Pada hakikatnya wewenang praperadilan “terkunci” dalam empat alasan. Yaitu: sah tidaknya penangkapan dan atau penahanan; sah tidaknya penghentian penyidikan dan atau penghentian penuntutan; ganti rugi atau rehabilitasi atas upaya paksa (berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, pemasukan rumah, dan penyitaan); dan sah atau tidaknya penyitaan.
Permohonan Praperadilan dalam kasus penetapan tersangka yang
belum dilakukan penahanan, sebab memang tidak pernah ditangkap dan ditahan. Mungkin
yang dipermasalahkan pencekalan atas dirinya yang kemudian dianggap sama halnya
dengan proses penahanan. Tapi sayangnya, oleh KUHAP tidak secara tegas terdapat
ketentuan yang menjelaskan lebih lanjut; apakah pencengkalan merupakan bagian
dari bentuk penahanan terhadap tersangka?
Permohonan praperadilan dalam orang yang sudah ditetapkan sebagai
tersangka sebetulnya yang menitikberatkan pada tuntutan ganti kerugian karena
penetapan statusnya sebagai tersangka. Tidak sahnya penetapan status tersangka dalam
contoh kasus BG dipermasalahkan oleh karena bukti permulaan yang dimiliki oleh
KPK berupa LHA PPATK dan data elektronik berikut tidak masuk sebagai
terpenuhinya “bukti pemulaan” minimum dua alat bukti.
Kuasa hukum dalam
kasus BG menuntut ganti rugi kiranya dapat dilakukan karena tindakan lain tanpa
alasan yang berdasarkan Undang-Undang atau kekeliruan mengenai orangnya atau
hukum yang diterapkan (vide: Pasal 95 ayat 1 KUHAP). In casu a quo
frasa ‘tindakan lain” ini
ditafsirkan sebagai penetapan status tersangka tidak layak (baca: tidak sah),
oleh karena bukti permulaannya tidak terpenuhi. Tapi sayang sekali, mungkin
karena tidak jeli atas penjelasan frasa “tindakan lain” dalam ketentuan
tersebut, sehingga ditafsirkan hanya untuk menguntungkan semata kliennya.
Padahal secara “ketat” tindakan lain sudah dijelaskan dalam KUHAP ”kerugian
karena tindakan lain adalah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah,
penggeledahan, dan penyitaan tidak sah menurut hukum.” Itu artinya pemaknaan
tindakan lain sebagai penetapan tersangka yang tidak sah sudah pasti terjadi
kesalahan tafsir. Sehingga kesimpulan yang dapat ditarik, bahwa penetapan status tersangka sama sekali keluar kotak (out of
the box) dari limitasi wewenang praperadilan.
Yang harus diperhatikan, bahwa tidak dipenuhinya atau tidak
diakomodasinya “hak atas perlindungan” tersangka dari persangkaan yang tidak
wajar dalam forum praperadilan tidak berarti tersangka akan kehilangan
hak-haknya untuk melakukan perlawan. Sebab masih ada tempat untuk menguji
persangkaan tindak pidana ini di forum pengadilan nantinya.
Hal ini harus dikembalikan pada asas presumption of
guilty yang secara deskriptif faktual menjadi dasar terhadap seorang bisa
ditetapkan sebagai tersangka. Makna praduga bersalah di sini adalah sifatnya
deskriptif faktual yang disandarkan pada dua alat bukti permulaan. Sehingga
seorang tersangka yang dinyatakan terduga “bersalah” tidak ada otoritas lain
yang bisa memberikan kepastian selain hakim pengadilan. Bukanlah hakim tunggal
yang diberi kewenangan untuk mengadili, memeriksa dan memutus dalam kompetensi
praperadilan atas terduganya orang sebagai pelaku tindak pidana.
Satu dan lain hal yang perlu dicamkan dalam persidangan
untuk membuktikan bersalah tidaknya terdakwa. Antara alat bukti, termasuk cara
memperoleh alat bukti (relevan atau tidak), harus bersesuaian dan mendukung
ketentuan tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa.
========================================
MENGGUNAKAN LOGIKA HUKUM YANG ABSURD
Pertimbangan putusan yang menyebutkan jabatan Kepala Biro Pembinaan Karyawan (Karo Kumkar) Mabes Polri sebagai jabatan administratif dan bukan sebagai penyelidik negara, merupakan pertimbangan yang yang aneh.
"sebenarnya apapun jabatannya di kepolisian, selama masih mengenakan pakaian polisi entah pangkatnya balok merah, brigadir maupun jenderal, semuanya jelas merupakan petugas penegak hukum. Jadi sangat aneh kalau hakim menyebutkan jabatan Karo Binkar Mabes Polri dianggap bukan jabatan penegak hukum,''.
bila logika hukum yang digunakan hakim diterapkan, maka banyak sekali pejabat-pejabat kepolisian di jabatan administrif, yang akan dianggap bukan sebagai penegak hukum.
Sementara dalam hal pengertian korupsi, menyebutkan, dalam aturan hukum yang ada sudah ditegaskan bahwa korupsi tidak hanya hal-hal yang menyangkut masalah kerugian negara. Tapi juga mencakup masalah penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan untuk kepentingan pribadi.
Hakim praperadilan yang menyidangkan masalah ini sudah menggunakan logika hukum yang absurd.
MENGGUNAKAN LOGIKA HUKUM YANG ABSURD
Pertimbangan putusan yang menyebutkan jabatan Kepala Biro Pembinaan Karyawan (Karo Kumkar) Mabes Polri sebagai jabatan administratif dan bukan sebagai penyelidik negara, merupakan pertimbangan yang yang aneh.
"sebenarnya apapun jabatannya di kepolisian, selama masih mengenakan pakaian polisi entah pangkatnya balok merah, brigadir maupun jenderal, semuanya jelas merupakan petugas penegak hukum. Jadi sangat aneh kalau hakim menyebutkan jabatan Karo Binkar Mabes Polri dianggap bukan jabatan penegak hukum,''.
bila logika hukum yang digunakan hakim diterapkan, maka banyak sekali pejabat-pejabat kepolisian di jabatan administrif, yang akan dianggap bukan sebagai penegak hukum.
Sementara dalam hal pengertian korupsi, menyebutkan, dalam aturan hukum yang ada sudah ditegaskan bahwa korupsi tidak hanya hal-hal yang menyangkut masalah kerugian negara. Tapi juga mencakup masalah penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan untuk kepentingan pribadi.
Hakim praperadilan yang menyidangkan masalah ini sudah menggunakan logika hukum yang absurd.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar