Kamis, 12 Maret 2015

Perampasan Aset terhadap hasil Tipikor


PERAMPASAN ASET TERHADAP HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI
YANG DIALIHKAN KEPADA PIHAK KETIGA

BAB I
Pendahuluan
1.1          Latar Belakang
Tindak pidana korupsi yang merajalela di tanah air membuat tidak hanya merugikan keuangan negara  tetapi telah merupakan pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.  Tidak sedikit aset publik dikorupsi, dilarikan dan disimpan pada sentra-sentra finasial dinegara-negara maju yang terlindungi oleh sistem hukum yang belaku dinegara tersebut dan jasa profesional disewa oleh koruptor, sehingga tidak mudah melacak apalagi memperoleh kembali aset yang dicuri dan disembunyikan pada sentra finasial dunia.[1]
Pengertian aset dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “aset” mengandung arti sesuatu yang memiliki nilai tukar; modal; kekayaan.[2]  Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) pasal 499 yang dinamakan kebendaan, yaitu tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik. Sedangkan menurut sifatnya, benda dibedakan menjadi benda bergerak yaitu yang dihabiskan dan tidak dapat dihabiskan, serta benda tidak bergerak baik yang sudah ada ditangan pihak ketiga.[3]  Dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu “Harta kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung.”  Yang dimaksud dengan aset dalam PERJA-013/A/JA/06/2014 tentang Pemulihan Aset dan PERJA-027/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Pemulihan Aset, “semua benda, baik materiil maupun immateriil, bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, dan dokumen atau instrumen hukum yang memiliki nilai ekonomis.
Perampasan secara terminologi berasal dari kata “rampas” memiliki makna ambil/dapat dengan paksa (dengan kekerasan).[4] Menurut UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPK), dalam pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa perampasan  dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita. Dan sebagaimana diatur dalam pasal 18 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 dikatakan bahwa perampasan sebagai salah satu bentuk pidana tambahan. PERJA-013/A/JA/06/2014 tentang Pemulihan Aset dan PERJA-027/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Pemulihan Aset, Perampasan adalah tindakan paksa yang dilakukan oleh negara untuk memisahkan hak atas aset berdasarkan putusan pengadilan.
Secara terminologi tentang pihak ketiga dalam sistem hukum pidana tentunya dilihat pada subjek yang terkait, karena dalam hal kedudukan pihak ketiga memiliki banyak orientasi yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan defenisi dan bahkan peranannya pada perkara hukum pidana.
Pada pengertian pihak ketiga yang diatur didalam KUHAP adalah “pihak ketiga yang berkepentingan” meliputi pihak-pihak yang secara langsung maupun tidak menderita kerugian karena dihentikannya penyidikan dan penuntutan, maupun dalam permintaan ganti rugi dan rehabilitasi. Terkait dengan tindak pidana korupsi dalam modus operandinya, pihak ketiga tentunya berperan penting dalam kegiatannya bisa sebagai subjek yang turut serta dalam melakukan tindak pidana korupsi. Secara modusnya pelaku korupsi akan mengikut sertakan pihak-pihak lain untuk melakukan upaya penghilangan jejak dan penyelamatan aset hasil kejahatan dari pengintaian pihak berwajib. Sementara dalam prakteknya terdapat berbagai kemungkinan yang dapat menghalangi penyelesaian mekanisme penindakan seperti itu, contohnya tidak ditemukannya  atau meninggalnya atau  adannya halangan lain yang mengakibatkan pelaku tidak bisa menjalani pemeriksaan dipengadilan, atau tidak ditemukannya bukti yang cukup untuk mengajukan tuntutan ke pengadilan dan sebab-sebab yang lainnya.
Bahwa Penyitaan aset para pelaku korupsi baik yang sudah jatuh ketangan pihak ketiga merupakan langkah antisipatif yang bertujuan untuk menyelamatkan atau mencegah larinya harta kekayaan sebagaimana salah satu dari ketentuan umum Perja-013/A/JA/06/2014 tentang Pemulihan Aset.  Harta kekayaan inilah yang kelak diputuskan oleh pengadilan, apakah harus diambil sebagai upaya untuk pengembalian kerugian keuangan negara atau sebagai pidana tambahan berupa merampas hasil kejahatan.
Sehingga Proses penyitaan adalah suatu upaya paksa yang menjadi bagian dari tahap penyidikan, sedangkan proses perampasan terjadi setelah adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap (inkracht). Sehingga sangat diperlukan pelacakan aset sudah dapat dilakukan sejak dalam tahap penyelidikan.

1.2          Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penyusunan  rumuskan masalah sebagai berikut : “Bagaimana mekanisme perampasan aset terhadap aset hasil tindak pidana korupsi yang dialihkan kepada pihak ketiga”.









BAB II 

PEMBAHASAN

Mengingat perkembangan modus operandi tindak pidana korupsi yang semakin berkembang dan bersifat komplikatif, sehingga pihak koruptor dalam melakukan korupsinya menggunakan pihak ketiga untuk melaksanakan pengamanan ataupun pengalihan aset hasil korupsinya, dengan begitu akan menghilangkan jejak aset kejahatannya agar sulit dilacak oleh pihak yang berwenang. Pengalihan aset kejahatan korupsi oleh koruptor kepada pihak ketiga dapat dilakukan dalam bentuk apapun, seperti  bentuk dalam  penanaman dan penyertaan modal usaha (investasi), kegiatan usaha perdagangan saham, forex, obligasi dan akta berharga lainnya, pemberian piutang, serta kegiatan-kegiatan usaha lain dalam perekonomian yang terkait dalam pihak ketiga.
Pasca pengesahan Undang-undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang baru yaitu Undang-undang No. 8 Tahun 2010,) KPK mendapat legitimasi menangani TPPU (predicate crime : korupsi) sehingga kegiatan asset tracing juga diarahkan untuk:
·       Mendeteksi sejak awal (sejak tahap penyidikan) seluruh harta kekayaan tersangka dan atau keluarga yang mencurigakan dan tidak sesuai dengan profilnya yang diduga sebagai hasil TPK;
·       Hasil asset tracing digunakan selain untuk pembuktian TPK juga untuk menemukan indikasi TPPU.[5]

