Jelaskan Asas-asas yang mesti
ditegakkan dalam sengketa atau
perkara perdata, agar putusan yang dijatuhkan tidak mengandung cacat.
Jawab :
Asas tersebut dijelaskan
dalam Pasal 178 HIR, Pasal 189 RGB, dan
Pasal 19 UU No . 4 Tahun 2004 (dulu dalam Pasal 18 UU No. 14
Tahun 1970 tentang Kekuasaan kehakiman
).
1.
Memuat dasar alasan yang jelas dan
rinci.
Menurut
asas ini putusan yang dijatuhkan
harus berdasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup. Putusan
yang tidak memenuhi ketentuan itu
dikategorikan putusan yang tidak cukup
pertimbangan atau onvoldoende gemotiveerd
(insufficient judgement).
Alasan–alasan
hukum menjadi dasar pertimbangan
bertitik tolak dari ketentuan :
-
Pasal-pasal tertentu peraturan perundang –undangan,
-
Hukum kebiasaan,
-
Yuris prudensi, atau
-
Doktrin hukum.
Hal ini
ditegaskan dalam pasal 23 UU No
1970, sebagaimana di ubah dengan UU No
35 Tahun 1999 sekarang dalam Pasal 25 ayat (1) UU No .4 Tahun 2004, yang menegaskan
bahwa segala putusan pengadilan harus memuat
alasan–alasan dan dasar-dasar
putusan mencantumkan pasal–pasal peraturan
perundang–undangan tertentu yang bersangkutan dengan perkara yang
diputus atau berdasarkan hukum tak tertulis maupun yurisprudensi atau doktrin hukum.
Bahkan menurut pasal 178 ayat (1) HIR, hakim
karena jabatanya atau secara exofficio, wajib mencukupkan segala alasan hukum yang tidak dikemukakan para pihak yang berperkara .
Untuk memenuhi kewajiban itu,
pasal 27 ayat (1) UU No 14 Tahun 1970, sebagaimana di ubah dengan UU No 35 Tahun 1999,
dimuat dalam Pasal 28 ayat (1) UU
No 4 Tahun 2004 memerintah hakim dalam kedudukan sebagai penegak
hukum dan keadilan ,wajib menggali mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan hidup dalam masyarakat
. Menurut pasal ini hakim berperan dan bertindak sebagai perumus dan penggali nilai
–nilai yang hidup dikalangan masyarakat.
Bertititk tolak
dari ketentuan pasal-pasal yang dikemukakan di atas, putusan yang tidak
cukup pertimbangan adalah masalah
yuridis . Akibatnya putusan yang seperti itu dapat dibatalkan pada tingkat banding atau kasasi.
Hal itu
ditegaskan dalam putusan MA No .443
K/Pdt/1986 dalam perkara ini
penggugat dalam dalil gugatan
mengatakan utang tergugat Rp
13.134.312,00 tambah bunga akan ,tetapi pengadilan dalam putusannya
menetapkan utang tergugat sebeesar Rp 14.300.000,00 tampa disertai pertimbangan dan alasan –alasan hukum mengapa jumlahnya demikian. Padahal setelah
majelis kasasi meneliti surat peryataan terguuugat, surat mana tidak dibantah tergugat, berarti tergugat mengakui,
bahwa jumlah utangnya sebesar Rp
21.132.230,00 yang terdiri dari utang pokok dan bunga. Demikian juga putusan MA No 2461 K/Pdt /1984 . judex facti
di anggap salah menerapkan hukum
dan sekaligus putusan yang
dijatuhkan dinyatakan tidak cukup
pertimbangan, karena tidak seksama dan rinci menilai dan mempertimbangkan segala fakta yang
ditemukan dalam proses persidangan.
Begitu
juga pertimbangan yang mengandung kontradiksi pada dasarnya
dianggap tidak memenuhi
syarat sebagai putusan yang jelas dan rinci sehingga cukup alasan menyatakan putusan yang di ajukan melanggar
asas yang digariskan pasal 178 ayat (1) HIR Pasal 189 ayat (1) RBG Dan
Pasal 19 UU No .4 Tahun 2004 (
dahulu Pasal 18 UU No. 14 Tahun 1970), demikian
penegasan yang terkadung dalam putusan MA No 3538 K /Pdt /1984.
