PERAMPASAN ASET TERHADAP HASIL TINDAK PIDANA
KORUPSI
YANG DIALIHKAN KEPADA PIHAK KETIGA
BAB I
Pendahuluan
1.1
Latar Belakang
Tindak pidana korupsi yang merajalela di tanah air membuat tidak hanya
merugikan keuangan negara tetapi telah
merupakan pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Tidak sedikit aset publik dikorupsi,
dilarikan dan disimpan pada sentra-sentra finasial dinegara-negara maju yang
terlindungi oleh sistem hukum yang belaku dinegara tersebut dan jasa profesional
disewa oleh koruptor, sehingga tidak mudah melacak apalagi memperoleh kembali
aset yang dicuri dan disembunyikan pada sentra finasial dunia.[1]
Pengertian aset dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “aset” mengandung
arti sesuatu yang memiliki nilai tukar; modal; kekayaan.[2] Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) pasal 499 yang dinamakan kebendaan, yaitu tiap-tiap barang dan
tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik. Sedangkan menurut sifatnya,
benda dibedakan menjadi benda bergerak yaitu yang dihabiskan dan tidak dapat
dihabiskan, serta benda tidak bergerak baik yang sudah ada ditangan pihak
ketiga.[3] Dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu “Harta
kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun
tidak langsung.” Yang dimaksud dengan
aset dalam PERJA-013/A/JA/06/2014 tentang Pemulihan Aset dan
PERJA-027/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Pemulihan Aset, “semua benda, baik
materiil maupun immateriil, bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak
berwujud, dan dokumen atau instrumen hukum yang memiliki nilai ekonomis.
Perampasan secara terminologi berasal dari kata “rampas” memiliki makna
ambil/dapat dengan paksa (dengan kekerasan).[4]
Menurut UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPK), dalam pasal 18 ayat (1)
menyatakan bahwa perampasan dilakukan terhadap orang yang bersalah yang
diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah
disita. Dan sebagaimana diatur dalam pasal 18 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana
diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 dikatakan bahwa perampasan sebagai salah
satu bentuk pidana tambahan. PERJA-013/A/JA/06/2014 tentang Pemulihan Aset dan
PERJA-027/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Pemulihan Aset, Perampasan adalah
tindakan paksa yang dilakukan oleh negara untuk memisahkan hak atas aset
berdasarkan putusan pengadilan.
Secara terminologi tentang pihak ketiga dalam sistem hukum pidana
tentunya dilihat pada subjek yang terkait, karena dalam hal kedudukan pihak
ketiga memiliki banyak orientasi yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan
defenisi dan bahkan peranannya pada perkara hukum pidana.
Pada pengertian pihak ketiga yang diatur didalam KUHAP adalah “pihak
ketiga yang berkepentingan” meliputi pihak-pihak yang secara langsung maupun
tidak menderita kerugian karena dihentikannya penyidikan dan penuntutan, maupun
dalam permintaan ganti rugi dan rehabilitasi. Terkait dengan tindak pidana
korupsi dalam modus operandinya, pihak ketiga tentunya berperan penting dalam
kegiatannya bisa sebagai subjek yang turut serta dalam melakukan tindak pidana
korupsi. Secara modusnya pelaku korupsi akan mengikut sertakan pihak-pihak lain
untuk melakukan upaya penghilangan jejak dan penyelamatan aset hasil kejahatan
dari pengintaian pihak berwajib. Sementara dalam prakteknya terdapat berbagai
kemungkinan yang dapat menghalangi penyelesaian mekanisme penindakan seperti
itu, contohnya tidak ditemukannya atau
meninggalnya atau adannya halangan lain
yang mengakibatkan pelaku tidak bisa menjalani pemeriksaan dipengadilan, atau
tidak ditemukannya bukti yang cukup untuk mengajukan tuntutan ke pengadilan dan
sebab-sebab yang lainnya.
Bahwa Penyitaan aset para pelaku korupsi baik yang sudah jatuh ketangan
pihak ketiga merupakan langkah antisipatif yang bertujuan untuk menyelamatkan
atau mencegah larinya harta kekayaan sebagaimana salah satu dari ketentuan umum
Perja-013/A/JA/06/2014 tentang Pemulihan Aset. Harta kekayaan inilah yang kelak diputuskan
oleh pengadilan, apakah harus diambil sebagai upaya untuk pengembalian kerugian
keuangan negara atau sebagai pidana tambahan berupa merampas hasil kejahatan.
