Rabu, 03 Desember 2014

Prapenuntutan

Prapenuntutan


Pengertian prapenuntutan terdapat istilah penyidikan. Hal ini diatur Didalam pasal 1 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Penyidikan dilakukan oleh pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, hal ini disebutkan didalam pasal 6 ayat 1 KUHAP.
Setelah penyidikan dinyatakan selesai maka KUHAP mengatur dalam pasal 110 ayat 1 KUHAP, yang berbunyi “Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum”. Hal ini untuk memenuhi asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.
Berkas perkara diterima oleh jaksa/penuntut umum kemudian jaksa memulai untuk mempelajari dan meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan tersebut, dan apabila terdapat kekurangan baik secara formil maupun materiil maka jaksa/penuntut umum segera memberitahukan kepada penyidik untuk dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk yang harus dilengkapi. Dan jika jaksa/penuntut umum menyatakan berkas telah lengkap maka perkara tersebut segera untuk dilimpahkan ke pengadilan dan proses prapenuntutan telah selesai kemudian masuk ke proses penuntutan.
Selain pemeriksaan tambahan yang dilakukan oleh penyidik dalam tingkat prapenuntutan dengan pedoman pada petunjuk Jaksa Penuntut Umum. Jaksa Penuntut Umum juga dapat melakukan pemeriksaan tambahan baik yang dilakukan pada penyerahan tahap I dan setelah penyerahan tahap II (Penyerahan fisik, penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti) yang dilakukan oleh pihak penyidik kepada Penuntut Umum.
Jaksa/Penuntut Umum dapat melakukan pemeriksanaan tambahan untuk perkara-perkara tertentu. Pemeriksaan tambahan disebutkan pada perumusan Pasal 30 ayat (1) huruf e Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004, yang berbunyi “melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik”.
Hal ini dilakukan apabila Penuntut Umum masih menganggap kurangnya alat bukti yang ada namun dalam praktek timbul permasalahan, mengingat batas waktu 14 hari untuk penyelesaian pemeriksaan tambahan terlalu singkat; keragu-raguan tentang dapat atau tidak dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan. Meskipun terdapat dasar hukum untuk dapat melakukan pemanggilan saksi dan ahli yang berbunyi : Pemanggilan saksi/ahli dilakukan secara langsung oleh Jaksa Penuntut Umum atau dengan bantuan instansi lain.  Tetapi hal ini masih dianggap kurang karena untuk mencari kelengkapan berkas perkara tidak hanya bisa melalui saksi tetapi juga hal-hal lain untuk mendukung pembuktian dalam proses penuntutan jaksa penuntut umum.
Dengan berdasarkan pada perumusan Pasal 30 ayat (1) huruf e Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, pada kenyataannya masih terdapat banyak hambatan dalam melakukan pemeriksaan tambahan meskipun dalam penjelasan telah dijelaskan bahwa antara lain sebagai berikut :
a.
Tidak dilakukan terhadap tersangka ;
b.
Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya dan atau dapat meresahkan masyarakat dan atau dapat membahayakan keselamatan negara ;
c.
Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 hari setelah dilakukan ketentuan Pasal 110 dan Pasal 138 ayat (2) KUHAP ;
d.
Prinsip koordinasi dan kerja sama dengan penyidik.
Dari penjelasan tersebut diatas, dapat dilihat bahwa pemeriksaan tambahan dalam pelaksanaannya kurang optimal artinya jarang sekali dilakukan, padahal hal tersebut penting guna memperoleh pembuktian yang cukup/lengkap dalam penanganan suatu perkara dan kepastian hukum serta penegakan hukum yang maksimal. Kekurangan ini menyebabkan ketidakadilan karena perkara yang merugikan korban tidak disidik secara maksimal, dan masyarakat juga dirugikan karena perkara yang meresahkan masyarakat tidak dapat dimaksimalkan penyidikannya.
Dengan tidak dilaksanakannya pemeriksaan tambahan maka akibat yang ditimbulkannya adalah bebasnya tersangka/terdakwa. Karena penyidik tidak dapat memenuhi petunjuk yang harus dilengkapi guna pemeriksaan tingkat penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan yang berujung pada dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar