Bagaimana
kedudukan uang pengganti sebagai pidana tambahan dalam perkara pidana
korupsi?.
|
a.
|
Uang
Pengganti sebagai Pidana tambahan.
|
|
Pasal
18 Undang-undang RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagai berikut :
|
|
1.
|
Selain
pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam KUHP, sebagai pidana tambahan :
|
|
a.
|
Perampasan
barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak
bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi,
termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan,
begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
|
|
b.
|
Pembayaran
uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi;
|
|
c.
|
Penutup
seluruhnya atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.
|
|
d.
|
Pencabutan
seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian
keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada
terpidana.
|
|
2.
|
Jika
terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam
ayat
(1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh
jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti
tersebut.
|
|
3.
|
Dalam
hal terpidana tidak mempunyai harta benda mencukupi untuk membayar uang
pengganti sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf
b,
maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman
maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dari Undang-Undang ini
dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
|
Korupsi telah menjadi kejahatan yang dianggap merusak
sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kerugian negara yang
diakibatkan oleh tindak pidana korupsi sudah masuk dalam kategori
membahayakan. Korupsi di Indonesia merupakan persoalan bangsa yang bersifat
recurrent dan darurat yang telah dihadapi bangsa Indonesia dari masa ke masa
dalam rentang waktu relatif lama sehingga pengadilan khusus korupsi
diharapkan dapat membantu menyelesaikan sejumlah kejahatan korupsi masa lalu
agar mengembalikan harta kekayaan negara yang hilang.
|
Undang-undang RI No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Dilengkupi UU RI No. 31 tahun 1999 Beserta
Penyelesayan, Citra Umbara Bandung 2002, hal. 719 pidana korupsi.” Untuk dapat menentukan dan membuktikan
berapa sebenarnya jumlah harta benda yang diperoleh terpidana dari tindak pidana
korupsi jangan hanya ditafsirkan harta benda yang masih dikuasai oleh
terpidana pada saat jatuhnya putusan pengadilan tetapi juga harta benda hasil
korupsi yang pada waktu pembacaan putusan
sudah dialihkan terdakwa kepada orang lain.
|
Pada prakteknya, putusan pidana pembayaran uang pengganti
bervariasi besarannya yang dapat disebabkan beberapa faktor antara lain
seperti hakim memiliki perhitungan tersendiri, sebagian hasil korupsi sudah
dikembalikan atau tindak pidana korupsi dilakukan oleh lebih dari satu orang
sehingga pidana pembayaran uang pengganti dibebankan bersama-sama.
Kendala dalam penjatuhan pembayaran uang pengganti dalam
rangka penyelesaian keuangan negara pernah diungkapkan (Prof. Ramelan) adalah:
|
|
1.
|
Kasus
korupsi dapat diungkapkan setelah berjalan dalam kurun waktu yang lama
sehingga sulit untuk menelusuri uang atau hasil kekayaan yang diperoleh dari
korupsi.
|
|
2.
|
Dengan
berbagai upaya pelaku korupsi telah menghabiskan uang hasil korupsi atau
mempergunakan/mengalihkan dalam bentuk lain termasuk mengatasnamakan nama
orang lain yang sulit terjangkau hukum.
|
|
3.
|
Dalam
pembayaran pidana uang pengganti, si terpidana banyak yang tidak sanggup
membayar.
|
|
`4.
|
Dasarnya
pihak ketiga yang menggugat pemerintah atas barang bukti yang disita dalam
rangka pemenuhan pembayaran uang pengganti.
|
Masalah penetapan sanksi pidana dan tindakan pada tahap
kebijakan legislasi, perumusan ketentuan sanksinya banyak dipengaruhi oleh
konsep atau rancangan undang-undang yang diajukan ke legislatif. Menurut
Barda NawawiArief, “strategi kebijakan pemidanaan dalam kejahatan-kejahatan
yang berdimensi baru harus memperhatikan hakekat permasalahannya. Bila
hakekat permasalahannya lebih dekat dengan masalah-masalah di bidang hukum
perekonomian dan perdagangan, maka lebih diutamakan penggunaan pidana denda
atau semacamnya”.
|
Penetapan sanksi hukum pidana seharusnya dilakukan melalui
pendekatan rasional. Bila berdasar pada konsep rasional ini, maka kebijakan
penetapan sanksi dalam pidana tidak terlepas dari penetapan tujuan yang ingin
dicapai oleh kebijakan kriminal secara keseluruhan, yakni perlindungan
masyarakat. Disebabkan pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu, maka
haruslah dirumuskan terlebih dahulu tujuan pemidanaan yang diharapkan dapat
menunjang tujuan umum tersebut. Kemudian, berorientasi dari tujuan itu untuk
menetapkan cara, sarana atau tindakan apa yang akan dilakukan.
Tujuan adanya pidana uang pengganti adalah untuk memidana seberat
mungkin para koruptor agar mereka jera dan untuk menakuti orang lain agar tidak
melakukan korupsi.
Tujuan lainnya adalah untuk mengembalikan uang negara yang
melayang akibat suatu perbuatan korupsi. Pemikiran ini sejalan dengan
definisi tindak pidana korupsi. Menurut UU, salah satu unsur tipikor adalah
adanya tindakan yang merugikan negara. Dengan adanya unsur ini, maka setiap
terjadi suatu korupsi pasti akan menimbulkan kerugian pada keuangan negara.
Merupakan suatu hal yang wajar apabila pemerintah kemudian menerapkan suatu
kebijakan yang tertuang dalam UU dalam mengupayakan kembalinya uang negara
yang hilang akibat tipikor.
|
|
Sudah
jelas bahwa korupsi mengakibatkan pelaku memperoleh keuntungan finansial dan
sebaliknya negara menderita kerugian secara finansial. Akibat kerugian yang
ditanggung negara pada akhirnya berdampak pada berbagai hal. Bahkan korupsi
telah mengakibatkan kemiskinan, sehingga pelaku korupsi harus dikenakan
pidana pembayaran uang pengganti. Akibat tindak pidana korupsi yang terjadi
selama ini selain merugikan keuangan negara dan perekonomian negara juga menghambat
pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi
tinggi.
Penjatuhan
pidana tambahan dapat dilihat dalam arti sempit maupun luas.
Dalam
arti sempit, penjatuhan pidana berarti kewenangan menjatuhkan pidana menurut
undang-undang oleh pejabat yang berwenang (hakim).
Dilihat
dalam arti luas, penjatuhan pidana merupakan suatu mata rantai tindakan hukum
dari pejabat yang berwenang, mulai dari proses penyidikan, penuntutan sampai
pada putusan pidana yang dijatuhkan pengadilan dan dilaksanakan oleh aparat
pelaksana pidana. Seperti pidana lainnya, pidana tambahan berupa pembayaran
uang pengganti dicantumkan dalam putusan hakim.
|
|
Akan
tetapi kontras dengan beban mulia yang diembannya, ternyata pengaturan
mengenai pidana uang pengganti justru tidak jelas. Baik UU No. 3 tahun 1971
yang hanya mengatur mengenai uang pengganti dalam satu pasal yakni pasal 34huruf
c maupun undang-undang penggantinya UU No. 31 Tahun 1999 serta perubahannya
UU No. 20 Tahun 2001 pada pasal 18. Minimnya pengaturan mengenai uang
pengganti mengakibatkan munculnya berbagai permasalahan. Salah satunya adalah
dalam menentukan berapa jumlah pidana uang pengganti yang dapat dikenakan
kepada terdakwa. Pasal 34 huruf c UU No. 3/1971 dan pasal 18 ayat (1) huruf b
hanya menetapkan rumusan sederhana mengenai besarnya uang pengganti yaitu
sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi, maka
dapat ditafsirkan besarnya uang pengganti dapat dihitung berdasarkan nilai
harta si terdakwa yang diperoleh dari tindak pidana korupsi yang didakwakan.
Maka untuk menentukan besarnya uang pengganti, pertama-tama hakim harus
secara cermat memilah-milah bagian mana dari keseluruhan harta terdakwa yang
berasal dari tindak pidana korupsi yang didakwakan kepadanya dan mana yang
bukan. Setelah dilakukan pemilahan, hakim kemudian baru dapat melakukan
perhitungan berapa besaran uang pengganti yangakan dibebankan.
Prakteknya,
dengan konsep ini hakim pasti akan menemui kesulitan dalam menentukan besaran
uang pengganti. Pertama, hakim akan sulit memilah-milah mana aset yang
berasal adri korupsi dan mana yang bukan, karena pada perkembangannya
kompleksitas suatu tindak pidana korupsi semakin meningkat. Selain itu, untuk
melakukan hal ini jelas butuh keahlian khusus serta data dan informasi yang
lengkap.
Belum
lagi kalau kita bicara soal waktu yang tentunya tidak sebentar, apalagi jika
harta
yang akan dihitung berada di luar negeri sehingga membutuhkan birokrasi
diplomatik yang pasti sangat rumit dan memakan waktu.
Kedua,
perhitungan besaran uang pengganti akan sulit dilakukan apabila aset terdakwa
yang akan dinilai ternyata telah dikonversi dalam bentuk aset yang
berdasarkan sifatnya mempunyai nilai yang fluktuatif, yang nilainya terus
berubah. Salah seorang pejabat
Kejagung, YosephSuardi Sabda saat itu menjabat sebagai Direktur Perdata
mengatakan pengaturan rumusan jumlah uang pengganti dalam UU Korupsi yang
berlaku saat ini sangat membingungkan. Disebutkan lebih baik menggunakan
pemahaman bahwa uang pengganti disamakan saja dengan kerugian negara yang
ditimbulkan. Dengan menetapkan besaran uang pengganti sama dengan jumlah
kerugian negara maka sisi positifnya adalah menghindari kerepotan hakim dalam
memilah dan menghitung aset terpidana karena besarnya sudah jelas serta
memudahkan pengembalian keuangan negara yang disebabkan oleh tindak pidana
korupsi.
Memang
ada kesan akan menimbulkan ketidakadilan bagi terdakwa karena harta bendanya
yang diperoleh dari korupsi belum tentu sama banyak dengan kerugiannegara
yang timbul. Apalagi dalam hal terjadi penyertaan, akan sangat membingungkan
menentukan berapa harta masing-masing terdakwa yang diperoleh dari korupsi.
|
Ada
dua model pembebanan yang selama ini diterapkan oleh hakim dalam memutus
perkara korupsi yang berupa penyertaan. Model pertama adalah pembebanan
tanggung renteng, sedangkan yang kedua model pembebanan secara proporsional. Menurut
model pertama, tiap-tiap dari mereka memiliki kewajiban untuk memenuhi
hukuman tersebut. Dimana menurut konsep keperdataan, apabila salah satu dari
terdakwa telah melunasi sejumlah uang pengganti maka otomatis kewajiban
terdakwa lain gugur secara otomatis.
Model
kedua, pembebasan secara proporsional adalah pembebanan pidana uang pengganti
dimana majelis hakim dalam amarnya secara definatif menentukan berapa besar
beban masing-masing terdakwa. Penentuan jumlah uang pengganti tersebut
didasarkan pada penafsiran hakim atas kontribusi masing-masing terdakwa dalam
tindak pidana korupsi terkait.
Mengenai
penentuan pidana pembayaran uang pengganti berpedoman pada Surat Jaksa Agung
No. B-28/A/Ft.1/05/2009 tanggal 11 Mei 2009, mengenai petunjuk kepada jaksa
penuntut umum dalam membuat surat tuntutan yang salah satu diantara petunjuk
adalah mengenai pidana pembayaran uang pengganti yaitu:
|
1.
|
Kewajiban
membayar uang pengganti sedapat mungkin langsung ditujukan kepada instansi
yang dirugikan sebagai akibat dari tindak pidana korupsi. Amar surat
tuntutan: ‘membayar uang pengganti kepada negara (institusi yang dirugikan)
sebesar.......dst.
|
2.
|
Untuk
memberikan rasa keadilan kepada terpidana yang membayar uang pengganti tetapi
hanya sebagian dari pidana dalam putusan, maka didalam amar tuntutan supa
ya
ditambahkan klausul: “apabila terdakwa/terpidana membayar uang pengganti, maka
jumlah uang pengganti yang dibayarkan tersebut akan diperhitungkan dengan
lamanya pidana tambahan berupa pidana penjara sebagai pengganti dari
kewajiban membayar uang pengganti.
|
3.
|
Terhadap
kewajiban pembayaran uang pengganti yang terdakwanya lebih dari satu orang
supaya di dalam amar tuntutan disebutkan secara jelas dan pasti jumlah kepada
masing-masing terdakwa dan tidak boleh disebutkan secara tanggung renteng
karena tidak akan memberikan kepastian hukum dan menimbulkan kesulitan dalam
eksekusi. Kesulitan eksekusi yang terjadi baik menyangkut jumlah uang
pengganti yang harus dibayar oleh masing-masing terdakwa/terpidana maupun
terhadap terpidana yang tidak membayar (atau membayar sebagian) uang
pengganti sehingga harus menjalani hukuman badan sebagai pengganti dari
kewajiban membayar uang pengganti tersebut.
|
4.
|
Apabila
tidak diketahui secara pasti jumlah yang diperoleh dari tindak pidana korupsi
oleh masing-masing terdakwa/terpidana, maka salah satu cara yang dapat
dipedomani untuk menentukan besarnya uang pengganti yang akan digunakan kepada
masing-masing terpidana/terdakwa adalah menggunakan kualifikasi turut serta
dalam pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHAP.
|
5.
|
Untuk
pelaksanaan petunjuk penentuan besaran uang pengganti supaya dilaksanakan
secara tertib dengan administrasi yang dapat dipertanggungjawabkan disertai
bukti-bukti yang akurat yang dapat dipergunakan sebagai bahan pelaporan hasil
penyelamatan kerugian keuangan negara oleh KejaksaanAgung.
|