Minggu, 08 Maret 2015

“minus”…….Sarjana hukum dengan tuntutan profesi


“minus”…….Sarjana hukum dengan tuntutan profesi

Para sarjana hukum yang bersebaran di berbagai lembaga penegak hukum bukan hanya tidak mampu menjadikan hukum sebagai panglima dalam perang melawan korupsi, melainkan banyak di antara mereka yang selain terlibat korupsi juga memperkuat budaya korupsi. Bisa kita lihat, betapa banyak hakim, jaksa, polisi, pengacara, dan sarjana hukum yang dijebloskan ke penjara karena korupsi.

Perdebatan terbuka antara sesama ahli dan penegak hukum karena yang satu membela koruptor, sedangkan yang lain memperjuangkan penghukuman terhadap koruptor sering kali menghina akal sehat publik. Anehnya, dalam kasus korupsi yang lain mereka bisa bertukar posisi, yang semula berdiri sebagai pembela perjuangan antikorupsi, dalam kasus yang berbeda bisa menjadi pembela koruptor dengan dalil yang tadinya dipakai lawan. Yang semula membela koruptor kini tampil gagah membela lawan koruptor.

Nurani penegakan hukum sering dibuang begitu saja dari logika hukum yang memang bisa dibangun dengan mencari-cari dalil yang logis. Dalam kasus korupsi, misalnya, filsafat, asas, dan norma hukum sering kali dijungkirbalikkan untuk membela koruptor dan menguatkan serangan terhadap lembaga-lembaga pemberantas korupsi. Pasal-pasal hukum itu bisa saja dicari untuk membenarkan atau menyalahkan satu pihak, tergantung pada apa yang diinginkan hakim.

Seorang hakim, misalnya, kalau ingin memenangkan seseorang bisa memakai pasal ini undangundang nomor sekian, tapi kalau mau mengalahkan atau menghukumnya bisa memakai pasal dan undang-undang bernomor lain lagi. Pokoknya, semua ada pasalnya. Oleh karena semua alternatif, mau menghukum atau membebaskan itu, selalu bisa dicarikan dan selalu ada dalilnya, dalam memutus perkara ”keyakinan hakim” menjadi penentu utama.

Di antara banyak dalil yang bisa digunakan untuk membebaskan atau menghukum seseorang itu seorang hakim harus bertumpu pada keyakinan dan bertanya kepada hati nuraninya. Hakim harus bertanya pada hati nuraninya, mana yang paling tepat atau paling mendekati kebenaran di antara berbagai alternatif yang dapat dijadikan vonis atas perkara yang sedang ditanganinya.

Celakanya, kerap kali muncul putusan hakim yang dibuat bukan karena bisikan hati nurani, melainkan karena kolusi. Putusan yang lahir dari kolusi itu kemudian dibungkus dengan dalih ”itulah keyakinan hakim dan hakim tak boleh diintervensi”. Buktinya, banyak hakim yang dihukum karena vonisnya yang korup. Banyak juga yang tidak bisa dijerat hukum karena lihainya membungkus dengan pasal-pasal penguat yang dipilihnya secara sepihak, tetapi putusannya sangat menusuk rasa keadilan.
Tidak jarang juga hakim membuat vonis-vonis jahat seperti itu karena berkolusi atau bermafiaria dengan penegak hukum yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar