KEPUTUSANTATA USAHA NEGARA
B
|
adan / Pejabat Tata Usaha Negara dalam menjalankan
administrasi negara akan membuat keputusan-keputusan baik yang bersifat
menetapkan maupun yang bersifat mengatur. Keputusan Badan / Pejabat Tata Usaha
Negara ini disebut sebagai Keputusan Tata Usaha Negara.
Undang-Undang PTUN memberikan pengertian tentang keputusan
Tata Usaha Negara sebagai berikut:
“Keputusan TUN adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan
oleh badan atau pejabat TUN yang berisi tindakan hukum tata usaha negara,
berdasarkan Undang-Undang, bersifat konkrit, individuil, dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seorang atau badan hukum perdata (Pasal 1 angka 3
Undang-Undang No 5 Tahun 1986)”
1.
Keputusan TUN yang dapat menimbulkan sengketa TUN hanyalah keputusan yang
tertulis: hal ini penting untuk pembuktian. Pengertian tertulis, lebih menitik
beratkan pada isinya, bukan pada bentuknya. (Keputusan (beschiking) harus penetapan tertulis terutama menunjuk pada isi
(materi) dan bukan pada bentuk form dari keputusan itu).
Memorandum, nota dinas, disposisi, katabelece, sudah dapat memenuhi pengertian / syarat tertulis, asal
isinya jelas mencantumkan Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkannya, maksud
dan apa yang ditetapkan dalam memo, nota itu, serta kepada siapa itu ditujukan.
Jadi tidak perlu berbentuk resmi seperti Surat Keputusan.
Keputusan Tata Usaha Negara yang berbentuk lisan bukan
kewenangan dari Pengadilan Tata Usaha Negara, melainkan kewenangan Pengadilan
Umum.
2.
Keputusan Tata Usaha Negara harus bersifat Konkrit: obyek yang dputuskan disitu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan.
Misalnya:
1.
Keputusan mengenai kepemilikan tanah oleh Tuan Fajar Napitupulu, yang
beralamat di Jln Kesuma Puri Kav 76 / 77, Cibubur, Jakarta Timur
2.
Izin Usaha bagi PT. Nalendra Shinta Mina; di Desa Cijambe Kabupaten Subang
3.
Pemberhentian dengan tidak hormat Kasan Waluyo sebagai PNS;
4.
Keputusan pendaftaran Merk “Aqua”
3.
Keputusan TUN harus bersifat Individual:
tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju,
kalau yang dituju itu lebih dari satu orang, maka nama dari tiap-tiap orang
yang namanya terkena putusan itu harus disebutkan satu persatu.
Misalnya:
Keputusan tentang pengangkatan PNS dengan lampiran yang
menyebutkan satu-persatu nama yang diangkat sebagai PNS.
4.
Keputusan TUN harus bersifat Final:
definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Suatu keputusan yang
masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain, belum bersifat
final dan karena itu belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada
pihak yang bersangkutan.
Misalnya:
A.
Keputusan Menteri Hukum dan HAM Tentang Pengesahan Akta Pendirian
Perseroan Terbatas.
B.
Keputusan Menteri Kehutanan tentang izin Hak Pengusahaan Hutan.
C.
Keputusan Direktur Jenderal HAKI tentang Hak Penggunaan Merk Dagang,
Paten, Hak Cipta, Rahasia Dagang.
Pasal 2 UU PTUN, menetapkan adanya Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak termasuk sebagai Keputusan Tata
usaha Negara, yaitu:
1. Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan hukum perdata / merupakan
perbuatan hukum perdata.
Misalnya:
a.
Penetapan Pejabat TUN tentang pengangkatan tenaga akhli / expert berdasarkan
perjanjian.
b.
Penetapan Pejabat TUN tentang jual beli ATK, pemborongan, renovasi gendung
atau taman kantor.
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum /
berlaku umum.
Keputusan ini memuat norma-norma hukum yang dituangkan dalam
bentuk peraturan umum, yang kekuatan berlakunya mengikat setiap orang.
Misalnya:
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden,
Keputusan Jaksa Agung RI Nomor: Tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja
Kejaksaan Republik Indonesia
3. Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan KUHP atau perundangan yang
bersifat pidana (KUHAP).
Misalnya:
Penahanan seseorang tersangka oleh Jaksa / Polisi berdasarkan
ketentuan pidana.
4. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan pihak lainnya.
Keputusan ini belum final, sebab keputusan ini belum dapat
berlaku sebelum ada persetujuan dari pihak lainnya / instansi atasan atau
instansi lainnya. Dalam rangka pengawasan administratif yang bersifat preventif
dan keseragaman kebijaksanaan, sering kali peraturan menjadi dasar keputusan
menentukan bahwa sebelum berlakunya keputusan TUN diperlukan adanya persetujuan
instansi atasannya atau instansi lainnya terlebih dahulu.
Misalnya:
A.
Keputusan pengangkatan baru pegawai harus mendapat persetujuan terlebih
dahulu dari BKN
B.
Keputusan pengangkatan baru Widyaiswara harus mendapat persetujuan
terlebih dahulu dari LAN
5. Keputusan Tata Usaha Negara Berdasar Hasil Pemeriksaan Badan Peradilan.
Vonis Hakim bukan Keputusan Tata Usaha Negara
Misalnya:
1. Keputusan pemberhentian sebagai PNS berdasarkan Keputusan
Pengadilan yang menetapkan PNS yang bersangkutan dijatuhi pidana lebih dari
satu tahun penjara.
2. Keputusan Badan Pertanahan yang mengeluarkan sertipikat
tanah atas nama seseorang yang didasarkan atas pertimbangan Keputusan
Pengadilan Perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yang menjelaskan
bahwa tanah sengketa tersebut merupakan tanah negara dan tidak berstatus tanah
warisan yang diperkuat oleh para pihak.
3. Keputusan Menteri Hukum dan HAM Tentang Pemecatan Notaris
setelah menerima usul Ketua Pengadilan Negeri atas dasar kewenangannya berdasar
ketentuan Pasal 54 Undang-Undang No 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum
6. Keputusan Tata Usaha Negara Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(sekarang TNI)
Sekarang TUN di lingkungan TNI diperiksa dan diselesaikan
oleh Pengadilan Tata Usaha Militer (UU No 3 Tahun 1992)
7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum.
Keputusan hasil pemilu (keputusan partai-partai mana yang
ikut serta dalam pemilu, Partai-partai peserta Pemilu yang memperoleh suara
terbanyak, banyak, sedikit, dan tidak memperoleh suara)
Sebaliknya dari pembatasan Keputusan Tata Usaha Negara /
pengertian mengenai TUN, undang-undang memperluas pengertian Keputusan TUN
dengan menganggap sikap diam dari
pejabat TUN atau Badan sebagai sikap berbuat aktif dan sebagai penetapan
tertulis sebagaimana ditentukan pasal 3 Undang-Undang Peradilan TUN, sebagai
berikut:
(1).
Apabila badan atau pejabat Tata Usaha Negara tidak
mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal
tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.
(2).
Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak
mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan
keputusan dimaksud.
(3).
Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud ayat (2), maka setelah lewat
jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.
Sikap diam dari pejabat TUN sama dengan dikeluarkan Keputusan TUN, yang
berisi penolakan suatu permohonan. Bilamana sikap diam itu menimbulkan kerugian
bagi seroang atau badan hukum perdata, maka ia dapat mengajukan gugatan
sengketa Tata Usaha Negara ke Pengadilan TUN. Sebagai bukti tertulis adanya
permohonan yang dianggap ditolak itu, cukup mengajukan arsip permohonan
mengenai penolakan terhadap permohonannya.
