Tampilkan postingan dengan label Pidsus. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pidsus. Tampilkan semua postingan

Rabu, 19 November 2014

Uang Pengganti sebagai Pidana tambahan



Bagaimana kedudukan uang pengganti sebagai pidana tambahan dalam perkara pidana korupsi?.

a.
Uang Pengganti sebagai Pidana tambahan.


Pasal 18 Undang-undang RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut :

1.
Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam KUHP, sebagai pidana tambahan :

a.
Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;

b.
Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

c.
Penutup seluruhnya atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.

d.
Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.

2.
Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti
tersebut.

3.
Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf
b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dari Undang-Undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Korupsi telah menjadi kejahatan yang dianggap merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi sudah masuk dalam kategori membahayakan. Korupsi di Indonesia merupakan persoalan bangsa yang bersifat recurrent dan darurat yang telah dihadapi bangsa Indonesia dari masa ke masa dalam rentang waktu relatif lama sehingga pengadilan khusus korupsi diharapkan dapat membantu menyelesaikan sejumlah kejahatan korupsi masa lalu agar mengembalikan harta kekayaan negara yang hilang.
Undang-undang RI No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dilengkupi UU RI No. 31 tahun 1999 Beserta Penyelesayan, Citra Umbara Bandung 2002, hal. 719 pidana korupsi.”    Untuk dapat menentukan dan membuktikan berapa sebenarnya jumlah harta benda yang diperoleh terpidana dari tindak pidana korupsi jangan hanya ditafsirkan harta benda yang masih dikuasai oleh terpidana pada saat jatuhnya putusan pengadilan tetapi juga harta benda hasil korupsi yang pada waktu pembacaan  putusan sudah dialihkan terdakwa kepada orang lain.
Pada prakteknya, putusan pidana pembayaran uang pengganti bervariasi besarannya yang dapat disebabkan beberapa faktor antara lain seperti hakim memiliki perhitungan tersendiri, sebagian hasil korupsi sudah dikembalikan atau tindak pidana korupsi dilakukan oleh lebih dari satu orang sehingga pidana pembayaran uang pengganti dibebankan bersama-sama.
Kendala dalam penjatuhan pembayaran uang pengganti dalam rangka penyelesaian keuangan negara pernah diungkapkan (Prof. Ramelan)  adalah:

1.
Kasus korupsi dapat diungkapkan setelah berjalan dalam kurun waktu yang lama sehingga sulit untuk menelusuri uang atau hasil kekayaan yang diperoleh dari korupsi.

2.
Dengan berbagai upaya pelaku korupsi telah menghabiskan uang hasil korupsi atau mempergunakan/mengalihkan dalam bentuk lain termasuk mengatasnamakan nama orang lain yang sulit terjangkau hukum.

3.
Dalam pembayaran pidana uang pengganti, si terpidana banyak yang tidak sanggup membayar.

`4.
Dasarnya pihak ketiga yang menggugat pemerintah atas barang bukti yang disita dalam rangka pemenuhan pembayaran uang pengganti.
Masalah penetapan sanksi pidana dan tindakan pada tahap kebijakan legislasi, perumusan ketentuan sanksinya banyak dipengaruhi oleh konsep atau rancangan undang-undang yang diajukan ke legislatif. Menurut Barda NawawiArief, “strategi kebijakan pemidanaan dalam kejahatan-kejahatan yang berdimensi baru harus memperhatikan hakekat permasalahannya. Bila hakekat permasalahannya lebih dekat dengan masalah-masalah di bidang hukum perekonomian dan perdagangan, maka lebih diutamakan penggunaan pidana denda atau semacamnya”.
Penetapan sanksi hukum pidana seharusnya dilakukan melalui pendekatan rasional. Bila berdasar pada konsep rasional ini, maka kebijakan penetapan sanksi dalam pidana tidak terlepas dari penetapan tujuan yang ingin dicapai oleh kebijakan kriminal secara keseluruhan, yakni perlindungan masyarakat. Disebabkan pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu, maka haruslah dirumuskan terlebih dahulu tujuan pemidanaan yang diharapkan dapat menunjang tujuan umum tersebut. Kemudian, berorientasi dari tujuan itu untuk menetapkan cara, sarana atau tindakan apa yang akan dilakukan.
Tujuan adanya pidana uang pengganti adalah untuk memidana seberat mungkin para koruptor agar mereka jera dan untuk menakuti orang lain agar tidak melakukan korupsi.
Tujuan lainnya adalah untuk mengembalikan uang negara yang melayang akibat suatu perbuatan korupsi. Pemikiran ini sejalan dengan definisi tindak pidana korupsi. Menurut UU, salah satu unsur tipikor adalah adanya tindakan yang merugikan negara. Dengan adanya unsur ini, maka setiap terjadi suatu korupsi pasti akan menimbulkan kerugian pada keuangan negara. Merupakan suatu hal yang wajar apabila pemerintah kemudian menerapkan suatu kebijakan yang tertuang dalam UU dalam mengupayakan kembalinya uang negara yang hilang akibat tipikor.

Sudah jelas bahwa korupsi mengakibatkan pelaku memperoleh keuntungan finansial dan sebaliknya negara menderita kerugian secara finansial. Akibat kerugian yang ditanggung negara pada akhirnya berdampak pada berbagai hal. Bahkan korupsi telah mengakibatkan kemiskinan, sehingga pelaku korupsi harus dikenakan pidana pembayaran uang pengganti. Akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara dan perekonomian negara juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.
Penjatuhan pidana tambahan dapat dilihat dalam arti sempit maupun luas.
Dalam arti sempit, penjatuhan pidana berarti kewenangan menjatuhkan pidana menurut undang-undang oleh pejabat yang berwenang (hakim).
Dilihat dalam arti luas, penjatuhan pidana merupakan suatu mata rantai tindakan hukum dari pejabat yang berwenang, mulai dari proses penyidikan, penuntutan sampai pada putusan pidana yang dijatuhkan pengadilan dan dilaksanakan oleh aparat pelaksana pidana. Seperti pidana lainnya, pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti dicantumkan dalam putusan hakim.

Akan tetapi kontras dengan beban mulia yang diembannya, ternyata pengaturan mengenai pidana uang pengganti justru tidak jelas. Baik UU No. 3 tahun 1971 yang hanya mengatur mengenai uang pengganti dalam satu pasal yakni pasal 34huruf c maupun undang-undang penggantinya UU No. 31 Tahun 1999 serta perubahannya UU No. 20 Tahun 2001 pada pasal 18. Minimnya pengaturan mengenai uang pengganti mengakibatkan munculnya berbagai permasalahan. Salah satunya adalah dalam menentukan berapa jumlah pidana uang pengganti yang dapat dikenakan kepada terdakwa. Pasal 34 huruf c UU No. 3/1971 dan pasal 18 ayat (1) huruf b hanya menetapkan rumusan sederhana mengenai besarnya uang pengganti yaitu sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi, maka dapat ditafsirkan besarnya uang pengganti dapat dihitung berdasarkan nilai harta si terdakwa yang diperoleh dari tindak pidana korupsi yang didakwakan. Maka untuk menentukan besarnya uang pengganti, pertama-tama hakim harus secara cermat memilah-milah bagian mana dari keseluruhan harta terdakwa yang berasal dari tindak pidana korupsi yang didakwakan kepadanya dan mana yang bukan. Setelah dilakukan pemilahan, hakim kemudian baru dapat melakukan perhitungan berapa besaran uang pengganti yangakan dibebankan.
Prakteknya, dengan konsep ini hakim pasti akan menemui kesulitan dalam menentukan besaran uang pengganti. Pertama, hakim akan sulit memilah-milah mana aset yang berasal adri korupsi dan mana yang bukan, karena pada perkembangannya kompleksitas suatu tindak pidana korupsi semakin meningkat. Selain itu, untuk melakukan hal ini jelas butuh keahlian khusus serta data dan informasi yang lengkap.
Belum lagi kalau kita bicara soal waktu yang tentunya tidak sebentar, apalagi jika
harta yang akan dihitung berada di luar negeri sehingga membutuhkan birokrasi diplomatik yang pasti sangat rumit dan memakan waktu.
Kedua, perhitungan besaran uang pengganti akan sulit dilakukan apabila aset terdakwa yang akan dinilai ternyata telah dikonversi dalam bentuk aset yang berdasarkan sifatnya mempunyai nilai yang fluktuatif, yang nilainya terus berubah.  Salah seorang pejabat Kejagung, YosephSuardi Sabda saat itu menjabat sebagai Direktur Perdata mengatakan pengaturan rumusan jumlah uang pengganti dalam UU Korupsi yang berlaku saat ini sangat membingungkan. Disebutkan lebih baik menggunakan pemahaman bahwa uang pengganti disamakan saja dengan kerugian negara yang ditimbulkan. Dengan menetapkan besaran uang pengganti sama dengan jumlah kerugian negara maka sisi positifnya adalah menghindari kerepotan hakim dalam memilah dan menghitung aset terpidana karena besarnya sudah jelas serta memudahkan pengembalian keuangan negara yang disebabkan oleh tindak pidana korupsi.
Memang ada kesan akan menimbulkan ketidakadilan bagi terdakwa karena harta bendanya yang diperoleh dari korupsi belum tentu sama banyak dengan kerugiannegara yang timbul. Apalagi dalam hal terjadi penyertaan, akan sangat membingungkan menentukan berapa harta masing-masing terdakwa yang diperoleh dari korupsi.
Ada dua model pembebanan yang selama ini diterapkan oleh hakim dalam memutus perkara korupsi yang berupa penyertaan. Model pertama adalah pembebanan tanggung renteng, sedangkan yang kedua model pembebanan secara proporsional. Menurut model pertama, tiap-tiap dari mereka memiliki kewajiban untuk memenuhi hukuman tersebut. Dimana menurut konsep keperdataan, apabila salah satu dari terdakwa telah melunasi sejumlah uang pengganti maka otomatis kewajiban terdakwa lain gugur secara otomatis.
Model kedua, pembebasan secara proporsional adalah pembebanan pidana uang pengganti dimana majelis hakim dalam amarnya secara definatif menentukan berapa besar beban masing-masing terdakwa. Penentuan jumlah uang pengganti tersebut didasarkan pada penafsiran hakim atas kontribusi masing-masing terdakwa dalam tindak pidana korupsi terkait.
Mengenai penentuan pidana pembayaran uang pengganti berpedoman pada Surat Jaksa Agung No. B-28/A/Ft.1/05/2009 tanggal 11 Mei 2009, mengenai petunjuk kepada jaksa penuntut umum dalam membuat surat tuntutan yang salah satu diantara petunjuk adalah mengenai pidana pembayaran uang pengganti yaitu:
1.
Kewajiban membayar uang pengganti sedapat mungkin langsung ditujukan kepada instansi yang dirugikan sebagai akibat dari tindak pidana korupsi. Amar surat tuntutan: ‘membayar uang pengganti kepada negara (institusi yang dirugikan) sebesar.......dst.
2.
Untuk memberikan rasa keadilan kepada terpidana yang membayar uang pengganti tetapi hanya sebagian dari pidana dalam putusan, maka didalam amar tuntutan supa
ya ditambahkan klausul: “apabila terdakwa/terpidana membayar uang pengganti, maka jumlah uang pengganti yang dibayarkan tersebut akan diperhitungkan dengan lamanya pidana tambahan berupa pidana penjara sebagai pengganti dari kewajiban membayar uang pengganti.
3.
Terhadap kewajiban pembayaran uang pengganti yang terdakwanya lebih dari satu orang supaya di dalam amar tuntutan disebutkan secara jelas dan pasti jumlah kepada masing-masing terdakwa dan tidak boleh disebutkan secara tanggung renteng karena tidak akan memberikan kepastian hukum dan menimbulkan kesulitan dalam eksekusi. Kesulitan eksekusi yang terjadi baik menyangkut jumlah uang pengganti yang harus dibayar oleh masing-masing terdakwa/terpidana maupun terhadap terpidana yang tidak membayar (atau membayar sebagian) uang pengganti sehingga harus menjalani hukuman badan sebagai pengganti dari kewajiban membayar uang pengganti tersebut.
4.
Apabila tidak diketahui secara pasti jumlah yang diperoleh dari tindak pidana korupsi oleh masing-masing terdakwa/terpidana, maka salah satu cara yang dapat dipedomani untuk menentukan besarnya uang pengganti yang akan digunakan kepada masing-masing terpidana/terdakwa adalah menggunakan kualifikasi turut serta dalam pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHAP.
5.
Untuk pelaksanaan petunjuk penentuan besaran uang pengganti supaya dilaksanakan secara tertib dengan administrasi yang dapat dipertanggungjawabkan disertai bukti-bukti yang akurat yang dapat dipergunakan sebagai bahan pelaporan hasil penyelamatan kerugian keuangan negara oleh KejaksaanAgung.

Membaca sekalian menulis….semoga berguna……