Tampilkan postingan dengan label KUHAP. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KUHAP. Tampilkan semua postingan

Rabu, 03 Desember 2014

Kekuatan Pembuktian Alat Bukti

KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI

Azas dalam pembuktian dibutuhkan bukti minumum yaitu :
1. Alat bukti yang sah;
2. Mencari kebenaran materiil (materil waarheid).

a. Keterangan saksi;

- syarat : yang dilihat sendiri, didengar sendiri, dialami sendiri, serta menyebut alasan pengetahuan.

- diberikan di persidangan di bawah sumpah

- didukung oleh keterangan saksi lain / alat bukti lain (Unus testis Nulus testis).
Keterangan saksi yang bukan alat bukti (Pasal 185 ayat 1 KUHAP) :
1. Testimonium de auditu
2. Pendapat, pikiran, rekaan – MARI 15 Maret 1984 No. PK/Pid/1983.
3. Tanpa sumpah – dilluar persidangan
4. Hubungan keluarga, kecuali ybs menghendakinya dengan PU dan terdakwa setuju mereka boleh didengar dengan sumpah Psl 168 KUHAP.
5. Anak-anak dibawah 15  tahun, belum  pernah  kawin orang sakit ingatan (Psl 171 KUHAP)

- Dapat dipakai sebagai penguat keyakinan Hakim

- Dapat dipakai sebagai petunjuk

-
Keterangan saksi yang disampaikan di sidang pengadilan mempunyai kekuatan pembuktian        bebas, jadi tidak sempurna (Volledig Bewijskracht) dan menentukan (Beslissend) tergantung penilaian Hakim.
Keterangan ahli
- Alat bukti baru dalam Hukum Pembuktian di Indonesia.

Ada 2 (dua) macam ahli :

1. Ahli Forensik/Visum Et Repertum dapat merupakan alat bukti surat

2. Ahli lainnya

- Diberikan di depan penyidik/PU

- Ahli mempunyai keahlian khusus untuk menjelaskan tentang pelaku dan diberikan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya.

- Diberikan di Persidangan

- Kekuatan pembuktian bebas : tidak mengikat, dan tidak menentukan.
Surat
- Surat dalam bentuk resmi dibuat oleh pejabat umum
- Dibentuk menurut ketentuan UU oleh pejabat tertentu di ;ingkup tugasnya
- Surat keterangan ahli
- Surat lain yang ada hubungannya dengan isi alat bukti lain
- Kekuatan pembuktian bersifat bebas
Keterangan terdakwa
- Menggantikan  pengakuan terdakwa yang merupakam Regina Probationis.
- Keterangan terdakwa bisa :

- Berisi pengakuan

- Keterangan tentang pengingkaran

- Syarat keterangan terdakwa :

- Diberikan di persidangan

- Pernyataan tentang apa yang diperbuat

- Pernyataan tentang apa yang diketahui dan dialaminya sendiri

- Hanya berlaku bagi dirinya sendiri


Keterangan terdakwa di luar sidang hanya dapat membantu menemukan bukti di sidang :

- Diberikan kepada penyidik

- Dibuatkan Berita Acara

- Ditandatangani oleh penyidik dan terdakwa ( Psl 189 ayat (2) KUHAP )
BEBAN PEMBUKTIAN (ONUS PROBATIO)

Dalam perkara korupsi :

a. Beban Pembuktian pada penuntut umum (beban pembuktian biasa) Penuntut umum yang mendakwa, PU yang diberi beban membuktikan berupa

- Tindak pidana yang terjadi yang dirumuskan dalam dakwaan yang berisi semua unsur tindak pidana (bestandelen)

- Bahwa terdakwalah yang bersalah atas tindak pidana yang terjadi
Dengan menggunakan alat-alat bukti sesuai UU :
▪  Alat bukti KUHAP dan
▪  Alat bukti petunjuk (pasal 26A UUPTPK)

b. Beban Pembuktian Terbalik (psl. 37 UUPTPK)  – Omkering van Bewijslast.

