Selasa, 29 September 2015
Selasa, 04 Agustus 2015
Referensi Hukum: Actus Reus (Kejahatan yang dilakukan) end Mens R...
Referensi Hukum: Actus Reus (Kejahatan yang dilakukan) end Mens R...: Bahwa suatu perbuatan dianggap telah melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana, harus dipenuhi dua uns...
Sabtu, 02 Mei 2015
Jesus is our saviour: Kesaksian 11: Bertemu Tuhan Yesus
Jesus is our saviour: Kesaksian 11: Bertemu Tuhan Yesus: "Sebab sama seperti Bapa membangkitkan orang-orang mati dan menghidupkannya, demikian juga Anak menghidupkan barangsiapa yang dikehen...
Rabu, 15 April 2015
Actus Reus (Kejahatan yang dilakukan) end Mens Rea (sikap bathin pelaku saat melakukan)
Bahwa suatu perbuatan dianggap telah melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana, harus dipenuhi dua unsur, yaitu adanya unsur actus reus (physical element) dan unsur mens rea (mental element). Unsur actus reus adalah esensi dari kejahatan itu sendiri atau perbuatan yang dilakukan, sedangkan unsur mens rea adalah sikap batin pelaku pada saat melakukan perbuatan (Zainal Abidin Farid, 1995:35).
Dalam
ilmu hukum pidana, perbuatan lahiriah itu dikenal sebagai actus reus,
sedangkan kondisi jiwa atau sikap kalbu dari pelaku perbuatan itu disebut mens
rea. Jadi actus reus adalah merupakan elemen luar (external
element), sedangkan mens rea adalah unsur kesalahan (fault element) atau
unsur mental (mental element).
Seseorang
dapat dipidana tidak cukup hanya karena orang itu telah melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Sehingga, meskipun
perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam peraturan perundang-undangan dan
tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision) namun hal
tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana (Prof. Sudarto,S.H.).
Hal ini karena harus dilihat sikap batin (niat atau maksud tujuan) pelaku
perbuatan pada saat melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau
bersifat melawan hukum tersebut.
Di
beberapa negara, perbuatan dan sikap batin seseorang dipersatukan dan menjadi
syarat adanya suatu perbuatan pidana. Zainal Abidin Farid berpendapat bahwa
unsur actus reus yaitu perbuatan harus didahulukan. Setelah diketahui
adanya perbuatan pidana sesuai rumusan undang-undang selanjutnya barulah
diselidiki tentang sikap batin pelaku atau unsur mens rea. Dengan
demikian maka unsur perbuatan pidana harus didahulukan, selanjutnya apabila
terbukti barulah mempertimbangkan tentang kesalahan terdakwa yang merupakan
unsur pertanggungjawaban pidana.
Mens Rea adalah sikap batin pelaku perbuatan
pidana. Berbeda dengan actus reus yang menyangkut perbuatan yang melawan
hukum (unlawful act), mens rea mencakup unsur-unsur pembuat tindak
pidana yaitu sikap batin yang disebut unsur subyektif suatu tindak pidana atau
keadaan psikis pembuat (Utrecht, 1960: 257 ).
Delik
disebut sebagai unsur subyektif apabila unsur-unsurnya terbukti maka berarti
terbuktinya pertanggung-jawaban pembuat delik. Unsur-unsurnya adalah kemampuan
bertanggungjawab, kesalahan dalam arti luas (dolus dan culpa lata), tidak
adanya alasan pemaaf (veronstschuldingsgrond) yang semuanya melahirkan schuld-haftigkeit
uber den tater yaitu hal dapat dipidananya pembuat delik.
Perbedaan
antara unsur-unsur perbuatan melawan hukum atau perbuatan kriminal dan
pertanggungjawaban pembuat delik tidak berarti bahwa keduanya tidak saling
berhubungan. Hal ini harus diingat bahwa onrechtmatigheid atau hal melanggar
hukum itu sebagai ketentuan timbul dari norma yang atas pelanggarannya
dinyatakan sebagai dapat dihukum. Di dalam rumusan dari sesuatu perbuatan yang
dapat dihukum, maka unsur kesengajaan dapat dianggap sebagai termasuk di
dalamnya karena menurut ketentuan hal tersebut memang disyaratkan.
Perbuatan
melawan hukum dianggap sebagai unsur dari setiap tindak pidana, hal ini
berdasarkan pendapat doktrin Satochid Kartanegara (415) yang membedakan dalam
dua bentuk yaitu:
1.
Wederrechtelijk formil yaitu apabila sesuatu perbuatan
dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
2.
Wederrechtelijk materiil yaitu sesuatu perbuatan mungkin
wederrechtelijk walaupun tidak dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman
oleh undang-undang.
Dengan demikian
wederrechtelijk formil bersandar pada undang-undang, sedangkan wederrechtelijk
materiil tidak bersandarkan pada undang-undang, melainkan pada asas-asas
umum yang terdapat di dalam lapangan hukum, atau apa yang dinamakan algemene
beginselen.
