Bahan referesi penulisan tesis
Pembuktian terbalik//arsip.
Strategi Pemberantasan Korupsi
Salah
satu isu yang paling krusial untuk dipecahkan oleh bangsa dan pemerintah
Indonesia adalah masalah korupsi. Hal ini disebabkan semakin lama tindak pidana
korupsi di Indonesia semakin sulit untuk diatasi. Maraknya korupsi di Indonesia
disinyalir terjadi di semua bidang dan sektor pembangunan. Apalagi setelah
ditetapkannya pelaksanaan otonomi daerah, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004, disinyalir korupsi terjadi bukan hanya pada tingkat pusat
tetapi juga pada tingkat daerah dan bahkan menembus ke tingkat pemerintahan
yang paling kecil di daerah. Pemerintah Indonesia sebenarnya tidak tinggal diam
dalam mengatasi praktek-praktek korupsi. Upaya pemerintah dilaksanakan melalui
berbagai kebijakan berupa peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi
yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sampai dengan Undang-Undang tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, pemerintah juga membentuk
komisi-komisi yang berhubungan langsung dengan pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara
(KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Upaya pencegahan praktek korupsi juga
dilakukan di lingkungan eksekutif atau penyelenggara negara,
dimanamasing-masing instansi memiliki Internal Control Unit (unit pengawas dan
pengendali dalam instansi) yang berupa inspektorat. Fungsi inspektorat
mengawasi dan memeriksa penyelenggaraan kegiatan pembangunan di instansi
masing-masing, terutama pengelolaan keuangan negara, agar kegiatan pembangunan
berjalan secara efektif, efisien dan ekonomis sesuai sasaran. Di samping
pengawasan internal, ada juga pengawasan dan pemeriksaan kegiatan pembangunan
yang dilakukan oleh instansi eksternal yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan
Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP). Selain lembaga
internal dan eksternal, lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga ikut berperan
dalam melakukan pengawasan kegiatan pembangunan, terutama kasus-kasus korupsi
yang dilakukan oleh penyelenggara negara.
Beberapa
LSM yang aktif dan gencar mengawasi dan melaporkan praktek korupsi yang
dilakukan penyelenggara negara antara lain adalah Indonesian Corruption Watch (ICW),
Government Watch (GOWA), dan Masyarakat
Tranparansi Indonesia (MTI).
Dilihat
dari upaya-upaya pemerintah dalam memberantas praktek korupsi di atas
sepertinya sudah cukup memadai baik dilihat dari segi hukum dan peraturan
perundang-undangan, komisi-komisi, lembaga pemeriksa baik internal maupun
eksternal, bahkan keterlibatan LSM. Namun, kenyataannya praktek korupsi
bukannya berkurang malah meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan Indonesia kembali dinilai sebagai
negara paling terkorup di Asia pada
awal tahun 2004 dan 2005 berdasarkan hasil survei dikalangan para pengusaha dan
pebisnis oleh lembaga konsultan Political and Economic Risk Consultancy (PERC).
Hasil survei lembaga konsultan PERC yang berbasis di Hong Kong menyatakan bahwa
Indonesia merupakan negara yang paling korup di antara 12 negara Asia. Predikat
negara terkorup diberikan karena nilai Indonesia hampir menyentuh angka mutlak
10 dengan skor 9,25 (nilai 10 merupakan nilai tertinggi atau terkorup). Pada
tahun 2005, Indonesia masih termasuk dalam tiga teratas negara terkorup di
Asia. Peringkat negara terkorup setelah Indonesia, berdasarkan
hasil survei yang dilakukan PERC, yaitu India (8,9), Vietnam (8,67), Thailand,
Malaysia dan China berada pada posisi sejajar di peringkat keempat yang
terbersih. Sebaliknya, negara yang terbersih tingkat korupsinya adalah
Singapura (0,5) disusul Jepang (3,5),
Hong Kong, Taiwan dan Korea Selatan. Rentang skor dari nol sampai 10, di mana
skor nol adalah mewakili posisi
terbaik, sedangkan skor 10 merupakan
posisi skor terburuk. Ini merupakan survei tahunan yang dilakukan oleh PERC
untuk menilai kecenderungan korupsi di Asia dari tahun ke tahun. Dalam hal ini
PERC bertanya kepada responden untuk menilai kondisi di mana mereka bekerja
sekaligus juga untuk menilai kondisi negara asalnya masing-masing. Metode ini
digunakan agar dapat menghasilkan data perbandingan antar negara (cross-country
comparison), sehingga survei ini dapat dimanfaatkan untuk mengevaluasi
bagaimana persepsi terhadap suatu negara berubah seiring waktu.
Demikian pula dengan Indeks Persepsi
Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2006 adalah 2,4 dan menempati urutan ke-130 dari
163 negara. Sebelumnya, pada tahun 2005 IPK Indonesia adalah 2,2, tahun 2004
(2,0) serta tahun 2003 (1,9). Hal ini menunjukkan bahwa penanganan kasus
korupsi di Indonesia masih sangat lambat dan belum mampu membuat jera para
koruptor.
