Pidana dan Tindakan
Pidana dan tindakan (maatregel) termasuk sanksi dalam hukum pidana. Undang-undang (KUHP) tidak menyebut istilah maatregel (tindakan) jenis pidana tercantum didalam pasal 10 KUHP. Tindakan dimaksudkan untuk mengamankan masyarakat dan memperbaiki pembuat, seperti pendidikan paksa dan pengobatan paksa, memasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, dan menyerahkan kepada orang tua (pasal 45 dan 46 KUHP).
Dalam undang-undang di luar KUHP khususnya undang-undang Nomor 7 (Drt) tahun 1955 tentang tindak pidana Ekonomi disebut “tindakan tata tertib” yaitu :
a.      Penutupan sebagian atau seluruh perusahaan si tersangka dimana tindak pidana ekonomi itu disangka telah dilakukan;
b.      Penempatan si tersangka di bawah penngampunan;
c.       Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tersangka atau pencabutan seluruh atau sebagian keuntungan yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada si tersangka berhubung dengan perusahaan;
d.      Supaya tersangka tidak melakukan perbuatan-perbuatan tertentu;
e.      Supaya si tersangka berusaha supaya barang-barang tersebut dalam perintah itu dapat disita di kumpulakan dan di simpan di tempat yang ditunjuk dalam perintah itu.


B.      Jenis-jenis Pidana
Jenis pidana tercantum di dalam pasal 10 KUHP. Jenis pidana ini berlaku juga bagi delik yang tercantum di laur KUHP, kecuali ketentuan undang-undang itu menyimpan (pasal 103 KUHP). Jenis benda ini dibedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana tambahan hanya dijatuhkan jika pidana pokok dijatuhkan, kecuali dalam hal tertentu. Pidana itu adalah :
a.      Pidana pokok.
1.      Pidana mati.
2.      Pidana penajara.
3.      Pidana kurungan.
4.      Pidana  denda
5.      Pidana tutupan (KUHP terjemahan BPHN, berdasarkan UU No. 20 1946).

b.      Pidana tambahan
1.     Pencabutan hak-hak tertentu.
2.     Perampasan barang-barang tertentu.
3.     Pengumuman putusan hakim.

1.      Pidana Mati
Kalau dinegara lain satu persatu mengahapus pidana mati, maka sebaliknya terjadi di Indonesia. Semakin banyak delik yang diancam dengan pidana mati. Delik yang diancam dengan pidana mati diddalam KUHP sudan menjadi 9 buah, yaitu :
1. Pasal 104
2. Pasal 111 ayat (2) KUHP
3. Pasal 124 ayat (1) KUHP
4. Pasal 124 bis KUHP
5. Pasal 140 ayat (30 KUHP)
6. Pasal 340 KUHP
7. Pasal 365 ayat (4) KUHP
8. Pasal 444 KUHP
9. Pasal 479 ke ayat (2)  dan pasal 479 o ayat  (2) KUHP
Diluar KUHP juga tercantum pidana mati, seperti pasal 1 ayat (2) undang-undang Nomor 21 (prp) 1959 yang memperberat ancaman pidana delik ekonomi jika dapat menimbulkan kekacauan perekonomian dalam masyarakat, Undang-undang pembarantasan kegiatan subversi (UU No. 11 pnps) 1963, Undang-undang tenaga atom (UU No. 31 tahun 1946), Undang-undang Narkotika (UU No. 9 tahun 1976).
Sebagai filter pelaksanaan pidana mati, di Indonesia harus ada fiat eksekusi dari Presiden beruapa penolak grasi pidana mati di tunda jika terpidana sakit jiwa atau wanita yang sedang hamil.

2.      Pidana Penjara
Pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara tetapi dalam bentuk pengasingan ke Siberia dan juga berupa pembuangan ke seberang lautan, misalnya dahulu pembuangan penjahat-penjahat ke Ingrris ke Australia.

3.      Pidana Kurungan
Menurut Vos, pidana kurungan pada dasarnya mempunyai dua tujuan. Pertama, ialah sebagai Custodia Honesta untuk delik yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan, yaitu delik-delik culpa dan beberapa delik dolus, seperti perkelahian satu lawan satu (pasal 182 KUHP) dan pailit sederhana (pasal 396 KKUHP). Pada delik dolus tidak ada pidana kurungan kecuali satu pasal diatur tentang unsur sengaja dan culpa seperti pasal 483 dan 484 KUHP (Vos menyebut artikel padannya di Negeri Belanda, yaitu artikel 418 dan 419 Wvs). Sebaliknya terdapat pidana penjara pada delik culpa, alternatif dari pidana kurungan yang dalam satu pasal juga terdapat unsur sengaja dan culpa contohnya ialah pasal 293 KUHP (vos menyebut artikel 248 ter Wvs). Mengapa ada pidana penjara pada delik culpa menurut vos, karena sulitnya garis pemisah antara sengaja dan culpa.

4.      Pidana Denda
Pidana denda merupakan pidana tertua, lebih tua ddari pidana penjara. Mungkin setua dengan pidana mati. Pidana denda terdapat pada setiap masyarakat primitif walaupun bentuknya bersifat primitif pula.
Kadang-kadang berupa ganti kerugian, kadang-kadang berupa denda adat, misalnya peneyerahan hewan ternak seperti babi, kerbau, dan lain-lain. Pidana denda mempunyai sifat perdata, mirip dengan pembayaran yang diharuskan dalam perkara perdata terhadap orang yang melakukan perbuatan yanngmerugikan orang lain. Denda pun kadang-kadang di jatuhkan dalam perkara administrasi dan fiscal, misalnya denda terhadap penyeludupan atau penunggak pajak. Lamanya pidana kurungan penganti denda di tentukan secara kasus demi kasus dengan putusan hakim minimum umum satu hari dan maksimum 6 (enam) bulan (pasal 30 ayat 3 KUHP). Maksimum ini dapat dinaikkan menjadi 8 (delapan) bulan dalam hal gabungan (concursus), Residive dan delik jabatan menurut pasal 52 dan 52 bis (pasal 30 ayat 5 KUHP).


5.      Pidana Tutupan
Dalam KUHP terjemahan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), pada pasal 10 dicantumkan pidana tutupan sebagai pidana pokok bagian terakhir dibawah pidana denda. Tentulah pencantuman ini didasarkan kepada Undang-undang Nomor 20 Tahun 1946, tentang pidana tutupan. Pidana tutupan disediakan bagi para politisi yang melakukan kejahatan yang disebabkan oleh ideologi yang dianutnya. Tetapi dalam praktek peradilan dewasa ini tidak pernah ketentuan tersebut diterapkan. Jadi kalau kita menghendaki pencantuman pidana tutupan dalam pasal 10 KUHP sesuai dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 1946, maka hatrus diletakkan diatas pidana kurungan dan pidana denda.

C.      Tindakan (maatregel)
Sering dikatakan berbeda dengan pidana, maka tindakan bertujuan melindungi masyarakat, sedangkan pidana bertitik berat pada pengenaan sanksi kepada pelaku suatu perbuatan. Tetapi secara teori, sukar dibedakan dengan cara demikian. Karena pidana pun sering disebut bertujuan untuk mengamankan masyarakat dan memperbaiki terpidana. Seperti telah di kemukan di muka, pidana tercantum secara limitatif di dalam pasal 10  KUHP bukanlah pidana. Perbedaan tindakan dengan pidana agak samar, karena tindakan pu bersifat merampas kemerdekaan, misalnya memasukkan anak dibawah umum ke pendidikan paksa, memasukkan oranng tidak waras ke rumah sakit jiwa. Menurt Jonkers, tindakan memasukkan oranng bepenyakit jiwa ke rumah sakit merupakak suatu tindakan yang bersifat semata-mata perdata.

D.     Pidana Bersyarat
Pidana bersyarat yang tercantum pada pasal 14a sampai 14f KUHP di waris dari Belanda, tetapi dengan perkembangan zaman telah terdapat perbedaan antara keduanya. Ketentuan tentang pidana bersyarat masih tetap terikat pada pasal 10 KUHP, hanya batas pidana itu tidak akan lebih satu tahun penjara atau kurungan. Dalam pidana bersyarat dikenal syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum ialah  terpidana bersyarat tidak akan melaksanakan delik apa pun dalam waktu yang ditentukan, sedangkan syarat khusus akan ditentukan oleh hakim. Pengawasan terhadap pidana bersyarat dilakukan oleh yang melaksanakan eksekusi, yaitu Jaksa.

E.   Pelepasan Bersyarat
Disamping pidana bersyarat, dikenal pula pelepasan bersyarat, perbedaanya ialah pada pidana bersyarat terpidana tidak pernah menjalani pidananya kecuali ia melanggar syarat khusus yang ditentukan oleh hakim, sedangkan pada pelepasan bersyarat, terpidana harus telah menjalani pidananya paling kurang 2/3 nya. Pelepasan bersyarat ini tidak berimpresif atau otomatis. Dikatakan “dapat” diberikan pelepasan bersyarat.
Menurut Schepper, advis dewan Reklasering untuk diberikannya pelepasan bersyarat meliputi :
1.      Sifat delik itu sendiri. Bagaimana sikap masyarakat jika di berikan pelepasan bersyarat, apakah tidak menimbulkan tindakan sewenang-wenang yang akan menganggu ketertiban umum dan peradilan. Termasuk pula pertimbangan prevensi umum.
2.      Sikap dan kepribadian terpidana, berkaitan dengan pandangan masyarakat Indonesia, in merupakan masalah.
3.      Sikap dan tingkah laku terpidana selama dalam penjara.
4.      Tinjauan terhadap penghidupan sesudah itu, pekerjaannya, bantuan moral dari sanak keluarga atau dari reklasering.

Perbedaan antara penundaan (schorsing) dengan penahanan ialah sebagai berikut :
-         Penundaan (schorsing) oleh Menteri Kehakiman sedangkan penahanan oleh Jaksa (dahulu asisiten residen) dimana terpidana berdiam.
-    Penundaan mengakibatkan terpidana langsung diperlakukan sebagai narapidana, sedangkan penahanan bersifat preventif.
-           Penundaan tidak ada jangka waktunya (berakhir pada waktu pidana berakhir), sedangkan penahanan hanya waktu 60 (enam puluh) hari.

DAFTAR ISI


I.               DAFTAR ISI ……………………………………………………………………….                               i
II.             BAB  I  PENDAHULUAN ………………………………………………………...                        1
A.    Pengertian Hukum Pidana ……………………………………………………..   1
B.    Tempat dan Sifat Hukum Pidana ……………………………………………...    3
C.        Perbedaan antara Hukum Pidana dan Hukum Perdata ………………………..    4
D.       Pembagian Hukum Pidana Umum dan Khusus ……………………………….    5
III.      BAB  II  SEJARAH SINGKAT HUKUM PIDANA INDONESIA ………………    7
A.        Zaman VOC …………………………………………………………………..    7
B.        Zaman Hindia Belanda ………………………………………………………..    7
C.        Zaman Pendudukan Jepang ……………………………………………………   8
D.       Zaman Kemerdekaan ………………………………………………………….    8
E.        Rancangan KUHP Baru ……………………………………………………….    8
IV.     BAB   III   TEORI-TEORI TENTANG HUKUM PIDANA ………………………   10
A.        Pengertian ……………………………………………………………………..    10
B.        Tujuan Pidana …………………………………………………………………    10
V.      BAB  IV  RUANG LINGKUP KEKUATAN BERLAKUNYA HUKUM PIDANA. 12
A.    Asas Legalitas …………………………………………………………………    12
B.    Penerapan Analogi …………………………………………………………….    12
C.    Hukum Transitoir (Peralihan ) ………………………………………………...    13
D.    Berlakunya Hukum Pidana menurut ruang tempat dan orang …………………   14
E.    Hukum Pidana Supranasional ………………………………………………….   15
VI.     BAB  V  INTERPRESTASI UNDANG-UNDANG PIDANA …………………….   16
A.        Pentingnya Interprestasi ………………………………………………………..   16
B.        Penerapan Hukum oleh Hakim Pidana …………………………………………  16
C.        Jenis-jenis Interprestasi Undang-Undang Pidana ………………………………  16
VII.    BAB  VI  PERBUATAN DAN RUMUSAN DELIK ………………………………  18
A.    Pengertian Delik ………………………………………………………………..  18
B.    Rumusan Delik …………………………………………………………………  18
C.        Perbuatan dan Rumusan delik dalam Undang-undang …………………………  19
D.       Cara merumuskan Delik ……………………………………………………….   19
E.        Pembagian Delik ……………………………………………………………….   19
F.         Waktu dan Tempat terjadinya Delik (Tempus Et Locus Dilicti) ………………   19

VIII.   BAB  VII  KESALAHAN DALAM ARTI LUAS DAN MELANGGAR HUKUM .  22
A.        Sengaja (dolus) ………………………………………………………………….  22
B.        Kelalaian (culpa) ………………………………………………………………..  22
C.        Kesalahan dan pertanggungjawaban Pidana ……………………………………  22
D.       Melawan Hukum ………………………………………………………………..  22
E.        Subsosialitas …………………………………………………………………….  23
F.         Tatbestandmassingkeit dan Was enchau ………………………………………..  23
IX.      BAB  VIII  DASAR PEMIDANAAN ………………………………………………  24
A.        Pengertian ………………………………………………………………………  24
B.        Pembagian Dasar Pemidanaan Pidana ………………………………………….  24
C.        Tidak dapat dipertanggungjawabkan …………………………………………...  25
D.       Daya Paksa (over macht) ……………..………………………………………...  26
E.        Pembelaan Terpaksa ……………………………………………………………  27
F.         Pembelaan Terpaksa melampaui Batas ………………………………………...  27
G.       Menjalankan Ketentuan Undang-Undang ……………………………………...  28
H.       Menjalankan Perintah Jabatan ………………………………………………….  28
I.          Dasar Pemidanaan Pidana diluar Undang-Undang …………………………….   29
X.       BAB  IX  TEORI-TEORI TENTANG SEBAB AKIBAT …………………………   30
A.        Pengertian ………………………………………………………………………  30
B.        Teori-teori Kausalitas …………………………………………………………..  30
XI.      BAB  X  HUKUM PENITENSIER …………………………………………………  32
A.        Pidana dan Tindakan ……………………………………………………………  32
B.        Jenis-jenis Pidana ……………………………………………………………….  32
C.        Tindakan (maatregel) …………………………………………………………..   35
D.       Pidana Bersyarat ……………………………………………………………….   35
E.        Pelepasan Bersyarat ……………………………………………………………   36