“Sedangkan hal itu
menjadi kewajibannya” badan atau Pejabat TUN menurut ketentuan
Perundang-undangan yang berlaku berwenang menangani permohonan yang
bersangkutan. Oleh karenanya Badan atau Pejabat TUN berkewajiban menanganinya
dan mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara baik berisi mengabulkan ataupun
menolak permohonan tersebut.
Sebaliknya, bila Badan atau Pejabat TUN memang tidak
mempunyai wewenang menangani permohonan itu, maka baginya juga tidak ada wewenang
/ kewajiban menangani permohonan yang bersangkutan. Sehingga apabila Badan atau
Pejabat TUN bersikap diam, maka tidak berarti ia dianggap telah menolak atau
dianggap telah ada keputusan TUN yang berisi menolak permohonan.
Ada kemungkinan peraturan dasar tidak menentukan batas waktu
kapan Badan atau Pejabat TUN paling lambat harus memberikan keputusannya dan
selama tenggang waktu itu ia bersikap diam, namun sampai dengan lewatnya batas
waktu baru menanggapi permohonan dan membuat keputusan TUN, baik berisi
mengabulkan ataupun menolak permohonan.
Ada kemungkinan peraturan dasar tidak menentukan batas waktu
kapan Badan atau Pejabat TUN paling lambat harus memberikan keputusannya dan
selama tenggang waktu itu ia bersikap diam, namun sampai dengan lewatnya batas
waktu baru menanggapi permohonan dan membuat keputusan TUN, baik berisi
mengabulkan ataupun menolak permohonan. Keputusan seperti ini dianggap sebagai
keputusan fiktif, atau sama saja tidak pernah ada. Karenanya sesungguhnya pada
saat habisnya tenggang waktu menangani permohonan yang bersangkutan, dan Badan
Pejabat TUN tersebut bersikap diam, ia sudah dianggap mengeluarkan Keputusan
TUN yang berisi penolakan.
Kapan saatnya
dianggap keputusan TUN yang bersifat menolak? Hal ini berhubungan adanya tenggang
waktu mengajukan gugatan sengketa TUN di Pengadilan Tata Usaha Negara.
Daftar Pustaka
Daftar Pustaka
1.
Agus
M. Mazwan Sosrokusumo, S.H. Freis Ermessen, sebuah type Tindak Pidana Hukum
di Bidang Hukum Tata Pemerintahan, Seri Karangan Tersebar, Fakultas Hukum
Universitas Jember, 1983.
2.
Prof.DR.
Baharudin Lopa ,S.H. dan DR A. Hamzah, S.H. Mengenal Peradilan Tata Usaha
Negara, Sinar Grafika, Jakarta.
3.
Prof
DR. Mr Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Seri Pustaka Ilmu
Administrasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981
4.
Indroharto,
Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I,
Cetakan Keenam, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996
5.
Ismail
Saleh, S.H. Pidato Sambutan Pemerintah Atas Persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat Terhadap Rancangan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Tanggal 20
Desember 1986.
6.
Joko
Widodo, Good Governance telahaan dari Demensi Akuntabilitas Dan Kontrol
Birokrasi Pada Era Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Penerbit, Insan Cendekia
2001.
7.
Y.W
Sunindya, S.H., Dra Ninik Widiyanti, Administrasi Negara Dan Peradilan Administrasi.
Aneka Cipta, Jakarta, 1990.
8.
Martiman
Prodjohamidjojo, S.H. Hukum Acara Peradilan Tata Usah Negara, Ghalia
Indonesia 1993.
9.
Zairin
Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Revisi , PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta 2007
10.
Undang-Undang
Dasar 19945
11.
Undang-Undang
Dasar 1945 peruhan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat dalam satu naskah
12.
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara serta Penjelasannya,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987.
13.
UNdang-Undang
No 7 Tahun 2004 Tentang
---------------Arsip Materi Pembelajaran TUN