Kesalahan
dalam bahasa Belanda disebut “Schuld” yang dalam pengertian hukum pidana
berbentuk kesengajaan (dolus) (opzet) dan kealpaan (culpa). Sedangkan beberapa
ahli hukum memberikan arti sebagai berikut ; Simons menyatakan bahwa sebagai
dasar pertanggung jawaban pidana adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa
pelaku dalam hubungannya dengan kelakuannya yang dapat dipidana dan berdasarkan
kejiwaannya karena kelakuannya.
Dengan demikian untuk
adanya kesalahan pada pelaku harus dicapai dan ditentukan terlebih dahulu
beberapa hal yang menyangkut pelaku, yaitu;
a. Kemampuan
bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid)
b. Hubungan
kejiwaan (psychologische betrekking) antara pelaku dan akibat yang ditimbulkan
c. Dolus atau
Culpa
Sedangkan Utrecht menyatakan bahwa pertanggung
jawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana (schuld in ruimte zin)
terdiri atas tiga anasir yaitu:
a.
Kemampuan
bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid) dari pembuat
b.
Suatu sikap
psikhis pembuat berhubung dengan kelakuannya, yaitu Kelakuan disengaja (anasir
sengaja), dan Kelakuan kurang berhati-hati atau lalai (anasir kealpaan) atau
culpa (schuld in enge zin).
c.
Tidak ada
alasan-alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana pembuat (anasir
toerekeningsvatbaarheid).
Senin, 13 April 2015
Bagaimana Formulasi Putusan Majelis Hakim dalam Perkara Perdata? Jelaskan!.
Bagaimana Formulasi Putusan Majelis Hakim dalam Perkara Perdata? Jelaskan!.
Jawab :
Formulasi
putusan adalah susunan atau sitematika yang harus di rumuskan dlam putusan agar
memenuhi syarat perundang –undangan
.secara garis besar formulasi putusan di atur dalam Pasal 184
ayat (1) HIR atau Pasal 195 RGB. Apabila putusan yang dijatuhkan tidak mengikuti susunan perumusan yang di gariskan di pasal di atas
,putusan tidak sah dna harus dibatalkan. Lihat putusan MA No 312 K/Ship /1974.
Kasusnya, Putusan PN tidak mencantumkan rumusan
posita gugat, padahal atau duduknya perkara, dan juga tidak mencantumkan
dalam putusan jawaban tergugat padahal
jawaban dibarengi dengan gugat
rekonvensi.
a.
Mencantumkan
Jawaban Tergugat
Keharusan mencantumkan jawaban tergugat
menurut Pasal 184 ayat (1) HIR, cukup dengan ringkas tidak mesti keseluruhan cukup diambil yang pokok
dan relevan dengan syarat, tidak boleh menghilangkan makna hakiki
jawaban tersebut hakim dapat menanyakan tergugat tentang hal-hal yang kurang jelas dalam meragukan dalam jawaban
Pengertian jawaban dalam arti luas,
meliputi replik dan duplik serta konlklusi
oleh karena itu ,sesuai dengan tata tertib beracara, yang harus
dirumuskan dalam putusaN meliputi replik dan duplik maupun konklusi.
b.
Uraian
Singkat Ringkasn dan Lingkungan Pembuktian
Uraian selannjutnya ,deskripsi fakta dan alat bukti
atau pembuktian yang ringkas dan lengkap .dimulai dengan alat
bukti atau pembuktian yang ringkas dan
lengkap yang di ajukan penggugat dan dilanjutkan dengan pembuktian tergugat :
-
Alat
bukti apa saja yang diajukan masing
–masing pihak ,
-
Terpenuhi
atau tidak syarat formil dan
matriil masing- masing bukti yang diajukan.
c.
Pertimbangan
Hukum
Dapat dikatakan pertimbangan hukum
merupakan jiwa dan intisari putusan, pertimbangan berisi analisis, argumentasi, pendapat dan kesimpulan
hukum dari hakim yang memeriksa perkara .Dalam pertimbangan dikemukakan
analisis yang jelas berdasarkan
undang-undang pembuktian :
-
Apakah
alat bukti yang di ajukan penggugat dan
tergugat memenuhi kebutuhan formil dan
materiil.
-
Alat
bukti pihak mana yang mencapai batas
minimal pembuktian
-
Dalil
gugatan apa saja dan dalil bantahan apa
saja yang terbukti ,
-
Sejauh
mana nilai kekuatan pembuktian yang dimiliki
para pihak .
d.
Ketentuan
perudang –undang
Biasanya sudah baku menempatkan
pokok masalah ini dalam putusan pada bagian memerintahkan .Dengan demikian
penempatan dalam putusan setelah uraian
pertimbangan .
Putusan mencantumkannya, di anggap
bukan merupakan dalam pencatatan serius oleh karena itu selalu di tolelir kalau
cacat demikian berakibat membtalkan putusan pihak yang berperkara dan mengingkari
asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. cara ini tidak efektif dan
efisien kerna akan memperlambatproa ini tidak efektif dan efisien kerna akan
memperlambat proses penyelesaian .
Bersambung
.......
Untuk
mengusir rasa kejenuhan sebagai Kasi Datun di Kejari Pematang Siantar
Aku
mulai membaca buku-buku Hukum Acara Pidana, sulit sekali untuk mengingatnya,
terpaksa point-point penting saya ketik sebagai cara untuk mengingatnya.....
Langganan:
Postingan (Atom)