Sehingga Proses penyitaan adalah suatu upaya paksa yang menjadi bagian
dari tahap penyidikan, sedangkan proses perampasan terjadi setelah adanya
putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap (inkracht). Sehingga sangat diperlukan pelacakan aset
sudah dapat dilakukan sejak dalam tahap penyelidikan.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penyusunan rumuskan masalah sebagai berikut : “Bagaimana
mekanisme perampasan aset terhadap aset hasil tindak pidana korupsi yang
dialihkan kepada pihak ketiga”.
BAB II
PEMBAHASAN
Mengingat perkembangan modus operandi tindak pidana
korupsi yang semakin berkembang dan bersifat komplikatif, sehingga pihak
koruptor dalam melakukan korupsinya menggunakan pihak ketiga untuk melaksanakan
pengamanan ataupun pengalihan aset hasil korupsinya, dengan begitu akan
menghilangkan jejak aset kejahatannya agar sulit dilacak oleh pihak yang
berwenang. Pengalihan aset kejahatan korupsi oleh koruptor kepada pihak ketiga
dapat dilakukan dalam bentuk apapun, seperti
bentuk dalam penanaman dan
penyertaan modal usaha (investasi), kegiatan usaha perdagangan saham, forex,
obligasi dan akta berharga lainnya, pemberian piutang, serta kegiatan-kegiatan
usaha lain dalam perekonomian yang terkait dalam pihak ketiga.
Pasca pengesahan Undang-undang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang baru yaitu Undang-undang
No. 8 Tahun 2010,) KPK mendapat legitimasi menangani TPPU (predicate crime : korupsi) sehingga kegiatan asset tracing juga diarahkan untuk:
·
Mendeteksi sejak awal (sejak tahap
penyidikan) seluruh harta kekayaan tersangka dan atau keluarga yang
mencurigakan dan tidak sesuai dengan profilnya yang diduga sebagai hasil TPK;
Kegagalan
dalam memberantas insfrastruktur ekonomi para pelaku kejahatan dan kegagalan
membatasi ruang gerak organisasi
kejahatan akan sangat mengurangi efektifitas penuntutan terhadap kejahatan
tersebut. Dengan ini kedudukan pihak ketiga dalam hak-hak dan kewajibannya
terhadap tindakan perampasan aset tersebut harus memiliki kepastian hukum dalam
melakukan upaya hukum dalam perlindungannya sehingga tindakan perampasan aset
tidak menimbulkan kesulitan pada pihak lain, karena tujuan perampasan aset adalah
selain bertujuan untuk pemulihan aset negara juga agar pelaku tidak
dapat menikmati hasil kejahatan sehingga dalam praktek mengakomodir pihak
ketiga dalam hal perampasan aset pada perkara tindak pidana korupsi. Seperti kasus yang melibatkan pihak ketiga, uang hasil
korupsi dibelanjakan menjadi aset properti, selanjutnya menjual kepada pihak
ketiga dengan perjanjian perdata yang sah. Contoh lain, ada kejahatan korupsi
tersebut dijadikan andil dalam sebuah persekutuan untuk usaha, sehingga adannya
pengabungan aset yang akan digunakan sebagai permodalan usaha sehingga pada
kondisi seperti ini telah ada pihak yang terkait dalam kepentingan.
Modus-modus yang digunakan untuk menyembunyikan uang hasil kejahatan
oleh para pelaku tindak pidana korupsi diantaranya adalah :[6]
1)
Harta Kekayaan tidak bergerak, Para pejabat korup atau pelaku kejahatan
yang menghasilkan banyak uang cenderung menggunakan dana-dana yang didapat dari
hasil kejahatannya untuk membeli benda tidak bergerak atas nama pemilik
sebenarnya atau dengan mengikutsertakan pihak ketiga dalam nama seseorang
kerabat atau sekutunya. Transaksi-transaksi properti dapat dimanupulasi untuk
menggunakan hasil-hasil modal yang tampak untuk menyamarkan dana-dana gelap
tersebut.
2)
Pembelian barang-barang berharga, Dana-dana korupsi dapat digunakan untuk
membeli barang-barang berharga seperti mobil, logam mulia dan perhiasan,
sehingga pihak penyidik dan penuntut harus menentukan kepemilikan, nilai dan
sumber dana yang digunakan untuk membeli barang tersebut.
3)
Saham-saham domestik, Saham-saham domestik yang
terdaftar secara publik dapat dibeli dan dijual seorang pialang saham.
Perampasan aset terhadap pelaku tindak pidana korupsi didasarkan atas
pasal 18 huruf (a) Undang-Undang tindak pidana korupsi yang menyatakan : “perampasan barang bergerak yang berwujud
atau tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana
korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi
dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang
tersebut”.
Berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan tetap maka
aset yang dikuasai oleh pelaku tindak pidana korupsi dapat diambil secara paksa
sesuai dengan nilai kerugian yang timbul akibat tindak pidana korupsi yang
dilakukan tersebut. Akan tetapi akan menimbulkan suatu kendala apabila aset
kejahatan tersebut berada dipihak ketiga yang terkait kepentingannya. Seperti
dalam hal tindakan perampasan aset dapat dilakukan dalam hal terdakwa meninggal
dunia sebelum adannya putusan dijatuhkan terhadapnya dengan didapatnya bukti yang cukup kuat bahwa bersangkutan
telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan pihak penuntut
umum menetapkan tindakan perampasan terhadap barang-barang yang disita
sebelumnya (Pasal 38 angka 5 UU Tipikor).
Perampasan menurut pasal 38 angka 5 UU Tipikor tersebut merupakan
pengecualian dari pasal 77 KUHP, yang
menyatakan bahwa “hak menuntut hilang
karena meninggalnya si tersangka”. Pengecualian atau penyimpanan ini
dibenarkan berdasarkan pasal 103 KUHP yang menganut asas lex
specialis derogat lex generalis, akan tetapi pembenaran tersebut sejauhmana
apabila diantara kedua Undang-undang tersebut mengatur suatu materiele daad yang sama, maka lex specialis yang harus diberlakukan.
Pasal 38 KUHAP telah mengatur bahwa seorang penyidik dapat melakukan
penyitaan atas dasar surat izin dari Pengadilan Negeri setempat (atau tanpa
surat izin dari hakim apabila dalam situasi yang mendesak dan hanya terhadap
benda bergerak namun setelah penyitaan wajib memberikan laporan penyidik kepada
Pengadilan Negeri setempat).
Pasal 39 mengatur tentang benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan
yaitu:
a.
Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang
seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagian hasil
dari tindak pidana;
b.
Benda yang telah dipergunakan secara langsung
untuk melakukan tindak pidana atau mempersiapkannya;
c.
Benda yang dipergunakan untuk menghalangi-halangi
penyidikan tindak pidana;
d.
Benda yang khusus dibuat dan diperuntukan untuk
melakukan tindak pidana;
e.
Benda lain yang memiliki hubungan langsung dengan
tindak pidana yang dilakukan.
Pasal 44 KUHAP mengatur mengenai benda yang disita harus disimpan
dirumah penyimpanan benda sitaan negara (RUPBASAN). Pasal 45 KUHAP mengatur
dalam hal benda yang disita mulai rusak atau berbahaya sehingga tidak mungkin
untuk disimpan sampai putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, atau
biaya penyimpanan atas barang-barang tersebut terlalu tinggi maka benda
tersebut dapat dijual atau dilelang atau bisa diamankan oleh penyidik atau
penuntut umum yang sejauh mungkin disetujui dan disaksikan oelh tersangka atau
kuasa hukumnya jika kasusnya masih dalam tangan penyidik atau jaksa, sedangkan
apabila perkara tersebut sudah berada ditangan pengadilan maka benda tersebut
dapat diamankan atau dijual oleh jaksa PU atas izin Hakim yang menyidangkan
perkara dan disaksikan oleh terdakwa dan kuasa hukumnya.
Pasal 46 KUHAP menetapkan bahwa benda yang dikenankan penyitaan
dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda disista, atau
kepada orang atau kepada mereka yang
paling berhak apabila kepentingan
penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi; perkara tersebut tidak jadi
dituntut karena tidak cukup bukti atau
ternyata bukan meruakan perkara tindak pidana; perkara tersebut dikesampingkan
demi kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila
benda itu diperoleh dari satu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk
melakukan suatu tindak pidana dan apabila perkaranya diputus, maka benda yang
dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang patut
disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas
untuk negara, untuk dimusnahkan atau dirusak sampai tidak dapat dipergunakan
lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam
perkara lain.
Adapun terhadap perampasan secara pengaturan dan tata laksananya tidak jauh berbeda dengan penyitaan, hanya saja tindakan
perampasan merupakan tindakan yang dilakukan secara paksa untuk menguasai
secara parmanen. Dalam hal ini perampasan dilakukan berdasarkan sebuah
putusan hakim yang telah memiliki
kekuatan tetap sebagai sanksi pidana terhadap terpidana, yang didasarkan atas
tuntutan penuntut umum pada sidang pengadilan (Pasal 38 B ayat 3 UU Tipikor).
Terhadap perampasan tersebut dapat dilakukan upaya pengembalian apabila
ada kepentingan-kepentingan/ hak-hak dari pihak ketiga yang dirugikan, terkait
dengan aset yang dirampas tersebut pihak ketiga dapat melakukan pembuktian
bahwa kepentingan/hak tersebut benar adannya dan tidak merupakan bagian dari
suatu tindak pidana korupsi atau kepunyaan terpidana (pasal 19 ayat 1 UU
TIPIKOR). Dengan ini pihak ketiga dapat
mengajukan surat keberatan kepada pengadilan yang bersangkutan, dalam waktu paling 2 (dua)
bulan setelah putusan pengadilan ditetapkan disidang terbuka untuk umum (pasal
19 ayat 2 UU Tipikor).
Dalam hal perampasan harta kekayaan yang telah dialihkan oleh pihak
ketiga tentunya dilakukan berdasarkan apa yang telah dijelaskan diatas bahwa haruslah ada putusan pengadilan
yang telah memiliki kekuatan tetap yang menyatakan terdakwa terbukti telah melakukan tindak pidana korupsi dan dinyatakan sebagai terpidana dengan dikenakan tuntutan untuk dirampas harta kekayaanya yang
merupakan hasil kejahatan dari tindak pidana korupsi.
Dan jika harta kekayaan telah dipindahtangankan atau dikuasai oleh pihak lain maka secara
langsung atau tidak langsung tindakan
perampasan dilakukan terhadap aset tersebut tanpa melihat keberadaan harta
tersebut berada dalam penguasaan siapa,
dan berdasarkan perlindungan hukum pada pasal 19 UU TIPIKOR, diberikan upaya terhadap pihak-pihak yang
mersa dirugikan atas tindakan perampasan aset tersebut untuk melakukan
keberatan dengan melakukan pembuktian terbalik. Maka pada posisi ini tentu
peranan mekanisme pembuktian terbalik
sangat dominan dalam mekanisme perampasan aset yang dimana aset tersebut
dikuasai atau berada pada pihak ketiga.
Terhadap aset yang telah dialihkan kepada pihak ketiga oleh pelaku
tindak pidana korupsi, dengan tujuan agar aset tersebut tidak dapat diketahui
oleh aparatur penegak hukum sehingga kejahatan tidak dapat terungkap. Dengan
ini ada upaya yang dapat dilakukan pihak aparatur penegak hukum untuk melakukan
tindakn dari modus-modus yang secara umum maupun secara khusus yang dapat
dilakukan oleh pelaku tindak pidana korupsi, diantaranya adalah; traksaksi-transaksi properti dapat dimanipulasi
untuk menggunakan hasil-hasil modal yang tampak untuk menyamarkan dana-dana
gelap tersebut.[7]
Berdasarkan pada modus tersebut maka aparatur penegak hukum yang diberi
kewenangan dalam melakukan penelusuran atau penyidikan untuk mendapat
pembuktikan dengan melakukan tindakan; pengeledahan atas tersangka dan tanah
bangunan terkait dapat mengenali dokumen-dokumen atau referensi-referensi atas
properti pertanahan, seperti catatan harian tersangka, wawancara kepada pihak
yang dibutuhkan, identifikasi setiap
transaksi termasuk terhadap barang-barang berharga.