Kegagalan dalam memberantas insfrastruktur ekonomi para pelaku kejahatan dan kegagalan membatasi  ruang gerak organisasi kejahatan akan sangat mengurangi efektifitas penuntutan terhadap kejahatan tersebut. Dengan ini kedudukan pihak ketiga dalam hak-hak dan kewajibannya terhadap tindakan perampasan aset tersebut harus memiliki kepastian hukum dalam melakukan upaya hukum dalam perlindungannya sehingga tindakan perampasan aset tidak menimbulkan kesulitan pada pihak lain, karena tujuan perampasan aset  adalah  selain bertujuan untuk pemulihan aset negara juga agar pelaku tidak dapat menikmati hasil kejahatan sehingga dalam praktek mengakomodir pihak ketiga dalam hal perampasan aset pada perkara tindak pidana korupsi. Seperti  kasus yang melibatkan pihak ketiga, uang hasil korupsi dibelanjakan menjadi aset properti, selanjutnya menjual kepada pihak ketiga dengan perjanjian perdata yang sah. Contoh lain, ada kejahatan korupsi tersebut dijadikan andil dalam sebuah persekutuan untuk usaha, sehingga adannya pengabungan aset yang akan digunakan sebagai permodalan usaha sehingga pada kondisi seperti ini telah ada pihak yang terkait dalam kepentingan.
 Modus-modus  yang digunakan  untuk menyembunyikan uang hasil kejahatan oleh para pelaku tindak pidana korupsi diantaranya adalah :[6]
1)    Harta Kekayaan tidak bergerak, Para pejabat korup atau pelaku kejahatan yang menghasilkan banyak uang cenderung menggunakan dana-dana yang didapat dari hasil kejahatannya untuk membeli benda tidak bergerak atas nama pemilik sebenarnya atau dengan mengikutsertakan pihak ketiga dalam nama seseorang kerabat atau sekutunya. Transaksi-transaksi properti dapat dimanupulasi untuk menggunakan hasil-hasil modal yang tampak untuk menyamarkan dana-dana gelap tersebut.
2)    Pembelian barang-barang berharga, Dana-dana korupsi dapat digunakan untuk membeli barang-barang berharga seperti mobil, logam mulia dan perhiasan, sehingga pihak penyidik dan penuntut harus menentukan kepemilikan, nilai dan sumber dana yang digunakan untuk membeli barang tersebut.
3)    Saham-saham domestik, Saham-saham domestik yang terdaftar secara publik dapat dibeli dan dijual seorang pialang saham.
Perampasan aset terhadap pelaku tindak pidana korupsi didasarkan atas pasal 18 huruf (a) Undang-Undang tindak pidana korupsi yang menyatakan : “perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan  untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut”.
Berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan tetap maka aset yang dikuasai oleh pelaku tindak pidana korupsi dapat diambil secara paksa sesuai dengan nilai kerugian yang timbul akibat tindak pidana korupsi yang dilakukan tersebut. Akan tetapi akan menimbulkan suatu kendala apabila aset kejahatan tersebut berada dipihak ketiga yang terkait kepentingannya. Seperti dalam hal tindakan perampasan aset dapat dilakukan dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum adannya putusan dijatuhkan terhadapnya dengan didapatnya  bukti yang cukup kuat bahwa bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan pihak penuntut umum menetapkan tindakan perampasan terhadap barang-barang yang disita sebelumnya (Pasal 38 angka 5 UU Tipikor).
Perampasan menurut pasal 38 angka 5 UU Tipikor tersebut merupakan pengecualian dari pasal 77 KUHP,  yang menyatakan bahwa “hak menuntut hilang karena meninggalnya si tersangka”. Pengecualian atau penyimpanan ini dibenarkan berdasarkan pasal 103 KUHP yang menganut asas  lex specialis derogat lex generalis,  akan tetapi pembenaran tersebut sejauhmana apabila diantara kedua Undang-undang tersebut mengatur suatu materiele daad  yang sama, maka lex specialis yang harus diberlakukan.
Pasal 38 KUHAP telah mengatur bahwa seorang penyidik dapat melakukan penyitaan atas dasar surat izin dari Pengadilan Negeri setempat (atau tanpa surat izin dari hakim apabila dalam situasi yang mendesak dan hanya terhadap benda bergerak namun setelah penyitaan wajib memberikan laporan penyidik kepada Pengadilan Negeri setempat).
Pasal 39 mengatur tentang benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan yaitu:
a.    Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagian hasil dari tindak pidana;
b.    Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau mempersiapkannya;
c.     Benda yang dipergunakan untuk menghalangi-halangi penyidikan tindak pidana;
d.    Benda yang khusus dibuat dan diperuntukan untuk melakukan tindak pidana;
e.    Benda lain yang memiliki hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
Pasal 44 KUHAP mengatur mengenai benda yang disita harus disimpan dirumah penyimpanan benda sitaan negara (RUPBASAN). Pasal 45 KUHAP mengatur dalam hal benda yang disita mulai rusak atau berbahaya sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, atau biaya penyimpanan atas barang-barang tersebut terlalu tinggi maka benda tersebut dapat dijual atau dilelang atau bisa diamankan oleh penyidik atau penuntut umum yang sejauh mungkin disetujui dan disaksikan oelh tersangka atau kuasa hukumnya jika kasusnya masih dalam tangan penyidik atau jaksa, sedangkan apabila perkara tersebut sudah berada ditangan pengadilan maka benda tersebut dapat diamankan atau dijual oleh jaksa PU atas izin Hakim yang menyidangkan perkara dan disaksikan oleh terdakwa dan kuasa hukumnya.
Pasal 46 KUHAP menetapkan bahwa benda yang dikenankan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda disista, atau kepada orang atau kepada mereka  yang paling  berhak apabila kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi; perkara tersebut tidak jadi dituntut karena  tidak cukup bukti atau ternyata bukan meruakan perkara tindak pidana; perkara tersebut dikesampingkan demi kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari satu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana dan apabila perkaranya diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang patut disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau dirusak sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.
Adapun terhadap perampasan secara pengaturan  dan tata laksananya tidak jauh  berbeda dengan penyitaan, hanya saja tindakan perampasan merupakan tindakan yang dilakukan secara paksa untuk menguasai secara parmanen. Dalam hal ini perampasan dilakukan berdasarkan sebuah putusan  hakim yang telah memiliki kekuatan tetap sebagai sanksi pidana terhadap terpidana, yang didasarkan atas tuntutan penuntut umum pada sidang pengadilan (Pasal 38 B ayat 3 UU Tipikor).
Terhadap perampasan tersebut dapat dilakukan upaya pengembalian apabila ada kepentingan-kepentingan/ hak-hak dari pihak ketiga yang dirugikan, terkait dengan aset yang dirampas tersebut pihak ketiga dapat melakukan pembuktian bahwa kepentingan/hak tersebut benar adannya dan tidak merupakan bagian dari suatu tindak pidana korupsi atau kepunyaan terpidana (pasal 19 ayat 1 UU TIPIKOR).  Dengan ini pihak ketiga dapat mengajukan  surat keberatan  kepada pengadilan  yang bersangkutan, dalam waktu paling 2 (dua) bulan setelah putusan pengadilan ditetapkan disidang terbuka untuk umum (pasal 19 ayat 2 UU Tipikor).
Dalam hal perampasan harta kekayaan yang telah dialihkan oleh pihak ketiga tentunya dilakukan berdasarkan apa yang telah dijelaskan  diatas bahwa haruslah ada putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan tetap yang menyatakan terdakwa  terbukti telah melakukan tindak pidana  korupsi dan dinyatakan  sebagai terpidana dengan dikenakan  tuntutan untuk dirampas harta kekayaanya yang merupakan hasil kejahatan dari tindak pidana korupsi.
Dan jika harta kekayaan telah dipindahtangankan  atau dikuasai oleh pihak lain maka secara langsung atau tidak langsung  tindakan perampasan  dilakukan terhadap aset  tersebut tanpa melihat keberadaan harta tersebut berada dalam penguasaan  siapa, dan berdasarkan perlindungan hukum pada pasal 19 UU TIPIKOR,  diberikan upaya terhadap pihak-pihak yang mersa dirugikan atas tindakan perampasan aset tersebut untuk melakukan keberatan dengan melakukan pembuktian terbalik. Maka pada posisi ini tentu peranan mekanisme  pembuktian terbalik sangat dominan dalam mekanisme perampasan aset yang dimana aset tersebut dikuasai atau berada pada pihak ketiga.
Terhadap aset yang telah dialihkan kepada pihak ketiga oleh pelaku tindak pidana korupsi, dengan tujuan agar aset tersebut tidak dapat diketahui oleh aparatur penegak hukum sehingga kejahatan tidak dapat terungkap. Dengan ini ada upaya yang dapat dilakukan pihak aparatur penegak hukum untuk melakukan tindakn dari modus-modus yang secara umum maupun secara khusus yang dapat dilakukan oleh pelaku tindak pidana korupsi, diantaranya adalah; traksaksi-transaksi properti dapat dimanipulasi untuk menggunakan hasil-hasil modal yang tampak untuk menyamarkan dana-dana gelap tersebut.[7]
Berdasarkan pada modus tersebut maka aparatur penegak hukum yang diberi kewenangan dalam melakukan penelusuran atau penyidikan untuk mendapat pembuktikan dengan melakukan tindakan; pengeledahan atas tersangka dan tanah bangunan terkait dapat mengenali dokumen-dokumen atau referensi-referensi atas properti pertanahan, seperti catatan harian tersangka, wawancara kepada pihak yang dibutuhkan, identifikasi  setiap transaksi termasuk terhadap barang-barang berharga.
Berdasarkan kenyataan dalam praktek upaya-upaya tersebut dalam dilihat beberapa kelemahan atau bahkan kesulitan yang ada sebagai penghambat atau penghalang dalam rangka mekanisme perampasan aset untuk pemulihan aset dari terjadinya tindak pidana.
Perampasan aset yang berasal dari tindak pidana melalui jalur keperdataan tidak serta merta melanggar asas praduga tak bersalah atau priviliged against self-incrimination sekalipun tidak perlu dibuktikan kesalahan tersangka/terdakwa. Sedangkan perampasan aset tindak pidana melalui jalur kepidanaan harus terlebih dulu dibuktikan kesalahan orang yang menguasai aset tersebut sampai memperoleh putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap; jika tidak demikian  perampasan aset tindak pidana melanggar asas praduga tak bersalah.
Menjadi sebuah polemik ketika pelaku tindak pidana korupsi menikmati hasil kejahatannya (aset) dengan digunakan untuk kepentingan pribadi atau bahkan kepentinganbersama dengan pihak lainnya. Maka dari itu akan terjadi pencampuran kepentingan-Implikasi perampasan kepentingan yang ada, serta adanya penyatuan harta kekayaan. Sebagai contoh adalah apabila aset kejahatan korupsi tersebut dijadikan andil dalam sebuah persekutuan untuk usaha, sehingga adanya penggabungan aset yang akan digunakan sebagai permodalan usaha sehingga pada kondisi seperti ini telah ada pihak yang terkait dalam kepentingannya.
Problematik tersebut diantaranya adalah dalam hal pemenuhan uang pengganti oleh terpidana yang tidak mempunyai itikad untuk membayarnya, terkendala disebabkan harta-harta tersebut sudah beralih status  atas nama pihak ketiga, sedangkan untuk menelusuri asal usul pihak ketiga tersebut, kejaksaan tidak berhak menyidiknya. Hal ini terjadi dikarenakan pada ikatan antara pelaku dengan pihak ketiga dapat terjadi dengan didasarkan  asas-asas hukum perdata yang memang harus dinilai memiliki kekuatan hukum yang sah.
Juga apabila modus peralihan tersebut terjadi pada antar batas yurisdiksi yang berlainan, yaitu adannya kendala yang datang dari negara tempat penyimpanan aset (negara yang diminta). Negara yang peminta biasanya memberikan syarat yang harus membuktikan aset-aset yang disimpan di negara yang diminta benar hasil kejahatan korupsi, juga akan terbentur  oleh mekanisme kerahasian bank dan juga permasalahan biaya yang cukup besar.
Perampasan aset haruslah dimaksudkan untuk menguasai keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana sehingga tindakan tersebut merupakan uapaya pencegahan terhadap kemungkinan adannya perbuatan berlanjut dari suatu tindak pidana atau untuk melakukan tindak pidana lain dimasa yang akan datang.
Dalam pelaksanannya harus ada jaminan bahwa seseorang yang tidak bersalah atau beritikad baik dikecualikan dari ketentuan perampasan aset selama ia dapat menunjukan bukti-bukti yang cukup tentang keterlibatannya atau ketidaktahuannya terhadap kejahatan yang terkait dengan harta kekayaan tersebut. Terkait dengan perampasan yang ditujukan kepada aset yang telah dialihkan atau dikuasai pihak ketiga maka jika aset yang dirampas dari pihak ketiga, pihak ketiga yang bersangkutan berhak atas konpesasi kerugian dari pelaku tindak pidana. Hal ini jika memang terbukti apabila pihak ketiga merupakan pihak yang bersih dan kapabilitasnya tidak terkait dengan perbuatan tindak pidana.[8]
Secara kedudukannya pihak ketiga didalam mekanisme perampasan aset secara putusan pidana maupun tanpa putusan pidana, secara prinsip memiliki pandangan yang berbeda satu sama lain.  pada perampasan asset secara putusan pidana maka kedudkan pihak ketiga adalah mereka pihak selain dari pihak pelaku/intelektual dari suatu perkara tindak pidana korupsi, yang dengan ini pihak ketiga terkait dengan asset yang akan dirampas berdasarkan putusan pidana tersebut, karena  pada perampasan aset yang ditujukan adalah aset  sendiri tanpa mementingkan siapa pemilik atau pun siapa yang menguasai.
Berdasarkan kenyataan dalam praktek upaya-upaya tersebut dapat dilihat beberapa kelemahan atau bahkan kesulitan yang ada sebagai penghambat atau penghalang dalam rangka mekanisme perampasan aset untuk pemulihan aset (recovery aset) dari terjadinya tindak pidana korupsi. Problematik tersebut diantaranya adalah dalam hal pemenuhan uang pengganti oleh terpidana yang tidak mempunyai itikad untuk membayarnya, terkendala disebabkan harta-harta tersebut sudah beralih atas nama pihak ketiga, sedangkan untuk menelusuri asal usul pihak ketiga tersebut, kejaksaan tidak mempunyai kewenangan menyidiknya. Hal ini terjadi dikarenakan pada ikatan antara pelaku dengan pihak ketiga dapat terjadi dengan didasarkan asas-asas perdata yang memang harus dinilai memiliki kekuatan hukum yang sah. Salah satunya adalah kebebasan berkontrak dengan didasarkan atas asumsi itikad baik. Kalaupun digunakan instrument (gugatan) perdata, kedalanya adalah sistem pembuktian (yang mendalilkan harus membuktikan). Padahal pihak ketiga tersebut umumnya telah mempunyai bukti formal (dalam bentuk Sertifikat rumah, tanah, BPKB, dsb).
Sementara Jaksa tidak memiliki bukti sebagaimana dimaksud. Terhadap barang bukti yang dirampas, tidak dapat segera diuangkan karena harus melalui pelelangan yang membutuhkan biaya, khususnya untuk tenaga ahli dalam penaksiran ataupun auditor dan minat dari pihak pembeli;
Untuk mencegah alasan perlindungan terhadap pihak ketiga ini disalahgunakan, maka harus ditetapkan pula dalam hal-hal apa saja harta kekayaan hasil tindak pidana yang terkait dengan pihak ketiga tersebut tetap dapat dirampas oleh Negara, antara lain meliputi:
1.    Segala bentuk gratifikasi atau transaksi yang menguntung pihak ketiga, baik secara individual maupun badan hukum;
2.    Harta kekayaan yang terkait dengan pihak ketiga di mana pihak ketiga tersebut mengetahui atau berdasarkan situasi yang ada seharusnya dapat menduga bahwa harta kekayaan tersebut berasal dari tindak pidana, atau dimaksudkan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana;
3.    Harta kekayaan yang diterima oleh pihak ketiga nyata-nyata melebihi dari apa yang seharusnya diterima;
4.    Harta kekayaan hasil kejahatan yang digadaikan, dibebani hipotek, atau dijadikan jaminan dalam bentuk lain;
5.    Harta kekayaan hasil kejahatan yang digunakan untuk membayar hutang atau kewajiban-kewajiban secara perdata kepada pihak ketiga;

Pada umumnya permasalahan yang dihadapi dalam pengaturan perampasan adalah bahwa penjahat biasannya untuk menghilangkan/mengelapkan aset dialihkan atas nama orang lain/pihak ketika, termasuk teman-teman dekat dan anggota keluarga, sebagai cara untuk menghindari deteksi dan perampasan. Dengan ini diperlukannya suatu dasar hukum untuk dapat melakukan tindakan perampasan aset secara langsung ketika terdapat indikasi-indikasi atau dugaan yang mengarah kepada aset tersebut.
Bahwa tindakan perampasan aset secara pidana  yang akan dilakukan terhadap aset yang telah berada/dialihkan kepada pihak ketiga dengan berbagai cara (pembelian, peminjaman ataupun penyimpanan dengan peralihan hak atau kuasa) harus didasarkan atas tindakan sebelumnya yang diambil yaitu diantaranya harus melihat apakah peralihan aset tersebut kepada pihak ketika dilakukan tanpa ada kompensasi (timbal balik).
Dalam hal pengambilan kebijakan (diskresi) oleh aparat yang berwenang tersebut harus dilakukan berdasarkan otoritas yang diberikannya dan tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang telah ada untuk memastikan keputusan perampasan dilakukan dengan cara di informasikan secara etis dan transparan. Hal tersebut ditujukan agar tidak terdapat suatu penafsiran dan pandangan negatif yang menuju kepada kesewenangan para aparatur penegak hukum, dan demi terjaminnya juga hak-hak para pihak yang terkait dengan tindakan perampasan aset tersebut. Karena dalam hal pelaksanaan perampasan aset tanpa putusan pidana tersebut haruslah dilakukan dengan tidak dijadikan sebagai seharusnya tidak pernah menjadi pengganti untuk penuntutan pidana Dikarenakan dasar untuk melakukan tindakan perampasan didasarkan atas suatu penilaian dan praduga, tidak dengan berdasarkan kekuatan hukum yang tetap (putusan hakim) yang telah ada kepastian hukumnya, yang seharusnya dilakukan secara profesional karena melihat pada adanya kepentingan-kepentingan yang ada sehingga apabila tidak dilakukan dengan suatu dasar ketentuan yang tidak jelas maka akan menimbulkan suatu kerugian kepada berbagai pihak yang terkait













BAB III
PENUTUP

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas  sebagai berikut :
-       Kesimpulan
Mekanisme perampasan aset terhadap pihak ketiga secara hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini adalah dilakukan berdasarkan keputusan pidana, dengan melalui kenyakinan untuk menetapkan pelaku adalah terpidana dan diajukannya tuntutan perampasan kepada aset pelaku untuk mengembalikan kerugian yang ada akibat kejahatan yang dilakukanya. Serta secara simultan dapat dilakukan juga upaya diluar mekanisme penuntutan pidana tersebut melalui gugatan perdata, yang dilakukan tanpa adaanya persidangan terlebih dahulu. Tentunya mekanisme perampasan baik secara pidana maupun gugatan perdata masih dirasakan memilki kelemahan dan kekurangan dalam memberikan kewajiban dan jaminan perlindungan kepada pihak ketiga yang terkait dengan tindakan perampasan tersebut sehingga dapat terjadi penindasan dan pelanggaran hak azasi manusai serta menimbulkan korban baru dari tindakan perampasan tersebut.
-       Saran
Akan lebih lengkap apabila pengaturan perampasan aset tindak pidana dihubungkan dan menjadi kesatuan yang tidak terpisahkan dengan rencana perubahan ketentuan umum hukum pidana materiil (RUU KUHP) dan ketentuan umum hukum acara pidana (Draf RUU KUHAP) karena keduanya merupakan dasar pengaturan (pembangunan) sistem hukum pidana nasioanl Indonesia. Dan juga memberikan kepastian hukum dalam pihak ketiga yang terkait pada aset tindak pidana korupsi, sehingga kedudukan pihak ketiga mendapat jaminan kepastian hukum atas hak dan kewajibannya serta perlindungan atas kesewenangan aparatur penegak hukum dalam menerapkan mekanisme perampasan aset secara pidana maupun secara non pidana.

KATA  PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas ijin-Nya maka saya dapat menyelesaikan penulisan karya tulis ini dalam rangka mengikuti seleksi Pengadaan Personal Satuan Pelaksana (SATLAK) dan Petugas Tata Usaha Pusat Pemulihan Aset Kejaksaan Republik Indonesia Gelombang II Tahun Anggaran 2015.
Dengan mengambil menulisan untuk strategi pemberantasan tindak pidana korupsi,  penulis mencoba melakukan suatu pendalaman  untuk dimengerti bagaimana seharusnya upaya pemberantasan korupsi dapat diberantas dengan baik dengan bukan semata sebatas pemidanaan tetapi lebih kepada pengembalian kerugian negara yang juga sudah berpindah kepada pihak ketiga.
Penulis menyadari dengan sepenuhnya  karya tulis ini di buat dengan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan  serta tidak luput dari segala kekurangan, oleh karena itu kriitk dan saran sangat diharapkan oleh penulis sebagai acuan penyempurnaan karya tulis ini.
Semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya khususnya bagi penulis dan sebagai salah satu pertimbangan saya diterima sebagai Personal Satuan Pelaksana (SATLAK) Pemulihan Aset Kejaksaan RI.

Pematang Siantar,  4  Pebruari 2015

Penulis






 
Daftar Pusataka

Konsideran Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kamus Besar bahasa Indonesia, Jakarta; Pusat bahasa Depertemen Pendidkan nasional, 2008
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cetakan 26, Jakarta; Intermasa, 1994.
Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta; Balai Pustaka. 1998
Seminar anti-coruption clearing house, dengan judul “aset koruptor, mengapa harus disita?.
Seno Adji, Korupsi dan Pemegakan hukum, CV Diadit Media, Jakarta, hal 41
Barwa Nawawi Arif, Bahan masukan untuk Tim Pakar Departemen Hukum dan Perundang-Undangan, 1999, Kebijakan Legislatif dalam penanggulangan Korupsi dan Evaluasi terhadap Undang-Undang Pemberantasan Korupsi.
Alatas, Syeb Hussein, Sosiologi Korupsi sebuah Penjalahan dengan Data Kontemporer.  Jakarta. LP3ES, 1986.












 


KARYA TULIS
DALAM RANGKA MENGIKUTI SELESKSI
Pengadaan Personal Satuan Pelaksana (SATLAK) dan Petugas Tata Usaha Pusat Pemulihan Aset Kejaksaan Republik Indonesia Gelombang II Tahun Anggaran 2015


PERAMPASAN ASET TERHADAP HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI
YANG DIALIHKAN KEPADA PIHAK KETIGA














 










OLEH :
Nama           : Paris Manalu, SH.MH.
NIP/NRP      : 197609920 1999031002/49976183
Jabatan       : Kepala Seksi Perdata dan Tata Usaha
  pada Kejari Pematang Siantar


 
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI     .................................................................................................. hal
BAB  I Pendahuluan..................................................................................... ..
1
1.1
Latar belakang.............................................................................. ...
1
1.2
Rumusan masalah..............................................................................
3
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................. ......
4
BAB III PENUTUP.............................................................................. ...... ...


Kesimpulan .............................................................................. ......
14

Saran.............................................................................. ...... ......
14
Daftar Pustaka.............................................................................. ...... ......




[1] Konsideran Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undnag Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
[2] Kamus Besar bahasa Indonesia, Jakarta; Pusat bahasa Depertemen Pendidkan nasional, 2008, hal 4.
[3] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cetakan 26, Jakarta; Intermasa, 1994, hal. 60.
[4] Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta; Balai Pustaka. 1998. Hal. 451.
[5] Seminar anti-coruption clearing house, dengan judul “aset koruptor, mengapa harus disita?
[6] Korupsi dan Pemegakan hukum, Seno Adji, CV Diadit Media, Jakarta, hal 41
[7] Bahan masukan untuk Tim Pakar Departemen Hukum dan Perundang-Undangan, 1999, Kebijakan Legislatif dalam penanggulangan Korupsi dan Evaluasi terhadap Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. Barwa Nawawi Arif.
[8]  Sosiologi Korupsi sebuah Penjalahan dengan Data Kontemporer. Alatas, Syeb Hussein.  Jakarta. LP3ES, 1986, hal 3.

Minggu, 08 Maret 2015

“minus”…….Sarjana hukum dengan tuntutan profesi


“minus”…….Sarjana hukum dengan tuntutan profesi

Para sarjana hukum yang bersebaran di berbagai lembaga penegak hukum bukan hanya tidak mampu menjadikan hukum sebagai panglima dalam perang melawan korupsi, melainkan banyak di antara mereka yang selain terlibat korupsi juga memperkuat budaya korupsi. Bisa kita lihat, betapa banyak hakim, jaksa, polisi, pengacara, dan sarjana hukum yang dijebloskan ke penjara karena korupsi.

Perdebatan terbuka antara sesama ahli dan penegak hukum karena yang satu membela koruptor, sedangkan yang lain memperjuangkan penghukuman terhadap koruptor sering kali menghina akal sehat publik. Anehnya, dalam kasus korupsi yang lain mereka bisa bertukar posisi, yang semula berdiri sebagai pembela perjuangan antikorupsi, dalam kasus yang berbeda bisa menjadi pembela koruptor dengan dalil yang tadinya dipakai lawan. Yang semula membela koruptor kini tampil gagah membela lawan koruptor.

Nurani penegakan hukum sering dibuang begitu saja dari logika hukum yang memang bisa dibangun dengan mencari-cari dalil yang logis. Dalam kasus korupsi, misalnya, filsafat, asas, dan norma hukum sering kali dijungkirbalikkan untuk membela koruptor dan menguatkan serangan terhadap lembaga-lembaga pemberantas korupsi. Pasal-pasal hukum itu bisa saja dicari untuk membenarkan atau menyalahkan satu pihak, tergantung pada apa yang diinginkan hakim.

Seorang hakim, misalnya, kalau ingin memenangkan seseorang bisa memakai pasal ini undangundang nomor sekian, tapi kalau mau mengalahkan atau menghukumnya bisa memakai pasal dan undang-undang bernomor lain lagi. Pokoknya, semua ada pasalnya. Oleh karena semua alternatif, mau menghukum atau membebaskan itu, selalu bisa dicarikan dan selalu ada dalilnya, dalam memutus perkara ”keyakinan hakim” menjadi penentu utama.

Di antara banyak dalil yang bisa digunakan untuk membebaskan atau menghukum seseorang itu seorang hakim harus bertumpu pada keyakinan dan bertanya kepada hati nuraninya. Hakim harus bertanya pada hati nuraninya, mana yang paling tepat atau paling mendekati kebenaran di antara berbagai alternatif yang dapat dijadikan vonis atas perkara yang sedang ditanganinya.

Celakanya, kerap kali muncul putusan hakim yang dibuat bukan karena bisikan hati nurani, melainkan karena kolusi. Putusan yang lahir dari kolusi itu kemudian dibungkus dengan dalih ”itulah keyakinan hakim dan hakim tak boleh diintervensi”. Buktinya, banyak hakim yang dihukum karena vonisnya yang korup. Banyak juga yang tidak bisa dijerat hukum karena lihainya membungkus dengan pasal-pasal penguat yang dipilihnya secara sepihak, tetapi putusannya sangat menusuk rasa keadilan.
Tidak jarang juga hakim membuat vonis-vonis jahat seperti itu karena berkolusi atau bermafiaria dengan penegak hukum yang lain.

Sabtu, 21 Februari 2015

Advokat menerima legal fee dalam menangani kasus

Advokat dan fee dalam menangani kasus

Advokat sebagai professional selain dituntut untuk memenuhi tanggung jawab kepada masyarakat juga dituntut memenuhi kebutuhan materinya. Para advokat harus menentukan pilihan dimana posisi mereka dalam hal honorarium atau legal fee ini.
Advokat sering dikatakan sebagai profesi yang terhormat (officum nobile). Padangan tersebut lahir dari fungsi kemasyarakatan yang dijalankan oleh profesi advokat. Orang yang menjalankan fungsi kemasyarakatan tersebut didorong oleh penghormatan atas martabat manusia. Karena landasannya adalah penghormatan atas martabat manusia dan menuntut keahlian serta sikap etis maka pekerjaan advokat dipandang sebagai pekerjaan bermartabat.
Kegiatan profesional harus dibedakan dari kegiatan bisinis, terutama pada pencapaian tujuannya. Dalam konteks bisnis, kembali modal/uang kepada pemilik modal adalah tujuan akhir, sedangkan profesi justru menitik beratkan tujuan pada kesdiaan melakukan kegiatan yang bermotif melayani.
Cita – cita sebuah profesi pada dasarnya menuntut individu untuk memberikan pelayanan dan memperoleh kompensasinya berupa upaya memajukan kepentingan umum.  
Menurut Talcott Parsons, hal utama yang membedakan golongan professional darientrepreneur (wirausaha) adalah perbedaan nilai. Para Profesional tidak meletakan imbalan materi (profit-oriented) sebagai tujuan utama meskipun tetap menganggapnya perlu, sebaliknya para pengusaha menganggap mencari keuntungan adalah tujuannya.
Dalam penentuan honorarium atau legal fee seseorang advokat menetapkan dengan batasan – batasan yang layak dengan mengingat kemampuan klien. Sebagaimana diamanatkan oleh kode etik advokat Indonesia dalam bab hubungan dengan klien:  Bagian II Pasal 2 butir 2.8 Advokat harus menentukan honorarium dalam batas-batas  yang layak dengan mengingat kemampuan klien.  Bagian II Pasal 2 butir 2.9 Advokat tidak dibenarkan dengan sengaja membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu.
Memberikan legal opinion merupakan salah satu bagian dari jasa hukum advokat. Hal ini sebagaimana dimaksud pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003tentang Advokat yang menyatakan “Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien”.
Terlebih, legal opinion merupakan dasar perikatan dalam hubungan antara advokat dengan kliennya maka terhitung sejak legal opinion disampaikan kepada si klien maka sejak itu pulalah advokat yang bersangkutan berhak atas honorarium. Pembayaran terhadap jasa advokat itu sendiri dilakukan oleh klien yang menggunakan jasa si advokat tersebut dengan jumlah atau nominal yang telah disepakati, ini sesuai dengan isi UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat pasal 1 ayat 7, yang menyebutkan bahwa, “Honorarium adalah imbalan atas jasa hukum yang diterima oleh Advokat berdasarkan kesepakatan dengan Klien”. Juga yang disebutkan dalam pasal satu poin (f) dalam kode etik advokat Indonesia. Hal ini dimungkinkan kerena tidak adanya standarisasi baku yang mengatur tentang minimal dan maksimal jumlah bayaran jasa advokat.
Para advokat biasanya mengenakan tarif yang dianggap pantas oleh kedua belah pihak, atau menggunakan kisaran yang menurut kantor advokat bersangkutan pantas. Tidak ada suatu standar penentuan legal fee di kalangan Advokat/Pengacara. Besar kecilnya honorarium yang akan diterima oleh Advokat/Pengacara sangat tergantung kepada kesepakatan kedua belah pihak, klien dan Advokat/Pengacara yang didasarkan kepada beberapa hal, antara lain:
1.    Profesionalitas si Advokat/Pengacara (semakin terkenal berarti semakin mahal) 2. Besar kecilnya kasus yang ditangani.
2.    Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan perkara tersebut.
3.    Kemampuan financial si klien.
4.    Lokasi kasus/perkara yangditangani (kalau di luar daerah/pulau berarti semakin mahal dengan penambahan biaya akomodasi dan transportasi).
Berdasarkan Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat dan Kode Etik Indonesia bahwa jasa Advokat lebih difokuskan pada hukum perjanjian sehingga berada pada azas kebebasan bagi mereka yang membuatnya. Itu tertuang dalam Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat pasal 1 ayat 7  “Honorarium adalah imbalan atas jasa hukum yang diterima oleh Advokat berdasarkan kesepakatan dengan Klien”.  
pasal 21 ayat (2) Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2003 yang berbunyi;  “Besarnya honorarium atas jasa hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak”. dan menurut Kode Etik Advokat Indonesia pasal 1 point (f) “Honorarium adalah pembayaran kepada advokat sebagai imbalan jasa advokat berdasarkan kesepakatan dan atau perjanjian dengan kliennya”. Berkenaan dengan perbuatan menerima legal fee sebagai bentuk hak yang boleh dilakukan ketika bantuan hukum sudah diberikan dengan ukuran yang wajar dan disepakati kedua belah pihak, hal demikian perjanjian kesepakatan antara advokat dan klien.
Bila melihat bunyi Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang  Ketenagakerjaan pasal 1 ayat 30; “Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurusuatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan”.
Honorarium advokat merupakan hak dari advokat atas dasar pekerjaan yang diberikan yaitu berupa jasa hukum kepada kliennya, menyerupai dengan rumusan upah pada pasal tersebut diatas. Dimana klien sebagai pengusaha atau majikan dan advokat sebagai pekeja atau buruh, dimana dalam hubungan advokat dengan klien ada suatu perjanjian antara mereka. Bisa disamakan bahwa perjanjian itu merupakan perjanjian kerja. Di satu sisi, advokat itu adalah profesi yang mulia (officum nobile) . Di sisi lain, ini adalah profesi untuk mencari uang juga, itu tidak bisa dipungkiri. Advokat ialah bisnis jasa yang mendapatkan penghasilan dari tugasnya yang memberikan jasa hukum. Ini lah yang dimaksudkan dengan kegiatan professional dengan kliennya yang memiliki dimensi ekonomi dalam pengertian nonekonomi. Non ekonominya yakni tugas sosial advokat untuk memberikan jasa hukum secara pro bono atau bantuan hukum cuma – cuma.
Meskipun seorang advokat mendapatkan penghasilan dari klien bukan berarti seorang advokat harus sepenuhnya turut pada perintah klien. Inilah yang membedakan advokat dengan pegawai atau buruh biasa. Tidak benar bila seorang klien mengatur seorang advokat apalagi terkait dengan langkah hukum yang akan digunakan dalam melakukan pembelaan terhadap klien.



Kamis, 12 Februari 2015

Penetapan Tersangka Bukan Wewenang Praperadilan


Pada hakikatnya wewenang praperadilan “terkunci” dalam empat alasan. Yaitu: sah tidaknya penangkapan dan atau penahanan; sah tidaknya penghentian penyidikan dan atau penghentian penuntutan; ganti rugi atau rehabilitasi atas upaya paksa (berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, pemasukan rumah, dan penyitaan); dan sah atau tidaknya penyitaan.
Permohonan Praperadilan dalam kasus penetapan tersangka yang belum dilakukan penahanan, sebab memang tidak pernah ditangkap dan ditahan. Mungkin yang dipermasalahkan pencekalan atas dirinya yang kemudian dianggap sama halnya dengan proses penahanan. Tapi sayangnya, oleh KUHAP tidak secara tegas terdapat ketentuan yang menjelaskan lebih lanjut; apakah pencengkalan merupakan bagian dari bentuk penahanan terhadap tersangka?
Permohonan praperadilan  dalam orang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka sebetulnya yang menitikberatkan pada tuntutan ganti kerugian karena penetapan statusnya sebagai tersangka. Tidak sahnya penetapan status tersangka dalam contoh kasus BG dipermasalahkan oleh karena bukti permulaan yang dimiliki oleh KPK berupa LHA PPATK dan data elektronik berikut tidak masuk sebagai terpenuhinya “bukti pemulaan” minimum dua alat bukti.
Kuasa hukum  dalam kasus BG menuntut ganti rugi kiranya dapat dilakukan karena tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan Undang-Undang atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan (vide: Pasal 95 ayat 1 KUHAP). In casu a quo frasa ‘tindakan lain” ini ditafsirkan sebagai penetapan status tersangka tidak layak (baca: tidak sah), oleh karena bukti permulaannya tidak terpenuhi. Tapi sayang sekali, mungkin karena tidak jeli atas penjelasan frasa “tindakan lain” dalam ketentuan tersebut, sehingga ditafsirkan hanya untuk menguntungkan semata kliennya. Padahal secara “ketat” tindakan lain sudah dijelaskan dalam KUHAP ”kerugian karena tindakan lain adalah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan, dan penyitaan tidak sah menurut hukum.” Itu artinya pemaknaan tindakan lain sebagai penetapan tersangka yang tidak sah sudah pasti terjadi kesalahan tafsir. Sehingga kesimpulan yang dapat ditarik, bahwa penetapan status tersangka sama sekali keluar kotak (out of the box) dari limitasi wewenang praperadilan.
Yang harus diperhatikan, bahwa tidak dipenuhinya atau tidak diakomodasinya “hak atas perlindungan” tersangka dari persangkaan yang tidak wajar dalam forum praperadilan tidak berarti tersangka akan kehilangan hak-haknya untuk melakukan perlawan. Sebab masih ada tempat untuk menguji persangkaan tindak pidana ini di forum pengadilan nantinya.
Hal ini harus dikembalikan pada asas presumption of guilty yang secara deskriptif faktual menjadi dasar terhadap seorang bisa ditetapkan sebagai tersangka. Makna praduga bersalah di sini adalah sifatnya deskriptif faktual yang disandarkan pada dua alat bukti permulaan. Sehingga seorang tersangka yang dinyatakan terduga “bersalah” tidak ada otoritas lain yang bisa memberikan kepastian selain hakim pengadilan. Bukanlah hakim tunggal yang diberi kewenangan untuk mengadili, memeriksa dan memutus dalam kompetensi praperadilan atas terduganya orang sebagai pelaku tindak pidana.
Satu dan lain hal yang perlu dicamkan dalam persidangan untuk membuktikan bersalah tidaknya terdakwa. Antara alat bukti, termasuk cara memperoleh alat bukti (relevan atau tidak), harus bersesuaian dan mendukung ketentuan tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa.
========================================
MENGGUNAKAN LOGIKA HUKUM YANG ABSURD

Pertimbangan putusan yang menyebutkan jabatan Kepala Biro Pembinaan Karyawan (Karo Kumkar) Mabes Polri sebagai jabatan administratif dan bukan sebagai penyelidik negara, merupakan pertimbangan yang yang aneh.
"sebenarnya apapun jabatannya di kepolisian, selama masih mengenakan pakaian polisi entah pangkatnya balok merah, brigadir maupun jenderal, semuanya jelas merupakan petugas penegak hukum. Jadi sangat aneh kalau hakim menyebutkan jabatan Karo Binkar Mabes Polri dianggap bukan jabatan penegak hukum,''.
bila logika hukum yang digunakan hakim diterapkan, maka banyak sekali pejabat-pejabat kepolisian di jabatan administrif, yang akan dianggap bukan sebagai penegak hukum.
Sementara dalam hal pengertian korupsi, menyebutkan, dalam aturan hukum yang ada sudah ditegaskan bahwa korupsi tidak hanya hal-hal yang menyangkut masalah kerugian negara. Tapi juga mencakup masalah penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan untuk kepentingan pribadi.
Hakim praperadilan yang menyidangkan masalah ini sudah menggunakan logika hukum yang absurd.