PEMBUKTIAN DALAM PERSIDANGAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA
D
|
alam persidangan, salah satu hal yang paling penting adalah
“pembuktian”, yaitu hal yang dilakukan Hakim dalam pemeriksaan pengadilan
dengan cara yang tepat (menurut prosedur yang ditetapkan
dalam peraturan pembuktian), menetapkan terbuktinya eksistensi fakta-fakta yang
relevan untuk digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam putusan nantinya,
disamping penerapan hukum (rechtsoepassing) dan kadangkala menemukan
hukum (rechtsvinding).
Membuktikan atau memberikan pembuktian adalah dengan
alat-alat pembuktian tertentu, memberikan suatu tingkatan kepastian yang sesuai
dengan penalaran tentang eksistensi fakta-fakta hukum yang disengketakan.
Yang dimaksud dengan fakta-fakta:
1. Fakta-fakta hukum.
Fakta-fakta hukum adalah kejadian-kejadian atau
keadaan-keadaan yang keberadaannya (eksistensinya) tergantung pada penerapan
suatu peraturan.
Contoh: Peraturannya menyatakan bahwa setiap bangunan rumah,
harus mempunyai izin mendirikan bangunan (IMB). Tuan C mendirikan bangunan
rumahnya tanpa IMB. Keadaan mendirikan bangunan rumah tanpa IMB ini merupakan
fakta hukum.
Namun kadang kala fakta hukum juga bersifat murni yuridis.
Contoh: pernyataan tidak keberatan Walikota Jakarta Timur
yang diperoleh Tuan FCN untuk membangun gedung diatas tanah yang
diperuntukannya untuk jalur hijau.
2. Fakta-fakta biasa (blote
feiten)
Kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang juga mengikuti
adanya fakta-fakta hukum tertentu.
Contoh: Pernyataan tidak cakap bekerja seorang pegawai C,
harus disimpulkan dari kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya, menyebabkan
rusaknya harta kekayaan milik negara, menyebabkan tidak terkirimnya surat-surat
dinas penting, menyebabkan kecelakaan moda transportasi tertentu.
Kesalahan-kesalahan yang diperbuat A tersebut merupakan
fakta-fakta biasa.
Pasal 100 UU PTUN dalam ayat (1) menyatakan:
(1).
Alat bukti ialah:
a.
Surat atau tulisan sebagai alat bukti terdiri atas tiga jenis yaitu akta
otentik, akta di bawah tangan, dan surat-surat lain yang bukan akta (Pasal 101
UU PTUN).
b.
Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam
persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya.
(Pasal 102 ayat (1) UU PTUN)
Misalnya: keterangan dokter, ahli ketenagakerjaan, ahli
kepegawaian negeri, ahli dibidang kehutanan, pertanahan yang dapat memberikan
peranan penting.
c.
Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan ini berkenaan
dengan hal yang dialami, dilihat atau didengar oleh saksi sendiri. (Pasal 104
UU PTUN)
Keterangan saksi kadang kala diberikan dalam bentuk tertulis
yang diajukan pihak yang bersangkutan di muka pemeriksaan.
Pasal 88 UU PTUN
melarang seseorang
menjadi saksi
apabila:
1)
Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau
ke bawah sampai derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa;
2)
Istri atau suami salah satu pihak yang bersengketa meskipun sudah
bercerai;
3)
Anak yang belum berusia tujuh belas tahun;
4)
Orang sakit ingatan
d.
Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan
alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Hakim. (Pasal 105 UU PTUN)
Para pihak yang memberikan pengakuan umumnya dapat merupakan
garis penuntun untuk mencari kejelasan lebih lanjut mengenai fakta-fakta
tertentu.
e.
Pengetahuan Hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini
kebenarannya (Pasal 106 UU PTUN)
Untuk membuktikan suatu fakta kadangkala Hakim merasa perlu
melakukan pemeriksaan setempat untuk melakukan penilaian yang tepat mengenai
perkara yang sedang diperiksa.
Misalnya: Pemeriksaan pembangunan gedung yang dinyatakan
melanggar sepadan jalan, yang dianggap telah membahayakan, tanah yang
dinyatakan sebagai jalur hijau, batas HPH.
Dari ketentuan pasal-pasal pembuktian dalam UU PTUN, jelas UU
ini menganut ajaran pembuktian bebas yang terbatas. Dikatakan demikian karena
mengenai alat-alat bukti yang boleh digunakan dalam membuktikan sesuatu sudah
ditentukan secara limitatif (Pasal 100 UU PTUN). Hakim dibatasi wewenangnya
untuk menilai keabsahan pembuktian, yaitu paling sedikit ada dua alat bukti
berdasarkan keyakinan Hakim, sebagaimana diatur dalam Pasal 107 UU PTUN.
Pasal 107 UU PTUN:
“Hakim
menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian
pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat
bukti berdasarkan keyakinan Hakim”.
Daftar Pustaka
Daftar Pustaka
1.
Agus
M. Mazwan Sosrokusumo, S.H. Freis Ermessen, sebuah type Tindak Pidana Hukum
di Bidang Hukum Tata Pemerintahan, Seri Karangan Tersebar, Fakultas Hukum
Universitas Jember, 1983.
2.
Prof.DR.
Baharudin Lopa ,S.H. dan DR A. Hamzah, S.H. Mengenal Peradilan Tata Usaha
Negara, Sinar Grafika, Jakarta.
3.
Prof
DR. Mr Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Seri Pustaka Ilmu
Administrasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981
4.
Indroharto,
Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I,
Cetakan Keenam, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996
5.
Ismail
Saleh, S.H. Pidato Sambutan Pemerintah Atas Persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat Terhadap Rancangan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Tanggal 20
Desember 1986.
6.
Joko
Widodo, Good Governance telahaan dari Demensi Akuntabilitas Dan Kontrol
Birokrasi Pada Era Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Penerbit, Insan Cendekia
2001.
7.
Y.W
Sunindya, S.H., Dra Ninik Widiyanti, Administrasi Negara Dan Peradilan Administrasi.
Aneka Cipta, Jakarta, 1990.
8.
Martiman
Prodjohamidjojo, S.H. Hukum Acara Peradilan Tata Usah Negara, Ghalia
Indonesia 1993.
9.
Zairin
Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Revisi , PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta 2007
10.
Undang-Undang
Dasar 19945
11.
Undang-Undang
Dasar 1945 peruhan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat dalam satu naskah
12.
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara serta Penjelasannya,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987.
13.
UNdang-Undang
No 7 Tahun 2004 Tentang
---------------------------Arsip Pembelajaran TUN