Rabu, 03 Desember 2014

Penelitian Perkara dan Pemeriksaan Tambahan

           Penelitian Perkara dan Pemeriksaan Tambahan



Menurut Remmelink hukum pidana bukan tujuan pada diri sendiri tetapi ditujukan untuk menegakan tertib hukum, melindungi masyarakat hukum. Menurut C. Beccaria, tujuan hukum pidana tiada lain agar penjahat tidak lagi melakukan kejahatan dan orang lain ngeri melakukan hal yang sama. Dari kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat dan menciptakan ketertiban.
Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap hukum pidana maka hukum akan bertindak melalui instrumennya yaitu para penegak hukum. Para penegak hukum akan memproses suatu perkara mulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai dengan pada proses pemeriksaan di pengadilan. Hal ini dimaksudkan untuk mencari kebenaran materiil yang merupakan tujuan dari hukum acara pidana.
Hubungan antara penyidik dengan jaksa penuntut umum dalam proses pidana sangat erat. Mulai dari proses penangkapan, penahanan sampai dengan proses penyerahan tersangka dan barang bukti, semuanya atas koordinasi antara penyidik dengan jaksa sebagai penuntut umum.
Dalam pelaksanaan tugasnya menangani perkara pidana, antara penyidik dan penuntut umum terjalin hubungan yang bersifat fungsional dan instansional.
Yang dimaksud dengan koordinasi fungsional adalah hubungan kerja sama antara penyidik dan penuntut umum menurut fungsi dan wewenangnya masing-masing dalam penanganan perkara pidana. Hubungan tersebut adalah hubungan kerja sama yang bersifat saling mengawasi antara penyidik dengan penuntut umum dalam proses penanganan perkara pidana. Hubungan ini diatur di dalam KUHAP. Sedangkan hubungan yang bersifat instansional adalah hubungan yang bersifat instansi antara kepolisian dengan kejaksaan yaitu diatur dengan petunjuk teknis atau petunjuk palaksanaan yang dikeluarkan oleh masing-masing pimpinan instansi maupun yang dikeluarkan dalam bentuk produk bersama. Hubungan antara penyidik dengan jaksa pada perkara pidana,dimulai sejak penyidik mengirimkan surat pemberithuan dimulainya penyidikan (SPDP) kepada jaksa.  Hal ini sebagai bentuk koordinasi penyidik kepada jaksa bahwa penyidik telah mulai melakukan tindakan penyidikan setelah melalui proses penyelidikan.
SPDP bertujuan untuk mempersiapkan penuntutan, agar jaksa penuntut umum mengikuti perkembangan pernyidikan suatu perkara yang akan dijadikan dasar penuntutan.
Selain dari pemberitahuan dimulainya penyidikan, penyidik juga berkoordinasi dalam hal penangkapan, penahanan, perpanjangan penahanan, penyitaan, penyerahan berkas perkara, sampai dengan penghentian penyidikan harus memberitahukan kapada jaksa.
Penyerahan berkas perkara dari penyidik kepada jaksa penuntut umum dalam prakteknya disebut sebagai penyerahan tahap I. Penyerahan tahap I dilakukan setelah penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dinyatakan cukup dan dapat diajukan kepada jaksa/penuntut umum kemudian dituangkan dalam bentuk berkas perkara dan diserahkan kepada jaksa penuntut umum untuk diperiksa dan sebagai dasar penuntutan perkara pidana.
Apabila jaksa penuntut umum berpendapat masih terdapat kekurangan baik secara formil maupun materiil dari berkas perkara tersebut maka jaksa penuntut umum memberitahukan hal itu kepada penyidik dengan menggunakan surat model P-18 perihal pemberitahuan bahwa berkas perkara hasil penyidikan belum lengkap dan segera dilakukan penyidikan tambahan, dan surat model P-19 yang berisi petunjuk yang harus dilengkapi.  Dan dalam waktu 14 hari penyidik wajib menyampaikan kembali berkas perkara yang sudah dilengkapi kepada jaksa penuntut umum.
Apabila dalam jangka waktu yang ditentukan tersebut penyidik tidak menyerahkan kembali berkas perkara maka jaksa penuntut umum harus mengirimkan surat susulan kepada penyidik dengan menggunakan formulir model P-20 yang isinya mengingatkan/meminta perhatian agar penyidik secepatnya menyelesaikan penyidikan tambahan dan segera menyerahkan kembali berkas perkara kepada jaksa penuntut umum.
