Sabtu, 02 Mei 2015
Jesus is our saviour: Kesaksian 11: Bertemu Tuhan Yesus
Jesus is our saviour: Kesaksian 11: Bertemu Tuhan Yesus: "Sebab sama seperti Bapa membangkitkan orang-orang mati dan menghidupkannya, demikian juga Anak menghidupkan barangsiapa yang dikehen...
Rabu, 15 April 2015
Actus Reus (Kejahatan yang dilakukan) end Mens Rea (sikap bathin pelaku saat melakukan)
Bahwa suatu perbuatan dianggap telah melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana, harus dipenuhi dua unsur, yaitu adanya unsur actus reus (physical element) dan unsur mens rea (mental element). Unsur actus reus adalah esensi dari kejahatan itu sendiri atau perbuatan yang dilakukan, sedangkan unsur mens rea adalah sikap batin pelaku pada saat melakukan perbuatan (Zainal Abidin Farid, 1995:35).
Dalam
ilmu hukum pidana, perbuatan lahiriah itu dikenal sebagai actus reus,
sedangkan kondisi jiwa atau sikap kalbu dari pelaku perbuatan itu disebut mens
rea. Jadi actus reus adalah merupakan elemen luar (external
element), sedangkan mens rea adalah unsur kesalahan (fault element) atau
unsur mental (mental element).
Seseorang
dapat dipidana tidak cukup hanya karena orang itu telah melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Sehingga, meskipun
perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam peraturan perundang-undangan dan
tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision) namun hal
tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana (Prof. Sudarto,S.H.).
Hal ini karena harus dilihat sikap batin (niat atau maksud tujuan) pelaku
perbuatan pada saat melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau
bersifat melawan hukum tersebut.
Di
beberapa negara, perbuatan dan sikap batin seseorang dipersatukan dan menjadi
syarat adanya suatu perbuatan pidana. Zainal Abidin Farid berpendapat bahwa
unsur actus reus yaitu perbuatan harus didahulukan. Setelah diketahui
adanya perbuatan pidana sesuai rumusan undang-undang selanjutnya barulah
diselidiki tentang sikap batin pelaku atau unsur mens rea. Dengan
demikian maka unsur perbuatan pidana harus didahulukan, selanjutnya apabila
terbukti barulah mempertimbangkan tentang kesalahan terdakwa yang merupakan
unsur pertanggungjawaban pidana.
Mens Rea adalah sikap batin pelaku perbuatan
pidana. Berbeda dengan actus reus yang menyangkut perbuatan yang melawan
hukum (unlawful act), mens rea mencakup unsur-unsur pembuat tindak
pidana yaitu sikap batin yang disebut unsur subyektif suatu tindak pidana atau
keadaan psikis pembuat (Utrecht, 1960: 257 ).
Delik
disebut sebagai unsur subyektif apabila unsur-unsurnya terbukti maka berarti
terbuktinya pertanggung-jawaban pembuat delik. Unsur-unsurnya adalah kemampuan
bertanggungjawab, kesalahan dalam arti luas (dolus dan culpa lata), tidak
adanya alasan pemaaf (veronstschuldingsgrond) yang semuanya melahirkan schuld-haftigkeit
uber den tater yaitu hal dapat dipidananya pembuat delik.
Perbedaan
antara unsur-unsur perbuatan melawan hukum atau perbuatan kriminal dan
pertanggungjawaban pembuat delik tidak berarti bahwa keduanya tidak saling
berhubungan. Hal ini harus diingat bahwa onrechtmatigheid atau hal melanggar
hukum itu sebagai ketentuan timbul dari norma yang atas pelanggarannya
dinyatakan sebagai dapat dihukum. Di dalam rumusan dari sesuatu perbuatan yang
dapat dihukum, maka unsur kesengajaan dapat dianggap sebagai termasuk di
dalamnya karena menurut ketentuan hal tersebut memang disyaratkan.
Perbuatan
melawan hukum dianggap sebagai unsur dari setiap tindak pidana, hal ini
berdasarkan pendapat doktrin Satochid Kartanegara (415) yang membedakan dalam
dua bentuk yaitu:
1.
Wederrechtelijk formil yaitu apabila sesuatu perbuatan
dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
2.
Wederrechtelijk materiil yaitu sesuatu perbuatan mungkin
wederrechtelijk walaupun tidak dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman
oleh undang-undang.
Dengan demikian
wederrechtelijk formil bersandar pada undang-undang, sedangkan wederrechtelijk
materiil tidak bersandarkan pada undang-undang, melainkan pada asas-asas
umum yang terdapat di dalam lapangan hukum, atau apa yang dinamakan algemene
beginselen.
Kesalahan
dalam bahasa Belanda disebut “Schuld” yang dalam pengertian hukum pidana
berbentuk kesengajaan (dolus) (opzet) dan kealpaan (culpa). Sedangkan beberapa
ahli hukum memberikan arti sebagai berikut ; Simons menyatakan bahwa sebagai
dasar pertanggung jawaban pidana adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa
pelaku dalam hubungannya dengan kelakuannya yang dapat dipidana dan berdasarkan
kejiwaannya karena kelakuannya.
Dengan demikian untuk
adanya kesalahan pada pelaku harus dicapai dan ditentukan terlebih dahulu
beberapa hal yang menyangkut pelaku, yaitu;
a. Kemampuan
bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid)
b. Hubungan
kejiwaan (psychologische betrekking) antara pelaku dan akibat yang ditimbulkan
c. Dolus atau
Culpa
Sedangkan Utrecht menyatakan bahwa pertanggung
jawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana (schuld in ruimte zin)
terdiri atas tiga anasir yaitu:
a.
Kemampuan
bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid) dari pembuat
b.
Suatu sikap
psikhis pembuat berhubung dengan kelakuannya, yaitu Kelakuan disengaja (anasir
sengaja), dan Kelakuan kurang berhati-hati atau lalai (anasir kealpaan) atau
culpa (schuld in enge zin).
c.
Tidak ada
alasan-alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana pembuat (anasir
toerekeningsvatbaarheid).
Senin, 13 April 2015
Bagaimana Formulasi Putusan Majelis Hakim dalam Perkara Perdata? Jelaskan!.
Bagaimana Formulasi Putusan Majelis Hakim dalam Perkara Perdata? Jelaskan!.
Jawab :
Formulasi
putusan adalah susunan atau sitematika yang harus di rumuskan dlam putusan agar
memenuhi syarat perundang –undangan
.secara garis besar formulasi putusan di atur dalam Pasal 184
ayat (1) HIR atau Pasal 195 RGB. Apabila putusan yang dijatuhkan tidak mengikuti susunan perumusan yang di gariskan di pasal di atas
,putusan tidak sah dna harus dibatalkan. Lihat putusan MA No 312 K/Ship /1974.
Kasusnya, Putusan PN tidak mencantumkan rumusan
posita gugat, padahal atau duduknya perkara, dan juga tidak mencantumkan
dalam putusan jawaban tergugat padahal
jawaban dibarengi dengan gugat
rekonvensi.
a.
Mencantumkan
Jawaban Tergugat
Keharusan mencantumkan jawaban tergugat
menurut Pasal 184 ayat (1) HIR, cukup dengan ringkas tidak mesti keseluruhan cukup diambil yang pokok
dan relevan dengan syarat, tidak boleh menghilangkan makna hakiki
jawaban tersebut hakim dapat menanyakan tergugat tentang hal-hal yang kurang jelas dalam meragukan dalam jawaban
Pengertian jawaban dalam arti luas,
meliputi replik dan duplik serta konlklusi
oleh karena itu ,sesuai dengan tata tertib beracara, yang harus
dirumuskan dalam putusaN meliputi replik dan duplik maupun konklusi.
b.
Uraian
Singkat Ringkasn dan Lingkungan Pembuktian
Uraian selannjutnya ,deskripsi fakta dan alat bukti
atau pembuktian yang ringkas dan lengkap .dimulai dengan alat
bukti atau pembuktian yang ringkas dan
lengkap yang di ajukan penggugat dan dilanjutkan dengan pembuktian tergugat :
-
Alat
bukti apa saja yang diajukan masing
–masing pihak ,
-
Terpenuhi
atau tidak syarat formil dan
matriil masing- masing bukti yang diajukan.
c.
Pertimbangan
Hukum
Dapat dikatakan pertimbangan hukum
merupakan jiwa dan intisari putusan, pertimbangan berisi analisis, argumentasi, pendapat dan kesimpulan
hukum dari hakim yang memeriksa perkara .Dalam pertimbangan dikemukakan
analisis yang jelas berdasarkan
undang-undang pembuktian :
-
Apakah
alat bukti yang di ajukan penggugat dan
tergugat memenuhi kebutuhan formil dan
materiil.