Berdasarkan kenyataan dalam praktek upaya-upaya tersebut dalam dilihat
beberapa kelemahan atau bahkan kesulitan yang ada sebagai penghambat atau
penghalang dalam rangka mekanisme perampasan aset untuk pemulihan aset dari
terjadinya tindak pidana.
Perampasan aset yang berasal dari tindak pidana melalui jalur
keperdataan tidak serta merta melanggar asas praduga tak bersalah atau
priviliged against self-incrimination sekalipun tidak perlu dibuktikan kesalahan
tersangka/terdakwa. Sedangkan perampasan aset tindak pidana melalui jalur
kepidanaan harus terlebih dulu dibuktikan kesalahan orang yang menguasai aset
tersebut sampai memperoleh putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap; jika
tidak demikian perampasan aset tindak
pidana melanggar asas praduga tak bersalah.
Menjadi sebuah polemik ketika pelaku tindak pidana korupsi menikmati
hasil kejahatannya (aset) dengan digunakan untuk kepentingan pribadi atau
bahkan kepentinganbersama dengan pihak lainnya. Maka dari itu akan terjadi
pencampuran kepentingan-Implikasi perampasan kepentingan yang ada, serta adanya
penyatuan harta kekayaan. Sebagai contoh adalah apabila aset kejahatan korupsi
tersebut dijadikan andil dalam sebuah persekutuan untuk usaha, sehingga adanya
penggabungan aset yang akan digunakan sebagai permodalan usaha sehingga pada
kondisi seperti ini telah ada pihak yang terkait dalam kepentingannya.
Problematik tersebut diantaranya adalah dalam hal pemenuhan uang
pengganti oleh terpidana yang tidak mempunyai itikad untuk membayarnya,
terkendala disebabkan harta-harta tersebut sudah beralih status atas nama pihak ketiga, sedangkan untuk
menelusuri asal usul pihak ketiga tersebut, kejaksaan tidak berhak menyidiknya.
Hal ini terjadi dikarenakan pada ikatan antara pelaku dengan pihak ketiga dapat
terjadi dengan didasarkan asas-asas
hukum perdata yang memang harus dinilai memiliki kekuatan hukum yang sah.
Juga apabila modus peralihan tersebut terjadi pada antar batas
yurisdiksi yang berlainan, yaitu adannya kendala yang datang dari negara tempat
penyimpanan aset (negara yang diminta). Negara yang peminta biasanya memberikan
syarat yang harus membuktikan aset-aset yang disimpan di negara yang diminta
benar hasil kejahatan korupsi, juga akan terbentur oleh mekanisme kerahasian bank dan juga
permasalahan biaya yang cukup besar.
Perampasan aset haruslah dimaksudkan untuk menguasai keuntungan yang
diperoleh dari tindak pidana sehingga tindakan tersebut merupakan uapaya
pencegahan terhadap kemungkinan adannya perbuatan berlanjut dari suatu tindak
pidana atau untuk melakukan tindak pidana lain dimasa yang akan datang.
Dalam pelaksanannya harus ada jaminan bahwa seseorang yang tidak
bersalah atau beritikad baik dikecualikan dari ketentuan perampasan aset selama
ia dapat menunjukan bukti-bukti yang cukup tentang keterlibatannya atau
ketidaktahuannya terhadap kejahatan yang terkait dengan harta kekayaan
tersebut. Terkait dengan perampasan yang ditujukan kepada aset yang telah
dialihkan atau dikuasai pihak ketiga maka jika aset yang dirampas dari pihak
ketiga, pihak ketiga yang bersangkutan berhak atas konpesasi kerugian dari
pelaku tindak pidana. Hal ini jika memang terbukti apabila pihak ketiga
merupakan pihak yang bersih dan kapabilitasnya tidak terkait dengan perbuatan tindak
pidana.[8]
Secara kedudukannya pihak ketiga didalam mekanisme perampasan aset
secara putusan pidana maupun tanpa putusan pidana, secara prinsip memiliki
pandangan yang berbeda satu sama lain.
pada perampasan asset secara putusan pidana maka kedudkan pihak ketiga
adalah mereka pihak selain dari pihak pelaku/intelektual dari suatu perkara
tindak pidana korupsi, yang dengan ini pihak ketiga terkait dengan asset yang
akan dirampas berdasarkan putusan pidana tersebut, karena pada perampasan aset yang ditujukan adalah
aset sendiri tanpa mementingkan siapa
pemilik atau pun siapa yang menguasai.
Berdasarkan kenyataan dalam praktek upaya-upaya tersebut dapat dilihat
beberapa kelemahan atau bahkan kesulitan yang ada sebagai penghambat atau
penghalang dalam rangka mekanisme perampasan aset untuk pemulihan aset (recovery
aset) dari terjadinya tindak pidana korupsi. Problematik tersebut
diantaranya adalah dalam hal pemenuhan uang pengganti oleh terpidana yang tidak
mempunyai itikad untuk membayarnya, terkendala disebabkan harta-harta tersebut
sudah beralih atas nama pihak ketiga, sedangkan untuk menelusuri asal usul
pihak ketiga tersebut, kejaksaan tidak mempunyai kewenangan menyidiknya. Hal
ini terjadi dikarenakan pada ikatan antara pelaku dengan pihak ketiga dapat
terjadi dengan didasarkan asas-asas perdata yang memang harus dinilai memiliki
kekuatan hukum yang sah. Salah satunya adalah kebebasan berkontrak dengan
didasarkan atas asumsi itikad baik. Kalaupun digunakan instrument (gugatan)
perdata, kedalanya adalah sistem pembuktian (yang mendalilkan harus
membuktikan). Padahal pihak ketiga tersebut umumnya telah mempunyai bukti
formal (dalam bentuk Sertifikat rumah, tanah, BPKB, dsb).
Sementara Jaksa tidak memiliki bukti sebagaimana dimaksud. Terhadap
barang bukti yang dirampas, tidak dapat segera diuangkan karena harus melalui
pelelangan yang membutuhkan biaya, khususnya untuk tenaga ahli dalam penaksiran
ataupun auditor dan minat dari pihak pembeli;
Untuk mencegah alasan perlindungan terhadap pihak ketiga ini disalahgunakan,
maka harus ditetapkan pula dalam hal-hal apa saja harta kekayaan hasil tindak
pidana yang terkait dengan pihak ketiga tersebut tetap dapat dirampas oleh
Negara, antara lain meliputi:
1.
Segala bentuk gratifikasi atau transaksi yang
menguntung pihak ketiga, baik secara individual maupun badan hukum;
2.
Harta kekayaan yang terkait dengan pihak ketiga di
mana pihak ketiga tersebut mengetahui atau berdasarkan situasi yang ada
seharusnya dapat menduga bahwa harta kekayaan tersebut berasal dari tindak pidana,
atau dimaksudkan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan
yang berasal dari tindak pidana;
3.
Harta kekayaan yang diterima oleh pihak ketiga
nyata-nyata melebihi dari apa yang seharusnya diterima;
4.
Harta kekayaan hasil kejahatan yang digadaikan,
dibebani hipotek, atau dijadikan jaminan dalam bentuk lain;
5.
Harta kekayaan hasil kejahatan yang digunakan
untuk membayar hutang atau kewajiban-kewajiban secara perdata kepada pihak
ketiga;
Pada umumnya permasalahan yang dihadapi dalam pengaturan perampasan
adalah bahwa penjahat biasannya untuk menghilangkan/mengelapkan aset dialihkan
atas nama orang lain/pihak ketika, termasuk teman-teman dekat dan anggota
keluarga, sebagai cara untuk menghindari deteksi dan perampasan. Dengan ini diperlukannya suatu dasar hukum untuk dapat
melakukan tindakan perampasan aset secara langsung ketika terdapat
indikasi-indikasi atau dugaan yang mengarah kepada aset tersebut.