2. Wajib Mengadili Seluruh Bagian
Gugatan
Asas kedua
digariskan dalam pasal 178 ayat (2) HIR, Pasal 189 ayat (2) RGB dan pasal 50 Rv, putusan harus secara total dan menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap segi
gugatan yang di ajukan. Tidak boleh hanya memeriksa dan memutuskan sebagian saja,
dan mengabaikan gugatan selebihnya, cara
mengadili yang demikian bertentangan dengan asas yang digariskan
undang-undang.
sebagai
contoh kasus Putusan MA No 109 K/Sip/1960 dalam perkara yang di ajukan
meliputi dalil pokok:
1)
Pihak penggugat dan tergugat ditetapkan ahli waris dari pewaris
2)
Tanah sengketa ditetapkan
sebagai harta peninggalan pewaris
3)
Menghukum tergugat menyerahkan tanah terperkara untuk dibagi waris kepada
penggugat dan tergugat.
Pengadilan
tingkat pertama, menolak gugatan (2) dan ke (3), tetapi tidak megadili dan memutuskan Tututan gugatan (1). Menurut tingkat kasasi,
cara mengadili segala gugatan, MA menyatakan meskipun tuntutan gugatan (2) dan
(3) ditolak tuntutan (1) harus diputus dan di adili, jika kedua bela pihak
terbukti ahli waris dan pewaris, harus dikabulkan sepanjang gugatan itu, sebliknya
jika tidak terbukti, gugatan itu pun harus ditolak .
Begitu juga putusan yang hanya mempertimbangkan dan memutus
gugatan konvensi, padahal tergugat mengajukan
gugatan rekonvensi. Cara mengadili yang demikian bertentangan dengan
asas yang digariskan Pasal 178 ayat (3) HIR, karena tindakan yang demikian memeriksa gugatan tidak menyeluruh tetapi hanya
sebagian saja. Demikian yang di
peringatkan putusan MA No 104 K/Sip/1968. Putusan yang tidak memeriksa dan memutuskan gugatan konvensi ,berarti
pengadilan telah mengabaikan dan tidak melaksanakan ketentuan pasal 132 b HIR, oleh karena itu
putusan itu harus dibatalkan.
Dalam kasus ini
MA putusan itu harus dibatalkan.
Dalam kasus ini MA berpendapat putusan
PN tersebut melanggar Pasal 132 b HIR, khususnya ayat (3) yang menyatakan dalam
hal tergugat mengajukan gugatan rekonvensi maka gugatan itu harus diselesaikan
dan diputuskan sekaligus bersama-sama
dengan gugatan konvensi, akan tetapi ditinjau dari segi asas, putusan dalam
kasus tersebut sekaligus juga melanggar
prinsip yang digariskan Pasal 178 ayat(2)HIR, yakni pengadilan melanggar
kewajiban memeriksa dan memutuskan seluruh gugatan.
3. Tidak Boleh Mengabulkan Melebihi
Tuntutan
Asas lain,
digariskan pada pasal 178 ayat (3) HIR dan Pasal 189 ayat (3) RBG Dan Pasal 50 Rv. Putusan tidak boleh
mengabulkan melebihi tunutan yang dikemukakan dalam gugatan. Larangan ini
disebut ultra petitum partium hakim yang mengabulkan melebihi
posita maupun petitum gugat, dianggap telah melampaui wewengnya (beyond
the power of his auhority). Apabila putusan mengandung ultra petitum harus dinyatakan cacat (invalid) meskipun hal itu dilakukan hakim
dengan ikikad baik (good faith) maupun sesuai dengan kepentingan umum (public
interest) mengadili dengan cara mengabulkan melebihi dari apa yang digugat, dapat
di persamakan dengan tindakan yang tidak sah (ilegal) meskipun dilakukan dengan
ikikat baik.
Oleh karena itu hakim yang melanggar
tindakan prinsip titum sama dengan pelanggaran
terhadap perinsip rule of law ;
-
Karena
tindakan itu tidak sesuai dengan hukum ,padahal sesuai dengan prinsip rule of law semua tindakan hakim mesti sesuai dengan hukum (accordance with the law),
-
tindakan
hakim yang mengabulkan melebihi dari yang di tuntut ,nyata-nyata malampaui batas wewenang yang di berikan Pasal 178 ayat (3) HIR kepadanya tindakan
yang melampaui batas wewenang (beyoud the power of his aouthority).
Sehubungan
dengan itu sekiranya tindakan ultra
petitum itu dilakukan hakim berdasarkan
alasan ikikat baik, tetap tidak di benarkan atau ilegal, karena melanggar
prinsip the rule of law (the principal of the rule of law ), oleh
karena itu tidak dapat dibenarkan. Hal ini pun ditegaskan oleh MA No 1001
K/Ship 1972 yang melarang hakim
mengabulkan hal-hal yang diminta atau
melebihi daripada yang diminta .yang dibenarkan paling tidak putusan
yang dijatuhkan hakim ,masih dalam kerangka
serasi dengan inti gugatan. Demikian penegasan Putusan MA No 140 K/Ship 1971.
Putusan
judex facti yang didasarkan pada
pentitum subsidair yang berbentuk Ex aequo et bono, dapat dibenarkan asal masi
dalam kerangka yang sesuai dengan inti
petitum primair. Bahkan terdapat juga putusan yang lebih jauh dari itu dalam putusan MA No 140 K/Ship /1971, dimungkinkan
penegasan putusan MA No 556 K/Ship/1971.Dimungkinkan mengabulkan gugatan yang
lebih permintaan dengan syarat asal masih sesuai dengan kejadian materiil namun
perlu diingat permintaan yang demikian sangat kasuistik.
Akan tetapi
sebaliknya dalam hal petitum primair dan subsidair masing- masing dirinci
satu persatu,tindakan hakim yang mengabulkan sebagian petitum primair dan
sebgian lagi petitum subsidair, dianggap tindakan yang melampaui batas wewenang
,oleh karena itu tidak dibenarkan. Demikian penegasan putusan MA No 882 K
/Ship/1974. Dalam gugat mencantumkan patitum primair dan kebebasan cara
mengadili dengan jalan mengabulkan petitum primair atau mengambil sebagian dari
petitum subsidair. Putusan harus dibatalkan karena putusan PT mengabulkan ganti
rugi yang tidak diminta dalam bentuk gugatan. Begitu juga putusan yang didasari atas pertimbngan
yang menimpang dari gugatan, menurut
putusan MA No.372/K /Ship 1970 harus dibatalkan.
4. Diucapkan Dimuka Umum
a)
Prinsip
keterbukaan untuk umum bersifat imperatif Persidangan dan putusan di ucapkan
dalam sidang penadilan yang terbuka utuk umum, merupakan ng tidak salah satu
bagian yang tidak terpisahkan dari asas fair trial menurut asas fair trial
berdasarkan proses yang jujur sejak awal
sampai akhir. Dengan demikian prinsip peradilan terbuka untuk umum mulai
dari awal pemeriksaan sampai putusan dijatuhkan, merupakan bagian dari
asas fair trial. Dalam literatur disebut the open justice principle .tujuan
utamanya untuk menjamimn proses peradilan terhindar dari perbuatan tercela (
misbehavior)dari pejabat peradilan. Melalui prinsip terbuka umum, dianggap
memiliki efec pencegahan (deterrent
effect) terjadinya proses peradilan yang bersifat berat sebelah (partial )atau
diskriminatif, karena proses pemeriksaan sejak awal sejak awal sampai putusan
dijatuhkan dilihat dan didengar publik.hal ini membuat hakim lebih berhati-hati
melakukan kekeliruan (eror) dan penyalagunaan wewenang pada satu segi dan
mencegah saksi melakukan sumpah
palsu pada sisi lain.
b)
Akibat
Hukum atas Pelanggaran asas keterbukaan. Prinsip pemeriksaan dan putusan di
ucapkan secara terbuka ditegaskan dalam Pasal 18 UU No. 14 Tahun 1970, sebagaimana
diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999
sekarang dalam pasal 20 UU No. 4 Tahun 2004 yang berbunyi: Semua putusan
pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuasaan hukum apabila di ucapkan dalam sidang terbuka umum.
Mengenai prinsip ini, juga ditegaskan dalam penjelasan umum angka 5 huruf c UU No 14 Tahun 1970 :
diwajibkan supaya pemeriksaan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh sekurang-kurangnyatiga orang hakim
,kecuali undang–undang menentukan lain. Dalam acara Pidana ,Prinsip ini
ditegaskan dalam pasal 64 KUHAP. Terdakwa berhak diadili di sidang
pengadilan yang terbuka untuk umum. Berdasarkan Pasal 19 Ayat (2) jo
Pasal 20 UU No .4 Tahun 2004 di atas
pelanggaran atas prinsip keterbukaan dimaksud mengakibatkan putusan
yang dijatuhkan :
·
Tidak
sah, atau
·
Tidak
mempunyai kekuasaan hukum.
Salah satu putusan MA yang
menegaskan hal itu di muka umum. Terhadap tindakan ini dalam kasus ini putusan
tidak di ucapkan di muka umum. Terhadap tindakan itu peradilan
kasasi membatalkan putusan tersebut atas
alasan putusan itu bertentangan dengan ketentuan Pasal UU No. 14 Tahun1970
(sekarang Pasal 20 UU No. 4 Tahun 2004).
c). Dalam Hal Pemeriksaan Secara tertutup,
putusan tetap diucapkan dalam sidang
terbuka.
