Minggu, 05 Oktober 2014

Strategi Pemberantasan Korupsi


Bahan referesi penulisan tesis Pembuktian terbalik//arsip.
Strategi Pemberantasan Korupsi

Salah satu isu yang paling krusial untuk dipecahkan oleh bangsa dan pemerintah Indonesia adalah masalah korupsi. Hal ini disebabkan semakin lama tindak pidana korupsi di Indonesia semakin sulit untuk diatasi. Maraknya korupsi di Indonesia disinyalir terjadi di semua bidang dan sektor pembangunan. Apalagi setelah ditetapkannya pelaksanaan otonomi daerah, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, disinyalir korupsi terjadi bukan hanya pada tingkat pusat tetapi juga pada tingkat daerah dan bahkan menembus ke tingkat pemerintahan yang paling kecil di daerah. Pemerintah Indonesia sebenarnya tidak tinggal diam dalam mengatasi praktek-praktek korupsi. Upaya pemerintah dilaksanakan melalui berbagai kebijakan berupa peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sampai dengan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, pemerintah juga membentuk komisi-komisi yang berhubungan langsung dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).  Upaya pencegahan praktek korupsi juga dilakukan di lingkungan eksekutif atau penyelenggara negara, dimanamasing-masing instansi memiliki Internal Control Unit (unit pengawas dan pengendali dalam instansi) yang berupa inspektorat. Fungsi inspektorat mengawasi dan memeriksa penyelenggaraan kegiatan pembangunan di instansi masing-masing, terutama pengelolaan keuangan negara, agar kegiatan pembangunan berjalan secara efektif, efisien dan ekonomis sesuai sasaran. Di samping pengawasan internal, ada juga pengawasan dan pemeriksaan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh instansi eksternal yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP). Selain lembaga internal dan eksternal, lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga ikut berperan dalam melakukan pengawasan kegiatan pembangunan, terutama kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara.
Beberapa LSM yang aktif dan gencar mengawasi dan melaporkan praktek korupsi yang dilakukan penyelenggara negara antara lain adalah Indonesian Corruption Watch (ICW),  Government Watch (GOWA), dan Masyarakat Tranparansi Indonesia (MTI).
Dilihat dari upaya-upaya pemerintah dalam memberantas praktek korupsi di atas sepertinya sudah cukup memadai baik dilihat dari segi hukum dan peraturan perundang-undangan, komisi-komisi, lembaga pemeriksa baik internal maupun eksternal, bahkan keterlibatan LSM. Namun, kenyataannya praktek korupsi bukannya berkurang malah meningkat dari tahun ke tahun.  Bahkan Indonesia kembali dinilai sebagai
negara paling terkorup di Asia pada awal tahun 2004 dan 2005 berdasarkan hasil survei dikalangan para pengusaha dan pebisnis oleh lembaga konsultan Political and Economic Risk Consultancy (PERC). Hasil survei lembaga konsultan PERC yang berbasis di Hong Kong menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang paling korup di antara 12 negara Asia. Predikat negara terkorup diberikan karena nilai Indonesia hampir menyentuh angka mutlak 10 dengan skor 9,25 (nilai 10 merupakan nilai tertinggi atau terkorup). Pada tahun 2005, Indonesia masih termasuk dalam tiga teratas negara terkorup di Asia. Peringkat negara terkorup setelah Indonesia, berdasarkan hasil survei yang dilakukan PERC, yaitu India (8,9), Vietnam (8,67), Thailand, Malaysia dan China berada pada posisi sejajar di peringkat keempat yang terbersih. Sebaliknya, negara yang terbersih tingkat korupsinya adalah Singapura (0,5) disusul Jepang  (3,5), Hong Kong, Taiwan dan Korea Selatan. Rentang skor dari nol sampai 10, di mana skor nol adalah mewakili posisi
terbaik, sedangkan skor 10 merupakan posisi skor terburuk. Ini merupakan survei tahunan yang dilakukan oleh PERC untuk menilai kecenderungan korupsi di Asia dari tahun ke tahun. Dalam hal ini PERC bertanya kepada responden untuk menilai kondisi di mana mereka bekerja sekaligus juga untuk menilai kondisi negara asalnya masing-masing. Metode ini digunakan agar dapat menghasilkan data perbandingan antar negara (cross-country comparison), sehingga survei ini dapat dimanfaatkan untuk mengevaluasi bagaimana persepsi terhadap suatu negara berubah seiring waktu.
Demikian pula dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2006 adalah 2,4 dan menempati urutan ke-130 dari 163 negara. Sebelumnya, pada tahun 2005 IPK Indonesia adalah 2,2, tahun 2004 (2,0) serta tahun 2003 (1,9). Hal ini menunjukkan bahwa penanganan kasus korupsi di Indonesia masih sangat lambat dan belum mampu membuat jera para koruptor.
Adapun China dan Thailand merupakan contoh negara yang mengesankan dalam mengubah reputasi negara yang bergelimang korupsi menjadi negara yang rendah korupsinya. India dan Vietnam juga mulai melakukan perbaikan melalui keinginan politik tinggi dalam mempersempit ruang korupsi. China selama satu dasawarsa terakhir melancarkan perang besar dengan korupsi. Para pejabat yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi tidak segan-segan dibawa ke tiang gantungan. Tindakan ini cukup efektif mengurangi praktek korupsi di kalangan pejabat. Sementara Thailand juga melakukan kampanye pemberantasan korupsi secara serius. Sektor perpajakan dan pengadilan yang dianggap rawan korupsi dan kolusi dijadikan prioritas dalam target kampanye melawan korupsi dan hasilnya mengesankan. Kemajuan dalam kampanye korupsi membawa dampak positif dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk kesanggupan membayar hutang luar negeri. Selama lima tahun Thailand mampu mencicil 50 milyar dollar AS utangnya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka Pusat Kajian Administrasi
Internasional Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia memandang perlu untuk melakukan kajian lebih jauh tentang strategi penanganan korupsi di negara-negara Asia Pasifik, sebagai bahan masukan untuk memperkuat (revitalize) penanganan korupsi yang diterapkan di Indonesia.