Bahwa tindakan perampasan aset secara pidana yang akan dilakukan terhadap aset yang telah
berada/dialihkan kepada pihak ketiga dengan berbagai cara (pembelian,
peminjaman ataupun penyimpanan dengan peralihan hak atau kuasa) harus
didasarkan atas tindakan sebelumnya yang diambil yaitu diantaranya harus
melihat apakah peralihan aset tersebut kepada pihak ketika dilakukan tanpa ada
kompensasi (timbal balik).
Dalam hal pengambilan kebijakan (diskresi) oleh aparat yang berwenang
tersebut harus dilakukan berdasarkan otoritas yang diberikannya dan tidak
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang telah ada untuk memastikan
keputusan perampasan dilakukan dengan cara di informasikan secara etis dan
transparan. Hal tersebut ditujukan agar tidak terdapat suatu penafsiran dan
pandangan negatif yang menuju kepada kesewenangan para aparatur penegak hukum,
dan demi terjaminnya juga hak-hak para pihak yang terkait dengan tindakan
perampasan aset tersebut. Karena dalam hal pelaksanaan perampasan aset tanpa
putusan pidana tersebut haruslah dilakukan dengan tidak dijadikan sebagai
seharusnya tidak pernah menjadi pengganti untuk penuntutan pidana Dikarenakan
dasar untuk melakukan tindakan perampasan didasarkan atas suatu penilaian dan
praduga, tidak dengan berdasarkan kekuatan hukum yang tetap (putusan hakim)
yang telah ada kepastian hukumnya, yang seharusnya dilakukan secara profesional
karena melihat pada adanya kepentingan-kepentingan yang ada sehingga apabila
tidak dilakukan dengan suatu dasar ketentuan yang tidak jelas maka akan
menimbulkan suatu kerugian kepada berbagai pihak yang terkait
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan
uraian yang telah dikemukakan diatas
sebagai berikut :
-
Kesimpulan
Mekanisme perampasan aset terhadap pihak
ketiga secara hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini adalah dilakukan
berdasarkan keputusan pidana, dengan melalui kenyakinan untuk menetapkan pelaku
adalah terpidana dan diajukannya tuntutan perampasan kepada aset pelaku untuk
mengembalikan kerugian yang ada akibat kejahatan yang dilakukanya. Serta secara
simultan dapat dilakukan juga upaya diluar mekanisme penuntutan pidana tersebut
melalui gugatan perdata, yang dilakukan tanpa adaanya persidangan terlebih
dahulu. Tentunya mekanisme perampasan baik secara pidana maupun gugatan perdata
masih dirasakan memilki kelemahan dan kekurangan dalam memberikan kewajiban dan
jaminan perlindungan kepada pihak ketiga yang terkait dengan tindakan
perampasan tersebut sehingga dapat terjadi penindasan dan pelanggaran hak azasi
manusai serta menimbulkan korban baru dari tindakan perampasan tersebut.
-
Saran
Akan lebih lengkap apabila pengaturan
perampasan aset tindak pidana dihubungkan dan menjadi kesatuan yang tidak
terpisahkan dengan rencana perubahan ketentuan umum hukum pidana materiil (RUU
KUHP) dan ketentuan umum hukum acara pidana (Draf RUU KUHAP) karena keduanya
merupakan dasar pengaturan (pembangunan) sistem hukum pidana nasioanl
Indonesia. Dan juga memberikan kepastian hukum dalam pihak ketiga yang terkait
pada aset tindak pidana korupsi, sehingga kedudukan pihak ketiga mendapat
jaminan kepastian hukum atas hak dan kewajibannya serta perlindungan atas
kesewenangan aparatur penegak hukum dalam menerapkan mekanisme perampasan aset
secara pidana maupun secara non pidana.
KATA
PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas ijin-Nya maka
saya dapat menyelesaikan penulisan karya tulis ini dalam rangka mengikuti
seleksi Pengadaan Personal Satuan Pelaksana (SATLAK) dan Petugas Tata Usaha
Pusat Pemulihan Aset Kejaksaan Republik Indonesia Gelombang II Tahun Anggaran
2015.
Dengan mengambil menulisan untuk strategi pemberantasan tindak pidana
korupsi, penulis mencoba melakukan suatu
pendalaman untuk dimengerti bagaimana
seharusnya upaya pemberantasan korupsi dapat diberantas dengan baik dengan bukan
semata sebatas pemidanaan tetapi lebih kepada pengembalian kerugian negara yang
juga sudah berpindah kepada pihak ketiga.