-
Alat
bukti pihak mana yang mencapai batas
minimal pembuktian
-
Dalil
gugatan apa saja dan dalil bantahan apa
saja yang terbukti ,
-
Sejauh
mana nilai kekuatan pembuktian yang dimiliki
para pihak .
d.
Ketentuan
perudang –undang
Biasanya sudah baku menempatkan
pokok masalah ini dalam putusan pada bagian memerintahkan .Dengan demikian
penempatan dalam putusan setelah uraian
pertimbangan .
Putusan mencantumkannya, di anggap
bukan merupakan dalam pencatatan serius oleh karena itu selalu di tolelir kalau
cacat demikian berakibat membtalkan putusan pihak yang berperkara dan mengingkari
asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. cara ini tidak efektif dan
efisien kerna akan memperlambatproa ini tidak efektif dan efisien kerna akan
memperlambat proses penyelesaian .
Bersambung
.......
Untuk
mengusir rasa kejenuhan sebagai Kasi Datun di Kejari Pematang Siantar
Aku
mulai membaca buku-buku Hukum Acara Pidana, sulit sekali untuk mengingatnya,
terpaksa point-point penting saya ketik sebagai cara untuk mengingatnya.....
Jelaskan jenis putusan pengadilan yang dapat dijatuhkan hakim dalam acara hukum perdata. !
Jelaskan jenis putusan
pengadilan yang dapat dijatuhkan hakim dalam acara hukum perdata. !
Jawab :
Secara umum putusan pengadilan diatur dalam Pasal 185 HIR Pasal 196 RBG
dan Pasal 46-68 Rv Tampa mengurangi
ketentuan lain seperti Pasal 180 Pasal 191 RBG yang mengatur putusan provinsi
maka berdasarkan pasal–pasal yang disebut di atas, dapat dikemukakan berbagai
segi putusan pengadilan yang dapat dijatuhkan hakim.
1. Dari Aspek Kehadiran
Para pihak
Dalam gugatan yang berbentuk contentiosa terlibat dua pihak yang bersengketa yang terdiri dari pengugat
dan tergugat. Gugatan contentiosa disebut juga advesary
proceeding atau advensary system yakni proses penyelesaian sengketa yang
melibatkan pertentangan antara dua
partai pada prinsipnya, setiap penyelesaian
perkara antara partai-partai yang
bersengketa. Berarti pada prinsipnya setiap penyelesaian sengketa yang
bersifat partai di sidang
pengadilan, harus dihadiri para pihak, dan untuk itu para pihak harus dipanggil secara patut
oleh juru sita sesuai dengan tata cara yang di gariskan Pasal 390 ayat (1) HIR, Pasal 1-14 Rv, akan
tetapi terkadang meskipun para pihak
dipanggil tampa pengingkaran
menghadiri pemeriksaan
persidangan.
a.
Putusan Gugatan Gugur
Bentuk putusan ini di atur dalam
Pasal 124 HIR ,Pasal 177 Rv, jika
penggugat tidak datang pada hari sidang yang di tetentukan, atau tidak
menyuruh wakilnya untuk menghadiri padahal telah dipanggil dengan patut, dalam kasus yang seperti itu:
·
Hakim dapat berwenang
menjatuhkan putusan mengugurkan gugatan penggugat.
·
Berbarengan dengan itu penggugat di hukum membayar biaya perkara.
Akibat hukum yang timbul dari putusan tersebut, dijelaskan
dalam Pasal 77 Rv.
b.
Putusan Verstek
Mengenai bentuk putusan ini di
atur dalam Pasal 125 ayat (1) HIR Pasal 78 Rv, pasal ini
memberi wewenang kepada hakim
menjatuhkan putusan verstek: Tidak datang menghadiri
·
Apabila pada sidang pertama pihak tergugat tidak datang menghadiri persidangan tampa alasan sah,
·
Padahal sudah di panggil oleh juru
sita secara patut, kepadanya dapat dijatuhkan
putusan verstek. Putusan verstek merupakan kebalikan penguguran gugatan
yakni sebagai hukuman yang diberikan undang-undang kepada tergugat atas
kelingkarannya menghadiri persidangan yang ditentukan.
2. Putusan Ditinjau dari Sifatnya
Ditinjau dari segi sifatnya, terdapat beberapa jenis putusan yang dapat
dijatuhkan hakim. Yang terpenting diantaranya sebagai berikut :
a.