A.   Strategi Pemeberantasan Korupsi

Korupsi bukanlah merupakan barang yang baru dalam sejarah peradaban manusia. Fenomena ini telah dikenal dan menjadi bahan diskusi bahkan sejak 2000 tahun yang lalu ketika seorang Perdana Menteri Kerajaan India bernama Kautilya menulis buku berjudul ”Arthashastra.”
Demikian pula dengan Dante yang pada tujuh abad silam juga menulis tentang korupsi  (penyuapan) sebagai tindak kejahatan. Tidak ketinggalan Shakespeare juga menyinggung korupsi sebagai sebuah bentuk kejahatan. Sebuah ungkapan terkenal pada tahun 1887 mengenai korupsi dari sejarahwan Inggris, Lord Acton, yaitu “power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. ” Pernyataan ini menegaskan bahwa korupsi berpotensi muncul di mana saja tanpa memandang ras, geografi, maupun kapasitas ekonomi.
Beberapa negara di Asia memiliki beragam istilah korupsi yang pengertiannya mendekati definisi korupsi. Di China, Hong Kong dan Taiwan,  korupsi dikenal dengan nama yum cha atau di India terkenal dengan istilah baksheesh atau di Filipina dengan nama lagay dan di Indonesia atau Malaysia memiliki padanan kata yaitu suap. Semua istilah memiliki pengertian yang variatif, namun pada umumnya merujuk pada kegiatan ilegal yang berlaku di luar sistem formal. Tidak semua istilah ini secara spesifik mendefinisikan diri sebagai sebuah pengertian hukum dari praktek korupsi. Istilah-istilah ini juga belum memberikan gambaran mendalam mengenai dampak luas dari praktek korupsi. Istilah lokal yang dianggap paling mendekati pengertian korupsi secara mendalam adalah yang berlaku di Thailand, yaitu istilah gin muong yang secara literal berarti nation eating. Pengertian dari istilah ini menunjukkan adanya kerusakan yang luar biasa besar terhadap kehidupan suatu bangsa akibat dari adanya perilaku praktek korupsi.
Dalam norma umum di masyarakat maupun norma khusus semisal perundangan, istilah korupsi memiliki beragam pengertian. Perbedaan pengertian ini menyebabkan implikasi hukum dan sosial yang berbeda pula di masyarakat. Sebuah tindakan korupsi yang merugikan keuangan negara boleh jadi secara norma sosial dianggap oleh masyarakat sebagai tindakan wajar dan tidak melanggar. Ini karena pandangan dan pemahaman suatu masyarakat terhadap perbuatan korupsi berbeda dengan masyarakat lainnya. Oleh karenanya, suatu masyarakat dapat menilai suatu perbuatan termasuk dalam praktek korupsi, namun tidak demikian halnya dengan masyarakat lain, terlebih dalam masyarakat yang permisif dan patronialistik. Terlepas dari perbedaan pemahaman ini, sebenarnya terdapat ciri khas/atribut yang melekat pada tindakan korupsi, yang membedakannya dengan yang lain. Dari segi bahasa, kata korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corruptio. Kata ini sendiri memiliki kata kerja corrumpere yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalikkan atau menyogok. Dalam Wordnet Princenton Education, korupsi didefinisikan sebagai “lack of integrity or honesty (especially susceptibility to bribery); use of a position of trust for dishonest gain” Selanjutnya, dalam Kamus Collins Cobuild arti dari kata corrupt adalah “someone who is corrupt behaves in a way that is morally wrong, especially by doing dishonesty or illegal things in return for money or power.” Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 597: 2001), korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb.) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Sementara itu dalam kesempatan diskusi dengan peneliti, Direktur Transparency International India, secara lebih sederhana mendefinisikan korupsi sebagai ”the use of public office for private gain”. Jadi segala tindakan penggunaan barang publik untuk kepentingan pribadi adalah termasuk kategori korupsi. Transparency International sendiri sebagai lembaga internasional yang sangat menaruh perhatian terhadap korupsi di negara-negara di dunia dan menyoroti korupsi yang dilakukan oleh birokrasi, mendefinisikan korupsi sebagai perilaku pejabat publik, baik politikus maupun pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengan dirinya, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Pengertian ini lebih dilatarbelakangi karena korupsi yang dilakukan oleh birokrasi memiliki dampak dan pengaruh negatif yang besar dan signifikan terhadap pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara nasional. Jika dibandingkan dengan korupsi yang dilakukan oleh para pelaku bisnis ataupun masyarakat. Pendapat dari beberapa pakar mengenai korupsi juga dapat dijelaskan seperti Juniadi Suwartojo (1997) menyatakan bahwa korupsi ialah tingkah laku atau tindakan seseorang atau lebih yang melanggar norma-norma yang berlaku dengan menggunakan dan/atau menyalahgunakan kekuasaan atau kesempatan melalui proses pengadaan, penetapan pungutan penerimaan atau pemberian fasilitas atau jasa lainnya yang dilakukan pada kegiatan penerimaan dan/atau pengeluaran uang atau kekayaan, penyimpanan uang atau kekayaan serta dalam perizinan dan/atau jasa lainnya dengan tujuan keuntungan pribadi atau golongannya sehingga langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan dan/atau keuangan negara/masyarakat. Sementara Brooks memberikan pengertian korupsi yaitu: “Dengan sengaja melakukan kesalahan atau melalaikan tugas yang diketahui sebagai kewajiban, atau tanpa hak menggunakan kekuasaan, dengan tujuan memperoleh keuntungan yang sedikit banyak bersifat pribadi.”
Selanjutnya Alfiler menyatakan bahwa korupsi adalah: “Purposive behavior which may be deviation from an expected norm but is undertake nevertheless with a view to attain materials or other rewards.
Bahkan Klitgaard membuat persamaan sederhana untuk menjelaskan pengertian korupsi sebagai berikut:
C = Corruption/ Korupsi
M = Monopoly/ Monopoli
D = Discretion/ Diskresi / keleluasaan
A = Accountability/ Akuntabilitas
Persamaan di atas menjelaskan bahwa korupsi hanya bisa terjadi apabila seseorang atau pihak tertentu mempunyai hak monopoli atas urusan tertentu serta ditunjang oleh diskresi atau keleluasaan dalam menggunakan kekuasaannya, sehingga cenderung menyalahgunakannya, namun lemah dalam hal pertanggung jawaban kepada publik (akuntabilitas).
Beberapa pengertian di atas menyoroti korupsi sebagai perilaku merugikan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa pihak dan tidak secara eksplisit disebutkan apakah dari unsur birokrasi, swasta, maupun masyarakat. Karena pada dasarnya tindakan korupsi bukan saja terjadi di sektor pemerintahan tetapi juga dalam dunia bisnis dan bahkan dalam masyarakat. Dari beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa korupsi bukan saja dilakukan oleh kalangan birokrat, tetapi juga kalangan di luar birokrasi. Arti maupun pendefinisian tindakan korupsi juga memiliki berbagai sudut pandang yang cukup berbeda. Namun demikian, suatu tindakan dapat dikategorikan korupsi—siapa pun pelakunya—apabila memenuhi unsur-unsur: C = M + D – A
-       Suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan.
-       Penipuan terhadap badan pemerintah, lembaga swasta atau masyarakat umumnya.
-       Dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus.
-       Dilakukan dengan rahasia, kecuali dengan keadaan dimana orang-orang berkuasa atau bawahannya menganggapnya tidak perlu.
-       Melibatkan lebih dari satu orang atau pihak.
-       Adanya kewajiban dan keuntungan bersama dalam bentuk uang atau yang lain.
-       Terpusatnya kegiatan (korupsi) pada mereka yang menghendaki keputusan yang pasti dan mereka yang dapat mempengaruhinya.
-       Adanya usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk-bentuk pengesahan hukum.
-       Menunjukkan fungsi ganda yang kontradiktif pada mereka yang melakukan korupsi.
Bahwa korupsi dapat diartikan sebagai tindakan dan perilaku yang menyimpangatau melanggar aturan, norma, dan etika dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki, mengingkari amanat yang diemban untuk kepentingan memperkaya diri sendiri, kerabat ataupun orang lain.
Studi yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia menunjukkan bahwa praktek-praktek korupsi dapat diidentifikasi meliputi: (1) manipulasi uang negara; (2) praktek suap dan pemerasan; (3) politik uang; dan (4) kolusi bisnis.
Pada dasarnya praktek korupsi dapat dikenal dalam berbagai bentuk umum yaitu: (1) bribery (penyuapan); (2) embezzlement (penggelapan/pencurian); (3) fraud (penipuan); (4) extortion (pemerasan); dan (5) favouritism (favoritisme). Kelima bentuk ini secara konsep seringkali overlapping satu sama lain, di mana masing-masing istilah digunakan secara bergantian. Untuk lebih mudah dalam membedakan satu konsep dengan yang lainnya, Amundsen (2000) menjelaskan masing-masing pengertian konsep secara detail. Penyuapan didefinisikan sebagai “Bribery is the payment (in money or kind) that is given or taken in a corrupt relationship”(Amundsen, 2000: 2).
Jadi penyuapan adalah pembayaran (dalam bentuk uang atau sejenisnya) yang diberikan atau diambil dalam hubungankorupsi. Sehingga esensi korupsi dalam konteks penyuapan adalah baik tindakan membayar maupun menerima suap.
Beberapa istilah yang memiliki kesamaan arti dengan penyuapan adalah kickbacks, gratuities, baksheesh, sweeteners, pay-offs, speed money, grease money.  Jenis-jenis penyuapan ini adalah pembayaran untuk memuluskan atau memperlancar urusan, terutama ketika harus melewati proses birokrasi formal. Dengan penyuapan ini pula maka kepentingan perusahaan atau bisnis dapat dibantu oleh politik, dan menghindari tagihan pajak serta peraturan mengikat lainnya, atau memonopoli pasar, ijin ekspor/impor dsb. Lebih lanjut Amundsen menjelaskan bahwa penyuapan ini juga dapat berbentuk pajak informal, ketika petugas terkait meminta biaya tambahan (under-the-table payments) atau mengharapkan hadiah dari klien, serta bentuk donasi bagi pejabat atau petugas terkait. Sedangkan penggelapan atau embezzlement didefinisikan sebagai “embezzlementis theft of public resources by public officials, which is another form of misappropiation of public funds” (Amundsen, 2000, 3). Jadi, ini merupakan tindakan kejahatan menggelapkan atau mencuri uang rakyat yang dilakukan oleh pegawai pemerintah atau aparat birokrasi. Penggelapan ini juga bisa dilakukan oleh pegawai di sektor swasta. Adapun fraudatau penipuan diartikan sebagai “fraud is an economic crime that involves some kind of trickery, swindle or deceit(Amundsen, 2000: 3). Fraud adalah kejahatan ekonomi yang berwujud kebohongan, penipuan, dan perilaku tidak jujur. Jenis korupsi ini merupakan kejahatan ekonomi yang terorganisir dan melibatkan pejabat. Dari segi tingkatan kejahatan, istilah fraud ini merupakan istlah yang lebih populer dan juga istilah hukum yang lebih luas dibandingkan dengan briberydan embezzlement. Dengan kata lain fraudrelatif lebih berbahaya dan berskala lebih luas dibanding kedua jenis korupsi sebelumnya. Kerjasama antar pejabat/instansi dalam menutupi satuhal kepada publik yang berhak mengetahuinya merupakan contoh dari jenis kejahatan ini.
Bentuk korupsi lainya adalah extortion atau pemerasan yang didefinisikan sebagai ”extortion is money and other resources extracted by the use of coercion, violance or the threats to use force” (Amundsen, 2000: 4).
Korupsi dalam bentuk pemerasan adalah jenis korupsi yang melibatkan aparat yang melakukan pemaksaan atau pendekatan koersif untuk mendapatkan keuntungan sebagai imbal jasa atas pelayanan yang diberikan. Pemerasan ini dapat berbentuk “from below” atau “from above”. Sedangkan yang dimaksud dengan “from above” adalah jenis pemerasan yang dilakukan oleh aparat pemberi layanan terhadap warga Hukum internasional yang berhubungan langsung dengan penanganan korupsi, termasuk yang berlaku untuk wilayah Asia Pasifik dan Asia Tenggara adalah :
1.    Anti Corruption Action Plan for Asia and the Pacific Action Plan (Konferensi Tokyo 2001).
2.    MoU on Cooperation for Preventing and Combating Corruption 2004 (Singapura, Indonesia, Brunei, Malaysia).
3.    The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).
4.    The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC).
Dalam hal ratifikasi UNCAC, sebagai bentuk komitmen Indonesia dalam memerangi korupsi di hadapan masyarakat internasional, Indonesia perlu melakukan harmonisasi perundangan yang masih terdapat kesenjangan da perbedaan substantif. Dalam analisa terbatas yang dilakukan oleh Masyarakat Transparansi Indonesia, terdapat beberapa substansi istilah yang memerlukan klarifikasi dalam perundangan Indonesia, untuk menyesuaikan dengan klausul yang berlaku dalam UNCAC.
Beberapa Istilah yang berbeda  dalam Perundangan Indonesia dengan UNCAC No Istilah Hukum Positif Indonesia UNCAC, Pejabat Publik Dikenal istilah
1.    PNS
2.    Pejabat Negara
3.    Penyelenggara Negara
4.    Pejabat Administrasi Pemerintahan
5.    Pejabat Tata Usaha Negara
Dalam UNCAC, yang termasuk dengan pejabat publik adalah
1.    eksekutif, legislatif, administratif dan yudisial
2.    setiap orang yang melaksanakan fungsi publik
3.    setiap orang yang ditetap kan sebagai pejabat publik
Kekayaan Unsur harta kekayaan (UU No. 23/2003 perubahan atas pasal UU No. 15/2002):
1.    Benda bergerak atau tidak bergerak
2.    Berwujud atau tidak berwujud
Ada unsur kekayaan yang nyata atau tidak nyata, serta termasuk dokumen dan instrumen yang mendukung kekayaan tersebut. Sumber: Diolah dari MTI, 2006.
Di tingkat nasional pun, Indonesia sudah mempunyai instrumen hukum yang secara eksplisit menggunakan istilah korupsi dalam pasal-pasalnya. Dalam hal ini beberapa peraturan perundangan yang telah berlaku antara lain :
1.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, khususnya pasal 21 dan pasal 5 (ayat 1)
2.    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
3.    Ketetapan MPR Nomor XI Tahun 1998
4.    Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaran Pemerintahan yang bersih dan bebas dari praktek KKN
5.    Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
6.    Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
7.    Dibentuknya Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) tahun 2001 berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
8.    Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK)
9.    Dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2003 berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 junto Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
Dengan banyaknya peraturan perundangan yang telah dan sedang diterapkan, maka seyogyanya pemberantasan korupsi di Indonesia harus mulai menemukan arah yang tepat. Indonesia, akan membuka celah dalam penerapan hukum. Sehingga perlu rumusan dan indikator baku untuk menentukan definisi dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