- Delik suap, menerima gratifikasi dengan nilai Rp.10 juta ke atas – beban pembuktian pada terdakwa 9pasal 12b)


Dapat menentukan putusan bebas karena :

- tidak terbukti dakwaan

- keyakinan Hakim tidak menjadi dasar (pasal 37 dan penjelasannya)

- tidak jelas apakah PU dapat menggagalkan bukti-bukti yang dikemukakan terdakwa sebagaimana pada putusan bebas pembuktian biasa.

- Terhadap harta milik yang belum didakwakan (pasal 38b)
PU pada pembacaan tuntutan menuntut juga perampasan benda-benda yang tidak didakwa. Terdakwa wajib membuktikan bahwa benda-benda tersebut bukan merupakan hasil korupsi.
Beban Pembuktian Terbalik Terbatas/Berimbang Terbalik (diatur dalam psl 37a UUPTPK)

- Beban pembuktian ada pada terdakwa.

- dalam hal kekayaannya tidak berimbang dengan penjelasan / sumber perngadaan kekayaannya

- yang diduga ada hubungannya dengan perkara yang didakwakan kepadanya.

- Disamping itu beban pembuktian ada pada PU pada perkara pokok yang diatur dalam pasal 2,3,4,13,14,15,16 dan pasal 5 s/d pasal 12.

- Ketidakberhasilan terdakwa membuktikan / memperkuat bukti pada TPK pokok merupakan alat bukti tambahan.


 



Penelitian Perkara dan Pemeriksaan Tambahan

           Penelitian Perkara dan Pemeriksaan Tambahan



Menurut Remmelink hukum pidana bukan tujuan pada diri sendiri tetapi ditujukan untuk menegakan tertib hukum, melindungi masyarakat hukum. Menurut C. Beccaria, tujuan hukum pidana tiada lain agar penjahat tidak lagi melakukan kejahatan dan orang lain ngeri melakukan hal yang sama. Dari kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat dan menciptakan ketertiban.
Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap hukum pidana maka hukum akan bertindak melalui instrumennya yaitu para penegak hukum. Para penegak hukum akan memproses suatu perkara mulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai dengan pada proses pemeriksaan di pengadilan. Hal ini dimaksudkan untuk mencari kebenaran materiil yang merupakan tujuan dari hukum acara pidana.
Hubungan antara penyidik dengan jaksa penuntut umum dalam proses pidana sangat erat. Mulai dari proses penangkapan, penahanan sampai dengan proses penyerahan tersangka dan barang bukti, semuanya atas koordinasi antara penyidik dengan jaksa sebagai penuntut umum.
Dalam pelaksanaan tugasnya menangani perkara pidana, antara penyidik dan penuntut umum terjalin hubungan yang bersifat fungsional dan instansional.
Yang dimaksud dengan koordinasi fungsional adalah hubungan kerja sama antara penyidik dan penuntut umum menurut fungsi dan wewenangnya masing-masing dalam penanganan perkara pidana. Hubungan tersebut adalah hubungan kerja sama yang bersifat saling mengawasi antara penyidik dengan penuntut umum dalam proses penanganan perkara pidana. Hubungan ini diatur di dalam KUHAP. Sedangkan hubungan yang bersifat instansional adalah hubungan yang bersifat instansi antara kepolisian dengan kejaksaan yaitu diatur dengan petunjuk teknis atau petunjuk palaksanaan yang dikeluarkan oleh masing-masing pimpinan instansi maupun yang dikeluarkan dalam bentuk produk bersama. Hubungan antara penyidik dengan jaksa pada perkara pidana,dimulai sejak penyidik mengirimkan surat pemberithuan dimulainya penyidikan (SPDP) kepada jaksa.  Hal ini sebagai bentuk koordinasi penyidik kepada jaksa bahwa penyidik telah mulai melakukan tindakan penyidikan setelah melalui proses penyelidikan.
SPDP bertujuan untuk mempersiapkan penuntutan, agar jaksa penuntut umum mengikuti perkembangan pernyidikan suatu perkara yang akan dijadikan dasar penuntutan.
Selain dari pemberitahuan dimulainya penyidikan, penyidik juga berkoordinasi dalam hal penangkapan, penahanan, perpanjangan penahanan, penyitaan, penyerahan berkas perkara, sampai dengan penghentian penyidikan harus memberitahukan kapada jaksa.
Penyerahan berkas perkara dari penyidik kepada jaksa penuntut umum dalam prakteknya disebut sebagai penyerahan tahap I. Penyerahan tahap I dilakukan setelah penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dinyatakan cukup dan dapat diajukan kepada jaksa/penuntut umum kemudian dituangkan dalam bentuk berkas perkara dan diserahkan kepada jaksa penuntut umum untuk diperiksa dan sebagai dasar penuntutan perkara pidana.
Apabila jaksa penuntut umum berpendapat masih terdapat kekurangan baik secara formil maupun materiil dari berkas perkara tersebut maka jaksa penuntut umum memberitahukan hal itu kepada penyidik dengan menggunakan surat model P-18 perihal pemberitahuan bahwa berkas perkara hasil penyidikan belum lengkap dan segera dilakukan penyidikan tambahan, dan surat model P-19 yang berisi petunjuk yang harus dilengkapi.  Dan dalam waktu 14 hari penyidik wajib menyampaikan kembali berkas perkara yang sudah dilengkapi kepada jaksa penuntut umum.
Apabila dalam jangka waktu yang ditentukan tersebut penyidik tidak menyerahkan kembali berkas perkara maka jaksa penuntut umum harus mengirimkan surat susulan kepada penyidik dengan menggunakan formulir model P-20 yang isinya mengingatkan/meminta perhatian agar penyidik secepatnya menyelesaikan penyidikan tambahan dan segera menyerahkan kembali berkas perkara kepada jaksa penuntut umum.
Setelah dilakukan penyidikan tambahan dan berkas disampaikan kembali kepada jaksa penuntut umum, ternyata menurut penilaian jaksa masih belum lengkap maka penyidik harus melengkapi lagi, dan begitu seterusnya hingga jaksa berpendapat bahwa berkas telah lengkap dan dapat dilanjutkan pada Penyerahan Tahap II.
Penyidik dalam melakukan penyidikan tambahan, ternyata tidak mampu melengkapi petunjuk dari jaksa penuntut umum maka dalam hal ini untuk menghindari kekecewaan dan ketidakadilan yang dirasakan oleh korban tindak pidana, dan lepasnya seorang tersangka/terdakwa dari tuntutan hukum, yang berakibat pada tidak tercapainya tujuan hukum pidana. Seharusnya jaksa dapat melakukan pemeriksaan tambahan untuk melanjutkan memeriksa perkara dan untuk menunjang pembuktian pada proses penuntutan.
Pemeriksaan tambahan untuk menunjang pembuktian dalam suatu perkara pidana termaktub dalam perumusan pada Pasal 30 (1) huruf e Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI yaitu melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Untuk mengetahui pengertian dari pemeriksaan tambahan maka perlu diketahui mengenai kelengkapan berkas perkara.
Berkas perkara dapat dinyatakan lengkap apabila telah memenuhi syarat formil dan materiil.
Syarat formil adalah kelengkapan dalam hal surat-surat atau dokumen yang harus dilengkapi misalnya, Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), Surat Perintah Penyidikan, Surat Perintah Penangkapan, Surat Perintah Penahanan, Laporan Polisi, Berita Acara Pemeriksaan Saksi, Berita Acara Pemeriksaan Tersangka, Berita Acara Penahanan,dan lain-lain sesuai dengan yang tercantum dalam lampiran Petunjuk Teknis Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor B-401 /E/9/1993 tentang Pelaksanaan Tugas Prapenuntutan. Sedangkan kelengkapan materiil berkas perkara adalah hal-hal yang menyangkut isi atau fakta-fakta hukum yang terdapat dalam berkas perkara, misalnya unsur delik yang disangkakan, alat bukti, kejadian perkara.
Dari penjelasan mengenai kelengkapan berkas perkara maka dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan tambahan adalah semua tindakan yang ditujukan untuk melengkapi berkas perkara, yaitu antara lain; memanggil dan memeriksa saksi, ahli, tersangka, memeriksa surat serta menggeledah dan menyita serta semua tindakan yang dilaksanakan untuk mencari alat bukti guna melengkapi berkas perkara.
Dalam Pasal 203 ayat 3 huruf b KUHAP yang berbunyi, sebagai berikut :
“Dalam hal Hakim memandang perlu pemeriksaan tambahan supaya diadakan pemeriksaan tambahan dalam waktu paling lambat 14 hari dan bilamana dalam waktu tersebut Penuntut Umum juga dapat menyelesaikan pemeriksaan tambahan, maka Hakim memerintahkan perkara itu diajukan ke sidang Pengadilan dengan acara biasa”.
Jadi Perbedaan prinsipil pada kedua pemeriksaan tambahan tersebut adalah : Pemeriksaan tambahan yang dilakukan Penuntut Umum atas dasar Pasal 30 (1) huruf e Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004; Dilakukan atas inisiatif dari Penuntut Umum dan dilakukan sebelum perkara dilimpahkan ke Pengadilan negeri. Sedangkan pemeriksaan tambahan yang dilakukan penuntut Umum atas dasar Pasal 203 (3) huruf b KUHAP; Dilakukan atas permintaan Hakim dan dilakukan sesudah perkara dilimpahkan ke Pengadilan Negeri. Hanya dalam acara pemeriksaan singkat, yaitu perkara-perkara kejahatan/ pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan Pasal 205 KUHAP, yang menurut Penuntut Umum, pembuktian serta penerapan hukumya mudah dan sifatnya sederhana.
Dalam kaitannya dengan pemeriksaan tambahan dari perumusan Pasal 30 (1) huruf e Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan tambahan hanya dapat dilakukan terhadap :
1.
Perkara-perkara yang sulit pembuktiannya ;
2.
Perkara-perkara yang dapat meresahkan masyarakat;
3.
Perkara-perkara yang dapat membahayakan keselamatan negara.

Sedangkan untuk perkara-perkara lain yang tidak termasuk salah satu dari 3 kriteria tersebut diatas tidak dilakukan pemeriksaan tambahan oleh Jaksa Penuntut Umum, akan tetapi pemeriksaan tambahan yang dilakukan hanyalah oleh penyidik atas permintaan / petunjuk Jaksa Penuntut Umum.
Pemeriksaan tambahan yang dilakukan oleh penyidik atas petunjuk dari Jaksa Penuntut Umum biasa dikenal dengan penyidikan tambahan. Penyidikan tambahan dilakukan dengan memperhatikan dasar hukum pada KUHAP, sebagai berikut: 

1.
“Dalam hal Penuntut Umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap, Pasal 110 ayat (2) KUHAP mengaturnya bahwa Penuntut Umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada Penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi.

2.
Dan Pasal 110 ayat (3) KUHAP menyebutkan “Dalam hal Penuntut Umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi Penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk Penuntut Umum”.

3.
Pasal 138 ayat (2) KUHAP “Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap Penuntut Umum mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu 14 hari sejak tanggal penerimaan berkas perkara kepada Penuntut Umum”.
Pemeriksaan tambahan dilakukan dengan tujuan untuk mewujudkan salah satu asas dalam hukum acara pidana yaitu asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Hal ini dimaksudkan demi terciptanya kepastian hukum dan menghormati hak asasi tersangka.
Asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan disebutkan dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yaitu pada pasal 4 ayat 2 yang berbunyi ; Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi harapan para pencari keadilan. Yang dimaksud dengan ”sederhana” adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan acara yang efisien dan efektif. Yang dimaksud dengan ”biaya ringan” adalah biaya perkara yang dapat terpikul oleh rakyat. Dan “cepat” berarti bahwa peradilan harus dilaksanakan secara cepat yang diwujudkan melalui kata segera dalam KUHAP, untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan hakim yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Namun demikian, dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan.
Menurut Ramelan, bahwa pemeriksaan tambahan tidak dapat mengatasi masalah bolak balik perkara yang menyebabkan tidak terwujudnya asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Hal ini karena pemeriksaan tambahan dalam pelaksanaannya tidak di optimalkan artinya jarang dilakukan dan karena undang-undang tidak menentukan kapan pemeriksaan tambahan dapat dilakukan, apakah setelah dua kali, tiga kali atau berapa kali bolak balik berkas perkara.
Dalam praktek, pemeriksaan tambahan sangat jarang dilakukan dalam menyelesaikan perkara pidana. Dengan tidak berjalannya pemeriksaan tambahan maka akibatnya adalah tidak terwujudnya asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Karena dapat terjadi bolak balik berkas perkara antara penyidik dengan jaksa penuntut umum apabila pada pengembalian berkas hasil penyidikan tambahan ternyata tidak dapat dipenuhi petunjuk jaksa penuntut umum. Hal ini sangat merugikan para pencari keadilan karena proses menuju penuntutan dan pemeriksaan di persidangan menjadi lebih lama.
Tidak optimalnya pelaksanaan pemeriksaan tambahan berakibat pada dihentikannya penyidikan oleh penyidik. Apabila penyidik menyatakan sudah tidak mampu lagi melengkapi petunjuk dari jaksa maka penyidik menyimpulkan bahwa perkara tersebut kurang alat bukti atau bukan merupakan perkara pidana, dan akhirnya penyidik mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan.
Dengan dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan ini maka korban dari tindak pidana merasa dirugikan karena tersangka/terdakwa dibebaskan, dan masyarakat juga dirugikan karena tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa telah meresahkan masyarakat tidak dapat ditindak lanjuti menurut proses hukum pidana serta tujuan dari hukum pidana dan hukum acara pidana tidak terwujud.
Oleh karena itu, maka pemeriksaan tambahan seharusnya dapat dioptimalkan demi tercapainya tujuan dari hukum pidana yakni menegakan tertib hukum dan melindungi masyarakat. Serta tujuan dari hukum acara pidana juga akan tercapai yaitu mencari kebenaran materiil, sebab dengan dilakukan pemeriksaan tambahan diharapkan dapat menemukan fakta-fakta baru guna menunjang proses penuntutan perkara dan pemeriksaan di sidang pengadilan.




Selasa, 04 November 2014

Kasasi


                   Upaya Hukum kasasi

Kasasi merupakan wewenang dari Mahkamah Agung untuk memeriksa kembali putusan-putusan dari pengadilan terdahulu dan merupakan peradilan terakhir.
Landasan kasasi berpihak (Mujono, SH. Mantan Ketua MA RI) adalah
1.
Untuk menjaminadannya kesatuan dan kepastian untuk kepentingan masyarakat;
2.
Untuk memberikan jaminan agar hukum itu sesuai dengan pandangan dan perkembangan masyarakat;
Lembaga kasasi bertujuan :
1.
Kesatuan hukum (univikasi)
2.
Kepastian hukum (asas legalitas)
3.
Living law (hukum yang berkembang dimasyarakat);
4.
Pembinaan hukumnasional yang mencakup :

a.
Penerapan hukum secara tepat dan benar;

b.
Pembaharuan hukum;

c.
Pembentukan hukum;
5.
Mengisi kekosongan huku.

Pasal 244 KUHAP, terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir  oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.

Pasal 253 ayat 1 KUHAP, pemeriksaan ditingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah agung guna menetukan :

a.
Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya;

b.
Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang;

c.
Apakah benar pengadilan telah melapaui batas kewenangannya.


Pasal 252 1 KUHAP, Pasal 30 1 UU No. 5/2004 tentang perubahan atas UU No. 14/1985 tentang Mahkamah agung menyebutkan bahwa : mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan  putusan atau penetapan-penetapan pengadilan-pengadilan semua lingkungan peradilan karena :

a.
Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;

b.
Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;

c.
Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

bersambung.......

Senin, 03 November 2014

Banding


Upaya Hukum Banding
Pasal 67 KUHAP

Bamding adalah alat hukum (rechtsmiddel) yang merupakan hak terdakwa atau hak penuntut umum, untuk memohon supaya putusan pengadilan negeri diperiksa kembali Pengadilan Tinggi.
Tujuan dari hak ini adalah untuk memperbaiki kemungkinan adanya khilafan pada putusan pertama. Hak pemohon banding ini senantiasa diperingatkan  oleh hakim kepada terdakwa  setelah putusan  diucapkan. Pengadilan tinggi dapat membenarkan, mengubah atau membatalkan putusan Pengadilan Negeri.
Menurut ketentuan Pasal 67 KUHAP, terdakwa  ataupun penuntut umum berhak minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurnag tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat.


bersambung...belum selesai tulis

Perubahan stats penahan tersangka atau terdakwa


Perubahan status tahanan
Pasal 22 ayat 5 KUHAP

Cara mengajukan masa tahanan, caranya diatur dalam Pasal 22 (5) KUHAP. Pembedaan pengurangan masa penahanan ditinjau dari segi penahanan  ditinjau dari segi penahanan itu sendiri. Makin ringan jenis jenis penahannya, semakin penuh jumlah pengurangannya,  sebagai berikut :
1.
Penahanan rumah tahanan Negara, pegurangan sama dengan jumlah masa penahanannya. Jadi kalau jumlah masa penahanan harus dikurangkan secara berbanding 1 hari dengan 1 hari;
2.
Penahanan rumah, pengurangannya sama dengan 1/3 x jumlah masa penahanan. Jadi kalau jumlah masa penahanan rumah dialami oleh seseorang misalnya 60  hari, maka pengurangan 1/3 x 50 hari;
3.
Penahan kota, jumlah pengurangan masa penahananya sama dengan 1/5 x jumlah masa penahanan kota tealh dialami seseorang. Jika seseorang telah dikenakan penahanan kota selama 60 hari maka jumlah pengurangan masa penahanan adalah 1/5 x 50 hari;
Perubahan status tahanan mencantunkan syarat :
1.
Tersangka atau terdakwa tidak melarikan diri;
2.
Tersangka atau terdakwa tidak menghilangkan barang bukti;
3.
Tersangka atau terdakwa tidak mengulangi perbuatannya;
4.
Tersangka atau terdakwa bersedia memenuhi panggilan untuk kepentingan pemeriksaan.

Penangguhan Penahanan Tersangka atau Terdakwa


                                              Penangguhan Penahanan

 Pasal 31 ayat 1 KUHAP

Setiap warga Negara yang menjadi tersangka  atau terdakwa berhak untuk mendapat penagguhan penahanan.
Penanguhana penahanan dapat diajukan oleh tersangka atau terdakwa sendiri, atau oleh keluarga tersangka atau terdakwa.
Penanguhan penahanan harus disertai dengan jaminan baik orang maupun barang.
Pasal 31 ayat 1 KUHAP, atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan, dengan atau tanpa jaminan uang atau orang berdasarkan syarat yang ditentukan.
Apabila jaminan berupa uag, maka uang jaminan harus secara jelas disebutkan dalam perjanjian, dan besarnya ditetapkan oleh pejabat yang berwenang Pasal 35 ayat 1 PP No. 27/1983. Uang jaminan disetor sendiri oleh pemohon atau penasehat hukumnya, atau keluarganya, kepanitera pengadilan, dengan formulir penyetoran yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang, sesuai dengan tingkat pemeriksaan.
Mengenai nilai uang yang dijadikan jaminan, tidak ada ketentuan secara jelas tentang besaran nilai uang yang dijadikan jaminan.
Jika jaminan penangguhan penahann berupa orang, maka identitas orang menjamin tersebut secara jelas dicantunkan dalam perjanjian, dan juga ditetapkan besarnya uang yang harus ditanggung penjamin tersebut Pasal 26 ayat 1 PP No. 27/1983.
Pejabat yang berwenang dapat mencabut penahan atas tersangka atau terdakwa, jika melanggar syarat yang ditentukan, jika melanggar syarat yang ditentukan, yaitu wajib lapor, tidak keluar rumah atau kota.
Permohonan penagguhan penahanan harus mencantukan  syarat bahwa :
1.
Tersangka atau terdakwa tidak melarikan diri;
2.
Tersangka atau terdakwa tidak akan menghilangkan barang bukti;
3.
Tersangka atau terdakwa tidak akan mengulangi perbuatannya;
4.
Tersangka atau terdakwa bersedia memenuhi panggilan atau untuk kepentingan pemeriksaan.
Masa penangguhan penahann tidak termasuk masa status tahanan, oleh karena tidak dipotongkan dalam hukuman yang akan dijatuhkan kemudian.

Praperadilan


                                                                              Praperadilan
Pasal 77 a KUHAP

Praperadilan dapat dipergunakan tersangka atau terdakwa untuk menguji apakah sah atau tidak tindakan penangkapan dan/atau penahanan yang tealh dilakukan.
Praperadilan merupakan wewenang khusus yang dimiliki pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus :
a.
Sah atau tidaknya penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
b.
Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka, atau keluarganya, atau pihak lain atau kuasannya, yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Tersangka berhak mengajukan permohonan praperadilan melalui pengadilan negeri tentang sah atau tidak sah penangkapan,  penahanan terhadap dirinya (Pasal 77 a KUHAP).
Pengajuan Praperadilan atas sah atau tidaknya penangkapan, lazimnya dilakukan apabila :
1.
Penangkapan dilakukan tanpa didasarkan pada bukti permulaan yang cukup;
2.
Penangkapan dilakukan tanpa memeperlihatkan dan memberikan surat perintah penagkapan;
3.
Penangkapan tidak dilakukan oleh petugas kepolisian Negara Republik Indonesia, atau pejabat yang berwenang dengan memperlihatkan surat tugas, serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantunkan identitas tersangka, dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara keajahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa;
4.
Tembusan surat perintah penangkapan dari pejabat yang berwenang tidak diberikan kepada keluarga tersangka;
5.
Surat perintah penangkapan dikeluaran 1 x 24 jam sejak penangkapan dilakukan;
6.
Penangkapan dilakukan dengan tindak kekerasan terhadap tubuh dan mental tersangka.

Penahanan terhadap tersangka yang tidak memenuhi ketentan pasal 21 ayat 4  huruf :

a.
 Dan huruf b dari KUHAP yaitu

a.
Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih;

b.
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 282 ayat 3, 296, 335 ayat 1, 351 ayat 1, 353 ayat 1, 372, 378, 379  huruf a, 453, 454, 459, 480, dan 506 KUHP; Pasal 25 dan 26 Rechtenor donnantie (pelanggaran terhadap) ordonantie bead an cukai, terakhir diubah staatsblad tahun 1931/471; pasal 1, 2 dan pasal 4 UU Tindak pidana imigrasi (UU No. 8 Brt/1955; pasal 36 (7), 41, 42, 43, 47 dan pasal 48 UU No. 9/1976 tentang Narkotika.
Tersangka berhak mengajukan gugatan ganti kerugian karena ditangkap atau ditahan tanpa alasan yang didasarkan berdasarkan undang-undang. Kekeliruan yang berdasarkan undang-undang, atau kekeliruan mengenai orangnya, atau hukum yang diterapkan  (pasal 95 ayat 1 KUHAP).
Ganti kerugian menurut pasal 1 ayat 22 KUHAP  adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya berupa imalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili, tanpa alasan yang didasarkan  pada undang-undang, atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Menurut pasal 1 ayat 23 KUHAP, rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan , dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasrkan undnag-undang.
Permintaan rehabilitasi yang perkaranya tidak diajukan kepengadilan negeri, hanya sampai pada tigkat penyidikan atau tingkat penuntutan saja, maka permintaan rehabilitasi diajukan  dan diputus disidang praperadilan.

Hak warga Negara dalam mengajukan praperadilan, ganti rugi dan rehabilitasi
No.
Tuntangan/permintaan
Tahapan pemeriksaan
Lembaga yang memeriksa
1.
Tidak sahnya penangkapan
Penyidikan
Praperadilan
2.
Tidak sahnya penahanan
Penyidikan dan penuntutan
Praperadilan
Tidak sahnya penahanan
Pemeriksaan pengadilan
Pengadilan negeri
3.
Tuntutan ganti rugi
Penyidikan dan penuntutan
Praperadilan
Tuntutan ganti rugi
Pemeriksaan pengadilan
Pengadilan negeri
4.
Permintaan rehabilitasi
Penyidikan dan penuntutan
Praperadilan
Permintaan rehabilitasi
Pemeriksaan pengadilan
Pengadilan negeri