Senin, 15 Oktober 2018

Perbandingan

Perbandingan Hukum Pidana

Alur Perkembangan
  • Mulai berkembang abad 19
  • Berawal dari minat perseorangan, kemudian didukung oleh kelembagaan seperti Institut Perbandingan Hukum di College de France tahun 1832 dan di University of Paris tahun 1846
Beberapa istilah perbandingan hukum pidana yang dikenal antaralain :
1.Comparative Law;
2.Comparative Jurisprudence;
3.Foreign Law;
4.DroitCompare;
5.Rechtgelijking
6.Rechverleichung
Pengertian
Black’s Law Dictionary: Comparative Jurisprudence adalah suatu studi mengenai prinsip-prinsip ilmu hukum denga nmelakukan perbandingan berbagai macam sistem Hukum)
(the study of principles of legal science by the comparison of various systems of law)
Metode Perbandingan Hukum
Rudolf D. Schlessinger:
  • Comparative Law merupakan metode penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum tertentu;
  • Comparative Law bukanlah perangkat peraturan dan asas-asas hukum, bukanlah suatu cabang hukum(is not a body of rules and principles);
  • Comparative Law adalah teknik atau suatu cara menggarap unsur hukuma sing yang aktual dalam suatu masalah hukum (is the technique of dealing with actual foreign law elements of a legal problem)
PerbandinganHukumModern
  1. Menurut Konrad Zweigert dan Kurt Siehr, perbandingan hukum modern menggunakan metodekritis, realistis, dan tidak dogmatis.
  2. Menurut Prof. Soedarto, perbandingan hukum menganut metodefungsional, dengan titik tekan berorientasi pada problema, dan memperhatikan hubungan antara suatu peraturan dan masyarakat tempat bekerjanya peraturan itu”
Famili Hukum (legal families)
Rene David mendasarkan klasifikasi famili hukum pada :
  • struktur konseptual hukum;
  • teori sumber-sumber hukum;
  • tempat hukum itu sendiri dalam tatana nsosial.
Selanjutnya, bahwa 2 hukum tidak dapat dimasukkan dalam keluarga hukum yang sama sekalipun keduanya menggunakan konsepsi dan teknik hukum yang sama, jika:
  • didasarkan pada prinsip-prinsip filosofis, politisdan prinsip-prinsip ekonomiyang berbeda;
  • berusahamencapaiduatipemasyarakatyang berbedasecarakeseluruhan.
Marc Ancel dan parasarjana komparatif lainnya setuju dalam membedakan sekurang-kurangnya lima jenis hukum nasional yang dikelompokkan dalam satu keluarga didasarkan pada :
  • Asal-usulnya;
  • Sejarah perkembangannya;
  • Metode penerapannya.
Lima besarkeluargahukum:
  1. Sistem Eropa Kontinental dan Amerika Latin;
  2. Sistem Anglo-American (common law system);
  3. Sistem Timur Tengah(middle east system), seperti : Irak, Yordania, Saudi Arabia, Siria, Libanon, Maroko, Sudan, dsb.
  4. Sistem Timur Jauh(Far East System), misal : Cina, Jepang;
  5. Sistem negara-negara sosialis (Socialist system).
ManfaatPerbandinganHukum
Ada2 manfaat mempelajari sistem hukum asing, yakni:
1. Umum
  • memberikan kepuasan bagi orang yang berhasrat ingin tahu secara ilmiah;
  • Memperdalam pengertian tentang pranata masyarakat dan kebudayaan sendiri;
  • Membawa sikap kritis terhadap sistem hukum sendiri.
2. Khusus
Sehubungan dengan dianut

Kamis, 08 Maret 2018

Kapan kebijakan bisa dipidana

KAPAN KEBIJAKAN DAPAT DIPIDANA

Pemerintah Jokowi-JK untuk memenuhi target pertumbuhan ekonomi diatas 6 persen sesuai dengan janjinya, berencana  membelanjakan 5000 triliun lebih selama lima tahun untuk infrastruktur. Dengan proyek-proyek infrastruktur, biaya logistik nasional dapat lebih rendah, lapangan kerja yang tersedia dapat mengurangi pengangguran, volume BBM bisa ditekan. Proyek infrastruktur ini tersebar di berbagai Kementerian dan di Pemerintah Daerah. masalah utama yang dihadapi ada dua yaitu pembebasan tanah dan masalah hukum. Pembebasan tanah akan diupayakan dengan mengundang partisipasi masyarakat. Namun masalah hukum, khususnya kekhawatiran Pimpinan Proyek (Pimpro) untuk mengambil keputusan, akan membuat seluruh proyek itu akan berjalan lambat. Keterlambatan proyek akan membuat konsekuensi besar ke eskalasi biaya, kualitas pekerjaan dan pelayanan publik.
Presiden Jokowi dan JK ingin serba cepat. “kalau bisa dipercepat, kenapa diperlambat ?.
Namun banyak Pejabat Aparatur Negara maupun Pejabat BUMN kita mengalami kegamangan ketika dihadapkan pada keputusan untuk segera bertindak cepat. Masalahnya adalah siapa yang mau menanggung resiko hukum dalam pengambilan keputusan yang cepat ? apalagi kalau disuruh harus memotong birokrasi, alias membuat pengecualian dalam prosedur tender, demi kepentingan yang lebih besar. Kasus Dahlan Iskan baru-baru ini bisa menjadi contoh bagaimana terobosan yang dilakukan pada saat menjadi Dirut PLN  kemudian berbuah menjadi tersangka. Pejabat kita umumnya takut bahwa kesalahan adminsitrasi yang dilakukannya kemudian dipersepsikan oleh penegak hukum sebagai kebijakan yang koruptif atau perbuatan koruptif . 

Menurut beberapa pakar hukum administrasi Negara yang diminta untuk memberikan keterangan Ahli di Persidangan menyatakan bahwa Keputusan Pejabat Negara baik dalam rangka “beleid” (“vrijsbestuur”) maupun “diskresi” (kebijaksanaan - “discretionary power”) tidak dapat dilarikan ke area Hukum Pidana. meskipun dalam kebijakan terjadi suatu penyimpangan administratif, maka penilaian terhadap penyimpangan itu adalah masuk dalam ranah Hukum Administrasi Negara, yang tidak dapat dijadikan penilaian oleh Hukum Pidana, khususnya dalam konteks Tindak Pidana Korupsi. Bahkan ada pejabat tinggi negara yang mengatakan bahwa kebijakan tidak dapat dikriminalisasi.
Di kalangan penegak hukum sendiri terdapat persepsi yang berbeda dalam memberikan batasan kapan kebijakan atau diskresi masuk dalam ranah pidana atau sekedar pelanggaran adminsitratif, khususnya dalam kaitan dengan kebijakan atau tindakan yang salah dari pejabat yang mengakibatkan kerugian negara. 
Hal ini terlihat dari beberapa putusan Pengadilan atau Mahkamah Agung (MA) dimana ada terdakwa yang dikenakan pemidanaan tetapi disisi lain dibebaskan atau dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
Contoh dapat dilihat dalam pertimbangan Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 148/PID/2003/PT.DKI tanggal 29 Desember 2003, dalam kaitan dengan kasus mantan Direktur Bank Indonesia yang menyatakan:                                                                                                         
“Menimbang, bahwa karena terbukti Keputusan Direksi Bank Indonesia tanggal 15 dan 20 September 1997 adalah sebagai Kebijaksanaan Pemerintah yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia sebagai upaya untuk menyelamatkan sistem moneter dan Perbankan, maka Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa Pengadilan tidak berhak menilai suatu kebijaksanaan (beleid) dari Pemerintah Cq. Bank Indonesia, terlepas dari pada apakah kebijaksanaan tersebut berhasil atau tidak untuk menyelamatkan sistem moneter atau perbankan atau perekonomian negara”.
 “Menimbang, bahwa walaupun Terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya dalam dakwaan Primair, tetapi karena perbuatan Terdakwa bukan merupakan suatu perbuatan pidana, maka Terdakwa harus dilepas dari segala tuntutan hukum (Onstlag van alle rechtevervolging) ”. Namun Putusan PT DKI. Jakarta yang melepaskan terdakwa tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung dan MA. malah menghukum terdakwa. Begitu pula dalam kasus EC. Neloe dalam pemberian kredit perbankan yang didakwa dengan tindak pidana korupsi. Di Pengadilan Negeri Neloe dibebaskan namun kemudian di MA dihukum. 
Memang pemahaman yang berkembang dalam praktek peradilan oleh Penegak hukum bisa berbeda dengan  kajian akademik yang disampaikan oleh  pakar hukum dalam memberikan solusinya. Dalam kerangka Hukum Administrasi Negara, parameter yang membatasi gerak bebas kewenangan Aparatur Negara (“discretionary power”) adalah detournement de povouir (penyalahgunaan wewenang) dan abus de droit (sewenang-wenang), sedangkan dalam area Hukum Pidana-pun memiliki pula kriteria yang membatasi gerak bebas kewenangan Aparatur Negara berupa unsur “wederrechtelijkheid” (perbuatan melawan hukum pasal 2 UUTPK) dan “menyalahgunakan kewenangan” (pasal 3 UUTPK). Permasalahannya adalah manakala Aparatur Negara melakukan perbuatan yang dianggap menyalahgunakan kewenangan dan melawan hukum, artinya mana yang akan dijadikan ujian bagi penyimpangan Aparatur Negara ini, Hukum Administrasi Negara ataukah Hukum Pidana, khususnya dalam perkara-perkara Tindak Pidana Korupsi.
Saya sendiri berpendapat bahwa Kebijakan publik yang dibuat dan dijalankan dengan itikad baik, pastilah tidak dapat dikriminalisasikan. Sebaliknya kebijakan yang dibuat dan dijalankan dengan itikad buruk (melawan hukum dan atau menyalahgunakan wewenang) yang disadarinya membawa dampak merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, adalah merupakan tindak pidana (korupsi). Bahkan korupsi jenis inilah yang sangat berbahaya,  Karena apa? Sebabnya dari luar tidak nampak korupsi, karena dibalut oleh kebijakan, yang acapkali berbentuk peraturan, keputusan dan lain-lain. Namun sesunggunya akibatnya sangat luas, merugikan perekonomian di berbagai sektor dan merugikan keuangan negara kita.
Namun bagaimana sebenarnya kebijakan atau tindakan pejabat itu dapat dipidana atau tidak. Tulisan pendek ini mencoba menjawab permasalahan tersebut agar pemahaman kita lebih jelas.
Kita mulai dari Kewenangan. Menurut Phillipus M. Hadjon, Kewenangan atau wewenang adalah konsep dalam hukum publik.  Dalam konsep hukum publik, wewenang merupakan suatu konsep inti dalam hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi. Dalam hukum Tata Negara, wewenang (bavoegheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (teehtement). Jadi, dalam konsep hukum publik wewenang berkaitan dengan kekuasaan. (lihat Phillipus M. Hadjon dalam tulisannya dengan judul Tentang Wewenang, yang dimuat dalam gema Peratun. Tahun IV, Nomor 12, Triwulan II. Agustus 2000, Penerbit Mahkamah Agung RI, Lingkungan peradilan Tata Usaha Negara).
Oleh SF. Marbun dikemukakan: menurut hukum administrasi “kewenangan” (authority,gezag) adalah kekuasaan yang diformalkan baik terhadap segolongan orang tertentu maupun terhadap suatu bidang pemerintahan tertentu yang berasal dari kekuasaan legislatif atau dari kekuasaan pemerintah, sedangkan pengertian wewenang (competence, bevoegheid) hanyalah mengenai onderdil tertentu atau bidang tertentu saja. Dengan demikian wewenang adalah kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik atau secara yuridis wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh Undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan hukum tertentu. (lihat SF. Marbun  dalam tulisannya dengan judul Analisa teoritik yuridis kasus Ir. Akbar Tanjung dari optik Hukum Administrasi yang dimuat dalam Amir Syamsuddin dkk., Putusan Perkara Akbar Tanjung, Pustaka sinar harapan Jakarta,2004).
Ditinjau dari sudut perolehan Kewenangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan wewenang menurut Hukum Tata Usaha Negara dapat dapat dibedakan sebagai berikut :
Pertama, wewenang yang bersumber atau diperoleh dengan cara atribusi, yaitu wewenang yang langsung diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Misalnya wewenang Gubernur, Bupati, bendahara dsb.
Kedua, wewenang yang bersumber atau diperoleh dengan cara delegasi yaitu wewenang yang diperoleh dari adanya pelimpahan atau penyerahan wewenang dari pemberi delegasi (delegans) kepada penerima delegasi (delegataris). Karena wewenang telah didelegasikan maka delegans sudah tidak lagi mempunyai wewenang tersebut dan tanggung jawab atas pelaksanaan wewenang yang telah didelegasikan menjadi tanggung jawab dari delegataris. Dalam delegasi tidak diperuntukkan pelimpahan wewenang dari atasan kepada bawahan.
Dalam pengelolaan keuangan daerah (PP Nomor 58 Tahun 2005), Kepala Daerah sebagai Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah mendelegasikan sebagian atau seluruhnya kepada Sekretaris Daerah dan atau perangkat pengelola keuangan daerah. Penetapan pendelegasian wewenang kepada perangkat pengelola keuangan daerah tersebut dengan Surat Keputusan Kepala Daerah. Penetapan tersebut merupakan salah satu syarat pelaksanaan anggaran.
Pelimpahan wewenang dari Kepala Daerah kepada Sekretaris Daerah atau Perangkat Pengelola Keuangan Daerah, sebenarnya lebih menyerupai dekonsentrasi (pelimpahan wewenang pusat kepada daerah). karena dalam konsep pelimpahan wewenang dengan cara delegasi tidak diperuntukkan pelimpahan wewenang dari atasan kepada bawahan. Sekretaris Daerah dan Perangkat Pengelola Keuangan Daerah secara hirarkhi sebagai bawahan dari Kepala Daerah.
Namun terkait dengan siapa yang bertanggung jawab secara hukum dalam hal terjadi perbuatan melanggar hukum (“melawan hukum” dan “penyalahgunaan wewenang”) yang berakibat kerugian pada keuangan daerah atau perekonomian daerah (korupsi)? Maka konsep Pelimpahan wewenang dari Kepala Daerah kepada Sekretaris Daerah atau Perangkat Pengelola Keuangan Daerah adalah dalam bentuk delegasi meskipun konsep delegasi dalam peraturan perundang-undangan tersebut keliru.
Contoh kasus yang dapat dikemukakan sebagai berikut: Pengguna Anggaran (Kepala Dinas) pada Dinas Kebersihan akan melakukan pembelian alat pengolahan sampah. Kepala Dinas (Kadis) tersebut menunjuk salah satu Kepala Seksi sebagai Kuasa Pengguna Anggaran. Atas dasar pelimpahan wewenang, selanjutnya Kepala Seksi membentuk Panitia Lelang (Panitia Tender), Panitia lelang dan Kepala Seksi yang telah ditunjuk tersebut tidak melaksanakan lelang sesuai wewenang yang telah dilimpahkan kepadanya melainkan dengan cara melakukan penunjukan langsung (PL) dengan tujuan untuk memenangkan rekanan tertentu,  yang berakibat merugikan keuangan negara. Dalam hal ini siapa saja yang dapat dimintai pertanggungjawaban?
Terkait dengan kasus posisi tersebut untuk menjawab siapa yang dapat dimintai pertanggung- jawaban menurut hukum pidana adalah delegatoris (penerima pelimpahan wewenang), yaitu Panitia lelang.
Ketiga, wewenang yang diperoleh dengan cara mandat, yaitu wewenang yang diperoleh penerima mandat (mandataris) yang hanya terbatas melaksanakan wewenang tersebut atas nama pemberi mandat. Dalam mandat tanggung jawab atas pelaksanaan wewenang  masih tetap menjadi tanggung jawab pemberi mandat.

Setelah mendapat gambaran lebih jelas tentang apa itu kewenangan, cara memperolehnya dan bagaimana penerapannya, selanjutnya kita masuk kepada pokok inti permasalahan yaitu : Kapan suatu kebijakan yang dilekati wewenang kemudian menjadi masalah hukum ? jawabannya adalah ketika terjadi penyalahgunaan kewenangan.

Menurut Prof. Jean Rivero dan Prof. Waline, pengertian penyalahgunaan kewenangan dalam Hukum Administrasi dapat diartikan dalam 3 wujud, yaitu:
1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan.
2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh Undang-undang atau peraturan-peraturan lain,
3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.
Bentuk bentuk penyalahgunaan kewenangan inilah yang seringkali dipergunakan penegak hukum untuk melakukan kriminalisasi bentuk-bentuk perbuatan dalam lingkup/ranah kompetensi Hukum Administrasi Negara dan Hukum Perdata sebagai koruptif. 
Namun apakah sesederhana itu menyimpulkan bahwa seorang pengambil kebijakan yang ketika mengambil kebijakan berdasarkan jabatannya yang ternyata telah melanggar undang-undang atau peraturan atau melanggar prosedur (SOP)  yang telah ditetapkan dan akibatnya telah merugikan negara berarti telah melakukan tindak pidana korupsi ?

