Jumat, 17 Oktober 2014

Pembuktian dalam persidangan sengketa Tata Usaha Negara

PEMBUKTIAN DALAM PERSIDANGAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA


D
alam persidangan, salah satu hal yang paling penting adalah “pembuktian”, yaitu hal yang dilakukan Hakim dalam pemeriksaan pengadilan dengan cara yang tepat (menurut prosedur yang ditetapkan dalam peraturan pembuktian), menetapkan terbuktinya eksistensi fakta-fakta yang relevan untuk digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam putusan nantinya, disamping penerapan hukum (rechtsoepassing) dan kadangkala menemukan hukum (rechtsvinding).
Membuktikan atau memberikan pembuktian adalah dengan alat-alat pembuktian tertentu, memberikan suatu tingkatan kepastian yang sesuai dengan penalaran tentang eksistensi fakta-fakta hukum yang disengketakan.

Yang dimaksud dengan fakta-fakta:
1. Fakta-fakta hukum.
Fakta-fakta hukum adalah kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang keberadaannya (eksistensinya) tergantung pada penerapan suatu peraturan.
Contoh: Peraturannya menyatakan bahwa setiap bangunan rumah, harus mempunyai izin mendirikan bangunan (IMB). Tuan C mendirikan bangunan rumahnya tanpa IMB. Keadaan mendirikan bangunan rumah tanpa IMB ini merupakan fakta hukum.
Namun kadang kala fakta hukum juga bersifat murni yuridis.
Contoh: pernyataan tidak keberatan Walikota Jakarta Timur yang diperoleh Tuan FCN untuk membangun gedung diatas tanah yang diperuntukannya untuk jalur hijau.

2. Fakta-fakta biasa (blote feiten)
Kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang juga mengikuti adanya fakta-fakta hukum tertentu.
Contoh: Pernyataan tidak cakap bekerja seorang pegawai C, harus disimpulkan dari kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya, menyebabkan rusaknya harta kekayaan milik negara, menyebabkan tidak terkirimnya surat-surat dinas penting, menyebabkan kecelakaan moda transportasi tertentu.
Kesalahan-kesalahan yang diperbuat A tersebut merupakan fakta-fakta biasa.

Pasal 100 UU PTUN dalam ayat (1) menyatakan:
(1).   Alat bukti ialah:
a.   Surat atau tulisan sebagai alat bukti terdiri atas tiga jenis yaitu akta otentik, akta di bawah tangan, dan surat-surat lain yang bukan akta (Pasal 101 UU PTUN).
b.  Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya. (Pasal 102 ayat (1) UU PTUN)
Misalnya: keterangan dokter, ahli ketenagakerjaan, ahli kepegawaian negeri, ahli dibidang kehutanan, pertanahan yang dapat memberikan peranan penting.
c.   Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan ini berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat atau didengar oleh saksi sendiri. (Pasal 104 UU PTUN)
Keterangan saksi kadang kala diberikan dalam bentuk tertulis yang diajukan pihak yang bersangkutan di muka pemeriksaan.

       Pasal 88 UU PTUN melarang seseorang      
       menjadi saksi apabila:
1)  Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa;
2)  Istri atau suami salah satu pihak yang bersengketa meskipun sudah bercerai;
3)  Anak yang belum berusia tujuh belas tahun;
4)  Orang sakit ingatan

d.  Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Hakim. (Pasal 105 UU PTUN)
Para pihak yang memberikan pengakuan umumnya dapat merupakan garis penuntun untuk mencari kejelasan lebih lanjut mengenai fakta-fakta tertentu.
e.   Pengetahuan Hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya (Pasal 106 UU PTUN)
Untuk membuktikan suatu fakta kadangkala Hakim merasa perlu melakukan pemeriksaan setempat untuk melakukan penilaian yang tepat mengenai perkara yang sedang diperiksa.
Misalnya: Pemeriksaan pembangunan gedung yang dinyatakan melanggar sepadan jalan, yang dianggap telah membahayakan, tanah yang dinyatakan sebagai jalur hijau, batas HPH.

Dari ketentuan pasal-pasal pembuktian dalam UU PTUN, jelas UU ini menganut ajaran pembuktian bebas yang terbatas. Dikatakan demikian karena mengenai alat-alat bukti yang boleh digunakan dalam membuktikan sesuatu sudah ditentukan secara limitatif (Pasal 100 UU PTUN). Hakim dibatasi wewenangnya untuk menilai keabsahan pembuktian, yaitu paling sedikit ada dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim, sebagaimana diatur dalam Pasal 107 UU PTUN.
Pasal 107 UU PTUN:
“Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim”.

Daftar Pustaka


1.        Agus M. Mazwan Sosrokusumo, S.H. Freis Ermessen, sebuah type Tindak Pidana Hukum di Bidang Hukum Tata Pemerintahan, Seri Karangan Tersebar, Fakultas Hukum Universitas Jember, 1983.

2.        Prof.DR. Baharudin Lopa ,S.H. dan DR A. Hamzah, S.H. Mengenal Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta.

3.        Prof DR. Mr Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Seri Pustaka Ilmu Administrasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981

4.        Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Cetakan Keenam, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996

5.        Ismail Saleh, S.H. Pidato Sambutan Pemerintah Atas Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Terhadap Rancangan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Tanggal 20 Desember 1986.

6.        Joko Widodo, Good Governance telahaan dari Demensi Akuntabilitas Dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Penerbit, Insan Cendekia 2001.

7.        Y.W Sunindya, S.H., Dra Ninik Widiyanti, Administrasi Negara Dan Peradilan Administrasi. Aneka Cipta, Jakarta, 1990.

8.        Martiman Prodjohamidjojo, S.H. Hukum Acara Peradilan Tata Usah Negara, Ghalia Indonesia 1993.

9.        Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Revisi , PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2007

10.     Undang-Undang Dasar 19945

11.     Undang-Undang Dasar 1945 peruhan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat dalam satu naskah

12.     Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara serta Penjelasannya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987.

13.     UNdang-Undang No 7 Tahun  2004 Tentang



 ---------------------------Arsip Pembelajaran TUN

1 komentar:

  1. KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS,
    BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.

    Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Haswandi ,SH.,SE.,M.Hum semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....

    BalasHapus