Putusan Deskalator
Putusan Deskalator, selanjutnya di tulis deklarator adalah yang berisi pernyataan
atau penegasan tentang suatu keadaan
atau kedudukan hukum semata–mata, misalnya putusan yang menyatakan ikatan
perkawinan sah, perjanjian jual beli sah, hak pemilikan hak sah, yang
disengketakan sah atau tidak sah sebagai
milik penggugat :penggugat tidak sah menjadi ahli waris atau harta
terperkara adalah harta warisan penggugat yang
berasasl dari harta peninggalan
orang tuanya. Deklaratif (declatoir vonnis) adalah pernyataan hakim yang tertuang
dalam putusan yang dijatuhkannya. Pernyataan ini merupakan penjelasan atau penetapan tentang suatu
hak atau titel maupun status.
b.
Putusan constitutief
Putusan constitutief atau konstitutif (constitutief vonnis) adalah
putusan yang memastikan suatu
keadaan hukum, baik yang bersifat
meniadakan suatu keadaan hukum maupun yang menimbulkan keadaan hukum baru. Misalnya putusan perceraian, merupakan putusan yang
meniadakan keadaan hukum yakni tidak ada lagi ikatan hukum antara suami dan
istri sehinggga putusan itu meniadakan hubungan perkawinan yang ada, yang berbarengan
dengan itu timbul keadaan hukum baru kepada suami istri sebagai janda dan duda.
c.
Putusan condemnatoir
Condemnatoir atau komdenatoir
adalah putusan yang memuat amar
menghukum salah satu pihak yang berperkara. Putusan yang bersifat komdenmator merupakan bagian
yang tidak terpisah dari amar
deklaratif atau konstutitutif. Dapat
dikatakan amar kondemnator adalah
asesor dengan amar deklarator atau konstutif karena amar
tersebut tidak dapat berdiri
sendiri tampa didahului amar deklaratif yang menyatakan
bagaimana hubungan hukum antara diantara
para pihak. Contoh sengketa
mengenai wanprestasi. Amar
putusan deklaratif dalam kasus ini dapat berdiri sendiri tampa amar
kondemnator. Hakim dapat menjatuhl
contoh sengketa mengenai wanprestasi. Amar putusan deklaratif dalam
kasus ini dapat berdiri sendiri tampa amar kondemnator. hakim dapat menjatuhkan putusan menyatakan tergugat wanprestasi. Sebaliknya amar putusan kondemnator bukan putusan menyatakan tergugat wanprestasi .Sebaliknya amar putusan kondemnator berupa penjatuhan hukuman
kepada tergugat untuk membayar ganti
rugi kepada tergugat, terupa penjatuhan hukuman kepada tergugat untuk membayar ganti rugi kepada
tergugat, tidak dapat berdiri sendiri ,karena tidak dapat menghukumtergugat
membidak dapat berdiri sendiri ,karena tidak dapat menghukumtergugat membayar
ganti rugi tampa lebih dahulu ada amar
deklaratif yang menyatakan
terguagat melakukan wanprestasi
yang menimbulkan kerugian kepada
pengugat, oleh karena itu, amar putusan kondemnator :
·
Merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisah dengan amar deklaratif, sehingga
amar deklarator merupKn conditio sine qua non, atau merupakan syarat mutlak untuk menjatuhkan putusan deklarator .
·
Dan penempatan amar
deklarator dalam putusan yanag
bersangkutan, mesti ditempatkan mendahului amar kondemnator.
Mengenai ciri putusan
kondemnator, di dalamnya tercantum amar atau diktum yang berisi kalimat
:
·
Menghukum untuk membayar,
menyerahkan, membongngkar, membagi dan sebagainya, atau
·
Memerintahkan untuk membayar, menyerahkan
membongkar membagi dan sebagainya. Contoh putusan MA No 2869 K/Ship /1982. Amar
putusan kondemnatornya berbunyi: Menghukum penggugat dan tergugat untuk
mengadakan pemisahan dan pembaggian
harta peninggalan tersebut, dengan kertentuan kalau dalam tempo satu
bulan setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, salah seorang
dari penggugat /tergugat atau lebih enggan melaksanakan pembagian, pengadilan
mengangkat seorang ketiga yang memihak
(notaris setempat) untuk mewakili pegugat
dan tergugat mengadakan pembagian dan pemisahan harta peninggalan
tersebut.