Hukum pidana menempatkan pelaksanaan perintah Undang-undang (pasal 50 JUHP), Perintah jabatan  (pasal 51 ayat 1 KUHP), dan melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik (pasal 51 ayat 2 KUHP) dalam kualifikasi “tidak dapat dipidana”, karena tergolong ke dalam kelompok dasar peniadaan pidana. Artinya dalam hukum pidana, tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi juga dipisahkan. Pemisahan tersebut dikontruksikan dalam bentuk : tidak dapat dipidananya perbuatan, sepanjang dalam kualifikasi tanggung jawab jabatan.
Persoalannya adalah bagaimana menentukan batasan antara perbuatan atau tindakan yang termasuk dalam kualifikasi menjalankan perintah Undang-undang, melaksanakan perintah jabatan maupun melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik, dengan perbuatan atau tindakan dalam kualifikasi pribadi pejabat tersebut ?
Tanggung jawab pejabat dalam menjalankan fungsinya dibedakan antara tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi, perbedaan tersebut membawa konsekuensi yang berbeda dalam kaitannya dengan tanggung jawab pidana, tanggung gugat perdata dan tanggung gugat tata usaha negara (TUN).
1. Tanggung jawab pidana adalah tanggung jawab pribadi. Dalam tindak pemerintahan tanggung jawab pribadi seorang pejabat berhubungan dengan adanya maladministrasi yaitu perbuatan tercela pejabat dalam bentuk perbuatan penyalahgunaan wewenang atau pejabat menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain yang menyimpang dari tujuan yang telah diberikan kepada wewenang itu.
Menurut Tatiek Sri Djatmiati,  Penyalahgunaan wewenang (detournament de pouvoir/abuse of power) dapat terjadi karena :
a. Menggunakan wewenang untuk kepentingan pribadi atau tujuan politik
b. Menggunakan wewenang bertentangan dengan Undang-undang yang memuat dasar hukum wewenang yang diberikan
c. Menjalankan wewenang untuk tujuan lain dari nyata-nyata dikehendaki oleh undang-undang dengan wewenang tersebut.
(lihat Tatiek Sri Djatmiati  dalam bukunya Hukum administrasi dan tindak pidana korupsi: pelayanan publik dan tindak pidana korupsi (Yogyakarta, Gadjah Mada University press, 2001)
2. Tanggung gugat perdata dalam kaitannya dengan perbuatan melanggar hukum oleh penguasa/pejabat
3. Tanggung gugat TUN adalah tanggung jawab jabatan. 
Dengan demikian Maladministrasi menjadi penentu dalam konsepsi pemisahan tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi pejabat. Dalam hukum pidana menganut prinsip pertanggungjawaban pribadi (personal responsibility), sedangkan pada hukum administrasi berlaku prinsip pertanggungjawaban jabatan (liability jabatan). Dalam kaitan dengan tanggung jawab jabatan, jika perbuatan tersebut masih dalam tahapan “beleid”, hakim tidak dapat melakukan penilaian. Berbeda halnya dalam pembuatan “beleid” tersebut ada indikasi penyalahgunaan wewenang, misalnya menerima suap, maka perbuatan pejabat tersebut dapat dituntut pidana.
Sebagai ilustrasi dapat diketengahkan contoh sebagai berikut: “Gubernur Bank Indonesia (BI) mengesahkan kebijakan “dana talangan” untuk menanggulangi dampak krisis global. Kebijakan atau “Beleid” yang dalam hal ini dituangkan dalam bentuk Peraturan BI, hakim tidak dapat melakukan penilaian. Akan tetapi jika terbukti pengesahan yang dilakukan oleh Gubernur BI tersebut dikarenakan telah menerima suap, maka penerimaan suap itulah yang menjadi objek tuntutan pidana.

Penyalahgunaan wewenang dalam Diskresi.
Diskresi/kebijakan. Dalam bahasa jerman disebut freis ermessen.
Menurut Laica Marzuki, Freis ermessen merupakan kebebasan yang diberikan kepada tata usaha negara dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, sejalan dengan meningkatnya tuntutan pelayanan publik yang harus diberikan tata usaha negara terhadap kehidupan sosial ekonomi warga yang kian komplek. 
Menurut Sjachran Basah, diperlukannya freis ermessen dalam administrasi negara dimungkinkan oleh hukum agar pemerintah dapat bertindak atas inisiatif sendiri, terutama dalam penyelesaian persoalan-persoalan penting yang timbul secara tiba-tiba, dalam hal demikian, administrasi negara terpaksa bertindak cepat membuat penyelesaian. Namun keputusan-keputusan yang diambil itu harus dapat dipertanggungjawabkan.
S. Pramudji Atmosudirdjo mengatakan bahwa diskresi diperlukan sebagai pelengkap dari asas legalitas, sebab tidak mungkin undang-undang untuk mengatur segala macam dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu perlu adanya diskresi dari pejabat yang terdiri dari diskresi bebas dan diskresi terikat.
Pada diskresi bebas undang-undang hanya menetapkan batas-batas, dan pejabat bebas mengambil keputusan apa saja asalkan tidak melampaui/melanggar batas-batas tersebut.
Apa batasan tersebut yang tidak boleh dilanggar ?
- Tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku baik tertulis maupun tidak tertulis.
- Penggunaannya hanya ditujukan demi kepentingan umum
Pada diskresi terikat, undang-undang menetapkan beberapa alternatif dan pejabat bebas memilih salah satu alternatif.

Dalam praktek pemerintahan, freis ermessen dilakukan dalam hal :
Belum ada peraturan per-UU-an yang mengatur tentang maslaah inkonkrito terhadap suatu masalah padahal masalah tersebut harus segera penyelesaian segara. Misalnya dalam menghadapi suatu bencana alam ataupun wabah penyakit menular, aparat pemerintah harus segera mengambil tindakan yang menguntungkan bagi negara maupun bagi rakyat, tindakan mana semata-mata atas praksarsa sendiri. 
Kasus yang terkait dengan Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari yang menunjuk langsung rekanan, bisa menjadi contoh mengenai apa yang disebut diskresi (anda boleh berbeda dalam hal ini).
Yusril Ihza Mahendra, menyatakan, kasus hukum yang menimpa Siti Fadilah adalah terkait dengan kebijakan/diskresi. Kebijakan yang dikeluarkan Siti Fadilah tak lama setelah banjir bandang di kota Cane, Aceh Tenggara pada 2005. Kondisi itu mengharuskannya sebagai Menteri Kesehatan bertindak cepat. Saat itu sebanyak 26 orang dilaporkan meninggal, puluhan orang luka-luka, sementara saat itu semua fasilitas kesehatan hancur oleh banjir. Karena kondisi luar biasa saat itu, maka seorang Menteri kesehatan bertanggung jawab untuk memenuhi segera kebutuhan pelayanan kesehatan yang hancur agar korban tidak bertambah. “beliau dapat usul dari anak buah, harus ada penanganan darurat. Melalui sekjen DEPKES, beliau meminta harus ada peralatan kesehatan yang sifatnya segera. Kata Yusril sebagaimana kepada VIVAnews, kamis, 19 April 2012.
Kebijakan dalam pengadaan bantuan pascabencana sekitar 15 milyar itu, kata Yusril, telah sesuai kepres 80/2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang dan jasa Pemerintah.

Melalui bawahannya, Siti Fadilah meminta diadakan peralatan kesehatan yang sifatnya segera untuk menangani korban bencana “dan beliau meminta kepada sekjen dan Biro keuangan supaya itu ditelaah lebih dahulu. Setelah proses penelahan dilakukan, siti fadilah pun menjawab surat tersebut bahwa penunjukkan langsung bisa dilakukan namun dengan catatan mengharuskan pelaksanaan penunjukkan langsung sesuai peraturan yang berlaku.

Kata yusril “tidak semua penunjukkan langsung melanggar hukum, harus dilihat case by case. Orang melihatnya saat ini penunjukkan langsung saja, tapi tidak melihat kondisi pada saat itu.bagaimana jika saat itu tidak ditangani segera.
Bahwa dalam pelaksanaan pengadaannya terjadi pelanggaran hukum, kata Yusril, itu bukan tanggung jawab Menteri, melainkan penanggung jawab teknis dilapangan , karena semua prosedur penunjukkan langsung sudah dipenuhi sesuai aturan. Ini bukan hukum pidana, ini administrasi negara. 

Bahwa seorang pengambil kebijakan dilekati dengan wewenang. Dalam mengambil kebijakan, seorang pengambil kebijakan harus mempertimbangkan manfaat atau tidaknya kebijakan tersebut demi kepentingan umum yang dilidunginya. Intinya kebijakan yang diambil adalah pilihan terbaik pada situasi dan kondisi saat itu demi menjaga kepentingan umum. Apabila hal ini dilakukan oleh pengambil kebijakan tanpa motif jahat misanya dengan maksud memperkaya/menguntungkan diri sendiri atau orang lain, maka apa yang diputuskannya tidak dapat dipidana walaupun membawa implikasi misalnya kerugian negara.