Adapun China dan Thailand merupakan
contoh negara yang mengesankan dalam mengubah reputasi negara yang bergelimang
korupsi menjadi negara yang rendah korupsinya. India dan Vietnam juga mulai
melakukan perbaikan melalui keinginan politik tinggi dalam mempersempit ruang
korupsi. China selama satu dasawarsa terakhir melancarkan perang besar dengan
korupsi. Para pejabat yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi tidak
segan-segan dibawa ke tiang gantungan. Tindakan ini cukup efektif mengurangi
praktek korupsi di kalangan pejabat. Sementara Thailand juga melakukan kampanye
pemberantasan korupsi secara serius. Sektor perpajakan dan pengadilan yang
dianggap rawan korupsi dan kolusi dijadikan prioritas dalam target kampanye
melawan korupsi dan hasilnya mengesankan. Kemajuan dalam kampanye korupsi
membawa dampak positif dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk kesanggupan
membayar hutang luar negeri. Selama lima tahun Thailand mampu mencicil 50
milyar dollar AS utangnya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka Pusat Kajian
Administrasi
Internasional Lembaga Administrasi
Negara Republik Indonesia memandang perlu untuk melakukan kajian lebih jauh tentang
strategi penanganan korupsi di negara-negara Asia Pasifik, sebagai bahan
masukan untuk memperkuat (revitalize) penanganan korupsi yang diterapkan di
Indonesia.
A.
Strategi
Pemeberantasan Korupsi
Korupsi bukanlah
merupakan barang yang baru dalam sejarah peradaban manusia. Fenomena ini telah
dikenal dan menjadi bahan diskusi bahkan sejak 2000 tahun yang lalu ketika
seorang Perdana Menteri Kerajaan India bernama Kautilya menulis buku berjudul
”Arthashastra.”
Demikian pula dengan
Dante yang pada tujuh abad silam juga menulis tentang korupsi (penyuapan) sebagai tindak kejahatan. Tidak
ketinggalan Shakespeare juga menyinggung korupsi sebagai sebuah bentuk
kejahatan. Sebuah ungkapan terkenal pada tahun 1887 mengenai korupsi dari
sejarahwan Inggris, Lord Acton, yaitu “power tends to corrupt, absolute power
corrupts absolutely. ” Pernyataan ini menegaskan bahwa korupsi berpotensi
muncul di mana saja tanpa memandang ras, geografi, maupun kapasitas ekonomi.
Beberapa negara di
Asia memiliki beragam istilah korupsi yang pengertiannya mendekati definisi
korupsi. Di China, Hong Kong dan Taiwan, korupsi dikenal dengan nama yum cha atau di
India terkenal dengan istilah baksheesh atau di Filipina dengan nama lagay dan
di Indonesia atau Malaysia memiliki padanan kata yaitu suap. Semua istilah
memiliki pengertian yang variatif, namun pada umumnya merujuk pada kegiatan
ilegal yang berlaku di luar sistem formal. Tidak semua istilah ini secara
spesifik mendefinisikan diri sebagai sebuah pengertian hukum dari praktek
korupsi. Istilah-istilah ini juga belum memberikan gambaran
mendalam mengenai dampak luas dari praktek korupsi. Istilah lokal yang dianggap
paling mendekati pengertian korupsi secara mendalam adalah yang berlaku di
Thailand, yaitu istilah gin muong yang secara literal berarti nation eating. Pengertian
dari istilah ini menunjukkan adanya kerusakan yang luar biasa besar terhadap
kehidupan suatu bangsa akibat dari adanya perilaku praktek korupsi.
Dalam norma umum di
masyarakat maupun norma khusus semisal perundangan, istilah korupsi memiliki
beragam pengertian. Perbedaan pengertian ini menyebabkan implikasi hukum dan
sosial yang berbeda pula di masyarakat. Sebuah tindakan korupsi yang merugikan
keuangan negara boleh jadi secara norma sosial dianggap oleh masyarakat sebagai
tindakan wajar dan tidak melanggar. Ini karena pandangan dan pemahaman suatu
masyarakat terhadap perbuatan korupsi berbeda dengan masyarakat lainnya. Oleh
karenanya, suatu masyarakat dapat menilai suatu perbuatan termasuk dalam
praktek korupsi, namun tidak demikian halnya dengan masyarakat lain, terlebih
dalam masyarakat yang permisif dan patronialistik. Terlepas dari perbedaan
pemahaman ini, sebenarnya terdapat ciri khas/atribut yang melekat pada tindakan
korupsi, yang membedakannya dengan yang lain. Dari segi bahasa, kata korupsi
berasal dari bahasa latin yaitu corruptio. Kata ini sendiri memiliki kata kerja
corrumpere yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalikkan atau
menyogok. Dalam Wordnet Princenton Education, korupsi didefinisikan sebagai
“lack of integrity or honesty (especially susceptibility to bribery); use of a
position of trust for dishonest gain” Selanjutnya, dalam Kamus Collins Cobuild arti
dari kata corrupt adalah “someone who is corrupt behaves in a way that is
morally wrong, especially by doing dishonesty or illegal things in return for
money or power.” Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka,
597: 2001), korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara
(perusahaan dsb.) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Sementara itu dalam
kesempatan diskusi dengan peneliti, Direktur Transparency International India,
secara lebih sederhana mendefinisikan korupsi sebagai ”the use of public office
for private gain”. Jadi segala tindakan penggunaan barang publik untuk
kepentingan pribadi adalah termasuk kategori korupsi. Transparency
International sendiri sebagai lembaga internasional yang sangat menaruh
perhatian terhadap korupsi di negara-negara di dunia dan menyoroti korupsi yang
dilakukan oleh birokrasi, mendefinisikan korupsi sebagai perilaku pejabat
publik, baik politikus maupun pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak
legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengan dirinya, dengan
cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Pengertian
ini lebih dilatarbelakangi karena korupsi yang dilakukan oleh birokrasi
memiliki dampak dan pengaruh negatif yang besar dan signifikan terhadap
pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara nasional.