Yang di inginkan hukum adalah kondemnator yang tegas dan langsung
memberi wewenang kepada pengadilan
melaksanakan eksekusi, sekiranya hakim menemukan petitum gugat yang berisi rumusan
kondemnator yang tidak jelas, fungsi hakim untuk merumuskan petitum itu menjadi
jelas dan tegas .
3.
Putusan Ditinaju pada Saat
Penjatuhanya
Ditinjau dari segi saat putusan dijatuhkan, dikenal beberapa jenis
putusan yang dapat dideklasifikasi sebagai berikut :
a.
Putusan Sela
Disebut juga putusan sementara (temporary award, interim award). Putusan
sela berisi perintah yang harus dilakukan para pihak yang
berperkara untuk memudahkan hakim menyelasikan pemeriksaan perkara, sebelum dia
menjatuhkan putusan akhir .sehubungan dengan itu, dalam teori dan praktik
dikenal beberapa jenis putusan yang muncul dari putusan sela antara lain
sebagai berikut :
1)
Putusan Preparator
Salah satu bentuk spesifikasi yang terkandung dalam putusan sela ialah
putusan preparatoir atau prepator (preparatoir
vonnis) Tujuan putusan ini merupakan persiapan jalannya pemeriksaan. Misalnya
sebelum hakim memulai pemeriksaan ,lebih dahulu menerbitkan putusan putusan
preparatoir tentang thap-tahap proses
atau jadwal persidangan.
2)
Putusan Interlocutoir
Menurut Soepomo ,sering kali PN menjatuhkan putusan interlocutoir saat
proses pemeriksaan tengah berlangsung .Putusan ini merupakan bentuk khusus putusan sela (een
interlocutoir vonnis een
special sort
tussen vonnis) yang dapat berisi bermacam-macam perintah sesuai dengan tinjauan yang hendak
dicapai hakim
3)
Putusan insidentil
Dulu disebut incidenteel
vonnis atau putusan dalam insidentil, yakni putusan sela
yang berlangsung dengan gugatan atau yang berkaitan langsung dengan gugatan
insidentil atau yang berkaitan dengan penyitaan yang membebankan pemberian uang jaminan dari pemohon sita, agar
sita dilaksanakan ,yang disebut cautio judicatum
solvi.
b.
Putusan Akhir
Jenis putusan lain ditinjau dari segi bentuknya atau pada saat
menjatuhkannya adalah putusan akhir (eind vonnis) atau
dalam common law, sama dengan final judgement, kalau putusan sela diambil dan
dijatuhkan hakim pada saat proses pemeriksaan
perkara pokok sedang berlangsung
maka putusan akhir diambil dan dijatuhkan pada akhir atau sebagai akhir
pemeriksaan perkara pokok.Banyak juga yang menyebutnya putusan penghabisan sebagai alih bahasa dari eind
vonnis.
Ada beberapa permasalahan yang perlu diketahui mengenai putusan akhir, seperti yang di
uraikan berikut ini.
1)
Secara Formil Menampung
semua Fakta yang Ditemukan dan Putusan
sela yang Diambil.
Tindakan apa saja yang dilakukan hakim
seperti penyitaaan, pemeriksaan setempat
atau segala fakta yang ditemukan dan yang disampaikan para pihak.
Putusan sela yang diambil maupun segala
fakta :
·
Harus ditampung dan dimasukan dalam putusan akhir
·
Dengan demikian segala tindakan
dan putusan sela yang di ambil, harus tercantum
atau direkam sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan
dengan putusan materi poko perkara dalam
putusan akhir.
2)
Menetapkan secara Pasti Hubungan Hukum antara para Pihak. Hal yang
kedua, putusan akhir berisi pernyataan
dan penegasan tentang kepastian hubungan hukum antara
para pihak dengan permasalahan ataau
objek yang di sengketakan. Dalam putusan
akhir ini lah ditentukan sah atau
tidak hubungan hukum
yang terjadi antara pihak yang berhak
atau objek bersengketa.
(1) Pengabulan gugatan dapat sekaligus bersifat
deklaratif, konstitutif dan kondemnator.
Putusan akhir yang
berbentuk pengabulan gugatan, bolehPutusan
akhir yang berbentuk pengabulan gugatan, boleh saja hanya bersifat deklarator
atau kontitutif saja tanpa bersifat
kondemnator. Misalnya hanya
mengabulkan gugatan kondemnator. Misalnya
hanya mengabulkan gugatan saja dengan diktum menyatakan penggugat
dan tergugat adalah ahli
waris dari orang tua mereka dan harta terperkara merupakan
harta peninggalan orang
tugatan saja dengan diktum menyatakan
penggugat dan tergugat adalah ahli waris dari orang tua mereka dan harta terperkara merupakan harta peninggalan
orang tua penggugat dan tergugat
.Putusan yang demikian hanya memuat diktum
yang bersifat deklaratif . atau
putusan yang hanya mengabulkan
pembatalan perjanjian pekawinan
dalah diktum yang bersifat konstitutif yang mengahiri atau meniadakan hubungan hukum di antaua penggugat dan
tergugat .Putusan yang demikian hanya
memuat diktum yang bersifat
deklaratif . atau putusan yang hanya mengabulkan pembatalan
perjanjian pekawinan dalah diktum
yang bersifat konstitutif yang mengahiri atau meniadakan hubungan hukum di antara para pihak.
(2)
Pengabulan gugatan dapat
seluruh atau sebagian.
Sejauh mana pengabulan
gugatan yang dapat
diwujudkan dalam putusan akhir,
tergantung pada beberapa faktor, seperti yang di uraikan di bawah ini :
(a)
Kabulkan Seluruh gugatan,
Hakim berwenang mengabulkan seluruh gugatan penggugat, akan tetapi agar kewenagan itu
tidak melampaui batas atau supaya
kewenangan itu tidak bercorak penyalagunaan
kekuasaan .
(b)
Mengabulkan sebagian dan menolak
selebihnya,
Sebagai kebalikan dari pengabulan seluruh gugatan adalah pengabulan sebagian saja.
Meskipun terpenuhi krieteria gugatan mempunyai
dasar hukum yang jelas, antara posita
dan petitum sejalan dan saling mendukung
akan tetapi :
·
Dalil gugatan yang terbukti hanya sebagian saja atau
·
Sedang yang sebagian lagi tidak terbukti.
Maka dalam kasus yang seperti ini, tidak ada dasar hukum untuk mengabulkan seluruh gugatan.
Yang boleh atau yang dapat dikabulkan hanya sebagian saja. Dalam kasus seperti
ini ,dalam amar harus terdapat penegasan :
·
Mengabulkan gugatan penggugat sebagian sebagai diktum pertama,
·
dan penegegasan menolak gugatan
selebihnya sebagai diktum pertama
(c)
Mengabulkan sebagian dan
menyatakan tidak dapat diterima sebagaian yang lain.
Variabel putusan mengabulkan
gugatan yang lain, berupa:
·
Mengabulkan gugatan sebagian, dan
·
Menyatakan gugatan selebihnya
tidak dapat diterima.
Penerapan yang demikian apabila berhadapan dengan gugatan, dimana
sebagian dalil gugatan mempunyai dasar hukum dan dasar fakta yang jelas dan
benar, disamping itu terdapat lagi dalil
gugatan yang mengandung cacat formil atau tidak memenuhi syarat formil, seperti tidak memiliki dasar hukum,
prematur, atau daluwarsa dan sebagainya.
(d) Mengabulkan sebagian dan menolak sebagian serta tidak dapat di terima
sebagian .
Corak
mengabulkan yang lain, memuat
amar yang berisi jenis penegasan
:
·
mengabulkan sebagian
gugatan Pengabulan ini meliputi
petitum yang dalil gugatan nya berhasil dibuktikan penggugat
·
Menolak sebagian penggugat, amar yang berisi penegasan menolak
sebagian gugatan, ditunjukan kepada petitum yang dalil gugatanya tidak
terbukti .
·
Menyatakan bagian yang lain atidak dapat diterim
Selain dijumpai dalil gugatan
yang dibuktikan maupun yang tidak dapat dibuktikan, ternyata pula ditemukan
sebagian dalil gugatan tidak memenuhi syarat
formil, Misalnya dalil yang
bersangkutan tidak mempunyai dasar hukum
atau dalil gugatan itu masih prematur.
· Bersambung .......
· Untuk mengusir rasa
kejenuhan sebagai Kasi Datun di Kejari Pematang Siantar
· Aku mulai membaca
buku-buku Hukum Acara Pidana, sulit sekali untuk mengingatnya, terpaksa
point-point penting saya ketik sebagai cara untuk mengingatnya.....
Langganan:
Postingan (Atom)