Dasar kebijakan tidak bisa dipidana demi kepentingan umum adalah Yurisprudensi MA tahun 1966. Yurisprudensi ini menghapus pidana yang muncul dari tindakan kebijakan asal memenuhi tiga syarat yaitu : Negara tidak dirugikan, seseorang atau badan hukum tidak diuntungkan secara melawan hukum dan untuk pelayanan publik atau melindungi kepentingan umum.

Namun apabila pengambil kebijakan ketika mengambil kebijakan mengandung unsur suap, ancaman, dan penipuan tetap bisa dipidana.  Jadi tergantung niat atau motivasinya.
Untuk membuktikan adanya niat jahat (mens rea) dengan tujuan memperkaya/menguntungkan diri sendiri atau orang lain harus dibuktikan adanya konflik kepentingan atau kongkalikong antara pengambil kebijakan dengan pihak lain. Itu dapat dilihat dari hal-hal objektif yang diperoleh yang menunjukkan ada masalah atau tidak.
Hikmahanto Juwana (Guru besar FH UI Jakarta) mengatakan bahwa yang perlu diperhatikan bukanlah kebijakannya yang salah dan merugikan, tetapi niat jahat dari pengambil kebijakan ketika membuat kebijakan. “harus dibuktikan dulu mens rea-nya (niat jahat). Ada motif memperkaya diri sendiri atau orang lain ngak”.

Kapan kesalahan administrasi membentuk pertanggungjawaban pidana ?
Jadi pada dasarnya kesalahan administrasi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Namun apabila kesalahan administrasi tersebut disengaja dan disadari merugikan keuangan Negara dan dilakukan dengan memperkaya/menguntungkan diri sendiri atau orang lain maka itu merupakan tempat/letak sifat melawan hukumnya korupsi.
Dalam hubungannya dengan hukum pidana korupsi, khususnya pasal 2 dan 3 UUPTPK, pelanggaran administrasi dapat merupakan tempat/letak atau penyebab timbulnya sifat melawan hukum perbuatan, apabila unsur sengaja (kehendak dan keinsyafan) untuk menguntungkan diri dengan menyalahgunakan kekuasaan jabatan, yang karena itu merugikan keuangan atau perekonomian Negara. Perbuatan administrasi yang memenuhi syarat itu membentuk pertanggungjawaban pidana. 

Penutup
Bahwa penegakan hukum pemberantasan korupsi dalam konteks melakukan penyidikan atau penuntutan terhadap perbuatan / tindakan pemerintahan dalam penyelenggaraan administrasi negara, bukanlah bentuk kriminalisasi kebijakan, akan tetapi penyidikan dan penuntutan tersebut merupakan bagian dari hukum administrasi negara itu sendiri, dalam hal ini berperan sebagai security control agar administrasi negara tidak menyimpang serta semata-mata demi pencapaian tujuan bernegara. Sebab wewenang diskresi/kebijakan tidak dapat dilakukan sebebas-bebasnya dan bukan tanpa ukuran, melainkan berpijak pada konsepsi teoritik tentang diskresi/kebijakan itu sendiri. Dalam posisi inilah penyidikan dan penuntutan itu dilakukan apalagi ditengah-tengah perilaku koruptif birokrasi negara yang marak terjadi. Hal ini sejalan dengan Surat Edaran Jaksa Agung (SE JA) Nomor : 017/A/JA/2014 yang pada pokoknya menyampaikan bahwa UU No. 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan tidak menghalangi penegakan hukum khususnya dalam rangka penanganan tindak pidana korupsi.
Wallahu ’alam bissawwab.

Menganalisa suatu perkara untuk layak ditetapkan tersangka dst

BAGAIMANA MENGANALISA SUATU PERKARA (BERKAS PERKARA) SEHINGGA SAMPAI PADA KESIMPULAN BAHWA TERSANGKA ATAU TERDAKWA DAPAT DIJATUHI PIDANA.

Pertama-tama yang harus anda lakukan adalah periksa alat-alat bukti (pasal 183 KUHAP)  hasil penyidikan (berkas perkara) dan identifikasi perbuatan apa saja yang dilakukan oleh tersangka, sesudah itu ajukan pertanyaan apakah perbuatan tersangka tersebut adalah memenuhi rumusan unsur-unsur pasal yang disangkakan, Kalau perbuatan tersangka telah memenuhi unsur, maka penilaian anda selanjutnya adalah apakah ada unsur kesalahan (dolus/culpa) untuk menyatakan perbuatan tersangka dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. baru sesudah itu anda periksa apakah ada alasan pemaaf atau pembenar dari perbuatan tersangka.

Mengapa kita harus menempuh langkah-langkah tersebut diatas dalam  melakukan pemeriksaan hasil penyidikan, karena untuk menyatakan seseorang bersalah melakukan tindak pidana harus memenuhi 2 faktor yaitu :
Pertama adanya perbuatan pidana (actus reus/factor objektif). Moeljatno mengartikan perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa melanggar larangan tersebut atau yang lebih dikenal dengan asas legalitas (Pasal 1 ayat (1) KUHP).
Misalnya dari hasil penyidikan (berkas perkara) tersangka disangka melanggar pasal 362 KUHP. Maka identifikasi apakah perbuatan tersangka memenuhi unsur pasal mengambil sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki dengan melawan hak. 
Setelah unsur-unsur tersebut terbukti, selanjutnya anda teliti apakah ada alasan pembenar atas perbuatan pidana yang dilakukan tersangka. alasan pembenar ini adalah alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan. Jadi walaupun  perbuatan tersangka telah memenuhi rumusan unsur pasal yang  disangkakan tapi dia tidak dapat dihukum/dipidana apabila ada alasan pembenar dari perbuatannya tersebut. 

Alasan pembenar tersebut adalah pembelaan terpaksa (pasal 49 ayat 1 KUHP, Melaksanakan ketentuan Undang-undang (pasal 50 KUHP, melaksanakan perintah Jabatan (pasal 51 ayat 1 KUHP, atau alasan pembenar yang tidak tertulis atau diluar Undang-undang seperti dalam Putusan MA. No. 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966 dalam perkara Machroes Effendi : suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum tidak tertulis dan bersifat umum, dalam perkara ini misalnya faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani, dan terdakwa sendiri tidak mendapat untung.

Jadi apabila ada alasan pembenar  maka hasil penyidikan akan sangat rawan kalau dilimpahkan ke Pengadilan karena Hakim akan memberikan putusan lepas dari segala tuntutan (onslag van recht vervolging)

Kedua adanya pertanggungjawaban pidana (mens rea/faktor subjektif). Jadi setelah diketahui terdakwalah yang melakukan perbuatan pidana maka harus dilihat apakah ada unsur kesalahan pada diri terdakwa. kesalahan ini adalah sikap batin/mens rea yang merupakan syarat mutlak bagi adanya pertanggungjawaban pidana. Nabi Muhammad saw mengatakan “Perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya”. Jadi yang dilihat adalah motif dari tersangka. Apakah tersangka memang memiliki niat untuk melakukan perbuatan tersebut.
Kesalahan atau sikap batin atau niat dalam hukum pidana meliputi dolus dan culpa. Kesengajaan/dolus yaitu berbuat dengan hendak dan maksud atau dengan menghendaki atau mengetahui (willens en wetens), sedangkan Kelalaian/culpa yaitu tidak atau kurang diperhitungkannya oleh yang bersangkutan kemungkinan munculnya akibat fatal yang tidak dikehendaki oleh pembuat undang-undang.
 
Bahwa setelah kesalahan terbukti dalam arti tersangka memang menghendaki perbuatannya atau karena adanya kelalaian dari tersangka, maka selanjutnya anda teliti apakah ada alasan pemaaf yang dapat melepaskan terdakwa dari pertanggungjawaban pidana. Alasan pemaaf ini adalah alasan yang menghapuskan kesalahan pelaku. Alasan pemaaf yang terdapat dalam KUHP terdapat dalam beberapa pasal yaitu Ketidakmampuan bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP), Overmact / daya paksa (Pasal 48 KUHP), Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (Pasal 49 ayat (2) KUHP), Menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik (Pasal 51 ayat (2) KUHP).
 
Jadi apabila ada alasan pemaaf maka hasil penyidikan akan sangat rawan kalau dilimpahkan ke Pengadilan karena Hakim akan memberikan Putusan lepas dari segala tuntutan (onslag van recht vervolging).
Jadi alasan pembenar dan alasan pemaaf ini merupakan dasar peniadaan pidana/alasan penghapus pidana yang wajib dipertimbangkan hakim dalam putusannya. Apabila ada alasan pembenar dan pemaaf maka putusan adalah lepas dari segala tuntutan Hukum (onslag van recht vervolging)

Itulah prosedur yang harus anda tempuh selaku penegak hukum dalam menangani perkara. Nabi Muhammad saw mengatakan ”ada tiga Hakim, satu di surga dan dua di neraka. Yang disurga adalah hakim yang memiliki pengetahuan tentang kebenaran dan memutuskan dengannya, sedangkan yang mengetahui kebenaran dan menyimpang  darinya dalam menetapkan hukum dia di neraka, dan yang menetapkan hukum dengan didasari oleh kebodohan juga di neraka.
(dalam hadis disebut Hakim selaku penegak hukum, namun Jaksa bisa diartikan termasuk didalamnya karena fungsi jaksa sama dengan hakim yaitu fungsi ajudikasi. Jaksa juga bisa menghukum seperti Hakim yaitu ketika menetapkan seseorang sebagai tersangka maka Jaksa dapat menahan dan atau membatasi kebebasan seseorang misal dengan cekal ) 

Dari sabda Nabi SAW tersebut diatas, ada 2 hal pokok yang harus di miliki oleh penegak hukum pertama memiliki pengetahuan hukum / menguasai aturan hukum (profesional) dan kedua kehendak berbuat adil ”wahai orang-orang yg beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan Qs. An-nisa:135). ”dan Janganlah kebencianmu terhadap satu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil (Al maidah:8)
Kehendak berlaku adil harus menghiasi jiwa penegak hukum. Kehendak berlaku adil mengantar manusia untuk tekun mempelajari kasus yang dihadapinya.

Bahwa tidak semua perbuatan melawan hukum harus dihukum, kalau tidak mencerminkan nilai nilai keadilan dan kemanfaatan. 
Putusan MA No.  Tanggal 8 Januari 1966 bahwa : suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum, bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan  juga berdasarkan asas keadilan atau asas-asas hukum tidak tertulis dan bersifat umum, dalam banyak perkara korupsi yang terjadi, misalnya faktor-faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa sendiri tidak mendapat untung.  Terdakwa sendiri tidak mendapat untung berarti terdakwa tidak memiliki motif melakukan kejahatan korupsi. 

Namun kehendak berlaku adil dan pengetahuan hukum belumlah cukup tapi harus disertai dengan apa yang diistilahkan oleh Al quran Hikmah (kebijaksanaan) yakni kemampuan dalam penerapan sehingga kemanfaatan dapat diraih dan kemudaratan dapat dihindari. Untuk itu sebelum menuntut dan menjatuhkan hukuman, seorang penegak hukum harus mempertimbangkan dengan seksama apakah manfaatnya dalam menjatuhkan hukuman, apakah pemidanaan dapat mencegah secara khusus (special prevention) kepada terdakwa supaya tidak mengulangi perbuatannya, dan apakah pemidanaan dapat mencegah secara umum (general prevention) supaya dapat menjadi contoh kepada orang lain untuk tidak melakukan perbuatan serupa.

Kalau hal tersebut telah dilakukan dan kemudian salah ?
Kalau seorang penegak hukum terjerumus dalam melakukan kesalahan tetapi selama hatinya tidak menyimpang dari kehendak berbuat adil maka kesalahan yang dilakukan dapat ditoleransi oleh Tuhan. ”Apabila seorang penegak hukum (hakim) menetapkan hukum dan dia telah bersungguh-sungguh dalam menetapkannya, kemudian ternyata putusannya benar, maka dia memperoleh dua pahala dan kalau dia keliru maka baginya satu pahala”.

Copy Dari tulisan sahabatku  Muhammad Ahsan Thamrin

Selasa, 14 Maret 2017

Bahan Menghadapi Praperadilan terkait SE MA Harus Ada Audit BPK

Bahan untuk menghadapi praperadilan maupun pembelaan yg menggunakan SE MA terkait"PENANGANAN KORUPSI HARUS ADA AUDIT BPK", 
Jika dikatakan hanya BPK yang berwenang menghitung kerugian keuangan negara, hal tersebut bertentangan atau tidak sejalan dengan setidaknya 12 (dua belas) poin, sebagai berikut:
1) Kewenangan APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah: BPKP, Irjen, Inspektorat) menghitung kerugian Keuangan negara sebagaimana diatur Pasal 20 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan;
2) Kewenangan BPK, Pemerintah dan Pengadilan menetapkan kerugian keuangan negara sebagaimana diatur Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan;
3) Kewenangan Menteri / Pimpinan Lembaga / Gubernur / Bupati / Walikota dalam menetapkan kerugian keuangan negara sesuai dengan Pasal 62 ayat (1) dan 63 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Pasal 23 ayat (2) UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara;
4) Kewenangan akuntan publik (swasta) menghitung kerugian keuangan negara sebagaimana diakui penjelasan Paal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001;
5) Kewenangan APIP berkoordinasi dengan aparat penegak hukum (menghitung kerugian Keuangan negara) sebagaimana diatur Pasal 385 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah;
6) Kewenangan penyidik menghadirkan ahli (termasuk ahli menghitung kerugian keuangan negara) sebagaimana diatur Pasal 22 dan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001;
7) Kewenangan penyidik menghadirkan ahli (termasuk ahli menghitung kerugian keuangan negara) sebagaimana diatur Pasal 224 KUHP dan Pasal 1 angka 28 jo. Pasal 7 ayat 1 huruf h jo. Pasal 120 ayat (1) jo. Pasal 179 jo. Pasal 184 ayat (1) jo. Pasal 186 jo. Pasal 187 huruf c KUHAP;
8) Pasal 6 huruf a dan b serta Penjelasannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
9) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 31/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012 (Pertimbangan hukum pada halaman 53 s.d. 54);
10) Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan;
11) APIP dapat menghitung kerugian keuangan negara sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2015; dan
12) Putusan-putusan berkekuatan hukum tetap Mahkamah Agung yang menggunakan APIP atau ahli lain sebagai Ahli untuk menghitung kerugian keuangan negara.


Senin, 05 Desember 2016

Penistaan Dan Fitnah (Hate speech)

Penistaan & Fitnah adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual ,kewarganegaraan, agama, dan lain-lain.

Dalam arti hukum, Penistaan & Fitnah adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku Pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut.

Website yang menggunakan atau menerapkan Penistaan & Fitnah ini disebut Hate Site.
Kebanyakan dari situs ini menggunakan forum internet dan berita untuk mempertegas suatu sudut pandang tertentu.

R. Susilo menerangkan bahwa yang dimaksud dari "menghina" adalah "menyerang kehormatan dan nama baik seseorang".
Yang terkena dampak hate speech biasanya merasa malu.
Menurutnya, penghinaan terhadap satu individu ada 6 macam yaitu:
Menista secara lisan (smaad)
Menista dengan surat/tertulis (smaadschrift)
Memfitnah (laster)
Penghinaan ringan (eenvoudige belediging)
Mengadu secara memfitnah (lasterlijke aanklacht)
Tuduhan secara memfitnah (lasterlijke verdachtmaking)

Pasal 156 a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 28 ayat 2 Undang-undang nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

bahwa Pasal 156a KUHP merupakan isi dari Pasal 4 Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Berikut ini bunyi pasal 156 a KUHP:
Dipidana dengan pidana penjara selama-lumanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sementara Pasal 28 ayat 2 UU no 11 Tahun 2008 tentang ITE berbunyi:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa
kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Adapun ketentuan pidana Pasal 28 ayat 2 tersebut di atas diatur dalam undang undang yang sama Pasal 45 ayat 2, demikian bunyinya:
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Makar

Makar

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal-pasal tentang makar berada dalam bab tentang kejahatan terhadap keamanan negara. Pasal 104 menyebut jenis aksi makar terkait membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah.

Pasal 106 menyebut jenis makar yang terkait dengan separatisme dan menyerahkan wilayah negara kepada musuh. Pasal 107 menyebut makar yang bertujuan menggulingkan pemerintah. Pasal 110 lebih berkenaan dengan permufakatan jahat dan mempersiapkan tindakan makar.

Berikut ini pasal-pasal terkait upaya makar:

Pasal 107 KUHP:

(1) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

(2) Para pemimpin dan pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

Pasal 110 KUHP

(1) Permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan menurut pasal 104, 106, 107, dan 108 diancam berdasarkan ancaman pidana dalam pasal-pasal tersebut.

(2) Pidana yang sama diterapkan terhadap orang-orang yang dengan maksud berdasarkan pasal 104, 106, dan 108, mempersiapkan atau memperlancar kejahatan:

1. berusaha menggerakkan orang lain untuk melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan agar memberi bantuan pada waktu melakukan atau memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan;

2. berusaha memperoleh kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan bagi diri sendiri atua orang lain;

3. memiliki persediaan barang-barang yang diketahuinya berguna untuk melakukan kejahatan;

4. mempersiapkan atau memiliki rencana untuk melaksanakan kejahatan yang bertujuan untuk memberitahukan kepada orang lain;

5. berusaha mencegah, merintangi atau menggagalkan tindakan yang diadakan pemerintah untuk mencegah atau menindas pelaksanaan kejahatan.

(3) Barang-barang sebagaimana dimaksud dalam butir 3 ayat sebelumnya, dapat dirampas.

(4) Tidak dipidana barang siapa yang ternyata bermaksud hanya mempersiapkan atau memperlancar perubahan ketatanegaraan dalam artian umum.

(5) Jika dalam salah satu hal seperti yang dimaksud dalam ayat 1 dan 2 pasal ini, kejahatan sungguh terjadi, pidananya dapat dilipatkan dua kali.

Pasal 87 KUHP:

Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud dalam pasal 53

Minggu, 03 Juli 2016

Ucapan monkey

Mendengar ucapan monyet, bos lalu membunuh kerbau karena dinilai telah berkhianat kepadanya


SEPULANG dari sawah, kerbau rebahan di kandang dengan wajah cape dan nafas yang berat.
Lalu datanglah seekor anjing, kerbau kemudian berkata: “Aah teman lama, saya sungguh capek dan besok ingin istirahat seharian.”
Anjing pun pergi, ia bertemu kucing di sudut tembok dan berkata: “Tadi saya bertemu kerbau dan dia besok ingin istirahat dulu, sudah sepantasnya sebab bos kasih kerjaan terlalu berat.”
Kucing cerita kepada kambing dan berkata: “Kerbau complain, bos kasih kerja terlalu banyak dan berat, jadi besok tidak mau kerja lagi.”
Kambing bertemu ayam dan berucap: “Kerbau tidak senang bekerja untuk bos lagi, sebab mungkin ada bos lain yang lebih bagus.
Ayam bertemu monyet dan berkata: “Kerbau tak akan kerja untuk bosnya, dan ingin mencari kerja di tempat bos yang lain.”
Saat makan malam, monyet bertemu bos dan berkata: “Bos, tolong ajari kerbau dengan baik, akhir-akhir ini ia telah berubah sifatnya dan ingin meninggalkan bos untuk bekerja kepada bos lain.”
Mendengar ucapan monyet, bos lalu membunuh kerbau karena dinilai telah berkhianat kepadanya.
Itu mengapa ada kalanya suatu ucapan, sebaiknya berhenti hanya sampai telinga kita. Hendaknya dipikirkan baik-baik tentang resiko, manfaat dan akibatnya kalau ucapan itu akan diteruskan.

Kamis, 30 Juni 2016

Tax amnesty

Arti secara sederhana dari tax amnesty adalah pengampunan pajak, yaitu adanya penghapusan pajak bagi Wajib Pajak (WP) yang menyimpan dananya di luar negeri dan tidak memenuhi kewajibannya dalam membayar pajak dengan imbalan menyetor pajak dengan tarif lebih rendah. (Pengampunan Pajak merupakan penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan. Kewajiban perpajakan yang mendapatkan PengampunanPajak terdiri atas kewajiban Pajak Penghasilan dan Pajak Penjualan Nilai atau Pajak atas Barang Mewah).
Harta adalah akumulasi tambahan kemampuan ekonomis berupa seluruh berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, baik yang digunakan untuk usaha maupun bukan untuk yang berada di dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan dilakukannya tax amnesty ini, diharapkan para pengusaha yang menyimpan dananya di luar negeri akan memindahkan dananya di Indonesia dan menjadi WP baru yang patuh sehingga dapat meningkatkan pendapatan pajak negara.  Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mendorong diberlakukannya tax amnesty ini untuk menarik kembali uang milik warga Indonesia yang disimpan di luar negeri.
Indonesia pernah memberlakukan tax amnesty pada tahun 1984, tetapi pelaksanaannya tidak efektif karena respon WP sangat kurang dan tidak diikuti dengan reformasi sistem administrasi perpajakan secara menyeluruh.
pelaksanaan tax amnesty kali ini harus dilaksanakan secara hati-hati dan dipersiapkan secara matang dan Perlunya dukungan dan persetujuan masyarakat secara penuh dan adanya landasan hukum yang memadai juga menjadi faktor penting keberhasilan pelaksanaan tax amnesty ini sebagai berikut :
Pertama, Pengampunan Pajak merupakan penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan. Kewajiban perpajakan yang mendapatkan PengampunanPajak terdiri atas kewajiban Pajak Penghasilan dan Pajak Penjualan Nilai atau Pajak atas Barang Mewah.

Kedua, Harta adalah akumulasi tambahan kemampuan ekonomis berupa seluruh berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, baik yang digunakan untuk usaha maupun bukan untuk yang berada di dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ketiga, Setiap wajib pajak berhak mendapatkan Pengampunan Pajak. Jika Wajib Pajak belum mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak, Wajib Pajak mendaftarkan diri terlebih dahulu untuk memperoleh NPWP di kantor Direktorat Pajak tempat wajib Pajak bertempat tinggal atau berkedudukan.

Belajar terus seumur hidup, Paris Manalu, Tanjungpinang, 21/06/2016

Selasa, 28 Juni 2016

Pencemaran Nama Baik

Pencemaran Nama Baik

Pengertian Pencemaran Nama Baik

Pencemaran nama baik dikenal juga istilah penghinaan, yang pada dasarnya adalah menyerang nama baik dan kehormatan seseorang yang bukan dalam arti seksual sehingga orang itu merasa dirugikan. Kehormatan dan nama baik memiliki pengertian yang berbeda, tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, karena menyerang kehormatan akan berakibat kehormatan dan nama baiknya tercemar, demikian juga menyerang nama baik akan berakibat nama baik dan kehormatan seseorang dapat tercemar. Oleh sebab itu, menyerang salah satu diantara kehormatan atau Nama baik sudah cukup dijadikan alasan menuduh seseorang melakukan penghinaan.
Di Indonesia, Pasal penghinaan ini masih dipertahankan. Alasannya, selain menghasilkan character assassination, pencemaran nama baik juga dianggap tidak sesuai dengan tradisi masyarakat Indonesia yang masih menjunjung tinggi adat dan budaya timur. Karena itu, pencemaran nama baik adalah salah satu bentuk rechtsdelicten dan bukan wetdelicten. Artinya, pencemaran nama baik sudah dianggap sebagai bentuk ketidakadilan sebelum dinyatakan dalam Undang-Undang karena telah melanggar kaidah sopan santun. Bahkan lebih dari itu, pencemaran nama baik dianggap melanggar norma agama jika dalam substansi pencemaran itu terdapat fitnah.
Larangan memuat kata penghinaan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE No. 11 tahun 2008 sebenarnya dibuat untuk melindungi hak-hak individu dan institusi dikarenakan pada dasarnya informasi yang akan di publikasikan seharusnya sudah mendapat izin dari yang bersangkutan agar yang bersangkutan tidak merasa dirugikan dengan perbuatan dan bisa mempertanggung jawabkannya.
Selain Pasal 27 dan 28 UU ITE No. 11 2008 tentang pencemaran nama baik, dalam kitab-kitab undang hukum pidana juga mengatur tentang pidana penghinaan dan pencemaran nama baik.

Bentuk Pencemaran Nama Baik,  dibagi menjadi sebagai berikut :
a. Penghinaan materiil, Penghinaan yang terdiri dari suatu kenyataan yang meliputi pernyataan yang objektif dalam kata-kata secara lisan maupun secara tertulis, maka yang menjadi faktor menentukan adalah isi dari pernyataan baik yang digunakan secara tertulis maupun lisan. Masih ada kemungkinan untuk membuktikan bahwa tuduhan tersebut dilakukan demi kepentingan umum.
b. Penghinaan formil,  dalam  hal ini tidak dikemukakan apa isi dari penghinaan, melainkan bagaimana pernyataan yang bersangkutan itu dikeluarkan. Bentuk dan caranya yang merupakan faktor menentukan. Pada umumnya cara menyatakan adalah dengan cara-cara kasar dan tidak objektif. Kemungkinan untuk membuktikan kebenaran dari tuduhan tidak ada dan dapat dikatakan bahwa kemungkinan tersebut adalah ditutup.
Perlu diketahui bahwa pencemaran nama baik tersebut dapat dilakukan secara lisan (Pasal 310 ayat [1] KUHP) maupun dengan tulisan atau gambar (Pasal 310 ayat [2] KUHP). Lebih lanjut,R. Soesilomengatakan bahwa penghinaan itu sendiri ada 6 macam, yaitu:
 (1) Penistaan (Pasal 310 ayat (1) KUHP),  Menurut pasal ini, maka penghinaan itu harus dilakukan dengan cara “menuduh seseorang telah melakukan perbuatan tertentu” dengan maksud agar tuduhan itu tersiar (diketahui oleh orang banyak).
(2) Penistaan dengan surat (Pasal 310 ayat (2) KUHP),  dalam penjelasan Pasal 310 KUHP, apabila tuduhan tersebut dilakukan dengan tulisan (surat) atau gambar, maka kejahatan itu dinamakan “menista dengan surat”. Jadi seseorang dapat dituntut menurut pasal ini jika tuduhan atau kata-kata hinaan dilakukan dengan surat atau gambar.
(3) Fitnah (Pasal 311 KUHP),  Pasal 310 KUHP, sebagaimana kami sarikan, perbuatan dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP tidak masuk menista atau menista dengan tulisan (tidak dapat dihukum), apabila tuduhan itu dilakukan untuk membela kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri. Jadi, yang dimaksud dengan memfitnah dalam pasal ini adalah kejahatan menista atau menista dengan tulisan dalam hal ketika ia diizinkan untuk membuktikan bahwa tuduhannya itu untuk membela kepentingan umum atau membela diri, ia tidak dapat membuktikannya dan tuduhannya itu tidak benar.
(4) Penghinaan ringan (Pasal 315 KUHP),  Penghinaan seperti ini dilakukan di tempat umum yang berupa kata-kata makian yang sifatnya menghina. Pasal 315 KUHP, sebagaimana kami sarikan, mengatakan bahwa jika penghinaan itu dilakukan dengan jalan lain selain “menuduh suatu perbuatan”, misalnya dengan mengatakan “anjing”, “sundel”, dan sebagainya, masuk Pasal 315 KUHP dan dinamakan “penghinaan ringan”. Penghinaan ringan ini juga dapat dilakukan dengan perbuatan seperti meludahi di mukanya.
(5) Pengaduan palsu atau pengaduan fitnah (Pasal 317 KUHP),  Dalam buku yang berjudulKitab Undang-Undang Hukum Pidana memberikan uraian pasal tersebut, yakni diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang dengan sengaja:
a. memasukkan surat pengaduan yang palsu tentang seseorang kepada pembesar negeri;
b. menyuruh menuliskan surat pengaduan yang palsu tentang seseorang kepada pembesar negeri (R. Sugandhi, S.H. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hal 337).
(6) Perbuatan fitnah (Pasal 318 KUHP), Pasal 318 KUHP, yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah orang yang dengan sengaja melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan orang lain secara tidak benar terlibat dalam suatu tindak pidana, misalnya: dengan diam-diam menaruhkan sesuatu barang asal dari kejahatan di dalam rumah orang lain, dengan maksud agar orang itu dituduh melakukan kejahatan.
Delik dalam pencemaran nama baik merupakan delik yang bersifat subyektif yang artinya penilaian terhadap pencemaran nama baik sangat bergantung pada pihak yang diserang nama baiknya.
Oleh karenanya, delik dalam pencemaran nama baik merupakan delik aduan yang hanya bisa diproses oleh pihak yang berwenang jika ada pengaduan dari saksi korban pencemaran nama baik.
Dengan kata lain tulisan atau lisan bisa dikatakan mencemarkan nama baik diukur dari bagaimana korban merasa hal tersebut menyerang nama baiknya. Walaupun dalam pembuktiannya nanti hakimlah yang memutuskan. Tindak pidana atas nama baik yan dimaksud melalui lisan yang secara sengaja disiarkan (disebar) atau dipertunjukkan untuk menyerang reputasi atau kehormatan orang lain (A.Vebriyanti Rasyid, 2014:24).
















Minggu, 26 Juni 2016

Penuntut Umum

Penuntut Umum

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 memberikan uraian pengertian Jaksa dan Penuntut Umum pada Pasal 1 butir 6a dan b serta Pasal 13 menegaskan bahwa: 
a)  Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang- undang ini untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ( Pasal 1 butir 6a KUHAP ).
b)  Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim ( Pasal 1 butir 6a jo. Pasal 13 KUHAP ).

Beberapa pengertian yang berkaitan dengan Penuntutan :
a)  Penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalah hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di siding pengadilan;
b)  Penuntut Umum adalah Jaksa yang di beri wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim;
c)  Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang- Undang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memporeleh kekuatan hukum yang tetap;
d) Surat Dakwaan adalah surat atau akta yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum yang berisi rumusan tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa berdasarkan kesimpulan yang ditarik dari hasil penyelidikan dan merupakan dasar pemeriksaan didepan siding pengadilan;
e)  Suarat Tuntutan adalah Naskah atau Surat yang berisi uraian Penutut Umum mengenai hasil pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan tentang pembuktian berdasarkan surat dakwaan, disertai tuntutan pidana terhadap terdakwa, apabila terdakwa telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan. Dan apabila dinilai terdakwa tidak terbukti bersalah dituntut untuk dibebaskan atau dilepaskan dari segala tuntutan hokum;
f)  Tuntutan pidana adalah permintaan Penuntut Umum kepada Pengadilan ( Hakim ) mengenai jenis dan berat / ringannya pidana ( hukuman ) yang dijatuhkan terhadap terdakwa. 

Wewenang Penuntut Umum :
a)  Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu;
b)  Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat (3) dan ayat (4) dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
c)  Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d)  Membuat surat dakwaan ( letter of accuasation );
e)  Melimpahkan perkara ke pengadilan;
f)  Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentangketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk dating pada siding yang telah ditentukan;
g)  Melakukan penuntutan ( to carry out accusation );
h)  Menutup perkara demi kepentingan hukum;
i)  Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;
j)  Melaksanakan penetapan hakim; 







Eksepsi

Eksepsi

Eksepsi secara umum berarti pengecualian, akan tetapi dalam konteks hukum acara, bermakna tangkisan atau bantahan yang ditujukan kepada hal- hal yang menyangkut syarat-syarat atau formalitas gugatan yang mengakibatkan gugatan tidak dapat diterima. Tujuan pokok pengajuan eksepsi yaitu agar proses pemeriksaan dapat berakhir tanpa lebih lanjut memeriksa pokok perkara (M.Yahya Harahap, 2002:418).

Berdasarkan Pasal 156 ayat (1) KUHAP pengajuan keberatan adalah hak dari terdakwa dengan memperhatikan bahwa eksepsi harus diajukan pada siding pertama yaitu setelah Penuntut Umum membacakan surat dakwaan. Eksepsi yang dapat diajukan di luar tenggang waktu tersebut adalah eksepsi mengenai kewenangan mengadili sebagaimana disebut dalam Pasal 156 ayat (7) KUHAP.

Eksepsi di bagi menjadi beberapa jenis yaitu:

1)  Eksepsi Kewenangan Mengadili (exception of incompetency) pengadilan yang dilimpahi perkara tidak berwenang mengadili. Kewenangan mengadili sendiri terdapat dua jenis yaitu tidak berwenang secara absolutyang didasarkan pada faktor perbedaan lingkungan peradilan berdasarkan UU Kekuasaan Kehakiman dan jugatidak berwenang secara relatifyang didasarkan pada faktor daerah atau wilayah hukum dari suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama.

2)  Eksepsi Kewenangan Menuntut Gugur dalam ini terjadi karena tindak pidana yang didakwakan telah pernah diputus dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau dalam bahasa latinnya ne bis in idem atau terjadi karena penuntutan yang diajukan telah melampau tenggang waktu atau daluarsa (soal daluarsa dalam KUHP diatur dalam Pasal 78 – 82) atau terjadi karena terdakwa telah meninggal dunia.

3)  Eksepsi Dakwaan Tidak Dapat Diterima, hal ini diajukan bila tata cara pemeriksaan yang dilakukan tidak memenuhi syarat formil. Apabila tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa sedang dalam pemeriksaan di pengadilan negeri lain. Apabila orang yang diajukan sebagai terdakwa keliru (salah orang) dalam artian yang seharusnya diajukan adalah orang lain (dalam hal ini pelaku tindak pidana yang sebenarnya), Apabila bentuk dakwaan yang diajukan tidak tepat dalam hal ini berarti Penuntut Umum keliru dalam merumuskan tindak pidana .

4)  Eksepsi Dakwaan Batal Demi Hukum, dalam hal ini dakwaan tidak memunhi syarat yang diminta dalam Pasal 142 ayat (2) KUHAP sehingga dianggap kabur, membingungkan, sekaligus menyesatkan yang berakibat sulit bagi terdakwa untuk melakukan pembelaan diri. Ada beberapa sebab yang menyebabkan dakwaan batal demi hukum diantaranya adalah Dakwaan tidak memuat tanggal dan tanda tangan dimana berdasarkan Pasal 143 ayat (2) KUHAP meminta Jaksa Penuntut Umum untuk membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan tanda tangan, Dakwaan tidak memuat secara lengkap identitas terdakwa yang terdiri dari nama lengkap, tempat lahir, tanggal lahir atau umur, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan (Pasal 143 ayat (2) KUHAP). Dakwaan tidak menyebut tempat dan waktu kejadian dimana tindak pidana tersebut terjadi (Pasal 143 ayat (2) huruf (b) KUHAP). Dakwaan tidak disusun secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai uraian tindak pidana yang didakwakan dalam artian semua unsur delik dirumuskan dalam pasal pidana yang didakwakan harus cermat disebut satu persatu serta menyebut dengan cermat, lengkap, dan jelas mengenai cara tindak pidana dilakukan secara utuh. 

Tanjungpinang, Paris Manalu, SH MH.



Surat Dakwaan

Surat Dakwaan

KUHAP tidak mengatur mengenai adanya Surat Dakwaan. Surat dakwaan adalah suatu surat yang diberi tanggal dan ditandatangani oleh penuntut umum, yang memuat uraian tentang identitas lengkap terdakwa, perumusan tindak pidana yang didakwakan yang dipadukan dengan unsur-unsur tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan pidana yang bersangkutan, disertai uraian tentang waktu dan tempat tindak pidana dilakukan oleh terdakwa, surat mana menjadi dasar dan batas ruang lingkup pemeriksaan di sidang pengadilan (Harun M. Husein dan Hamrat Hamid, 1994:43).

Surat Dakwaan

KUHAP tidak mengatur mengenai adanya Surat Dakwaan. Surat dakwaan adalah suatu surat yang diberi tanggal dan ditandatangani oleh penuntut umum, yang memuat uraian tentang identitas lengkap terdakwa, perumusan tindak pidana yang didakwakan yang dipadukan dengan unsur-unsur tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan pidana yang bersangkutan, disertai uraian tentang waktu dan tempat tindak pidana dilakukan oleh terdakwa, surat mana menjadi dasar dan batas ruang lingkup pemeriksaan di sidang pengadilan (Harun M. Husein dan Hamrat Hamid, 1994:43).

Fungsi Surat dakwaan :

Bahwa surat dakwaan merupakan dasar dan sekaligus membatsi ruang lingkup pemeriksaan siding, hal ini berarti :
(1) Dalam pemeriksaan sidang, pemeriksaan itu dibatasi  oleh fakta-fakta perbuatan yang didakwakan oleh  penuntut umum dalam surat dakwaan yang menjadi
dasar pemeriksan siding tersebut.
(2) Hakim/Pengadilan dalam menjatuhkan putusannya harus semata-mata didasarkan pada hasil pemeriksaan dan penilain terhadap fakta-fakta yang didakwakan dalam surat dakwaan.
 (3) Keseluruhan isi dakwaan yang terbukti di persidangan merupakan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan.
(4)Tindak pidana apa yang dinyatakan terbukti di persidangan harus dapat dicari dan ditemukan kembali dalam surat dakwaan.

Fungsi Surat Dakwaan untuk pihak-pihak :
(1)  Fungsi surat dakwaan bagi penuntut umum merupakan dasar pelimpahan perkara, karena dengan pelimpahan perkara tersebut penuntut umum meminta agar perkara tersebut di periksa dan di putus dalam sidang pengadilan, atas dakwaan yang dilampirkan dalam pelimpahan perkara tersebut.
(2)  Fungsi surat dakwaan bagi hakim merupakan dasar pemeriksaan, membatasi ruang lingkup pemeriksaan, dasar pertimbangan dan dasar pengambilan keputusan tentang bersalah tidaknya terdakwa dalam tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
(3) Fungsi surat dakwaan bagi terdakwa atau penasihat hukum merupakan dasar untuk mempersiapkan pembelaan dan oleh karena itulah surat dakwaan harus disusun secara cermat, jelas, dan lengkap. Surat dakwaan yang tidak memenuhi syarat tersebut, akan merugikan hak pembelaan terdakwa dan oleh karenanya dapat dinyatakan batal demi hukum (Harun M. Husein dan Hamrat Hamid, 1994:94-95).

Syarat-Syarat Surat Dakwaan
a)  Syarat Formil, diatur didalam Pasal 143 ayat  (2) huruf a KUHAP memuat hal-hal yang berhubungan dengan :
(1) Surat dakwaan diberi tanggal dan di tandatangani oleh penuntut umum/jaksa.
(2) Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa.
b)  Syarat Materiil, diatur didalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP memuat dua unsur yang tidak boleh di lalaikan yaitu :
(1) Uraian cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang di dakwakan.
(2) Menyebut waktu dan tempat tindak pidana dilakukan (tempus delecti dan locus delicti).

Bentuk Surat Dakwaan
Di dalam KUHAP tidak menetapkan bagaimana bentuk surat  Dakwaan yang dibuat Jaksa Penuntut Umum, bentuk yang lajimnya sebagai berikut :
a)  Dakwaan Tunggal/Biasa, umumnya perumusan dakwaan tunggal dijumpai dalam tindak pidana yang jelas serta tindak mengandung fakta “penyertaan” (mededaderschap) atau factor concursus maupun faktor “alternatif” atau factor “subsidair”. Baik pelakunya maupun tindak pidana yang dilanggar sedemikian rupa jelas dan sederhana, sehingga surat dakwaan cukup dirumuskan dalam bentuk tunggal (Yahya Harahap,2002:398). Hal ini berarti bahwa penyusunan surat dakwaan tunggal mempunyai sifat sederhana yaitu sederhana dalam perumusannya maupun sederhana dalam pembuktian dan penerapan hukumnya.
b)  Dakwaan Alternatif,  Surat dakwaan ini didakwakan beberapa perumusan tindak pidana, tetapi pada hakekatnya yang merupakan tujuan utama ialah hanya ingin membuktikan satu tindak pidana saja diantara tindak pidana yang didakwakan. Dakwaan ini digunakan dalam hal antara kualifikasi tindak pidana yang satu dengan kualifikasi tindak pidana yang lain menunjukkan corak atau ciri yang sama atau hampir bersamaan dan bila belum didapat keputusan tentang tidak pidana mana yang paling tepat dapat dibuktikan. Dalam dakwaan ini terdapat beberapa dakwaan yang disusun secara berlapis, lapisan yang satu merupakan alternatif dan bersifat mengecualikan dakwaan pada lapisan lainnya. Meskipun dakwaan terdiri dari beberapa lapisan, tetap hanya satu dakwaan yang akan dibuktikan. Pembuktian dakwaan tidak perlu dilakukan secara berurut sesuai lapisan dakwaan, tetapi langsung kepada dakwaan yang dipandang terbukti. Apabila salah satu telah terbukti maka dakwaan pada lapisan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi.
c) Dakwaan Subsidair,  Susunan dakwaan subsidair ini umumnya dalam lingkup suatu perbuatan yang parallel atau satu jurusan yang dalam dakwaan disusun berdasar pada urutan berat ringannya perbuatan yang tentu akan berbeda tentang berat ringan ancaman pidananya. Dalam dakwaan ini terdiri dari beberapa lapisan dakwaan yang disusun secara berlapis dengan maksud lapisan yang satu berfungsi sebagai pengganti lapisan sebelumnya. Sistematik lapisan disusun secara berurut dimulai dari tindak pidana yang diancam dengan pidana terberat sampai dengan tindak pidana yang diancam dengan pidana teringan. Pembuktian dilakukan secara berurut dimulai dari lapisan teratas sampai dengan lapisan terbawah.
d) Dakwaan Kumulatif,  Bentuk surat dakwaan ini terdapat beberapa tindak pidana masing-masing berdiri sendiri artinya tidak ada hubungan antara tindak pidana yang satu tehadap yang lain dan didakwakan secara serempak. Dalam hal ini didakwakan beberapa tindak pidana sekaligus dari kesemua dakwaan harus dibuktikan satu demi satu. Tindak pidana yang didakwakan masing-masing berdiri sendiri, tetapi didakwakan secara serempak asal saja pelaku dari tindak pidana itu adalah sama. Dakwaan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas dan dituntut pembebasan dari dakwaan tersebut. Dakwaan ini dipergunakan dalam hal terdakwa melakukan beberapa tindak pidana yang masing- masing merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri.
e) Dakwaan Kombinasi atau Gabungan,  dakkwaan kombinasi adalah merupakan kombinasi dari dakwaan yang berbentuk alternatif dengan dakwaan subsidair atau antara dakwaan komulatif dengan dakwaan subsidair atau antara dakwaan komulatif dengan dakwaan alternatif, dan sebagainya. Dakwaan ini harus diperhatikan secara teliti mengenai bentuk-bentuk dari kumulasinya, dan jangan sampai upaya untuk mencegah terdakwa lepas dari dakwaan. Timbulnya bentuk ini seiring dengan perkembangan di bidang kriminalitas yang semakin variatif baik dalam bentuk atau jenisnya maupun dalam modus operandi yang dipergunakan.

Paris Manalu, SH MH, Tanjungpinang