Dalam kasus tertentu, peraturan
perundang-undang membenarkan pemeriksaan
dilakukan dalam sidang tertutup. Akan tetapi, pengecualian ini sangat terbatas
yang paling utama dalam bidang hukum kekeluargaan ,Khususnya mengenai perkara
perceraian. Menurut pasal 39 ayat (3) UU
No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan, tata
cara perceraian di depan sidang pengadilan di atur dalam peraturan
perundang-undangan tersendiri kemudian itu digariskan dalam Pasal 33 PP No
.9 Tahun 1975 sebagai ketentuan pelaksanaan pasal itu menegaskan pemeriksaan
gugatan perceraian menurut pasal 33
tersebut :
·
Tidak
hanya terbatas pada pemeriksaan para pihak yang berperkara,
·
Tetapi
meliputi juga bagi pemeriksaan sanksi-sanksi.
Akan tetepi meskipun peraturan perundang-undang membenarkan perkara perceraian diperiksa secara tertutup, namun Pasal 34 PP tersebut
menegaskan : Sepanjang mengenai proses
pengucapan putusan tetap tunduk kepada
ketentuan 1999, sekarang di atur dalam Pasal 20 UU No .4 Tahun 2004.
d.
Diucapkan
Dalam Sidang Pengadilan
Dimana ditegakan prinsip
pemeriksaan dan pengucapan putusan yang terbuka untuk umum? Dilakukan dalam
ruang sidang gedung pengadilan yang ditentukan untuk itu .inilah patokan
umum yakni ruang sidang gedung pengadi.
Hal ini jauh hari sudah ditegaskan dalam SEMA No .04 Tahun 1974. Selain
persidangan harus terbuka untuk umum pemeriksaan dan pengucapan putusan hanya sah dan
mempunyai kekuatan hukum apabila dilakukan
dalam sidang pengadilan.
Pada setiap gedung tersebut telah ditentukan
beberapa ruang sidang dan secara khusus .hanya diruangan itu boleh
dilakukan pemeriksaan pengucapan
putusan.
Tidak boleh dilakukan diluar ruangan yang telah ditentukan sebagai ruang
sidang.
Ruang kerja hakim atau ruang
Administrasi, bukan ruang sidang. Pemeriksa dan pengucapan yang dilakukan
ditempat itu meskipun dinyatakan terbuka untuk umum tidak sah karna dilakukan diluar sidang pengadilan.
Dalam hal-hal tertentu dibenarkan
melakukan pemeriksaan diluar ruang sidang
gedung pengadilan. Seperti pemeriksaan setempat atas barang objek perkara
pasal 153 ayat (1) HIR membenarkan pemeriksaan persidangan dilakukan di tempat barang terletak. Begitu
juga sidang membuat sumpah ,memang ada prinsipnya dilakukan di ruang sidang
pengadilan .Akan tetapi dalam hal tertentu Pasal 158 ayat 1 HIR, Pasal 1944 KUH
Perdata membolehkan sidang pengucapan sumpah di rumah pihak yang diperintahkan
mengucapkan sumpah pocong, sidang tentangam hanya, bahkan dapat dilakukan
masjid. jadi, sepanjang undang-uraian ini menurut pasal di atas :
-
Cukup
berupa ringkasan dalil gugtan
-
Tetapi
harus jelas dan di mengerti.
Dimasa yang lalu ,pada era zaman
kolonial ketentuan ini di pedomani, perumusan pokok perkara dalam putusan
diringkas dari dalil gugatan. Tidak
diambil alih secara keseluruhan dari
gugatan penggugat. Akan tetapi pada masa belakangan ini:
-
Jarang
dijumpai putusan PN yang merumuskan pokok perkara dalam putusan diringkas
-
Tetapi
secara total diamb alih keseluruhan isi dalil
gugatan dan persis sama kalimat titik ,dan, komanya.
Nampaknya
praktik ini telah merupakan teknis peradilan yang baku sehinggga menjadi kalimat
yang baku, sehinga PT dan MA tidak mempersoalkanya lagi. Seolah-olah timbul kesepakatan di antara hakim untuk apa susah –susah meringkas isi gugatan dan persis sama lebih baik ambil dan contek saja dari gugatan si penggugat dan dengan cara ini tidak ada resiko
kesalahan atau kekeliruan
merumuskanya dalam putusan .oleh
karena praktik yang berlaku sekarang sudah
demikian ,dan cara ini di angggap tidak menimbulkan persoal hukum, perumusan
tersebut tidak bertentangan dengan Pasal
184 ayat (1) HIR ,Pasal 195 RGB.
Bersambung
.......
Untuk
mengusir rasa kejenuhan sebagai Kasi Datun di Kejari Pematang Siantar
Aku
mulai membaca buku-buku Hukum Acara Pidana, sulit sekali untuk mengingatnya,
terpaksa point-point penting saya ketik sebagai cara untuk mengingatnya.....