Selasa, 14 Maret 2017

Bahan Menghadapi Praperadilan terkait SE MA Harus Ada Audit BPK

Bahan untuk menghadapi praperadilan maupun pembelaan yg menggunakan SE MA terkait"PENANGANAN KORUPSI HARUS ADA AUDIT BPK", 
Jika dikatakan hanya BPK yang berwenang menghitung kerugian keuangan negara, hal tersebut bertentangan atau tidak sejalan dengan setidaknya 12 (dua belas) poin, sebagai berikut:
1) Kewenangan APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah: BPKP, Irjen, Inspektorat) menghitung kerugian Keuangan negara sebagaimana diatur Pasal 20 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan;
2) Kewenangan BPK, Pemerintah dan Pengadilan menetapkan kerugian keuangan negara sebagaimana diatur Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan;
3) Kewenangan Menteri / Pimpinan Lembaga / Gubernur / Bupati / Walikota dalam menetapkan kerugian keuangan negara sesuai dengan Pasal 62 ayat (1) dan 63 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Pasal 23 ayat (2) UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara;
4) Kewenangan akuntan publik (swasta) menghitung kerugian keuangan negara sebagaimana diakui penjelasan Paal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001;
5) Kewenangan APIP berkoordinasi dengan aparat penegak hukum (menghitung kerugian Keuangan negara) sebagaimana diatur Pasal 385 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah;
6) Kewenangan penyidik menghadirkan ahli (termasuk ahli menghitung kerugian keuangan negara) sebagaimana diatur Pasal 22 dan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001;
7) Kewenangan penyidik menghadirkan ahli (termasuk ahli menghitung kerugian keuangan negara) sebagaimana diatur Pasal 224 KUHP dan Pasal 1 angka 28 jo. Pasal 7 ayat 1 huruf h jo. Pasal 120 ayat (1) jo. Pasal 179 jo. Pasal 184 ayat (1) jo. Pasal 186 jo. Pasal 187 huruf c KUHAP;
8) Pasal 6 huruf a dan b serta Penjelasannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
9) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 31/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012 (Pertimbangan hukum pada halaman 53 s.d. 54);
10) Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan;
11) APIP dapat menghitung kerugian keuangan negara sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2015; dan
12) Putusan-putusan berkekuatan hukum tetap Mahkamah Agung yang menggunakan APIP atau ahli lain sebagai Ahli untuk menghitung kerugian keuangan negara.


Senin, 05 Desember 2016

Penistaan Dan Fitnah (Hate speech)

Penistaan & Fitnah adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual ,kewarganegaraan, agama, dan lain-lain.

Dalam arti hukum, Penistaan & Fitnah adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku Pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut.

Website yang menggunakan atau menerapkan Penistaan & Fitnah ini disebut Hate Site.
Kebanyakan dari situs ini menggunakan forum internet dan berita untuk mempertegas suatu sudut pandang tertentu.

R. Susilo menerangkan bahwa yang dimaksud dari "menghina" adalah "menyerang kehormatan dan nama baik seseorang".
Yang terkena dampak hate speech biasanya merasa malu.
Menurutnya, penghinaan terhadap satu individu ada 6 macam yaitu:
Menista secara lisan (smaad)
Menista dengan surat/tertulis (smaadschrift)
Memfitnah (laster)
Penghinaan ringan (eenvoudige belediging)
Mengadu secara memfitnah (lasterlijke aanklacht)
Tuduhan secara memfitnah (lasterlijke verdachtmaking)

Pasal 156 a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 28 ayat 2 Undang-undang nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

bahwa Pasal 156a KUHP merupakan isi dari Pasal 4 Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Berikut ini bunyi pasal 156 a KUHP:
Dipidana dengan pidana penjara selama-lumanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sementara Pasal 28 ayat 2 UU no 11 Tahun 2008 tentang ITE berbunyi:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa
kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Adapun ketentuan pidana Pasal 28 ayat 2 tersebut di atas diatur dalam undang undang yang sama Pasal 45 ayat 2, demikian bunyinya:
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Makar

Makar

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal-pasal tentang makar berada dalam bab tentang kejahatan terhadap keamanan negara. Pasal 104 menyebut jenis aksi makar terkait membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah.

Pasal 106 menyebut jenis makar yang terkait dengan separatisme dan menyerahkan wilayah negara kepada musuh. Pasal 107 menyebut makar yang bertujuan menggulingkan pemerintah. Pasal 110 lebih berkenaan dengan permufakatan jahat dan mempersiapkan tindakan makar.

Berikut ini pasal-pasal terkait upaya makar:

Pasal 107 KUHP:

(1) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

(2) Para pemimpin dan pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

Pasal 110 KUHP

(1) Permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan menurut pasal 104, 106, 107, dan 108 diancam berdasarkan ancaman pidana dalam pasal-pasal tersebut.

(2) Pidana yang sama diterapkan terhadap orang-orang yang dengan maksud berdasarkan pasal 104, 106, dan 108, mempersiapkan atau memperlancar kejahatan:

1. berusaha menggerakkan orang lain untuk melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan agar memberi bantuan pada waktu melakukan atau memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan;

2. berusaha memperoleh kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan bagi diri sendiri atua orang lain;

3. memiliki persediaan barang-barang yang diketahuinya berguna untuk melakukan kejahatan;

4. mempersiapkan atau memiliki rencana untuk melaksanakan kejahatan yang bertujuan untuk memberitahukan kepada orang lain;

5. berusaha mencegah, merintangi atau menggagalkan tindakan yang diadakan pemerintah untuk mencegah atau menindas pelaksanaan kejahatan.

(3) Barang-barang sebagaimana dimaksud dalam butir 3 ayat sebelumnya, dapat dirampas.

(4) Tidak dipidana barang siapa yang ternyata bermaksud hanya mempersiapkan atau memperlancar perubahan ketatanegaraan dalam artian umum.

(5) Jika dalam salah satu hal seperti yang dimaksud dalam ayat 1 dan 2 pasal ini, kejahatan sungguh terjadi, pidananya dapat dilipatkan dua kali.

Pasal 87 KUHP:

Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud dalam pasal 53

Minggu, 03 Juli 2016

Ucapan monkey

Mendengar ucapan monyet, bos lalu membunuh kerbau karena dinilai telah berkhianat kepadanya


SEPULANG dari sawah, kerbau rebahan di kandang dengan wajah cape dan nafas yang berat.
Lalu datanglah seekor anjing, kerbau kemudian berkata: “Aah teman lama, saya sungguh capek dan besok ingin istirahat seharian.”
Anjing pun pergi, ia bertemu kucing di sudut tembok dan berkata: “Tadi saya bertemu kerbau dan dia besok ingin istirahat dulu, sudah sepantasnya sebab bos kasih kerjaan terlalu berat.”
Kucing cerita kepada kambing dan berkata: “Kerbau complain, bos kasih kerja terlalu banyak dan berat, jadi besok tidak mau kerja lagi.”
Kambing bertemu ayam dan berucap: “Kerbau tidak senang bekerja untuk bos lagi, sebab mungkin ada bos lain yang lebih bagus.
Ayam bertemu monyet dan berkata: “Kerbau tak akan kerja untuk bosnya, dan ingin mencari kerja di tempat bos yang lain.”
Saat makan malam, monyet bertemu bos dan berkata: “Bos, tolong ajari kerbau dengan baik, akhir-akhir ini ia telah berubah sifatnya dan ingin meninggalkan bos untuk bekerja kepada bos lain.”
Mendengar ucapan monyet, bos lalu membunuh kerbau karena dinilai telah berkhianat kepadanya.
Itu mengapa ada kalanya suatu ucapan, sebaiknya berhenti hanya sampai telinga kita. Hendaknya dipikirkan baik-baik tentang resiko, manfaat dan akibatnya kalau ucapan itu akan diteruskan.

Kamis, 30 Juni 2016

Tax amnesty

Arti secara sederhana dari tax amnesty adalah pengampunan pajak, yaitu adanya penghapusan pajak bagi Wajib Pajak (WP) yang menyimpan dananya di luar negeri dan tidak memenuhi kewajibannya dalam membayar pajak dengan imbalan menyetor pajak dengan tarif lebih rendah. (Pengampunan Pajak merupakan penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan. Kewajiban perpajakan yang mendapatkan PengampunanPajak terdiri atas kewajiban Pajak Penghasilan dan Pajak Penjualan Nilai atau Pajak atas Barang Mewah).
Harta adalah akumulasi tambahan kemampuan ekonomis berupa seluruh berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, baik yang digunakan untuk usaha maupun bukan untuk yang berada di dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan dilakukannya tax amnesty ini, diharapkan para pengusaha yang menyimpan dananya di luar negeri akan memindahkan dananya di Indonesia dan menjadi WP baru yang patuh sehingga dapat meningkatkan pendapatan pajak negara.  Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mendorong diberlakukannya tax amnesty ini untuk menarik kembali uang milik warga Indonesia yang disimpan di luar negeri.
Indonesia pernah memberlakukan tax amnesty pada tahun 1984, tetapi pelaksanaannya tidak efektif karena respon WP sangat kurang dan tidak diikuti dengan reformasi sistem administrasi perpajakan secara menyeluruh.
pelaksanaan tax amnesty kali ini harus dilaksanakan secara hati-hati dan dipersiapkan secara matang dan Perlunya dukungan dan persetujuan masyarakat secara penuh dan adanya landasan hukum yang memadai juga menjadi faktor penting keberhasilan pelaksanaan tax amnesty ini sebagai berikut :
Pertama, Pengampunan Pajak merupakan penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan. Kewajiban perpajakan yang mendapatkan PengampunanPajak terdiri atas kewajiban Pajak Penghasilan dan Pajak Penjualan Nilai atau Pajak atas Barang Mewah.

Kedua, Harta adalah akumulasi tambahan kemampuan ekonomis berupa seluruh berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, baik yang digunakan untuk usaha maupun bukan untuk yang berada di dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ketiga, Setiap wajib pajak berhak mendapatkan Pengampunan Pajak. Jika Wajib Pajak belum mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak, Wajib Pajak mendaftarkan diri terlebih dahulu untuk memperoleh NPWP di kantor Direktorat Pajak tempat wajib Pajak bertempat tinggal atau berkedudukan.

Belajar terus seumur hidup, Paris Manalu, Tanjungpinang, 21/06/2016

Selasa, 28 Juni 2016

Pencemaran Nama Baik

Pencemaran Nama Baik

Pengertian Pencemaran Nama Baik

Pencemaran nama baik dikenal juga istilah penghinaan, yang pada dasarnya adalah menyerang nama baik dan kehormatan seseorang yang bukan dalam arti seksual sehingga orang itu merasa dirugikan. Kehormatan dan nama baik memiliki pengertian yang berbeda, tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, karena menyerang kehormatan akan berakibat kehormatan dan nama baiknya tercemar, demikian juga menyerang nama baik akan berakibat nama baik dan kehormatan seseorang dapat tercemar. Oleh sebab itu, menyerang salah satu diantara kehormatan atau Nama baik sudah cukup dijadikan alasan menuduh seseorang melakukan penghinaan.
Di Indonesia, Pasal penghinaan ini masih dipertahankan. Alasannya, selain menghasilkan character assassination, pencemaran nama baik juga dianggap tidak sesuai dengan tradisi masyarakat Indonesia yang masih menjunjung tinggi adat dan budaya timur. Karena itu, pencemaran nama baik adalah salah satu bentuk rechtsdelicten dan bukan wetdelicten. Artinya, pencemaran nama baik sudah dianggap sebagai bentuk ketidakadilan sebelum dinyatakan dalam Undang-Undang karena telah melanggar kaidah sopan santun. Bahkan lebih dari itu, pencemaran nama baik dianggap melanggar norma agama jika dalam substansi pencemaran itu terdapat fitnah.
Larangan memuat kata penghinaan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE No. 11 tahun 2008 sebenarnya dibuat untuk melindungi hak-hak individu dan institusi dikarenakan pada dasarnya informasi yang akan di publikasikan seharusnya sudah mendapat izin dari yang bersangkutan agar yang bersangkutan tidak merasa dirugikan dengan perbuatan dan bisa mempertanggung jawabkannya.
Selain Pasal 27 dan 28 UU ITE No. 11 2008 tentang pencemaran nama baik, dalam kitab-kitab undang hukum pidana juga mengatur tentang pidana penghinaan dan pencemaran nama baik.