B.   Metode Penelitian

Kajian/penelitian strategi penanganan korupsi di Indonesia, menggunakan metode deskriptif komparatif. Metode tersebut dipilih karena kajian ini akan mendeskripsikan obyek penelitian yaitu penanganan korupsi di Indonesia. Kajian ini bertujuan untuk menyampaikan, menganalisis, mengklasifikasi, dan membandingkan strategi penanganan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah. Rangkaian kegiatan yang dilakukan terkait dengan kajian, antara lain adalah melakukan observasi awal, mencari sumber informasi yang berkaitan dengan topik strategi penanganan korupsi, menyusun riset desain, melakukan pengumpulan data lapangan, menganalisis data dan informasi yang diperoleh dari lapangan, serta menyajikannya di dalam sebuah laporan kajian.
Teknik pengumpulan data yang diadopsi dalam kajian ini adalah melalui studi literatur, dokumentasi, dan focus group discussion(FGD). Teknik ini memiliki kelebihan untuk memperoleh data dan informasi yang bersifat kualitatif. Instrumen penelitian yangdigunakan adalah panduan wawancara (interview guidelines) yang digunakan pada saat pencarian data lapangan.
Panduan wawancara tersebut meliputi indikator-indikator atau besaran-besaran yang menjadi fokus dalam kajianstrategi penanganan korupsi. FGD dilakukan dengan mengundang para ahli/pakar yang terkait penerapan strategi penanganan korupsi untuk memperoleh data dan informasi empirik dari pengalaman negara-negara yang berhasil atau pun gagal menangani korupsi.
Setelah dilakukan pengumpulan data lapangan, maka data tersebut diolah dan dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipilih karena diperlukan analisis yang lebih mendalam untuk dapat mengungkap latar belakang sesungguhnya dari fenomena-fenomena yang sedang diteliti atau dikaji. Dalam hal ini fenomena tersebut adalah strategi penanganan korupsi. Pemikiran logis (professional judgement), induksi dan evaluasi juga digunakan dalam pemberantasan korupsi.