Jika dibandingkan dengan korupsi yang dilakukan oleh para pelaku bisnis ataupun
masyarakat. Pendapat dari beberapa pakar mengenai korupsi juga
dapat dijelaskan seperti Juniadi Suwartojo (1997) menyatakan bahwa korupsi
ialah tingkah laku atau tindakan seseorang atau lebih yang melanggar
norma-norma yang berlaku dengan menggunakan dan/atau menyalahgunakan kekuasaan
atau kesempatan melalui proses pengadaan, penetapan pungutan penerimaan atau
pemberian fasilitas atau jasa lainnya yang dilakukan pada kegiatan penerimaan
dan/atau pengeluaran uang atau kekayaan, penyimpanan uang atau kekayaan serta
dalam perizinan dan/atau jasa lainnya dengan tujuan keuntungan pribadi atau
golongannya sehingga langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan
dan/atau keuangan negara/masyarakat. Sementara Brooks memberikan pengertian
korupsi yaitu: “Dengan sengaja melakukan kesalahan atau melalaikan tugas yang
diketahui sebagai kewajiban, atau tanpa hak menggunakan kekuasaan, dengan tujuan memperoleh
keuntungan yang sedikit banyak bersifat pribadi.”
Selanjutnya
Alfiler menyatakan bahwa korupsi adalah: “Purposive behavior which may be deviation from an expected
norm but is undertake nevertheless with a view to attain materials or other
rewards.”
Bahkan
Klitgaard membuat persamaan sederhana untuk menjelaskan pengertian korupsi
sebagai berikut:
C
= Corruption/ Korupsi
M
= Monopoly/ Monopoli
D
= Discretion/ Diskresi / keleluasaan
A
= Accountability/ Akuntabilitas
Persamaan di atas
menjelaskan bahwa korupsi hanya bisa terjadi apabila seseorang atau pihak tertentu
mempunyai hak monopoli atas urusan tertentu serta ditunjang oleh diskresi atau
keleluasaan dalam menggunakan kekuasaannya, sehingga cenderung
menyalahgunakannya, namun lemah dalam hal pertanggung jawaban kepada publik
(akuntabilitas).
Beberapa pengertian
di atas menyoroti korupsi sebagai perilaku merugikan yang dilakukan oleh
seseorang atau beberapa pihak dan tidak secara eksplisit disebutkan apakah dari
unsur birokrasi, swasta, maupun masyarakat. Karena pada dasarnya tindakan
korupsi bukan saja terjadi di sektor pemerintahan tetapi juga dalam dunia
bisnis dan bahkan dalam masyarakat. Dari beberapa pendapat di atas, dapat
dikatakan bahwa korupsi bukan saja dilakukan oleh kalangan birokrat, tetapi
juga kalangan di luar birokrasi. Arti maupun pendefinisian tindakan korupsi
juga memiliki berbagai sudut pandang yang cukup berbeda. Namun demikian, suatu
tindakan dapat dikategorikan korupsi—siapa pun pelakunya—apabila memenuhi
unsur-unsur: C
= M + D – A
-
Suatu
pengkhianatan terhadap kepercayaan.
-
Penipuan
terhadap badan pemerintah, lembaga swasta atau masyarakat umumnya.
-
Dengan
sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus.
-
Dilakukan
dengan rahasia, kecuali dengan keadaan dimana orang-orang berkuasa atau
bawahannya menganggapnya tidak perlu.
-
Melibatkan
lebih dari satu orang atau pihak.
-
Adanya
kewajiban dan keuntungan bersama dalam bentuk uang atau yang lain.
-
Terpusatnya
kegiatan (korupsi) pada mereka yang menghendaki keputusan yang pasti dan mereka
yang dapat mempengaruhinya.
-
Adanya
usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk-bentuk pengesahan hukum.
-
Menunjukkan
fungsi ganda yang kontradiktif pada mereka yang melakukan korupsi.
Bahwa korupsi dapat
diartikan sebagai tindakan dan perilaku yang menyimpangatau melanggar aturan,
norma, dan etika dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki, mengingkari
amanat yang diemban untuk kepentingan memperkaya diri sendiri, kerabat ataupun
orang lain.
Studi yang dilakukan
oleh Transparency International Indonesia menunjukkan bahwa praktek-praktek korupsi
dapat diidentifikasi meliputi: (1) manipulasi uang negara; (2) praktek suap dan
pemerasan; (3) politik uang; dan (4) kolusi bisnis.
Pada dasarnya praktek
korupsi dapat dikenal dalam berbagai bentuk umum yaitu: (1) bribery (penyuapan);
(2) embezzlement (penggelapan/pencurian); (3) fraud (penipuan); (4) extortion (pemerasan);
dan (5) favouritism (favoritisme). Kelima bentuk ini secara konsep seringkali
overlapping satu sama lain, di mana masing-masing istilah digunakan secara
bergantian. Untuk lebih mudah dalam membedakan satu konsep dengan yang lainnya,
Amundsen (2000) menjelaskan masing-masing pengertian konsep secara detail.
Penyuapan didefinisikan sebagai “Bribery is the payment (in money or kind) that
is given or taken in a corrupt relationship”(Amundsen, 2000: 2).
Jadi penyuapan adalah
pembayaran (dalam bentuk uang atau sejenisnya) yang diberikan atau diambil
dalam hubungankorupsi. Sehingga esensi korupsi dalam konteks penyuapan adalah
baik tindakan membayar maupun menerima suap.
Beberapa istilah yang
memiliki kesamaan arti dengan penyuapan adalah kickbacks, gratuities,
baksheesh, sweeteners, pay-offs, speed money, grease money. Jenis-jenis penyuapan ini adalah pembayaran
untuk memuluskan atau memperlancar urusan, terutama ketika harus melewati proses
birokrasi formal. Dengan penyuapan ini pula maka kepentingan perusahaan atau
bisnis dapat dibantu oleh politik, dan menghindari tagihan pajak serta
peraturan mengikat lainnya, atau memonopoli pasar, ijin ekspor/impor dsb. Lebih
lanjut Amundsen menjelaskan bahwa penyuapan ini juga dapat
berbentuk pajak informal, ketika petugas terkait meminta biaya tambahan
(under-the-table payments) atau mengharapkan hadiah dari klien, serta bentuk
donasi bagi pejabat atau petugas terkait. Sedangkan penggelapan atau embezzlement
didefinisikan sebagai “embezzlementis theft of public resources by public
officials, which is another form of misappropiation of public funds” (Amundsen,
2000, 3). Jadi, ini merupakan tindakan kejahatan menggelapkan atau mencuri uang
rakyat yang dilakukan oleh pegawai pemerintah atau aparat birokrasi.
Penggelapan ini juga bisa dilakukan oleh pegawai di sektor swasta. Adapun
fraudatau penipuan diartikan sebagai “fraud is an economic crime that involves
some kind of trickery, swindle or deceit(Amundsen, 2000: 3). Fraud adalah
kejahatan ekonomi yang berwujud kebohongan, penipuan, dan perilaku tidak jujur.
Jenis korupsi ini merupakan kejahatan ekonomi yang terorganisir dan melibatkan
pejabat. Dari segi tingkatan kejahatan, istilah fraud ini merupakan istlah yang
lebih populer dan juga istilah hukum yang lebih luas dibandingkan dengan
briberydan embezzlement. Dengan kata lain fraudrelatif lebih berbahaya dan
berskala lebih luas dibanding kedua jenis korupsi sebelumnya. Kerjasama antar
pejabat/instansi dalam menutupi satuhal kepada publik yang berhak mengetahuinya
merupakan contoh dari jenis kejahatan ini.
Bentuk korupsi lainya
adalah extortion atau pemerasan yang didefinisikan sebagai ”extortion is money
and other resources extracted by the use of coercion, violance or the threats
to use force” (Amundsen, 2000: 4).
Korupsi dalam bentuk
pemerasan adalah jenis korupsi yang melibatkan aparat yang melakukan pemaksaan
atau pendekatan koersif untuk mendapatkan keuntungan sebagai imbal jasa atas
pelayanan yang diberikan. Pemerasan ini dapat berbentuk “from below” atau “from
above”. Sedangkan yang dimaksud dengan “from above” adalah jenis pemerasan yang
dilakukan oleh aparat pemberi layanan terhadap warga Hukum internasional yang
berhubungan langsung dengan penanganan korupsi, termasuk yang berlaku untuk
wilayah Asia Pasifik dan Asia Tenggara adalah :
1.
Anti
Corruption Action Plan for Asia and the Pacific Action Plan (Konferensi Tokyo
2001).
2.
MoU
on Cooperation for Preventing and Combating Corruption 2004 (Singapura,
Indonesia, Brunei, Malaysia).
3.
The
United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).
4.
The
United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC).
Dalam hal ratifikasi
UNCAC, sebagai bentuk komitmen Indonesia dalam memerangi korupsi di hadapan
masyarakat internasional, Indonesia perlu melakukan harmonisasi perundangan
yang masih terdapat kesenjangan da perbedaan substantif. Dalam analisa terbatas
yang dilakukan oleh Masyarakat Transparansi Indonesia, terdapat beberapa substansi
istilah yang memerlukan klarifikasi dalam perundangan Indonesia, untuk
menyesuaikan dengan klausul yang berlaku dalam UNCAC.
Beberapa
Istilah yang berbeda dalam Perundangan
Indonesia dengan UNCAC No
Istilah Hukum Positif Indonesia UNCAC, Pejabat Publik Dikenal istilah
1.
PNS
2.
Pejabat
Negara
3.
Penyelenggara
Negara
4.
Pejabat
Administrasi Pemerintahan
5.
Pejabat
Tata Usaha Negara
Dalam
UNCAC, yang termasuk dengan pejabat publik adalah
1.
eksekutif,
legislatif, administratif dan yudisial
2.
setiap
orang yang melaksanakan fungsi publik
3.
setiap
orang yang ditetap kan sebagai pejabat publik
Kekayaan
Unsur harta kekayaan (UU No. 23/2003 perubahan atas pasal UU No. 15/2002):
1.
Benda
bergerak atau tidak bergerak
2.
Berwujud
atau tidak berwujud
Ada
unsur kekayaan yang nyata atau tidak nyata, serta termasuk dokumen dan
instrumen yang mendukung kekayaan tersebut. Sumber: Diolah dari MTI, 2006.
Di tingkat nasional pun, Indonesia sudah
mempunyai instrumen hukum yang secara eksplisit menggunakan istilah korupsi
dalam pasal-pasalnya. Dalam hal ini beberapa peraturan perundangan yang telah
berlaku antara lain :
1.
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945, khususnya pasal 21 dan pasal 5 (ayat 1)
2.
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
3.
Ketetapan
MPR Nomor XI Tahun 1998
4.
Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaran Pemerintahan yang bersih dan bebas
dari praktek KKN
5.
Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
6.
Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
7.
Dibentuknya
Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) tahun 2001 berdasarkan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
8.
Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK)
9.
Dibentuknya
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2003 berdasarkan Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 junto Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002
Dengan banyaknya
peraturan perundangan yang telah dan sedang diterapkan, maka seyogyanya
pemberantasan korupsi di Indonesia harus mulai menemukan arah yang tepat.
Indonesia, akan membuka celah dalam penerapan hukum. Sehingga
perlu rumusan dan indikator baku untuk menentukan definisi dari eksekutif,
legislatif, dan yudikatif.
B.
Metode
Penelitian
Kajian/penelitian strategi penanganan korupsi di Indonesia,
menggunakan metode deskriptif komparatif. Metode tersebut dipilih karena kajian
ini akan mendeskripsikan obyek penelitian yaitu penanganan korupsi di
Indonesia. Kajian ini bertujuan untuk menyampaikan, menganalisis,
mengklasifikasi, dan membandingkan strategi penanganan korupsi yang dilakukan
oleh pemerintah. Rangkaian kegiatan yang dilakukan terkait dengan kajian,
antara lain adalah melakukan observasi awal, mencari sumber informasi yang
berkaitan dengan topik strategi penanganan korupsi, menyusun riset desain,
melakukan pengumpulan data lapangan, menganalisis data dan informasi yang
diperoleh dari lapangan, serta menyajikannya di dalam sebuah laporan kajian.
Teknik pengumpulan data yang diadopsi dalam kajian ini
adalah melalui studi literatur, dokumentasi, dan focus group discussion(FGD).
Teknik ini memiliki kelebihan untuk memperoleh data dan informasi yang bersifat
kualitatif. Instrumen penelitian yangdigunakan adalah panduan wawancara
(interview guidelines) yang digunakan pada saat pencarian data lapangan.
Panduan wawancara tersebut meliputi indikator-indikator atau
besaran-besaran yang menjadi fokus dalam kajianstrategi penanganan korupsi. FGD
dilakukan dengan mengundang para ahli/pakar yang terkait penerapan strategi
penanganan korupsi untuk memperoleh data dan informasi empirik dari pengalaman
negara-negara yang berhasil atau pun gagal menangani korupsi.
Setelah dilakukan pengumpulan data lapangan, maka data
tersebut diolah dan dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Pendekatan ini dipilih karena diperlukan analisis yang lebih mendalam untuk
dapat mengungkap latar belakang sesungguhnya dari fenomena-fenomena yang sedang
diteliti atau dikaji. Dalam hal ini fenomena tersebut adalah strategi
penanganan korupsi. Pemikiran logis (professional judgement), induksi dan
evaluasi juga digunakan dalam pemberantasan korupsi.
C.
Hasil
dan Pembahasan
Korupsi yang terjadi dalam birokrasi tentunya mendapat
perhatian dan penekanan tersendiri dalam kajian ini. Karena pada kasus korupsi,
birokrasi atau pemerintah memiliki peranan ganda yaitu sebagai pelaku dan
pemberantas korupsi itu sendiri. Sementara dunia usaha dan masyarakat berperan
sebagai pelaku dan korban. Kasus-kasus korupsi yang menjadi sorotan banyak
pihak baik dalam maupun luar negeri adalah korupsi yang terjadi di tubuh
birokrasi. Selain berakibat luas dan destruktif terhadap pembangunan ekonomi
serta masyarakat secara umum, korupsi dalam birokrasi pada umumnya berskala
luas dengan jumlah (nominal) yang besar dan melibatkan pejabat
negara, elit politik maupun pegawai negeri. Sedangkan, kasus-kasus korupsi pada
sektor bisnis, pada umumnya berskala kecil dan hanya berdampak pada
perusahaannya sendiri. Di Indonesia, untuk kategori manipulasi uang negara,
sektor yang paling korup ialah pengadaan barang dan jasa mencakup konstruksi,
pekerjaan umum, perlengkapan militer, dan barang jasa pemerintah.
Untuk kasus suap dan pemerasan, korupsi terbesar terjadi di
kepolisian, sektor peradilan, pajak dan bea cukai, serta sektor perijinan.
Korupsi juga terjadi di kalangan politisi (anggota DPR dan partai politik),
serta pada praktek kolusi dalam bisnis.
Untuk kasus kolusi bisnis, korupsi terbesar terjadi di tubuh
militer, kepolisian, dan pegawai pemerintah lewat koperasi dan yayasan. Dari
segi aktornya, pelaku korupsi terbagi menjadi aparat pemerintah, pelaku sektor
bisnis, dan warga masyarakat. Secara tradisional, pelaku korupsi biasanya hanya
menyangkut pemerintah atau aparat birokrasi dengan warga. Namun demikian,
kecenderungan saat ini menunjukkan adanya peningkatan kontribusi atas tingkatan
korupsi dari pelaku di sektor bisnis. Biasanya kasus korupsi selalu melibatkan
dua pihak, yaitu aparat (yang menerima suap) dan warga (yang memberi suap).
Namun demikian dalam kacamata hukum, penggelapan juga merupakan tindakan pidana
korupsi, walaupun jenis korupsi ini tidak melibatkan warga masyarakat secara
langsung, karena penggelepan hanya dilakukan oleh satu pihak saja, yaitu
aparat.
Penggelapan adalah salah satu bentuk korupsi dan
penyalahgunaan kekuasaan yang menjadi modus korupsi di negara paling korup,
melibatkan pemegang kekuasaan hak monopoli. Kasus penggelapan paling banyak
ditemukan adalah dalam bentuk memproteksi kepentingan bisnis mereka dengan
menggunakan kekuatan politik.
Di beberapa negara lain modus yang terjadi seperti upaya
menasionalisasi perusahaan asing, hak properti dan hak monopoli, serta
mendistribusikannya ke kelompok/golongan yang dekat dengan kekuasaan. Namun
demikian, pada kenyataannya keberadaan instrumen hukum ini tidak lantas
mempermudah penegakan hukum. Persoalan mandeknya pemberantasan korupsi di
Indonesia ternyata bersifat lebih kompleks, yaitu tidak hanya menyangkut konten
kebijakan dan penataan peraturan perundangan yang mengatur mengenai
pemberantasan korupsi itu sendiri, namun juga faktor-faktor lain yang
berpengaruh langsung pada rantai perumusan kebijakan itu sendiri. Itikad
politik yang kuat perlu menjadi landasan agar kebijakan pemberantasan korupsi
mendapat legitimasi yang cukup dan efektif, namun sayangnya political will masih
lemah. Hal ini diindikasikan ketika penegakan hukum atas tindak pidana korupsi
yang melibakan kelompok elit dan nama besar akan sangat sulit dilakukan.
Pemberantasan korupsi merupakan salah satu agenda penting
dari pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN.
Bahkan pemberantasan korupsi juga merupakan agenda di tingkat regional dan
internasional. Ini dibuktkan dengan banyaknya lembaga-lembaga internasional
yang turut menegaskan komitmennya untuk bersama-sama memerangi
korupsi. Salah satu penghambat kesejahteraan negara berkembang pun disinyalir
akibat dari praktek korupsi yang eksesif, baik yang melibatkan aparat di sektor
publik, maupun yang melibatkan masyarakat yang lebih luas.
Indikasi tetap maraknya praktek korupsi di negara ini dapat
terlihat dari tidak kunjung membaiknya angka persepsi korupsi. Beberapa survei
yang dilakukan oleh lembaga independen internasional lainnya juga membuktikan
fakta yang sama, walaupun dengan bahasa, instrumen atau pendekatan yang
berbeda. Situasi ini jelas memprihatinkan banyak pihak. Upaya pemberantasan
korupsi melibatkan semua pihak, semua sektor dan seluruh komponen perumus
kebijakan baik itu pemerintah dan penyelenggara negara lainnya, tidak
terkecuali anggota masyarakat secara umum. Hal ini karena praktek korupsi bukan
merupakan monopoli perilaku dari pegawai atau pejabat pemerintah saja, tetapi
merupakan justru perilaku kolektif yang melibatkan hampir semua unsur dalam
masyarakat. Sederhananya, supply tidak akan terjadi kalau tidak ada demand.
Praktek korupsi hanya mungkin terjadi apabila sistem formal memberi
celah/peluang ke arah sana, selain didukung oleh perilaku stakehorlder dan
shareholder yang komplementer. Pendekatan carrot and stick adalah salah satu
pendekatan yang memandang penanganan korupsi secara hitam putih. Walaupun
sangat kaku dalam implementasi, namun seringkali efektif untuk menciptakan
iklim kondusif dalam penegakkan disiplin aparatur. Dengan pendekatan
kesejahteraan sebagaimana yang diterapkan di Singapura, maka aparatur tidak
diberi peluang untuk mencari pembenaran atas tindak pidana korupsi yang
dilakukannya. Pendapatan bersih (net take home pay) yang layak diharapkan mampu
memberikan garansi perilaku yang positif para aparatur dan menghindari segala
bentuk penyimpangan. Pendekatan stick diharapkan akan menimbulkan efek jera
yang hebat pada para pelaku korupsi. Singapura dan China telah menunjukkan praktek
ini dengan tingkat keberhasilan yang diakui. Kebijakan terkait lain yang
menjadi alternatif di luar kebijakan sektor adalah menyangkut reformasi
birokrasi. Reformasi birokrasi ini tidak bisa hanya sebatas jargon seperti yang
selama ini banyak terjadi. Reformasi lebih banyak menjadi wacana di forum-forum
terbatas (elitis dan eksklusif) yang tidak berdampak langsung kepada perubahan
konkrit. Reformasi birokrasi harus menjadi pengungkit (leverage) dalam strategi
pemberantasan korupsi, karena merupakan fondasi penting dalam penyelenggaran
negara yang bersih dan bebas KKN.
Persoalan dalam pengejawantahan reformasi ini adalah dalam
penerjemahannya ke dalam kebijakan. Banyaknya sektor yang menjadi objek
reformasi menyebabkan pendekatan yang dilakukan tidak terintegrasi secara baik.
Parsialitas menjadi karakter dalam penyelenggaraan reformasi birokrasi ini.
Perlu adanya upaya menyangkut optimasi kementerian dan LPND, melalui kebijakan
kelembagaan, sumber daya aparatur, dan kapasitas kelembagaan yang tidak tumpang
tindih. Terkait dengan reformasi birokrasi dan prinsip carrot and stickdi atas,
maka struktur penggajian memerlukan pembenahan serius. Struktur
yang bersandar pada merit system boleh jadi mampu memberikan jaminan
kesejahteraanyang adil dan proporsional.
Ketiga alternatif kebijakan di atas memerlukan effortdan
dana yang luar biasa besar. Salah satu alternatif lainyang ditawarkan oleh Kwik
Kian Gie adalah dengan cara bertahap. Kesejahteraan yang layak tetap diberikan
pada level elit di instansi pemerintah, sehingga asumsinya tidak akan terjadi
korupsi di level atas. Sementara aparat pada level bawah, ”dibiarkan” untuk
melakukan korupsi pada level kecil, yang secara nominal tidak terlalu
signifikan. Namun secara bertahap, setelah kemampuan keuangan memungkinkan,
maka kesejahteraan aparat di tingkat bawah juga harus ditingkatkan. Untuk
mengawal pendekatan ini, maka reward and punishment harus tetap ditegakkan.
D.
Kesimpulan
Kasus korupsi yang
menjadi sorotan adalah korupsi yang terjadi di tubuh birokrasi. Korupsi di
tubuh birokrasi mempunyai dampak yang luas dan destruktif terhadap pembangunan
ekonomi serta masyarakat secara umum. Korupsi dalam birokrasi pada umumnya
berskala luas dengan jumlah (nominal) yang besar dan melibatkan pejabat negara,
elit politik maupun pegawai negeri. Sedangkan, kasus-kasus korupsi pada sektor
bisnis, pada umumnya berskala kecil dan hanya berdampak pada perusahaannya
sendiri. Untuk kategori manipulasi uang negara, sektor yang paling korup ialah
pengadaan barang dan jasa mencakup konstruksi, pekerjaan umum, perlengkapan
militer, dan barang jasa pemerintah. Untuk kasus suap dan pemerasan, korupsi
terbesar terjadi di kepolisian, sektor peradilan, pajak dan bea cukai, serta
sektor perijinan. Korupsi juga terjadi di kalangan politisi (anggota DPR dan
partai politik), serta pada praktek kolusi dalam bisnis. Untuk kasus kolusi
bisnis, korupsi terbesar terjadi di tubuh militer, kepolisian, dan pegawai
pemerintah lewat koperasi dan yayasan. Dari segi aktornya, pelaku korupsi
terbagi menjadi aparat pemerintah, pelaku sektor bisnis, dan warga masyarakat.
Secara tradisional, pelaku korupsi biasanya hanya menyangkut pemerintah atau
aparat birokrasi dengan warga. Namun demikian, kecenderungan saat ini
menunjukkan adanya peningkatan kontribusi atas tingkatan korupsi dari pelaku di
sektor bisnis. Strategi pemberantasan didahului oleh adanya itikad kolektif,
yaitu semacam willingness dari semua pihak untuk bersama-sama tidak memberikan
toleransi sedikitpun terhadap perilaku korupsi. Selama ini praktek korupsi
dianggap sesuatu yang wajar terjadi. Padahal perilaku korupsi harus dicitrakan
dan diperlakukan sebagai perilaku kriminal, sama halnya dengan tindak kriminal
lainnya yang memerlukan penanganan secara hukum. Dalam mewujudkan sebuah
strategi yang efektif, dibutuhkan pemenuhan prasyarat, yaitu: (1) Didorong oleh
keinginan politik serta komitmen yg kuat dan muncul dari kesadaran sendiri; (2)
Menyeluruh dan seimbang; (3) Sesuai dengan kebutuhan, ada target, dan
berkesinambungan; (4) Berdasarkan pada sumber daya dan kapasitas
yang tersedia; (5) Terukur; dan (6) Transparan dan bebas dari konflik
kepentingan.
Berkenaan dengan
political will serta komitmen yang harus dibangun, maka perlu menegaskan
kembali political will pemerintah, diantaranya melalui: (1) Penyempurnaan UU
Anti Korupsi yang lebih komprehensif; (2) Kontrak politik yang dibuat pejabat
publik; (3) Pembuatan aturan dan kode etik PNS; (4) Pembuatan pakta integritas;
dan (5) Penyederhanaan birokrasi. Penyempurnaan UU Anti Korupsi ini selain untuk
menjawab dinamika dan perkembangan kualitas kasus korupsi,juga untuk
menyesuaikan dengan instrumen hukum internasional. Saat ini isu korupsi tidak
lagi dibatasi sekat-sekat negara, namun telah berkembang menjadi isu regional
bahkan internasional. Hal ini tidak lepas dari praktek korupsi yang melibatkan perputaran
dan pemindahan uang lintas negara.
E.
Rekomendasi
Strategi
pemberantasan korupsi harus bersifat menyeluruh dan seimbang.
Ini berarti bahwa
strategi pemberantasan yang parsial dan tidak komprehensif tidak dapat
menyelesaikan masalah secara tuntas. Strategi pemberantasan korupsi harus
dilakukan secara adil, dan tidak ada istilah “tebang pilih” dalam memberantas
korupsi. Selain itu, upaya pencegahan (ex ante) harus lebih digalakkan, antara
lain melalui: (1) Menumbuhkan kesadaran masyarakat (public awareness) mengenai
dampak destruktif dari korupsi, khususnya bagi PNS; (2) Pendidikan anti
korupsi; (3) Sosialisasi tindak pidana korupsi melalui media cetak &
elektronik; (4) Perbaikan remunerasi PNS. Adapun upaya penindakan (ex post
facto) harus memberikan efek jera, baik secara hukum, maupu sosial. Selama ini
pelaku korupsi, walaupun dapat dijerat dengan hukum dan dipidana penjara
ataupun denda, namun tidak pernah mendapatkan sanksi sosial. Efek jera seperti:
(1) Hukuman yang berat ditambah dengan denda yang jumlahnya signifikan; (2)
Pengembalian hasil korupsi kepada negara; dan (3) Tidak menutup kemungkinan,
penyidikan dilakukan kepada keluarga atau kerabat pelaku korupsi. Strategi
pemberantasan korupsi harus sesuai kebutuhan, target, dan berkesinambungan.
Strategi yang berlebihan akan menghadirkan inefisiensi sistem dan pemborosan
sumber daya. Dengan penetapan target, maka strategi pemberantasan korupsi akan
lebih terarah, dan dapat dijaga kesinambungannya. Dalam hal ini perlu adanya
komisi anti korupsi di daerah (misalnya KPK berdasarkan wilayah) yang
independen dan permanen (bukan ad hoc). Selain itu strategi pemberansasan korupsi
haruslah berdasarkan sumber
daya dan kapasitas. Dengan mengabaikan
sumber daya dan kapasitas yang tersedia, maka strategi ini akan sulit untuk
diimplementasikan, karena daya dukung yang tidak seimbang. Dalam hal ini
kualitas SDM dan kapasitasnya harus dapat ditingkatkan, terutama di bidang
penegakan hukum dalam hal penanganan korupsi. Peningkatan kapasitas ini juga
dilakukan melalui jalan membuka kerjasama internasional.
Keterukuran strategi merupakan hal yang
tidak bisa dikesampingkan. Salah satu caranya yaitu membuat mekanisme pengawasan
dan evaluasi atas setiap tahapan pemberantasan korupsi dalam periode waktu
tertentu secara berkala. Selain itu
juga, dalam rangka penyusunan strategi yang terukur, perlu untuk melakukan
survei mengenai kepuasan masyarakat atas usaha pemberantasan korupsi yang telah
dilakukan pemerintahan. Sebuah strategi pemberantasan memerlukan prinsip
transparan dan bebas
konflik kepentingan. Transparansi membuka
akses publik terhadap sistemyang berlaku, sehingga terjadi mekanisme
penyeimbang. Warga masyarakat mempunyai hak dasar untuk turut serta menjadi
bagian dari strategi pemberantasan korupsi. Saat ini optimalisasi penggunaan
teknologi informasi di sektor pemerintah dapat membantu untuk memfasilitasinya.
Strategi pemberantasan juga harus bebas kepentingan golongan maupun individu, sehingga
pada prosesnya tidak ada keberpihakan yang tidak seimbang. Semua strategi
berjalan sesuai dengan aturanyang berlaku dan objektif. Instrumen strategi
pemberantasan lain yang menjadi bagian dari elemen masyarakat adalah pers.
Transparansi dapat difasilitasi dengan baik dengan adanya dukungan media massa
yang memainkan peranannya secara kuat. Dengan adanya kebebasan pers, maka
kontrol masyarakat dapat semakin ditingkatkan lagi.
Yogi Suwarno, SIP, MA.
adalah Dosen Tetap STIA LAN Jakarta,
Peneliti pada Pusat
Kajian Administrasi Internasional LAN
RI.
Email: yogi@pkai.org
Daftar Pustaka
ADB/OECD. “Anti-Corruption Initiative
for Asia and the Pacific.”
Self
Assessment Report Singapore
.
Amundsen, Inge. 2000.
Corruption: Definitions and Concepts
. Chr. Michelsen
Institute Development Studies and Human
Rights.
CBI Academy. 2007.
Anti-Corruption Laws in India
. Ghaziabad: Law Publications.
Drielsma, Hankes. 2004. “Successful
Anti
-Corruption Strategies Around the
Globe.”
A Report for Lok Satta
, Makalah Online.
Ferdinandus, Lefianna Hartati. 2006.
Korupsi dan Permasalahannya: Singapura
Sebagai Studi Kasus
. Singapura: KBRI.
GTZ. 2005. “Preventing Corru
ption in Public Administration at the
National
and Local Level: A Practical Guide.”
Eschborn: GTZ.
ICAC. 2004.
Ethical Leadership in Action: Handbook
for Senior Managers in the Civil
Service
. Hong Kong.
ICAC. 2004.
Sample Guide on Conduct and Discipline
. Hongkong.
ICAC. 2005.
2005 Annual Report
. Hong Kong.
Identification of Gap between Laws/
Regulations of the Republic of
Indonesia and the United Nations Convention
Against Corruption
. Jakarta: KPK.
Langseth, Petter. 1999. “Prevention: An
Effective Tool to Reduce Corruption.”
Paper disajikan pada konferensi ISPAC
tentang Responding to the
Challenge of Corruption. Milan.
Political & Economic Risk
Consultanc
y-PERC. 2006. “Corruption in Asia.”
Asian
Intelligence
. Hong Kong.
Sondhi, Sunil. 2000. “Combating Corrup
tion in India.” Paper for the XVIII
World Congress of International
Politica
l Science Association. Quebec City,
Canada.
Tanzi, Vito. 1998. “Corruption Around
the World: Causes, Consequences,
Scope, and Cures.”
IMF Staff Papers
, Vol. 45, No. 4.
TI India. 2007. “Corruption in Trucki
ng Operations in India.” New Delhi:
Shriram Group, MDRA & TI India.