Selasa, 04 Agustus 2015

Sabtu, 02 Mei 2015

Jesus is our saviour: Kesaksian 11: Bertemu Tuhan Yesus

Jesus is our saviour: Kesaksian 11: Bertemu Tuhan Yesus: "Sebab sama seperti Bapa membangkitkan orang-orang mati dan menghidupkannya, demikian juga Anak menghidupkan barangsiapa yang dikehen...

Rabu, 15 April 2015

Actus Reus (Kejahatan yang dilakukan) end Mens Rea (sikap bathin pelaku saat melakukan)


         Bahwa suatu perbuatan dianggap telah melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana, harus dipenuhi dua unsur, yaitu adanya unsur actus reus (physical element) dan unsur mens rea (mental element). Unsur actus reus adalah esensi dari kejahatan itu sendiri atau perbuatan yang dilakukan, sedangkan unsur mens rea adalah sikap batin pelaku pada saat melakukan perbuatan (Zainal Abidin Farid, 1995:35).
Dalam ilmu hukum pidana, perbuatan lahiriah itu dikenal sebagai actus reus, sedangkan kondisi jiwa atau sikap kalbu dari pelaku perbuatan itu disebut mens rea. Jadi actus reus adalah merupakan elemen luar (external element), sedangkan mens rea adalah unsur kesalahan (fault element) atau unsur mental (mental element).
Seseorang dapat dipidana tidak cukup hanya karena orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Sehingga, meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam peraturan perundang-undangan dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision) namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana (Prof. Sudarto,S.H.). Hal ini karena harus dilihat sikap batin (niat atau maksud tujuan) pelaku perbuatan pada saat melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum tersebut.
Di beberapa negara, perbuatan dan sikap batin seseorang dipersatukan dan menjadi syarat adanya suatu perbuatan pidana. Zainal Abidin Farid berpendapat bahwa unsur actus reus yaitu perbuatan harus didahulukan. Setelah diketahui adanya perbuatan pidana sesuai rumusan undang-undang selanjutnya barulah diselidiki tentang sikap batin pelaku atau unsur mens rea. Dengan demikian maka unsur perbuatan pidana harus didahulukan, selanjutnya apabila terbukti barulah mempertimbangkan tentang kesalahan terdakwa yang merupakan unsur pertanggungjawaban pidana.
Mens Rea adalah sikap batin pelaku perbuatan pidana. Berbeda dengan actus reus yang menyangkut perbuatan yang melawan hukum (unlawful act), mens rea mencakup unsur-unsur pembuat tindak pidana yaitu sikap batin yang disebut unsur subyektif suatu tindak pidana atau keadaan psikis pembuat (Utrecht, 1960: 257 ).
Delik disebut sebagai unsur subyektif apabila unsur-unsurnya terbukti maka berarti terbuktinya pertanggung-jawaban pembuat delik. Unsur-unsurnya adalah kemampuan bertanggungjawab, kesalahan dalam arti luas (dolus dan culpa lata), tidak adanya alasan pemaaf (veronstschuldingsgrond) yang semuanya melahirkan schuld-haftigkeit uber den tater yaitu hal dapat dipidananya pembuat delik.
Perbedaan antara unsur-unsur perbuatan melawan hukum atau perbuatan kriminal dan pertanggungjawaban pembuat delik tidak berarti bahwa keduanya tidak saling berhubungan. Hal ini harus diingat bahwa onrechtmatigheid atau hal melanggar hukum itu sebagai ketentuan timbul dari norma yang atas pelanggarannya dinyatakan sebagai dapat dihukum. Di dalam rumusan dari sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, maka unsur kesengajaan dapat dianggap sebagai termasuk di dalamnya karena menurut ketentuan hal tersebut memang disyaratkan.
Perbuatan melawan hukum dianggap sebagai unsur dari setiap tindak pidana, hal ini berdasarkan pendapat doktrin Satochid Kartanegara (415) yang membedakan dalam dua bentuk yaitu:
1.     Wederrechtelijk formil yaitu apabila sesuatu perbuatan dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
2.     Wederrechtelijk materiil yaitu sesuatu perbuatan mungkin wederrechtelijk walaupun tidak dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
Dengan demikian wederrechtelijk formil bersandar pada undang-undang, sedangkan wederrechtelijk materiil tidak bersandarkan pada undang-undang, melainkan pada asas-asas umum yang terdapat di dalam lapangan hukum, atau apa yang dinamakan algemene beginselen.
Kesalahan dalam bahasa Belanda disebut “Schuld” yang dalam pengertian hukum pidana berbentuk kesengajaan (dolus) (opzet) dan kealpaan (culpa). Sedangkan beberapa ahli hukum memberikan arti sebagai berikut ; Simons menyatakan bahwa sebagai dasar pertanggung jawaban pidana adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungannya dengan kelakuannya yang dapat dipidana dan berdasarkan kejiwaannya karena kelakuannya.
Dengan demikian untuk adanya kesalahan pada pelaku harus dicapai dan ditentukan terlebih dahulu beberapa hal yang menyangkut pelaku, yaitu;
a.      Kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid)
b.     Hubungan kejiwaan (psychologische betrekking) antara pelaku dan akibat yang ditimbulkan
c.      Dolus atau Culpa
Sedangkan Utrecht menyatakan bahwa pertanggung jawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana (schuld in ruimte zin) terdiri atas tiga anasir yaitu:
a.      Kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid) dari pembuat
b.     Suatu sikap psikhis pembuat berhubung dengan kelakuannya, yaitu Kelakuan disengaja (anasir sengaja), dan Kelakuan kurang berhati-hati atau lalai (anasir kealpaan) atau culpa (schuld in enge zin).
c.      Tidak ada alasan-alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana pembuat (anasir toerekeningsvatbaarheid).

Senin, 13 April 2015

Bagaimana Formulasi Putusan Majelis Hakim dalam Perkara Perdata? Jelaskan!.



Bagaimana Formulasi Putusan Majelis Hakim dalam  Perkara Perdata? Jelaskan!.
Jawab :
Formulasi putusan adalah susunan atau sitematika yang harus di rumuskan dlam putusan agar memenuhi  syarat perundang –undangan .secara  garis besar  formulasi putusan di atur dalam Pasal 184 ayat (1) HIR atau Pasal 195 RGB. Apabila putusan yang dijatuhkan  tidak mengikuti susunan  perumusan yang di gariskan di pasal di atas ,putusan tidak sah dna harus dibatalkan. Lihat putusan MA No 312 K/Ship /1974. Kasusnya, Putusan PN  tidak mencantumkan  rumusan   posita gugat, padahal atau duduknya perkara, dan juga tidak mencantumkan dalam putusan jawaban tergugat  padahal jawaban dibarengi dengan  gugat rekonvensi.
a.      Mencantumkan Jawaban Tergugat
Keharusan mencantumkan jawaban tergugat  menurut Pasal 184 ayat (1) HIR, cukup  dengan ringkas  tidak mesti keseluruhan cukup diambil yang pokok dan relevan dengan syarat, tidak boleh menghilangkan  makna hakiki  jawaban tersebut hakim dapat menanyakan tergugat  tentang hal-hal yang kurang  jelas dalam meragukan dalam jawaban
Pengertian jawaban dalam arti luas, meliputi replik dan duplik serta konlklusi  oleh karena itu ,sesuai dengan tata tertib beracara, yang harus dirumuskan dalam putusaN meliputi replik dan duplik maupun konklusi.
b.     Uraian Singkat Ringkasn  dan Lingkungan  Pembuktian
Uraian  selannjutnya ,deskripsi fakta dan alat bukti atau  pembuktian  yang ringkas dan lengkap .dimulai dengan alat bukti atau  pembuktian yang ringkas dan lengkap yang di ajukan penggugat dan dilanjutkan dengan pembuktian  tergugat :
-        Alat bukti  apa saja yang diajukan masing –masing pihak ,
-        Terpenuhi atau tidak  syarat formil  dan  matriil masing- masing bukti yang diajukan.
c.      Pertimbangan Hukum
Dapat dikatakan pertimbangan hukum merupakan jiwa dan intisari putusan, pertimbangan   berisi analisis, argumentasi, pendapat dan kesimpulan hukum dari   hakim yang memeriksa  perkara .Dalam pertimbangan dikemukakan analisis yang jelas berdasarkan  undang-undang pembuktian :
-      Apakah alat bukti yang di ajukan penggugat  dan tergugat  memenuhi kebutuhan formil dan materiil.
-      Alat bukti pihak mana yang mencapai  batas minimal pembuktian
-      Dalil gugatan  apa saja dan dalil bantahan apa saja yang terbukti ,
-      Sejauh mana nilai kekuatan pembuktian yang dimiliki  para pihak .                                                                                                        
d.     Ketentuan perudang –undang
Biasanya sudah baku menempatkan pokok masalah ini dalam putusan pada bagian memerintahkan .Dengan demikian penempatan dalam putusan setelah uraian  pertimbangan .
Putusan mencantumkannya, di anggap bukan merupakan dalam pencatatan serius oleh karena itu selalu di tolelir kalau cacat demikian berakibat membtalkan putusan pihak yang berperkara dan mengingkari asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. cara ini tidak efektif dan efisien kerna akan memperlambatproa ini tidak efektif dan efisien kerna akan memperlambat  proses  penyelesaian .

Bersambung .......
Untuk mengusir rasa kejenuhan sebagai Kasi Datun di Kejari Pematang Siantar
Aku mulai membaca buku-buku Hukum Acara Pidana, sulit sekali untuk mengingatnya, terpaksa point-point penting saya ketik sebagai cara untuk mengingatnya.....