Bentuk Pencemaran Nama Baik,  dibagi menjadi sebagai berikut :
a. Penghinaan materiil, Penghinaan yang terdiri dari suatu kenyataan yang meliputi pernyataan yang objektif dalam kata-kata secara lisan maupun secara tertulis, maka yang menjadi faktor menentukan adalah isi dari pernyataan baik yang digunakan secara tertulis maupun lisan. Masih ada kemungkinan untuk membuktikan bahwa tuduhan tersebut dilakukan demi kepentingan umum.
b. Penghinaan formil,  dalam  hal ini tidak dikemukakan apa isi dari penghinaan, melainkan bagaimana pernyataan yang bersangkutan itu dikeluarkan. Bentuk dan caranya yang merupakan faktor menentukan. Pada umumnya cara menyatakan adalah dengan cara-cara kasar dan tidak objektif. Kemungkinan untuk membuktikan kebenaran dari tuduhan tidak ada dan dapat dikatakan bahwa kemungkinan tersebut adalah ditutup.
Perlu diketahui bahwa pencemaran nama baik tersebut dapat dilakukan secara lisan (Pasal 310 ayat [1] KUHP) maupun dengan tulisan atau gambar (Pasal 310 ayat [2] KUHP). Lebih lanjut,R. Soesilomengatakan bahwa penghinaan itu sendiri ada 6 macam, yaitu:
 (1) Penistaan (Pasal 310 ayat (1) KUHP),  Menurut pasal ini, maka penghinaan itu harus dilakukan dengan cara “menuduh seseorang telah melakukan perbuatan tertentu” dengan maksud agar tuduhan itu tersiar (diketahui oleh orang banyak).
(2) Penistaan dengan surat (Pasal 310 ayat (2) KUHP),  dalam penjelasan Pasal 310 KUHP, apabila tuduhan tersebut dilakukan dengan tulisan (surat) atau gambar, maka kejahatan itu dinamakan “menista dengan surat”. Jadi seseorang dapat dituntut menurut pasal ini jika tuduhan atau kata-kata hinaan dilakukan dengan surat atau gambar.
(3) Fitnah (Pasal 311 KUHP),  Pasal 310 KUHP, sebagaimana kami sarikan, perbuatan dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP tidak masuk menista atau menista dengan tulisan (tidak dapat dihukum), apabila tuduhan itu dilakukan untuk membela kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri. Jadi, yang dimaksud dengan memfitnah dalam pasal ini adalah kejahatan menista atau menista dengan tulisan dalam hal ketika ia diizinkan untuk membuktikan bahwa tuduhannya itu untuk membela kepentingan umum atau membela diri, ia tidak dapat membuktikannya dan tuduhannya itu tidak benar.
(4) Penghinaan ringan (Pasal 315 KUHP),  Penghinaan seperti ini dilakukan di tempat umum yang berupa kata-kata makian yang sifatnya menghina. Pasal 315 KUHP, sebagaimana kami sarikan, mengatakan bahwa jika penghinaan itu dilakukan dengan jalan lain selain “menuduh suatu perbuatan”, misalnya dengan mengatakan “anjing”, “sundel”, dan sebagainya, masuk Pasal 315 KUHP dan dinamakan “penghinaan ringan”. Penghinaan ringan ini juga dapat dilakukan dengan perbuatan seperti meludahi di mukanya.
(5) Pengaduan palsu atau pengaduan fitnah (Pasal 317 KUHP),  Dalam buku yang berjudulKitab Undang-Undang Hukum Pidana memberikan uraian pasal tersebut, yakni diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang dengan sengaja:
a. memasukkan surat pengaduan yang palsu tentang seseorang kepada pembesar negeri;
b. menyuruh menuliskan surat pengaduan yang palsu tentang seseorang kepada pembesar negeri (R. Sugandhi, S.H. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hal 337).
(6) Perbuatan fitnah (Pasal 318 KUHP), Pasal 318 KUHP, yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang dengan sengaja melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan orang lain secara tidak benar terlibat dalam suatu tindak pidana, misalnya: dengan diam-diam menaruhkan sesuatu barang asal dari kejahatan di dalam rumah orang lain, dengan maksud agar orang itu dituduh melakukan kejahatan.
Delik dalam pencemaran nama baik merupakan delik yang bersifat subyektif yang artinya penilaian terhadap pencemaran nama baik sangat bergantung pada pihak yang diserang nama baiknya.
Oleh karenanya, delik dalam pencemaran nama baik merupakan delik aduan yang hanya bisa diproses oleh pihak yang berwenang jika ada pengaduan dari saksi korban pencemaran nama baik.
Dengan kata lain tulisan atau lisan bisa dikatakan mencemarkan nama baik diukur dari bagaimana korban merasa hal tersebut menyerang nama baiknya. Walaupun dalam pembuktiannya nanti hakimlah yang memutuskan. Tindak pidana atas nama baik yan dimaksud melalui lisan yang secara sengaja disiarkan (disebar) atau dipertunjukkan untuk menyerang reputasi atau kehormatan orang lain (A.Vebriyanti Rasyid, 2014:24).
