Setelah dilakukan penyidikan tambahan dan berkas disampaikan kembali kepada jaksa penuntut umum, ternyata menurut penilaian jaksa masih belum lengkap maka penyidik harus melengkapi lagi, dan begitu seterusnya hingga jaksa berpendapat bahwa berkas telah lengkap dan dapat dilanjutkan pada Penyerahan Tahap II.
Penyidik dalam melakukan penyidikan tambahan, ternyata tidak mampu melengkapi petunjuk dari jaksa penuntut umum maka dalam hal ini untuk menghindari kekecewaan dan ketidakadilan yang dirasakan oleh korban tindak pidana, dan lepasnya seorang tersangka/terdakwa dari tuntutan hukum, yang berakibat pada tidak tercapainya tujuan hukum pidana. Seharusnya jaksa dapat melakukan pemeriksaan tambahan untuk melanjutkan memeriksa perkara dan untuk menunjang pembuktian pada proses penuntutan.
Pemeriksaan tambahan untuk menunjang pembuktian dalam suatu perkara pidana termaktub dalam perumusan pada Pasal 30 (1) huruf e Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI yaitu melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Untuk mengetahui pengertian dari pemeriksaan tambahan maka perlu diketahui mengenai kelengkapan berkas perkara.
Berkas perkara dapat dinyatakan lengkap apabila telah memenuhi syarat formil dan materiil.
Syarat formil adalah kelengkapan dalam hal surat-surat atau dokumen yang harus dilengkapi misalnya, Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), Surat Perintah Penyidikan, Surat Perintah Penangkapan, Surat Perintah Penahanan, Laporan Polisi, Berita Acara Pemeriksaan Saksi, Berita Acara Pemeriksaan Tersangka, Berita Acara Penahanan,dan lain-lain sesuai dengan yang tercantum dalam lampiran Petunjuk Teknis Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor B-401 /E/9/1993 tentang Pelaksanaan Tugas Prapenuntutan. Sedangkan kelengkapan materiil berkas perkara adalah hal-hal yang menyangkut isi atau fakta-fakta hukum yang terdapat dalam berkas perkara, misalnya unsur delik yang disangkakan, alat bukti, kejadian perkara.
Dari penjelasan mengenai kelengkapan berkas perkara maka dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan tambahan adalah semua tindakan yang ditujukan untuk melengkapi berkas perkara, yaitu antara lain; memanggil dan memeriksa saksi, ahli, tersangka, memeriksa surat serta menggeledah dan menyita serta semua tindakan yang dilaksanakan untuk mencari alat bukti guna melengkapi berkas perkara.
Dalam Pasal 203 ayat 3 huruf b KUHAP yang berbunyi, sebagai berikut :
“Dalam hal Hakim memandang perlu pemeriksaan tambahan supaya diadakan pemeriksaan tambahan dalam waktu paling lambat 14 hari dan bilamana dalam waktu tersebut Penuntut Umum juga dapat menyelesaikan pemeriksaan tambahan, maka Hakim memerintahkan perkara itu diajukan ke sidang Pengadilan dengan acara biasa”.
Jadi Perbedaan prinsipil pada kedua pemeriksaan tambahan tersebut adalah : Pemeriksaan tambahan yang dilakukan Penuntut Umum atas dasar Pasal 30 (1) huruf e Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004; Dilakukan atas inisiatif dari Penuntut Umum dan dilakukan sebelum perkara dilimpahkan ke Pengadilan negeri. Sedangkan pemeriksaan tambahan yang dilakukan penuntut Umum atas dasar Pasal 203 (3) huruf b KUHAP; Dilakukan atas permintaan Hakim dan dilakukan sesudah perkara dilimpahkan ke Pengadilan Negeri. Hanya dalam acara pemeriksaan singkat, yaitu perkara-perkara kejahatan/ pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan Pasal 205 KUHAP, yang menurut Penuntut Umum, pembuktian serta penerapan hukumya mudah dan sifatnya sederhana.
Dalam kaitannya dengan pemeriksaan tambahan dari perumusan Pasal 30 (1) huruf e Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan tambahan hanya dapat dilakukan terhadap :
1.
Perkara-perkara yang sulit pembuktiannya ;
2.
Perkara-perkara yang dapat meresahkan masyarakat;
3.
Perkara-perkara yang dapat membahayakan keselamatan negara.