Penulis menyadari dengan sepenuhnya
karya tulis ini di buat dengan keterbatasan pengetahuan dan
kemampuan serta tidak luput dari segala
kekurangan, oleh karena itu kriitk dan saran sangat diharapkan oleh penulis
sebagai acuan penyempurnaan karya tulis ini.
Semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
khususnya bagi penulis dan sebagai salah satu pertimbangan saya diterima
sebagai Personal Satuan Pelaksana (SATLAK) Pemulihan Aset Kejaksaan RI.
Pematang Siantar, 4 Pebruari 2015
Penulis
Daftar Pusataka
Konsideran
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kamus Besar
bahasa Indonesia, Jakarta; Pusat bahasa Depertemen Pendidkan nasional, 2008
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cetakan 26,
Jakarta; Intermasa, 1994.
Poerwadarminta,
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta;
Balai Pustaka. 1998
Seminar anti-coruption clearing house, dengan judul “aset koruptor, mengapa harus disita?.
Seno Adji, Korupsi dan Pemegakan
hukum, CV Diadit Media, Jakarta, hal 41
Barwa Nawawi Arif, Bahan masukan
untuk Tim Pakar Departemen Hukum dan Perundang-Undangan, 1999, Kebijakan Legislatif dalam penanggulangan
Korupsi dan Evaluasi terhadap Undang-Undang Pemberantasan Korupsi.
Alatas, Syeb Hussein, Sosiologi
Korupsi sebuah Penjalahan dengan Data Kontemporer. Jakarta. LP3ES, 1986.
KARYA TULIS
DALAM RANGKA MENGIKUTI SELESKSI
Pengadaan
Personal Satuan Pelaksana (SATLAK) dan Petugas Tata Usaha Pusat Pemulihan Aset
Kejaksaan Republik Indonesia Gelombang II Tahun Anggaran 2015
PERAMPASAN ASET TERHADAP HASIL TINDAK PIDANA
KORUPSI
YANG DIALIHKAN KEPADA PIHAK KETIGA
OLEH :
Nama : Paris Manalu, SH.MH.
NIP/NRP : 197609920 1999031002/49976183
Jabatan : Kepala Seksi Perdata dan Tata Usaha
pada Kejari Pematang Siantar
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
|
||
DAFTAR ISI ..................................................................................................
hal
|
||
BAB I Pendahuluan.....................................................................................
..
|
1
|
|
1.1
|
Latar belakang..............................................................................
...
|
1
|
1.2
|
Rumusan masalah..............................................................................
|
3
|
BAB II PEMBAHASAN..............................................................................
......
|
4
|
|
BAB III PENUTUP..............................................................................
...... ...
|
|
|
|
Kesimpulan ..............................................................................
......
|
14
|
|
Saran..............................................................................
...... ......
|
14
|
Daftar Pustaka..............................................................................
...... ......
|
|
[1] Konsideran Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undnag Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
[2] Kamus Besar bahasa Indonesia, Jakarta; Pusat bahasa Depertemen
Pendidkan nasional, 2008, hal 4.
[3] Subekti, Pokok-pokok Hukum
Perdata, Cetakan 26, Jakarta; Intermasa, 1994, hal. 60.
[4] Poerwadarminta, Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta; Balai Pustaka. 1998. Hal. 451.
[5] Seminar anti-coruption clearing house, dengan judul “aset koruptor, mengapa harus disita?
[6] Korupsi dan Pemegakan hukum,
Seno Adji, CV Diadit Media, Jakarta, hal 41
[7] Bahan masukan untuk Tim Pakar Departemen Hukum dan Perundang-Undangan,
1999, Kebijakan Legislatif dalam
penanggulangan Korupsi dan Evaluasi terhadap Undang-Undang Pemberantasan Korupsi.
Barwa Nawawi Arif.
[8] Sosiologi Korupsi sebuah Penjalahan dengan
Data Kontemporer. Alatas, Syeb Hussein. Jakarta. LP3ES, 1986, hal 3.