C.   Hasil dan Pembahasan
Korupsi yang terjadi dalam birokrasi tentunya mendapat perhatian dan penekanan tersendiri dalam kajian ini. Karena pada kasus korupsi, birokrasi atau pemerintah memiliki peranan ganda yaitu sebagai pelaku dan pemberantas korupsi itu sendiri. Sementara dunia usaha dan masyarakat berperan sebagai pelaku dan korban. Kasus-kasus korupsi yang menjadi sorotan banyak pihak baik dalam maupun luar negeri adalah korupsi yang terjadi di tubuh birokrasi. Selain berakibat luas dan destruktif terhadap pembangunan ekonomi serta masyarakat secara umum, korupsi dalam birokrasi pada umumnya berskala luas dengan jumlah (nominal) yang besar dan melibatkan pejabat negara, elit politik maupun pegawai negeri. Sedangkan, kasus-kasus korupsi pada sektor bisnis, pada umumnya berskala kecil dan hanya berdampak pada perusahaannya sendiri. Di Indonesia, untuk kategori manipulasi uang negara, sektor yang paling korup ialah pengadaan barang dan jasa mencakup konstruksi, pekerjaan umum, perlengkapan militer, dan barang jasa pemerintah.
Untuk kasus suap dan pemerasan, korupsi terbesar terjadi di kepolisian, sektor peradilan, pajak dan bea cukai, serta sektor perijinan. Korupsi juga terjadi di kalangan politisi (anggota DPR dan partai politik), serta pada praktek kolusi dalam bisnis.
Untuk kasus kolusi bisnis, korupsi terbesar terjadi di tubuh militer, kepolisian, dan pegawai pemerintah lewat koperasi dan yayasan. Dari segi aktornya, pelaku korupsi terbagi menjadi aparat pemerintah, pelaku sektor bisnis, dan warga masyarakat. Secara tradisional, pelaku korupsi biasanya hanya menyangkut pemerintah atau aparat birokrasi dengan warga. Namun demikian, kecenderungan saat ini menunjukkan adanya peningkatan kontribusi atas tingkatan korupsi dari pelaku di sektor bisnis. Biasanya kasus korupsi selalu melibatkan dua pihak, yaitu aparat (yang menerima suap) dan warga (yang memberi suap). Namun demikian dalam kacamata hukum, penggelapan juga merupakan tindakan pidana korupsi, walaupun jenis korupsi ini tidak melibatkan warga masyarakat secara langsung, karena penggelepan hanya dilakukan oleh satu pihak saja, yaitu aparat.
Penggelapan adalah salah satu bentuk korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang menjadi modus korupsi di negara paling korup, melibatkan pemegang kekuasaan hak monopoli. Kasus penggelapan paling banyak ditemukan adalah dalam bentuk memproteksi kepentingan bisnis mereka dengan menggunakan kekuatan politik.
Di beberapa negara lain modus yang terjadi seperti upaya menasionalisasi perusahaan asing, hak properti dan hak monopoli, serta mendistribusikannya ke kelompok/golongan yang dekat dengan kekuasaan. Namun demikian, pada kenyataannya keberadaan instrumen hukum ini tidak lantas mempermudah penegakan hukum. Persoalan mandeknya pemberantasan korupsi di Indonesia ternyata bersifat lebih kompleks, yaitu tidak hanya menyangkut konten kebijakan dan penataan peraturan perundangan yang mengatur mengenai pemberantasan korupsi itu sendiri, namun juga faktor-faktor lain yang berpengaruh langsung pada rantai perumusan kebijakan itu sendiri. Itikad politik yang kuat perlu menjadi landasan agar kebijakan pemberantasan korupsi mendapat legitimasi yang cukup dan efektif, namun sayangnya political will masih lemah. Hal ini diindikasikan ketika penegakan hukum atas tindak pidana korupsi yang melibakan kelompok elit dan nama besar akan sangat sulit dilakukan.
Pemberantasan korupsi merupakan salah satu agenda penting dari pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN. Bahkan pemberantasan korupsi juga merupakan agenda di tingkat regional dan internasional. Ini dibuktkan dengan banyaknya lembaga-lembaga internasional yang turut menegaskan komitmennya untuk bersama-sama memerangi korupsi. Salah satu penghambat kesejahteraan negara berkembang pun disinyalir akibat dari praktek korupsi yang eksesif, baik yang melibatkan aparat di sektor publik, maupun yang melibatkan masyarakat yang lebih luas.
Indikasi tetap maraknya praktek korupsi di negara ini dapat terlihat dari tidak kunjung membaiknya angka persepsi korupsi. Beberapa survei yang dilakukan oleh lembaga independen internasional lainnya juga membuktikan fakta yang sama, walaupun dengan bahasa, instrumen atau pendekatan yang berbeda. Situasi ini jelas memprihatinkan banyak pihak. Upaya pemberantasan korupsi melibatkan semua pihak, semua sektor dan seluruh komponen perumus kebijakan baik itu pemerintah dan penyelenggara negara lainnya, tidak terkecuali anggota masyarakat secara umum. Hal ini karena praktek korupsi bukan merupakan monopoli perilaku dari pegawai atau pejabat pemerintah saja, tetapi merupakan justru perilaku kolektif yang melibatkan hampir semua unsur dalam masyarakat. Sederhananya, supply tidak akan terjadi kalau tidak ada demand. Praktek korupsi hanya mungkin terjadi apabila sistem formal memberi celah/peluang ke arah sana, selain didukung oleh perilaku stakehorlder dan shareholder yang komplementer. Pendekatan carrot and stick adalah salah satu pendekatan yang memandang penanganan korupsi secara hitam putih. Walaupun sangat kaku dalam implementasi, namun seringkali efektif untuk menciptakan iklim kondusif dalam penegakkan disiplin aparatur. Dengan pendekatan kesejahteraan sebagaimana yang diterapkan di Singapura, maka aparatur tidak diberi peluang untuk mencari pembenaran atas tindak pidana korupsi yang dilakukannya. Pendapatan bersih (net take home pay) yang layak diharapkan mampu memberikan garansi perilaku yang positif para aparatur dan menghindari segala bentuk penyimpangan. Pendekatan stick diharapkan akan menimbulkan efek jera yang hebat pada para pelaku korupsi. Singapura dan China telah menunjukkan praktek ini dengan tingkat keberhasilan yang diakui. Kebijakan terkait lain yang menjadi alternatif di luar kebijakan sektor adalah menyangkut reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi ini tidak bisa hanya sebatas jargon seperti yang selama ini banyak terjadi. Reformasi lebih banyak menjadi wacana di forum-forum terbatas (elitis dan eksklusif) yang tidak berdampak langsung kepada perubahan konkrit. Reformasi birokrasi harus menjadi pengungkit (leverage) dalam strategi pemberantasan korupsi, karena merupakan fondasi penting dalam penyelenggaran negara yang bersih dan bebas KKN.
Persoalan dalam pengejawantahan reformasi ini adalah dalam penerjemahannya ke dalam kebijakan. Banyaknya sektor yang menjadi objek reformasi menyebabkan pendekatan yang dilakukan tidak terintegrasi secara baik. Parsialitas menjadi karakter dalam penyelenggaraan reformasi birokrasi ini. Perlu adanya upaya menyangkut optimasi kementerian dan LPND, melalui kebijakan kelembagaan, sumber daya aparatur, dan kapasitas kelembagaan yang tidak tumpang tindih. Terkait dengan reformasi birokrasi dan prinsip carrot and stickdi atas, maka struktur penggajian memerlukan pembenahan serius. Struktur yang bersandar pada merit system boleh jadi mampu memberikan jaminan kesejahteraanyang adil dan proporsional.
Ketiga alternatif kebijakan di atas memerlukan effortdan dana yang luar biasa besar. Salah satu alternatif lainyang ditawarkan oleh Kwik Kian Gie adalah dengan cara bertahap. Kesejahteraan yang layak tetap diberikan pada level elit di instansi pemerintah, sehingga asumsinya tidak akan terjadi korupsi di level atas. Sementara aparat pada level bawah, ”dibiarkan” untuk melakukan korupsi pada level kecil, yang secara nominal tidak terlalu signifikan. Namun secara bertahap, setelah kemampuan keuangan memungkinkan, maka kesejahteraan aparat di tingkat bawah juga harus ditingkatkan. Untuk mengawal pendekatan ini, maka reward and punishment harus tetap ditegakkan.

D.   Kesimpulan
Kasus korupsi yang menjadi sorotan adalah korupsi yang terjadi di tubuh birokrasi. Korupsi di tubuh birokrasi mempunyai dampak yang luas dan destruktif terhadap pembangunan ekonomi serta masyarakat secara umum. Korupsi dalam birokrasi pada umumnya berskala luas dengan jumlah (nominal) yang besar dan melibatkan pejabat negara, elit politik maupun pegawai negeri. Sedangkan, kasus-kasus korupsi pada sektor bisnis, pada umumnya berskala kecil dan hanya berdampak pada perusahaannya sendiri. Untuk kategori manipulasi uang negara, sektor yang paling korup ialah pengadaan barang dan jasa mencakup konstruksi, pekerjaan umum, perlengkapan militer, dan barang jasa pemerintah. Untuk kasus suap dan pemerasan, korupsi terbesar terjadi di kepolisian, sektor peradilan, pajak dan bea cukai, serta sektor perijinan. Korupsi juga terjadi di kalangan politisi (anggota DPR dan partai politik), serta pada praktek kolusi dalam bisnis. Untuk kasus kolusi bisnis, korupsi terbesar terjadi di tubuh militer, kepolisian, dan pegawai pemerintah lewat koperasi dan yayasan. Dari segi aktornya, pelaku korupsi terbagi menjadi aparat pemerintah, pelaku sektor bisnis, dan warga masyarakat. Secara tradisional, pelaku korupsi biasanya hanya menyangkut pemerintah atau aparat birokrasi dengan warga. Namun demikian, kecenderungan saat ini menunjukkan adanya peningkatan kontribusi atas tingkatan korupsi dari pelaku di sektor bisnis. Strategi pemberantasan didahului oleh adanya itikad kolektif, yaitu semacam willingness dari semua pihak untuk bersama-sama tidak memberikan toleransi sedikitpun terhadap perilaku korupsi. Selama ini praktek korupsi dianggap sesuatu yang wajar terjadi. Padahal perilaku korupsi harus dicitrakan dan diperlakukan sebagai perilaku kriminal, sama halnya dengan tindak kriminal lainnya yang memerlukan penanganan secara hukum. Dalam mewujudkan sebuah strategi yang efektif, dibutuhkan pemenuhan prasyarat, yaitu: (1) Didorong oleh keinginan politik serta komitmen yg kuat dan muncul dari kesadaran sendiri; (2) Menyeluruh dan seimbang; (3) Sesuai dengan kebutuhan, ada target, dan berkesinambungan; (4) Berdasarkan pada sumber daya dan kapasitas yang tersedia; (5) Terukur; dan (6) Transparan dan bebas dari konflik kepentingan.
Berkenaan dengan political will serta komitmen yang harus dibangun, maka perlu menegaskan kembali political will pemerintah, diantaranya melalui: (1) Penyempurnaan UU Anti Korupsi yang lebih komprehensif; (2) Kontrak politik yang dibuat pejabat publik; (3) Pembuatan aturan dan kode etik PNS; (4) Pembuatan pakta integritas; dan (5) Penyederhanaan birokrasi. Penyempurnaan UU Anti Korupsi ini selain untuk menjawab dinamika dan perkembangan kualitas kasus korupsi,juga untuk menyesuaikan dengan instrumen hukum internasional. Saat ini isu korupsi tidak lagi dibatasi sekat-sekat negara, namun telah berkembang menjadi isu regional bahkan internasional. Hal ini tidak lepas dari praktek korupsi yang melibatkan perputaran dan pemindahan uang lintas negara.

E.   Rekomendasi
Strategi pemberantasan korupsi harus bersifat menyeluruh dan seimbang.
Ini berarti bahwa strategi pemberantasan yang parsial dan tidak komprehensif tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas. Strategi pemberantasan korupsi harus dilakukan secara adil, dan tidak ada istilah “tebang pilih” dalam memberantas korupsi. Selain itu, upaya pencegahan (ex ante) harus lebih digalakkan, antara lain melalui: (1) Menumbuhkan kesadaran masyarakat (public awareness) mengenai dampak destruktif dari korupsi, khususnya bagi PNS; (2) Pendidikan anti korupsi; (3) Sosialisasi tindak pidana korupsi melalui media cetak & elektronik; (4) Perbaikan remunerasi PNS. Adapun upaya penindakan (ex post facto) harus memberikan efek jera, baik secara hukum, maupu sosial. Selama ini pelaku korupsi, walaupun dapat dijerat dengan hukum dan dipidana penjara ataupun denda, namun tidak pernah mendapatkan sanksi sosial. Efek jera seperti: (1) Hukuman yang berat ditambah dengan denda yang jumlahnya signifikan; (2) Pengembalian hasil korupsi kepada negara; dan (3) Tidak menutup kemungkinan, penyidikan dilakukan kepada keluarga atau kerabat pelaku korupsi. Strategi pemberantasan korupsi harus sesuai kebutuhan, target, dan berkesinambungan. Strategi yang berlebihan akan menghadirkan inefisiensi sistem dan pemborosan sumber daya. Dengan penetapan target, maka strategi pemberantasan korupsi akan lebih terarah, dan dapat dijaga kesinambungannya. Dalam hal ini perlu adanya komisi anti korupsi di daerah (misalnya KPK berdasarkan wilayah) yang independen dan permanen (bukan ad hoc). Selain itu strategi pemberansasan korupsi haruslah berdasarkan sumber
daya dan kapasitas. Dengan mengabaikan sumber daya dan kapasitas yang tersedia, maka strategi ini akan sulit untuk diimplementasikan, karena daya dukung yang tidak seimbang. Dalam hal ini kualitas SDM dan kapasitasnya harus dapat ditingkatkan, terutama di bidang penegakan hukum dalam hal penanganan korupsi. Peningkatan kapasitas ini juga dilakukan melalui jalan membuka kerjasama internasional.
Keterukuran strategi merupakan hal yang tidak bisa dikesampingkan. Salah satu caranya yaitu membuat mekanisme pengawasan dan evaluasi atas setiap tahapan pemberantasan korupsi dalam periode waktu tertentu secara berkala.  Selain itu juga, dalam rangka penyusunan strategi yang terukur, perlu untuk melakukan survei mengenai kepuasan masyarakat atas usaha pemberantasan korupsi yang telah dilakukan pemerintahan. Sebuah strategi pemberantasan memerlukan prinsip transparan dan bebas
konflik kepentingan. Transparansi membuka akses publik terhadap sistemyang berlaku, sehingga terjadi mekanisme penyeimbang. Warga masyarakat mempunyai hak dasar untuk turut serta menjadi bagian dari strategi pemberantasan korupsi. Saat ini optimalisasi penggunaan teknologi informasi di sektor pemerintah dapat membantu untuk memfasilitasinya. Strategi pemberantasan juga harus bebas kepentingan golongan maupun individu, sehingga pada prosesnya tidak ada keberpihakan yang tidak seimbang. Semua strategi berjalan sesuai dengan aturanyang berlaku dan objektif. Instrumen strategi pemberantasan lain yang menjadi bagian dari elemen masyarakat adalah pers. Transparansi dapat difasilitasi dengan baik dengan adanya dukungan media massa yang memainkan peranannya secara kuat. Dengan adanya kebebasan pers, maka kontrol masyarakat dapat semakin ditingkatkan lagi.

Yogi Suwarno, SIP, MA.
adalah Dosen Tetap STIA LAN Jakarta, Peneliti pada Pusat
Kajian Administrasi Internasional LAN RI.
Email: yogi@pkai.org
Daftar Pustaka
ADB/OECD. “Anti-Corruption Initiative for Asia and the Pacific.”
Self
Assessment Report Singapore
.
Amundsen, Inge. 2000.
Corruption: Definitions and Concepts
. Chr. Michelsen
Institute Development Studies and Human Rights.
CBI Academy. 2007.
Anti-Corruption Laws in India
. Ghaziabad: Law Publications.
Drielsma, Hankes. 2004. “Successful Anti
-Corruption Strategies Around the
Globe.”
A Report for Lok Satta
, Makalah Online.
Ferdinandus, Lefianna Hartati. 2006.
Korupsi dan Permasalahannya: Singapura
Sebagai Studi Kasus
. Singapura: KBRI.
GTZ. 2005. “Preventing Corru
ption in Public Administration at the National
and Local Level: A Practical Guide.” Eschborn: GTZ.
ICAC. 2004.
Ethical Leadership in Action: Handbook
for Senior Managers in the Civil
Service
. Hong Kong.
ICAC. 2004.
Sample Guide on Conduct and Discipline
. Hongkong.
ICAC. 2005.
2005 Annual Report
. Hong Kong.
Komisi Pemberantasan Korupsi. 2006.
Identification of Gap between Laws/
Regulations of the Republic of Indonesia and the United Nations Convention
Against Corruption
. Jakarta: KPK.
Langseth, Petter. 1999. “Prevention: An
Effective Tool to Reduce Corruption.”
Paper disajikan pada konferensi ISPAC tentang Responding to the
Challenge of Corruption. Milan.
Political & Economic Risk Consultanc
y-PERC. 2006. “Corruption in Asia.”
Asian
Intelligence
. Hong Kong.
Sondhi, Sunil. 2000. “Combating Corrup
tion in India.” Paper for the XVIII
World Congress of International Politica
l Science Association. Quebec City,
Canada.
Tanzi, Vito. 1998. “Corruption Around
the World: Causes, Consequences,
Scope, and Cures.”
IMF Staff Papers
, Vol. 45, No. 4.
TI India. 2007. “Corruption in Trucki
ng Operations in India.” New Delhi:
Shriram Group, MDRA & TI India.


Senin, 22 September 2014

Memahami unsur-unsur undang-undang tindak pidana korupsi



Lemahnya pengetahuan hukum tentang korupsi dapat berakibat pada penanggulangan korupsi menjadi stagna atau banyak kasus korupsi yang tidak tuntas. Substansi perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dapat diuraikan sebagai berikut :
1)   Perbuatan melawan hukum dilakukan untuk memperkaya diri sendiri, atau orang lain atau suatu koorporasi atau kelompok yang dapat merugikan keungan Negara. Ancaman  hukuman seumur hiduo atau paling lama 20 (duapuluh) tahun atau paling singkat 4 (empat) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyart rupiah), Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 . dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam  ayat 1 dilakukan  dalam keadaan tertentu  pidana mati dapat dijatuhkan.
Unsur-unsur sebagai berikut :
a)    Setiap orang
b)   Secara melawan hukum
c)    Melakukan perbuatan : - memperkaya diri sendiri, - orang lain atau –memperkaya suatu koporasi,
d)   Yang dapat merugikan keuangan Negara atau prekonomian Negara

Penjelasan unsur-unsur :
a)   Setiap orang.
Kata “setiap orang” menunjukan kepada siapa orannya harus bertanggung jawab atas perbuatan/kejadian yang didakwakan atau siapa orang yang harus dijadikan terdakwa. Kata setiaporang identic dengan terminology kata “barang siapa” atau hij dengan pengertian sebagai siapa saja yang harus dijadikan terdakwa/dadar  atau setiap orang sebagai subjek hukum (pendukung hak dan kewajiban)  yang dapat diminta pertanggung jawaban dalam segala tindakannya sehingga  secara historis kronologis manusia sebagai subjek hukum telah dengan sendirinya ada kemampuan bertanggung jawab kecuali secara tegas undang-undang menentukan lain. Oleh karena itu kemampuan bertanggung jawab (toeerekeningsvaaanbaarheid) tidak perlu dibuktikan lagi karena setiap subjek hukum melekat erat dengan kemampuan bertanggung jawab sebagaimana ditegaskan dalam Memorie van Toelichting (MvT) Buku Pedomn Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Buku II, Edisi Revisi tahun 2005, hal 209 dan Putusan MA No. 1398 K/pid/1994 tanggal 30 Juni 1995.
Yang dimaksud dengan “setiap orang” dalam pasal 1 butir 3 UU No. 31 /1999 adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi. Dalam hal ini adalah subjek atau pelaku tindak pidana yang dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya yang terdiri dari perseorangan atau korporasi. Korporasi  adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang teroganissi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Selanjutnya dalam Pasal 20 ayat 1 UU No 31 Tahun 1999 ditegaskan  bahwa “dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.”  Kemudian dalam penjelasan Pasal 20 ayat 1 dijelaskan bahwa dimaksud dengan “pengurus”  adalah organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggran dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataanya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan korporasi yang dapat dikualifikasi sebagi tindak pidana korupsi.
Sedangkan pegawai negeri menurut Pasal 1 UU No. 31 tahun 1999 meliputi :
-      Pegawai negeri sebagai mana dimaksud dalam undang-undang tentang kepegawaianà UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok kepegawaian sebagaimana  dirubah dengan UU No. 43 Tahun 1999.
-      Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah;
-      Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau daerah;  atau
-      Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari Negara atau masyarakat.
Sesuai dengan perluasan pengertian pegawai negeri dalam ketentuan tersebut diatas,maka dapat dirinci lebih luas lagi tentang subjek yang termasuk dalam kategori pegawai negeri yaitu :
-      Pegawai Mahkamah Agung RI dan Mahkamah Konstitusi
-      Pegawai pada kementerian/Departemen  dan Lembaga Pemerintahan Non Departemen.
-      Pegawai pada Kejaksaan Agung RI
-      Pimpinan dan Pegawai pada Sekretariat MPR, DPR, DPD, DPRD Propinsi/daerah Tingkat II;
-      Pegawai pada Perguruan Tinggi Negeri;
-      Pegawai pada Komisi dan Badan yang dibentuk berdasarkan UU, Keputusan Presiden, Sekretaris cabinet (sekab) dan Sekertris Militer (sekmil);
-      Pegawai pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
-      Pegawai pada badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata usaha Negara);
-      Anggota TNI dan POLRI serta PNS di Lingkungan TNI dan POLRI;
-      Pimpinan dan Pegawai di Lingkungan Pemerintah Daerah;.

b)   Secara melawan hukum.  Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dijelaskan dalam penjelasan pasal 2 ayat 1 UU No. 31/1999 yaitu mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formal amaupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggab tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan social dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.  Kemudian dalam penjelasan pasal 1 ayat 1 sub a UU No. 3/1971 bahwa perbuatan “melawan hukum  tidak dijadikan sebagai perbuatan yang dapat dihukum, melainkan melawan hukum ini adalah sarana untuk melakukan perbuatan yang dapat dihukum yaitu “memeperkaya diri sendiri” atau “orang lain” atau “suatu badan”.
Dalam unsur ini, pembentuk undang-undang mempertegas elemen secara melawan hukum yang mencakup perbuatan melawan secara formil dan materiil, yakni meskipun perbuatan itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, akan tetapi apabila perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan social dalam masyarakat, perbuatan tersebut dapat dipidana.
Kemudian dalam penjelasan Pasal 1 ayat 1 sub a UU No. 3/1971 bahwa “perbuatan melawan hukum” tidak dijadikan sebagai perbuatan yang dapat dihukum, melainkan melawan hukum ini sarana untuk melakkan perbuatan yang dapatdihukum yaitu “memperkaya diri sendiri” atau “orang lain” atau “suatu badan”.
Dalam unsur ini, pembentuk undang-undangmempertegas elemensecara “melawan hukum”  yang mencakup perbuatan melawan hukum secara formil dan materiil, yakni meskipun perbuatan ini tidak diatur  dalam peraturan perundang-undangan , akan tetapi apabila diangap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan social dalam masyarakat, perbuatan tersebut dapat dipidana.
Pada dasarnya perbuatan melawan hukum formal (formale wederrechtelijk) dan perbuatan hukum materiil (materiede wederrechtelijk) telah lama dianut dalam sistem peradilan peradilan.
Kemudian dalam praktik peradilan tindak pidana korupsi khususnya terhadap perbuatan melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijk)  melalui yurisprudensi.
Putusan MA No. 42.K/Kr/1966 tanggal 8 Januari 1966 yang menerapkan sifat melawan hukum materiil dengan fungsi yang bertujuan menghilangkan alas an penghapus pidana (tidak tertulis). Mahkamah Agung berpendapat bahwa adannya tiga factor yang menghapuskan sifat melawan hukum suatu perbuatan.  Pertimbangan didasararkan asas-asas keadilan dan asas-asas hukum yang tidak tertulis. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, normative, teoritis, Praktik dan masalahnya, alumni Bandung, hal 83.


c)    Melakukan perbuatan : - memperkaya diri sendiri, - orang lain atau –memperkaya suatu koporasi. Memperkaya diri sendiri atau suaty memperkaya korporasi perkataan “memperkaya diri sendiri”  atau “orang lain”  atau “suatu badan” yang jika dihubungkan dengan pasal 18 ayat 2 UU No. 3/1971, maka merupakan upaya untuk mengumpulkan kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau penambahan kekayan dari sumber-sumber yang tidak sah, yang memberi kewajiban kepada terdakwa untuk memberikan keterangan sumber kekayaanya sedemikian rupa. Terminology “memeperkaya” dalam konteks tindak pidana korupsi ini telah dikenal mellaui ketentuan pasal 12 ayat 2 Peraturan Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat No. Prt/peperpu/013/1958 tanggal 16 April 1958 jo Peraturan Pengusaha Perang kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/Z.I/1/7 tanggal 17 April 1958, Pasal 1 huruf b UU No. 24 Prp Thaun 1960, pasal 1 ayat 1 huruf a UU no. 3/1971 dan Pasal 2 ayat 1 UU no. 3/1971. Pada dasarnya, maksud “memeperkaya diri sendiri” dapat ditafsirkan bahwa pelaku bertambah kekayaanya atau menjadi lebih kaya karena perbuatan korupsi yag dilakukan tersebut.
Modus operanndi perbuatan memperkaya diri sendiri dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya dengan membeli, menjual, memindah bukukan rekening, menandatangani kontrak serta perbuatan lainny sehingga pelakujadi bertambah kekayaanya.
Memperkya  “orang lain” menurut Darwin Prinst adalah bahwa akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku , ada orang lain yang menikmati bertambahnya kekayaannya atau bertambahnya harta bendannya. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PT Citra Aditya Bakti, bandung hal.31.

d)   Yang dapat merugikan keuangan Negara atau prekonomian Negara.
Keuangan Negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan Negara dalam bentuk apa pun, yang dipisahkan  atau yang tidak dipisahkan,  termasuk didalamnya  segala bagian kekayaan Negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :
-      Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggung jawaban pejabat lembaga Negara, baik ditingkat pusat  maupun ditingkat daerah;
-      Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan  pertanggung jawaban Badan Usaha Milik Negara / Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan Hukum, dan Perusahaan yang menyertakan  modal Negara atau perusahaan yang menyertakan pihak ketiga berdasarkan  perjanjian  dengan Negara.
Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian  yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan  pada kebijakan pemerintah, baik ditingkat pusat maupun didaerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan  yang berlaku yang bertujuan  memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan  kepada kehidupan rakyat. Referensi praktik peradilan Mahkamah Agung  RI dalam Putusan  No. 1164 K/Pid/1985 tanggal 31 Oktober 1986 dalam perkara Tony Gozaly als Go Tiong Kien memberikan konklusi tentang perbuatan terdakwa yang merugikan perekonomian  Negara yaitu perbuatan terdakwa yang membangun tanpa izin diwilayah perairan milik Negara  sehinnga Negara tidak bisa mempergunakan untuk kepentingan umum, sehingga perbuatan tersebut dikategorikan sebagai perbuatan yang merugikan keuangan Negara. Adapun pertimbangan  MAhkamah Agung RI  dalam putusan tersebut adalah  bahwa “perbutan terdakwa tersebut adalah melawan hukum, karena ia membangun diatasnnya tanpa hak/tanpa izin yang berwajib dan sebagai akibat dari perbuatannya tersebut sebagian  dari wilayah perairan  pelabuhan ujung pandang tidak dapat digunakan  lagi untuk kepentingan umum. Bahwa wilayah perairan tersebut  adalah milik Negara, sehingga penggunaan dari padannya oleh terdakwa jelas merugikan perekonomian Negara”.
Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 20 tahun 2001 ada unsur “dilakukan dalam keadaan tertentu”  didalam penjelasan dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan social yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter dan penanggulangan tindak pidanakorupsi.



2)   Menyalah-gunakan  kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padannya karena jabatan atau kedudukan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau ornag lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian Negara. Ancaman hukuman penjara seumur hidup atau paling lama 20 (dua puluh) tahun dan paling singkat 1 (satu) tahun  dan denda paling sedikit Rp. 50.000.000,. (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) Pasal 3 UU No. 31/1999).
Perbuatan “menyalahgunakan kewenangan” merupakan perbuatan korupsi yang pada hakikatnya diterapkan kepada pejabat/pegawai negeri  yang dapat menyalahgunakan jabatan, kedudukan  dan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padannya, jika melihat perluasan pengertian pegawai negeri  sebagai mana bunyi pasal 1 ayat  2 UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001.  Akan tetapi jika melihat pengertian menurut SK Pengangkatan Pegawai Negeri, maka tentunya kategori orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi atau dari keunangan Negara atau modal negara. Tidak memiliki sk pengangkatan sebagai pegawai negeri, juga termasuk dalam subjek ketentuan pasal ini.
Terminology “menyalahgunakan”  adalah sangat luas cakupan pengertiannya dan tidak terbatas secara limitative pada pasal 53 KUHP, kongkretnya “penyalahgunaan” dapat diartikan dalam konteks adaanya hak atau kekuasaan yang dilakukukan tidak sebagai mana mestinya seperti melakukan proses pelaksanaan yang tidak sesuai dengan program atau penggunaanya yang tidak sesuai dengan peruntukannya.
“menyalahgunakan kesempatan” dapat diartikan menyalahgunakan waktu dan kesempatan yang ada pada diri pelaku karena eksistensi kedudukan dan atau jabatannya , sedangkan  “menyalahgunakan  sarana” berarti  menggunakan fasilitas dinas yang ada karena kedudukan dan atau jabatannya bukan untuk kepentingan dinas akan tetapi untuk kepentingan pribadi atau  orang lain diluar dinas dengan maksud untuk mengambil keuntungan pribadi dari sarana tersebut.
“kedudukan” menurut Sudarto dalam buku Kapita selekti Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981 hal 141, adalah perkataann “jabatan”  adalah meragukan terutama jika kedudukan ini diartikan fungsi pada umumnya, karena seorang direktur bank swasta misalnya juga mempunyai kedudukan.

3)   Memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara agar berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat 1 huruf a dan b UU No. 20/2001. Pegawai negeri atau penyelenggara negra yang menerima pemberian tersebut  (Pasal 5 ayat 2 UU No. 20 /2001) ancaman penjara 5 tahun  dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Unsur “memberi hadiah atau janji” .  Hadiah  atau yang dalam penjelasan Pasal 12 B ayat 1 UU No. 20/2001, disebut “gratifikasi” adalah pemberian ung, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tampa bunga, tiket perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalamnegeri maupun diluar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan  sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Sedangkan janji adalah pemberian harapan untuk memberikan gratifikasi pada waktu tertentu dan dengan syarat tertentu.
Dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, maksud dari unsur ini adalah bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karenakekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatanatau kedudukan orang yang diberi hadiah atau janji. Pengertian lain kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukan itu tidak ada, maka tidak aka nada  hadiah atau janji itu.
Oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukantersebut, dengan pengertian bahwa orang yang memberikan hadiah atau janji itu mendasarkan pemberiannya pada kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukan orang yang diberi hadiah atau janji. Hadiah atau janji ditujukan agar orang yang diberi hadiah atau janji  melakukan  atau tidak melakukan  suatu perbuatan yang berhubungan dengan kekuasaan  atau wewenang  yang melekat pada jabatan atau kedudukannya.

4)   Memberikan sesuatu kepada hakim atau advokat untuk mempengaruhi putusan atau pendapatnya (pasal 6 ayat 1 huruf a dan b UU No. 20/2001). Hakim atau adokad yang menerima pemberian tersebut (pasal 6 ayat 2 UU No. 20/2001). Ancaman pidana penjara 15 (lima belas) tahun, dan denda Rp. 150.000.000, (sertus lima puluh jut rupiah) hungga Rp. 750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Unsur kepada hakim, hakim adalah  pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili, sedangkan mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus prkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak disidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Hakim yang dimaksud dalah hakim yang mengadili perkara tertentu yang terkait dengankepentingan orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu.
Dengan maksud untuk mempengaruhi putusan putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili. Artinnya bahwa maksud orang itu memberikan sesuatu atau menjanjikan sesuatu semata-mata untuk mempengaruhi putusan hakim itu terhadap perkara yang ditangani, agar menguntungkan  bagi si pemberi atau yang menjanjikan.

5)   Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit  Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,- (tiga ratus lima puluh juta rupiah) terhadap :
a.     Pemborong atau ahli bangunan.  Bagunan adalah wujud fisik hasil pekerjaan kontruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada diatas dan / atau atau di dalam tanah dan/ atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiantannya khusus sebagaimana dalam Pasal 1 butir 1 UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan.
b.     Pemborong adalah orang yang melaksanakan tender pembangunan dan atau ahli bangunan  adalah orang yang merencanakan dan melaksanakan pembangunan suatu bangunan. Pada waktu membuat bangunan , perbuatan melanggar hukum atau pembangunan yang tidak sesuai dengan kriteria standar tyang  merupakan persyaratan  bangunan sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang dilakukan saat  sedang mengerjakan pekerjaan membangun (membuat bangunan).
c.      Penjual bahan bangunan, yakni orang yang mempunyai pencaharian atau pekerjaan  sebagai penjual  bahan-bahan bangunan. Pada waktu peyerahan bahan bangunan  yaitu melakukan  perbuatan yang sedemikian rupa pada saat menyerahkan  bahan bangunan, artinya bahaya  terhadap keselematan dan keamanan  orang atau barang akibat dari bangunan itu disebabkan oleh perbuatan melawan hukum dari penjual bahan bangunan yang melakukan tipu muslihat sehingga pembangunan suatu bangunan tidak memenuhi  syarat sesuai dengan undang-undang.
d.     Melakukan perbuatan curang yaitu  diartikan melakukan perbauatn hukum seperti penipuan, atau perbuatan  melawan hukum, seperti penipuan atau perbuatan yang bermaksud  menguntungkan diri sendiri  atau golongan  atau korporasi  yang bertentangan  dengan tujuan pekerjaanya. Menurut pasal 387 KUHP bahwa perbuatan  curang pemborong  atau ahli bangunan adalah perbuatan penipuan yang berakibat pada kerusakan  bangunan seperti  robohnya gedung, bendungan air jebol, jembatan yang roboh dan sebagainnya.  Jadi perbuatan itu dilakukan sedemikian rupa sehingga mengakibatkan  bangunan yang dibangunnya menjadi tidak laik sesuai dengan persyaratan atau tidak sesuai dengan perencanaannya.
e.     Yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang atau keselamatan Negara, maksudnya  bahwa kerusakan  bangunan tersebut dapat mengancam keselamatan dan keamanan atu mengancam jiwa orang atau barang yang menggunakan atau ada diatas dan disekitar bangunan itu. 
f.      Dalam keadaan perang, menurut pasal 96 ayat 3 KUHP yaitu dalam waktu terancam  bahaya perang. Waktu perang dipandang telah ada juga apabila sudah diperintahkan  mobiliasasi  (persiapan akan bergerak) dan selama bala tentara itu masih dalam persiapan untukbergerak (mobilisasi). Menurut pasal 128UUDS Indonesia 1950, bahwa “perang”  adalah suatu keadaan yang dinyatakan  oleh Presiden denganizin terlebih dahulu dari DPR, sedangkan menurut  pasal 129 bahwa Presiden dapat menyatakan  Daerah Republik Indonesia atau bagian-bagiannya dalam keadan bahaya sebagaimana penjelasan  R Soesilo tentang  Pasal 96 KUHP  halaman  103.
g.     Yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan. Yang dimaksud  dalam unsur ini adalah orang yang mempunyai tanggung jawab  sebagai pengawas  pembnagunan  suatu bangunan  atau pengawas  dalamhal jual beli (termasuk penyerahan dari penjual) bahan bangunan.
h.     Membiarkan perbuatan curang artinya bahwa pengawas pembangunan  atau penyerahan  bahan bangunan itu sebenarnya  mengetahui bahwa telah terjadi perbuatan curang  atau perbuatan melawan hukum, tetapi tidak mempunyaiupaya untuk menghalangi, menggagalkan  atau melaporkan  perbuatan tersebut.
i.       Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan TNI dan atau  Kepolisian RI melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan Negara  dalam keadaan perang.  Yang dimaksud dalam unsur iniadalah  menyerahkan  keperluan  atau perlengkapan TNI/Polri, yang dapat membahayakan  keselamatan Negara dalam keadaan perang. Mengancam keselamatan Negara  dalam  keadaan perang  artinnya  akibat perbuatan  itu Negara dapat  mengalami kehancuran atau kekalahan dari musuh.
j.       Pegawai negeri dalam tugas dan jabatannya mengelapkan uang atau surat berharga atau membiarkan  diambil atau digelapkan  orang lain sebagaimana dalam Pasal 8 UU No. 20/2001. Pegawai negeri atau bukan pegawai negeri yang diserahi tugas  untuk menjalankan jabatan umum yakni jabatan sebagai pegawai negeri, atau pekerjaan yang menyangkut kepentingan Negara.
1.    secara terus menerus atau sementara waktu maksudnya  adalah baik yang diangkat sebagai pegawai negeri secara terus menerus maupun waktu tertentu.
2.    Mengelapkan uang atau surat berharga, Penggelapan menurut pasal 372 KUHP adalah dengan sengaja memiliki hak sesuatu barang yang sama sekali atau sebagian dari barang itu termasuk kepunyaan orang lain atau sebagai dari barang itu termasuk kepunyaan orang lain, namun barang itu berada ditangannya bukan karena kejahatan. Dengan demikian penggelapan yang dilakukan  oelh para pelaku yang bukan pegawai negeri tetapi diserahi tugas sebagai pegawai negeri, diterapkan pasal 372 KUHP, sedangkan bagi Pegawai Negeri atau orang bukan pegawai negeri tetapi diserahi tugas  sebagai pegawai negeri dikenakan pasal ini juga.  Kemudaian agar unsur ini terpenuhi, maka objek yang digelapkan  harus berupa uang atau surat berharga.
3.    Disimpan karena jabatannya,  dalam unsur ini  adalah bahwa uang atau surat berharga itu harus disimpan oleh pelaku karena sesuai dengan jabatannya. Membiarkan uang atau surat berharga tersbeut  diambil atu digelapkan  orang lain, maksudnya bahwa meskipun bukan pegawai negeri itu yang menggelapkan, akan tetapi mengetahui bahwa ada orang lain  yang mengelapkan uang atau surat berharga disimpan karena jabatannya, dan dibiarkan  itu terjadi, maka unsur itu terpenuhi.
4.    Membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.  Unsur ini dapat diartikan  bahwa yang melakukanpenggelapan adalah orang lain selain pegawai negeri yang karena jabatannya menyimpan surat atau surat berharga itu, akan tetapi perbuatan pengelapan itu terjadi karena bantuan atau kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh pemegang  atau penyimpan uang atau surat berharga, maka  unsur ini dapat terpenuhi.
5.    Pegawai negeri atau orang yang diberi tugas menjalankan jabatan, memalsu buku-daftar yang khusus pemeriksaan administrasi (pasal 9 UU No.20/2001). Memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi,  maksud unsur ini adalah membuat rekayasa sedemikian rupa terhadap buku atau daftar-daftar yang khusus sehingga tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya, sehingga mengaburkan fakta pemeriksaan  administrasi oleh pihak  yang berwenang. Membuat buku atau daftar tersebut seolah-olah asli, padahal bukan asli.

6)   Dipidana denagn penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda  paling sedikit Rp. 100.000.000, (sertaus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000,- (tiga ratus limapuh juta rupiah), pegawai  negeri atau orang lain pegawai negeri yng diberikan tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau  untuk sementara waktu, dengan senagaja :
a.     mengelapkan, menghancurkan, merusakkan , atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan  untuk menyakinkan  atau membuktikan  dimuka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya;
b.     membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidk dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar tersebut.
c.      Membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar tersebut. (Pasal 10 UU No. 20/2001).
Pada dasarnya ketentuan sama dengan penjelasan  pasal 10 UU No. 20/2001, hanya subjek dalam ketentuan ini adalah orang lain selain pegawai negeri yang terlibat  dalam perbuatan korupsi tersebut. Barang, akta, surat atau daftar yang terkait dengan pekerjaan atau jabatannya. Barang, akta, surat atau daftar merupakan alat bukti yang dapat dijadikan sumber atau petunjuk yang mengambarkan keadaaan yang sesungguhnya tentang jalannya pelaksananan tugas dan jabatan atau kebijakan.
Yang digunakan untuk menyakinkan atau membuktikan dimuka pejabat yang berwenang. Barang, akta, surat atau daftar merupakan alat bukti yang dapat dijadikan bukti didalam siding pengadilan.
Yang dikuasai karena jabatannya, barang, akta, surat, atau daftar berada dalam penguasaanya karena jabatannya, baik untuk membuat maupun menyimpan barang, akta, surat atau daftar tersebut.

7)   Pegawai Negeri yang menerima janji atau hadiah karena kekuasaan atau wewenang yang berhubungan dengan jabatannya. Ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun, dan denda Rp. 50.000.000,- (limapuluh juta rupiah) hingga Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) (Pasal 11 UU No.20/2001).

8)   Pasal 12 ayat 1 UU No. 20/2001, Pasal 15 UU No. 31/1999, Pasal 16 No. 31/1999, dapatlah dipahami bahwa membedakan korupsi dengan kejahatan lain adalah sebagai modus antara lain :

1.     Pencurian sebgaimana dimaksud dalam Pasal 363 KUHP, hukum pidana mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :
-       perbuatan mengambil, yaitu mengambil untuk dikuasai.
-       Sesuatu barang, dalam hali itu barang berupa kayu yang pada waktu diambil tidak berada dalam penguasaan pelaku.
-       Sebagaian atau seluruhnya milik orang lain, dalam hal ini hutan dapat merupakan hutan adat dan hutan hak yang termasuk dalam hutan Negara yang tidak dibebani hak.
-       Dengan  sengaja atau dengan maksud ingin memiliki dengan melawan hukum. Jelas bahwa kegiatan penebangan kayu dilakukan  dengan sengaja dan tujuan dari kegiatan itu adalah untuk mengambil manfaat dari hasil hutan berupa kayu tersebut (untuk dimiliki). Akan tetapi ketentuan hukum hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban dalam pemanfaatan  hasil hutan berupa kayu, sehinggakegiatan bertentangan dengan ketentuan itu berarti kegiatan yang melawan hukum yang bukan menjadi haknya menurut hukum.
2.     Penggelapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 372 sampai dengan pasal 377 KUHP. Dalam penjelasan pasal 371 KUHP, pengelapan artinya mengambil suatu barang yang sebagaian atau seluruhnya adalah hak milik orang lain yang berada didalam kekuasaanya untuk dimiliki melawan hak.
3.      Selain pencurian dan pengelapan tersebut modus lain seperti monopoli, money loundering, white colar crime, money politic, fraud crime, bank crime, crime as business.

Jumat, 19 September 2014

Korupsi dalam Konsep Hukum Materiil


Korupsi dalam Konsep Hukum Materiil