Jumat, 17 Oktober 2014

Pemeriksaan di tingkat Banding dan di tingkat Kasasi perkara TUN

PEMERIKSAANDI TINGKAT BANDING DAN DI TINGKAT KASASI


A. Pemeriksaan di Tingkat Banding


1.  Permintaan Pemeriksaan Tingkat Banding

Terhadap putusan pemeriksaan Peradilan Tata Usaha Negara dapat dimintakan banding oleh penggugat atau tergugat atau pihak ketiga yang memasuki proses sewaktu proses itu berjalan, kepada Pengadilan Tinggi Tata usaha Negara (Pasal 122 UU PTUN)
a.   Pemeriksaan ditingkat banding ini dimaksudkan agar seluruh pemeriksaan yang telah dilakukan oleh Hakim Pengadilan Tingkat Pertama diperiksa ulang oleh Pengadilan Tinggi.
b.  Pada pemeriksaan ini para pihak diberi kesempatan untuk mengajukan argumen-argumennya dalam bentuk memoro banding mengenai hal-hal yang dianggapnya perlu, yang menurut mereka telah dilupakan oleh Hakim Pengadilan Tingkat Pertama.
c.   Disini dapat juga diajukan bukti-bukti baru yang belum pernah diajukan atau membantah, atau memperkuat pertimbangan atau putusan Hakim Pengadilan Tingkat Pertama
d.  Pemeriksaan ini bersifat devolutif, artinya seluruh pemeriksaan perkara dipindahkan dan diulang kembali oleh Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

2.  Pihak Ketiga (Pasal 83 UU PTUN)

a.   Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa Hakim, dapat masuk ke dalam sengketa Tata Usaha Negara dan bertindak sebagai:
1).     Pihak yang membela haknya, atau;
2).     Peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa.
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) huruf a, dapat dikabulkan dalam putusan yang dicantumkan dalam Berita Acara Sidang.
b.  Permohonan banding terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) huruf b tidak dapat diajukan tersendiri akan tetapi harus bersama-sama dengan permohonan banding terhadap putusan akhir dalam pokok sengketa.
Yang dimaksud dengan pihak ketiga tersebut dalam contoh sebagai berikut:
1)  Seorang B menggugat agar keputusan Badan Pertahanan Nasional (BPN) yang berisi pencabutan sertipikat tanah atas namanya dinyatakan batal, karena cara perolehannya tidak melalui prosedur peraturan perundang-undangan yang berlaku. “X” yang mengetahui gugatan B tersebut merasa berkepentingan untuk membel haknya karena ia merasa yang paling berhak atas tanah tersebut, sebab ia sebagai ahli waris tunggal dari pewaris yang semula memiliki tanah tersebut.
2)  “B” menggugat agar keputusan BPN yang berisi pencabutan sertipikat atas namanya dinyatakan batal itu, ia menyatakan membeli dari “G”, kemudian “B” mengajukan permohonan agar “G” ditarik bergabung dengannya untuk memperkuat posisi gugatannya.
Disini “G” berkedudukan sebagai Penggugat II intervensi.

3.  Putusan PTUN yang bukan putusan akhir hanya dapat dimohonkan pemeriksaan banding bersama-sama dengan Putusan Akhir (Pasal 124 UU PTUN)

Putusan terhadap penundaan pelaksanaan putusan TUN yang sedang digugat {Pasal 67 ayat (2)}, yang hanya dapat dimohonkan pemeriksaan banding bersama-sama dengan Putusan Akhir.

4.  Beberapa Putusan yang dapat berkedudukan sebagai Putusan Akhir, tetapi tidak dimungkinkan untuk dimintakan permohonan banding:

a.   Penetapan Ketua pengadilan dalam rapat permusyawaratan, ketua pengadilan berwenang memutuskan dengan penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan dapat diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak mendasar.
b.  Terhadap putusan mengenai perlawanan itu tidak dapat digunakan upaya hukum (Pasal 62 ayat (6) UU PTUN);
c.   Penetapan Ketua Pengadilan mengenai permohonan untuk beracara cuma-cuma (Pasal 60 UU PTUN)
d.  Putusan perlawanan pihak ketiga terhadap pelaksanaan Putusan yang telah berkekuatan tetap (Pasal 118)

5.  Prosedur Permohonan Pemeriksaan Banding.

a.   Diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya kepada Ketua pengadilan TUN Tingkat Pertama yang menjatuhkan Putusan dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan tersebut diberitahukan kepadanya secara sah {Pasal 123 ayat (1)}. Dalam praktek hal ini akan terjadi dengan mengisi formulir yang sudah tersedia.
b.  Hanya putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan (Pasal 115), oleh karena itu permohonan banding akan mengakibatkan ditundanya pelaksanaan Putusan yang dimohonkan banding.
c.   Setelah Permohonan Pemeriksaan Banding beserta biaya perkara dipenuhi dan perkara itu dicatat dalam perkara banding, Panitera memberitahukan hal itu kepada pihak Terbanding. Hal yang serupa juga harus dilakukan kalau kedua pihak mengajukan Permohonan Permintaan Banding.
d.  Selambat-lambatnya dalam waktu 30 hari sesudah Permohonan Pemeriksaan Banding dicatat, Panitera memberitahukan kepada kedua belah pihak bahwa mereka dapat melihat berkas perkara di kantor Pengadilan Tata Usaha Negara dalam tenggang waktu 30 hari setelah mereka menerima pemberitahuan tersebut {Pasal 126 ayat (1)}
e.   Salinan Putusan, Berita Acara dan surat-surat lain yang bersangkutan dengan perkara harus dikirimkan kepada Panitera Pengadilan Tinggi TUN selambat-lambatnya 60 hari sesudah pernyataan Permohonan Pemeriksaan Banding.

B.  Pemeriksaan di Tingkat Kasasi


1.  Terhadap putusan tingkat terakhir Pengadilan, dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung (Pasal 131 UU PTUN)
2.  Pemeriksaan kasasi untuk perkara yang diputus oleh Pengadilan di lingkungan Pengadilan TUN, dilakukan menurut ketentuan Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang No 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung.
3.  Permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding kecuali ditentukan lain oleh undang-undang, (Pasal 43 UU No 5 Tahun 2004), permohonan kasasi dapat diajukan hanya 1 (satu) kali.
4.  Permohonan Kasasi dapat diajukan kepada pihak yang berperkara atau wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu dalam perkara TUN yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir di Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, dan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, permohonan kasasi tersebut dapat diajukan hanya 1 (satu) kali. (Pasal 44 UU Tentang MA)
5.  Permohonan Kasasi demi kepentingan hukum dapat diajukan oleh Jaksa Agung karena jabatannya dalam perkara TUN yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tingkat Pertama atau Pengadilan Tingkat Banding di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama dan di lingkungan Peradilan TUN, permohonan kasasi tersebut dapat diajukan hanya 1 (satu) kali. (Pasal 45 UU No 5 Tentang MA).

C.  Pemeriksaan Peninjauan Kembali


1.  Terhadap Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
2.  Dalam peninjauan kembali perkara yang telah diputus Pengadilan di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara digunakan Hukum Acara Peninjauan Kembali sebagaimana tercantum dalam Pasal 67 sampai dengan Pasal 75 UU Tentang MA (Pasal 77 UU MA)
Catatan:
Pasal 67 sampai dengan Pasal 75 UU MA mengatur tentang Hukum Acara Peninjauan kembali bagi Peradilan Umum yang berdasarkan Pasal 77 UU MA diberlakukan juga untuk Peradilan di Lingkungan Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer.
3.  Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan (Pasal 67 UU MA)
a.   Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
b.  Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan
c.   Apabila telah dikabulkan sesuatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut.
d.  Apabila telah dikabulkan sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
e.   Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.
f.    Apabila dalam suatu Putusan terdapat suatu kekhilafan yang bertentangan satu dengan yang lain.

4.  Permohonan Peninjauan Kembali harus diajukan sendiri oleh para pihak yang berperkara atau akhli warisnya atau seorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Apabila selama proses peninjauan kembali Pemohon meninggal dunia, permohonan tersebut dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya (Pasal 68 UU MA)

D. Hakim Ad-Hoc


Ketua Pengadilan dapat menunjuk Hakim Ad-Hoc sebagai anggota Majelis dalam hal Pengadilan memeriksa dan memutus perkara TUN (Pasal 135 UU PTUN)
Syarat-syarat sebagai Hakim Ad-Hoc: WNI, bertaqwa kepada Tuhan YME, setia kepada Pancasila dan UUD 1945, bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI termasuk ormasnya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G-30-PKI atau organisasi terlarang lainnya, berumur serendah-rendahnya 25 tahun, berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela.
Hakim Ad-Hoc boleh seorang pengusaha / swasta.
Tata cara pengangkatannya diatur Peraturan Pemerintah.

Daftar Pustaka


1.        Agus M. Mazwan Sosrokusumo, S.H. Freis Ermessen, sebuah type Tindak Pidana Hukum di Bidang Hukum Tata Pemerintahan, Seri Karangan Tersebar, Fakultas Hukum Universitas Jember, 1983.

2.        Prof.DR. Baharudin Lopa ,S.H. dan DR A. Hamzah, S.H. Mengenal Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta.

3.        Prof DR. Mr Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Seri Pustaka Ilmu Administrasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981

4.        Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Cetakan Keenam, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996

5.        Ismail Saleh, S.H. Pidato Sambutan Pemerintah Atas Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Terhadap Rancangan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Tanggal 20 Desember 1986.

6.        Joko Widodo, Good Governance telahaan dari Demensi Akuntabilitas Dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Penerbit, Insan Cendekia 2001.

7.        Y.W Sunindya, S.H., Dra Ninik Widiyanti, Administrasi Negara Dan Peradilan Administrasi. Aneka Cipta, Jakarta, 1990.

8.        Martiman Prodjohamidjojo, S.H. Hukum Acara Peradilan Tata Usah Negara, Ghalia Indonesia 1993.

9.        Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Revisi , PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2007

10.     Undang-Undang Dasar 19945

11.     Undang-Undang Dasar 1945 peruhan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat dalam satu naskah

12.     Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara serta Penjelasannya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987.

13.     UNdang-Undang No 7 Tahun  2004 Tentang


 ---------------------------Arsip Pembelajaran Hukum Acara TUN

Keputusan Pengadilan TUN dan Pelaksanaanya

KEPUTUSANPENGADILAN DAN PELAKSANAANNYA


K
eputusan pengadilan sengketa Tata Usaha Negara dapat berupa:
a.   Gugatan ditolak; yaitu dalam hal penggugat tidak berhasil membuktikan gugatannya.
b.  Gugatan dikabulkan; baik seluruhnya maupun sebagian, yaitu dalam hal apa yang didalilkan penggugat baik seluruhnya atau sebagian oleh pengadilan dinyatakan benar.
c.   Gugatan tiak diterima; yaitu dalam hal formalitas gugatan tidak terpenuhi.
d.  Gugatan gugur; yaitu dalam hal penggugat telah dua kali dipanggil dengan patut tetapi dengan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan tidak datang di persidangan.
(Pasal 97 ayat (7))

Putusan Pengadilan yang mengabulkan gugatan, dapat menetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan Keputusan TUN. (Pasal 97 ayat (8)).

Kewajiban sebagaimana tersebut, berupa:
a.   pencabutan keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan;
b.  pencabutan keputusan Tata Usaha Negara; dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru;
c.   penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3. (Pasal 97 ayat (9))

Ketiga macam putusan pengadilan tersebut, berisi kewajiban pokok yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN sebagai tergugat yang kalah. Di samping kewajiban pokok ada kemungkinan kewajiban tambahan yang harus dilakukan oleh pejabat TUN, yaitu kewajiban membayar ganti rugi, apabila ada tuntutan tambahan agar Badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan dihukum membayar ganti rugi.

Ganti rugi adalah pembayaran sejumlah uang kepada orang atau badan perdata atas badan TUN berdasarkan keputusan Pengadilan TUN karena adanya kerugian materiil yang diderita oleh penggugat (Pasal 97 ayat (10)).
Besarnya ganti rugi yang dapat diperoleh paling sedikit Rp 250.000 atau paling banyak Rp 5.000.000 dengan memerintahkan keadaan yang nyata.
Ganti rugi yang menjadi tanggung jawab Badan TUN Pusat dibebankan APBN, yang menjadi tanggung jawab Badan TUN Daerah dibebankan APBD (beban yang dikelola oleh badan itu sendiri)

Khusus yang berhubungan dengan sengketa TUN di bidang kepegawaian, di samping kewajiban pokok dan kewajiban tambahan membayar ganti rugi, juga dapat diwajibkan memberi rehabilitasi kepada penggugat, dan pemberian kompensasi.

Kompensasi adalah pembayaran sejumlah uang kepada orang / badan TUN dibidang kepegawaian yang tidak dapat atau tidak sempurna dilaksanakan oleh badan TUN
Besarnya kompensasi paling sedikit Rp 100.000 dan paling banyak Rp 2.000.000 dengan memperhatikan keadaan yang nyata.

Undang-Undang PTUN menjamin agar putusan Pengadilan TUN yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap sungguh-sungguh dilaksanakan, tercermin dalam Pasal 116 ayat (1 s/d 5) UU TUN dengan ketentuan-ketentuan:
1.  bahwa dalam 4 bulan setelah putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dikirim kepada pihak-pihak, akan tetapi badan atau pejabat TUN sebagai pihak tergugat yang harus melaksanakan Putusan TUN, sebagaimana dimaksud pasal 97 ayat (9) huruf a, tidak melaksanakannya, maka Keputusan TUN yang bersangkutan dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Pasal 116 ayat (2)
Pasal 97 ayat (9):
a.   Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan.

Artinya bila tergugat tidak mencabut Kep TUN, yang digugat, maka Kep TUN itu tidak mempunyai kekuatan hukum.
2.  Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud ayat (1) agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut. Pasal 116 ayat (3)

Pasal 97 ayat (9) huruf b dan c:
b. Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; atau
c. Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3.

3.  Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan / atau sanksi adminisratif. (Pasal 116 ayat (4))
4.  Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (3) (Pasal 116 ayat 5))

Putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan hanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 115 UU PTUN). Salinan putusan pengadilan itu dikirim melalui surat tercatat kepada pihak-pihak selambat-lambatnya empat belas hari.

Daftar Pustaka


1.        Agus M. Mazwan Sosrokusumo, S.H. Freis Ermessen, sebuah type Tindak Pidana Hukum di Bidang Hukum Tata Pemerintahan, Seri Karangan Tersebar, Fakultas Hukum Universitas Jember, 1983.

2.        Prof.DR. Baharudin Lopa ,S.H. dan DR A. Hamzah, S.H. Mengenal Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta.

3.        Prof DR. Mr Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Seri Pustaka Ilmu Administrasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981

4.        Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Cetakan Keenam, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996

5.        Ismail Saleh, S.H. Pidato Sambutan Pemerintah Atas Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Terhadap Rancangan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Tanggal 20 Desember 1986.

6.        Joko Widodo, Good Governance telahaan dari Demensi Akuntabilitas Dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Penerbit, Insan Cendekia 2001.

7.        Y.W Sunindya, S.H., Dra Ninik Widiyanti, Administrasi Negara Dan Peradilan Administrasi. Aneka Cipta, Jakarta, 1990.

8.        Martiman Prodjohamidjojo, S.H. Hukum Acara Peradilan Tata Usah Negara, Ghalia Indonesia 1993.

9.        Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Revisi , PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2007

10.     Undang-Undang Dasar 19945

11.     Undang-Undang Dasar 1945 peruhan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat dalam satu naskah

12.     Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara serta Penjelasannya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987.

13.     UNdang-Undang No 7 Tahun  2004 Tentang



 --------------------------Arsip Pembelaran Peradilan TUN

Pembuktian dalam persidangan sengketa Tata Usaha Negara

PEMBUKTIAN DALAM PERSIDANGAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA


D
alam persidangan, salah satu hal yang paling penting adalah “pembuktian”, yaitu hal yang dilakukan Hakim dalam pemeriksaan pengadilan dengan cara yang tepat (menurut prosedur yang ditetapkan dalam peraturan pembuktian), menetapkan terbuktinya eksistensi fakta-fakta yang relevan untuk digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam putusan nantinya, disamping penerapan hukum (rechtsoepassing) dan kadangkala menemukan hukum (rechtsvinding).
Membuktikan atau memberikan pembuktian adalah dengan alat-alat pembuktian tertentu, memberikan suatu tingkatan kepastian yang sesuai dengan penalaran tentang eksistensi fakta-fakta hukum yang disengketakan.

Yang dimaksud dengan fakta-fakta:
1. Fakta-fakta hukum.
Fakta-fakta hukum adalah kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang keberadaannya (eksistensinya) tergantung pada penerapan suatu peraturan.
Contoh: Peraturannya menyatakan bahwa setiap bangunan rumah, harus mempunyai izin mendirikan bangunan (IMB). Tuan C mendirikan bangunan rumahnya tanpa IMB. Keadaan mendirikan bangunan rumah tanpa IMB ini merupakan fakta hukum.
Namun kadang kala fakta hukum juga bersifat murni yuridis.
Contoh: pernyataan tidak keberatan Walikota Jakarta Timur yang diperoleh Tuan FCN untuk membangun gedung diatas tanah yang diperuntukannya untuk jalur hijau.

2. Fakta-fakta biasa (blote feiten)
Kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang juga mengikuti adanya fakta-fakta hukum tertentu.
Contoh: Pernyataan tidak cakap bekerja seorang pegawai C, harus disimpulkan dari kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya, menyebabkan rusaknya harta kekayaan milik negara, menyebabkan tidak terkirimnya surat-surat dinas penting, menyebabkan kecelakaan moda transportasi tertentu.
Kesalahan-kesalahan yang diperbuat A tersebut merupakan fakta-fakta biasa.

Pasal 100 UU PTUN dalam ayat (1) menyatakan:
(1).   Alat bukti ialah:
a.   Surat atau tulisan sebagai alat bukti terdiri atas tiga jenis yaitu akta otentik, akta di bawah tangan, dan surat-surat lain yang bukan akta (Pasal 101 UU PTUN).
b.  Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya. (Pasal 102 ayat (1) UU PTUN)
Misalnya: keterangan dokter, ahli ketenagakerjaan, ahli kepegawaian negeri, ahli dibidang kehutanan, pertanahan yang dapat memberikan peranan penting.
c.   Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan ini berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat atau didengar oleh saksi sendiri. (Pasal 104 UU PTUN)
Keterangan saksi kadang kala diberikan dalam bentuk tertulis yang diajukan pihak yang bersangkutan di muka pemeriksaan.

       Pasal 88 UU PTUN melarang seseorang      
       menjadi saksi apabila:
1)  Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa;
2)  Istri atau suami salah satu pihak yang bersengketa meskipun sudah bercerai;
3)  Anak yang belum berusia tujuh belas tahun;
4)  Orang sakit ingatan

d.  Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Hakim. (Pasal 105 UU PTUN)
Para pihak yang memberikan pengakuan umumnya dapat merupakan garis penuntun untuk mencari kejelasan lebih lanjut mengenai fakta-fakta tertentu.
e.   Pengetahuan Hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya (Pasal 106 UU PTUN)
Untuk membuktikan suatu fakta kadangkala Hakim merasa perlu melakukan pemeriksaan setempat untuk melakukan penilaian yang tepat mengenai perkara yang sedang diperiksa.
Misalnya: Pemeriksaan pembangunan gedung yang dinyatakan melanggar sepadan jalan, yang dianggap telah membahayakan, tanah yang dinyatakan sebagai jalur hijau, batas HPH.

Dari ketentuan pasal-pasal pembuktian dalam UU PTUN, jelas UU ini menganut ajaran pembuktian bebas yang terbatas. Dikatakan demikian karena mengenai alat-alat bukti yang boleh digunakan dalam membuktikan sesuatu sudah ditentukan secara limitatif (Pasal 100 UU PTUN). Hakim dibatasi wewenangnya untuk menilai keabsahan pembuktian, yaitu paling sedikit ada dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim, sebagaimana diatur dalam Pasal 107 UU PTUN.
Pasal 107 UU PTUN:
“Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim”.

Daftar Pustaka


1.        Agus M. Mazwan Sosrokusumo, S.H. Freis Ermessen, sebuah type Tindak Pidana Hukum di Bidang Hukum Tata Pemerintahan, Seri Karangan Tersebar, Fakultas Hukum Universitas Jember, 1983.

2.        Prof.DR. Baharudin Lopa ,S.H. dan DR A. Hamzah, S.H. Mengenal Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta.

3.        Prof DR. Mr Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Seri Pustaka Ilmu Administrasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981

4.        Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Cetakan Keenam, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996

5.        Ismail Saleh, S.H. Pidato Sambutan Pemerintah Atas Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Terhadap Rancangan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Tanggal 20 Desember 1986.

6.        Joko Widodo, Good Governance telahaan dari Demensi Akuntabilitas Dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Penerbit, Insan Cendekia 2001.

7.        Y.W Sunindya, S.H., Dra Ninik Widiyanti, Administrasi Negara Dan Peradilan Administrasi. Aneka Cipta, Jakarta, 1990.

8.        Martiman Prodjohamidjojo, S.H. Hukum Acara Peradilan Tata Usah Negara, Ghalia Indonesia 1993.

9.        Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Revisi , PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2007

10.     Undang-Undang Dasar 19945

11.     Undang-Undang Dasar 1945 peruhan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat dalam satu naskah

12.     Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara serta Penjelasannya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987.

13.     UNdang-Undang No 7 Tahun  2004 Tentang



 ---------------------------Arsip Pembelajaran TUN