Minggu, 26 Juni 2016

Penuntut Umum

Penuntut Umum

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 memberikan uraian pengertian Jaksa dan Penuntut Umum pada Pasal 1 butir 6a dan b serta Pasal 13 menegaskan bahwa: 
a)  Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang- undang ini untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ( Pasal 1 butir 6a KUHAP ).
b)  Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim ( Pasal 1 butir 6a jo. Pasal 13 KUHAP ).

Beberapa pengertian yang berkaitan dengan Penuntutan :
a)  Penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalah hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di siding pengadilan;
b)  Penuntut Umum adalah Jaksa yang di beri wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim;
c)  Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang- Undang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memporeleh kekuatan hukum yang tetap;
d) Surat Dakwaan adalah surat atau akta yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum yang berisi rumusan tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa berdasarkan kesimpulan yang ditarik dari hasil penyelidikan dan merupakan dasar pemeriksaan didepan siding pengadilan;
e)  Suarat Tuntutan adalah Naskah atau Surat yang berisi uraian Penutut Umum mengenai hasil pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan tentang pembuktian berdasarkan surat dakwaan, disertai tuntutan pidana terhadap terdakwa, apabila terdakwa telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan. Dan apabila dinilai terdakwa tidak terbukti bersalah dituntut untuk dibebaskan atau dilepaskan dari segala tuntutan hokum;
f)  Tuntutan pidana adalah permintaan Penuntut Umum kepada Pengadilan ( Hakim ) mengenai jenis dan berat / ringannya pidana ( hukuman ) yang dijatuhkan terhadap terdakwa. 

Wewenang Penuntut Umum :
a)  Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu;
b)  Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat (3) dan ayat (4) dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
c)  Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d)  Membuat surat dakwaan ( letter of accuasation );
e)  Melimpahkan perkara ke pengadilan;
f)  Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentangketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk dating pada siding yang telah ditentukan;
g)  Melakukan penuntutan ( to carry out accusation );
h)  Menutup perkara demi kepentingan hukum;
i)  Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;
j)  Melaksanakan penetapan hakim;