Sedangkan untuk perkara-perkara lain yang tidak termasuk salah satu dari 3 kriteria tersebut diatas tidak dilakukan pemeriksaan tambahan oleh Jaksa Penuntut Umum, akan tetapi pemeriksaan tambahan yang dilakukan hanyalah oleh penyidik atas permintaan / petunjuk Jaksa Penuntut Umum.
Pemeriksaan tambahan yang dilakukan oleh penyidik atas petunjuk dari Jaksa Penuntut Umum biasa dikenal dengan penyidikan tambahan. Penyidikan tambahan dilakukan dengan memperhatikan dasar hukum pada KUHAP, sebagai berikut: 

1.
“Dalam hal Penuntut Umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap, Pasal 110 ayat (2) KUHAP mengaturnya bahwa Penuntut Umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada Penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi.

2.
Dan Pasal 110 ayat (3) KUHAP menyebutkan “Dalam hal Penuntut Umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi Penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk Penuntut Umum”.

3.
Pasal 138 ayat (2) KUHAP “Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap Penuntut Umum mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu 14 hari sejak tanggal penerimaan berkas perkara kepada Penuntut Umum”.
Pemeriksaan tambahan dilakukan dengan tujuan untuk mewujudkan salah satu asas dalam hukum acara pidana yaitu asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Hal ini dimaksudkan demi terciptanya kepastian hukum dan menghormati hak asasi tersangka.
Asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan disebutkan dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yaitu pada pasal 4 ayat 2 yang berbunyi ; Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi harapan para pencari keadilan. Yang dimaksud dengan ”sederhana” adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan acara yang efisien dan efektif. Yang dimaksud dengan ”biaya ringan” adalah biaya perkara yang dapat terpikul oleh rakyat. Dan “cepat” berarti bahwa peradilan harus dilaksanakan secara cepat yang diwujudkan melalui kata segera dalam KUHAP, untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan hakim yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Namun demikian, dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan.
Menurut Ramelan, bahwa pemeriksaan tambahan tidak dapat mengatasi masalah bolak balik perkara yang menyebabkan tidak terwujudnya asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Hal ini karena pemeriksaan tambahan dalam pelaksanaannya tidak di optimalkan artinya jarang dilakukan dan karena undang-undang tidak menentukan kapan pemeriksaan tambahan dapat dilakukan, apakah setelah dua kali, tiga kali atau berapa kali bolak balik berkas perkara.
Dalam praktek, pemeriksaan tambahan sangat jarang dilakukan dalam menyelesaikan perkara pidana. Dengan tidak berjalannya pemeriksaan tambahan maka akibatnya adalah tidak terwujudnya asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Karena dapat terjadi bolak balik berkas perkara antara penyidik dengan jaksa penuntut umum apabila pada pengembalian berkas hasil penyidikan tambahan ternyata tidak dapat dipenuhi petunjuk jaksa penuntut umum. Hal ini sangat merugikan para pencari keadilan karena proses menuju penuntutan dan pemeriksaan di persidangan menjadi lebih lama.
Tidak optimalnya pelaksanaan pemeriksaan tambahan berakibat pada dihentikannya penyidikan oleh penyidik. Apabila penyidik menyatakan sudah tidak mampu lagi melengkapi petunjuk dari jaksa maka penyidik menyimpulkan bahwa perkara tersebut kurang alat bukti atau bukan merupakan perkara pidana, dan akhirnya penyidik mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan.
Dengan dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan ini maka korban dari tindak pidana merasa dirugikan karena tersangka/terdakwa dibebaskan, dan masyarakat juga dirugikan karena tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa telah meresahkan masyarakat tidak dapat ditindak lanjuti menurut proses hukum pidana serta tujuan dari hukum pidana dan hukum acara pidana tidak terwujud.
Oleh karena itu, maka pemeriksaan tambahan seharusnya dapat dioptimalkan demi tercapainya tujuan dari hukum pidana yakni menegakan tertib hukum dan melindungi masyarakat. Serta tujuan dari hukum acara pidana juga akan tercapai yaitu mencari kebenaran materiil, sebab dengan dilakukan pemeriksaan tambahan diharapkan dapat menemukan fakta-fakta baru guna menunjang proses penuntutan perkara dan pemeriksaan di sidang pengadilan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar