Senin, 13 April 2015

Jelaskan Asas-asas yang mesti ditegakkan dalam sengketa atau perkara perdata, agar putusan yang dijatuhkan tidak mengandung cacat.


Jelaskan Asas-asas yang mesti  ditegakkan  dalam sengketa atau perkara perdata, agar putusan yang  dijatuhkan  tidak mengandung cacat.
Jawab :
Asas  tersebut  dijelaskan  dalam Pasal 178 HIR, Pasal 189 RGB, dan  Pasal  19  UU No . 4 Tahun 2004 (dulu dalam Pasal 18 UU No. 14 Tahun 1970  tentang Kekuasaan kehakiman ).  
1.     Memuat dasar alasan yang jelas dan rinci.
Menurut asas ini  putusan yang dijatuhkan harus  berdasarkan  pertimbangan yang jelas dan cukup. Putusan yang tidak memenuhi  ketentuan itu dikategorikan putusan yang  tidak cukup pertimbangan atau onvoldoende gemotiveerd  (insufficient judgement).  
Alasan–alasan hukum  menjadi dasar  pertimbangan  bertitik tolak dari ketentuan : 
-        Pasal-pasal  tertentu peraturan perundang –undangan,
-        Hukum kebiasaan,
-        Yuris prudensi, atau
-        Doktrin hukum.
Hal ini  ditegaskan dalam pasal 23  UU No 1970, sebagaimana di ubah  dengan UU No 35  Tahun 1999  sekarang dalam Pasal 25 ayat  (1) UU No .4 Tahun 2004, yang menegaskan bahwa segala putusan  pengadilan  harus memuat  alasan–alasan  dan dasar-dasar putusan  mencantumkan pasal–pasal peraturan perundang–undangan  tertentu  yang bersangkutan  dengan perkara  yang  diputus atau berdasarkan hukum tak tertulis  maupun yurisprudensi  atau doktrin hukum.
Bahkan menurut pasal 178 ayat (1) HIR, hakim karena jabatanya  atau secara exofficio, wajib  mencukupkan segala alasan hukum  yang tidak dikemukakan para pihak  yang berperkara .
Untuk memenuhi kewajiban  itu,  pasal 27  ayat (1) UU No 14  Tahun 1970, sebagaimana  di ubah dengan UU No 35  Tahun 1999,  dimuat  dalam Pasal 28 ayat (1) UU No 4 Tahun  2004 memerintah  hakim dalam kedudukan sebagai penegak hukum  dan keadilan ,wajib menggali  mengikuti, dan memahami  nilai-nilai hukum dan hidup dalam masyarakat . Menurut pasal ini  hakim  berperan dan bertindak  sebagai perumus dan penggali nilai –nilai  yang hidup dikalangan masyarakat.
Bertititk tolak  dari ketentuan  pasal-pasal  yang dikemukakan di atas, putusan yang tidak cukup pertimbangan  adalah masalah yuridis . Akibatnya putusan yang seperti itu dapat dibatalkan  pada tingkat banding atau kasasi.
Hal itu  ditegaskan dalam putusan  MA No .443  K/Pdt/1986 dalam perkara ini  penggugat dalam dalil gugatan  mengatakan utang tergugat Rp  13.134.312,00 tambah bunga akan ,tetapi pengadilan dalam putusannya menetapkan  utang tergugat  sebeesar Rp 14.300.000,00 tampa disertai  pertimbangan dan alasan –alasan hukum  mengapa jumlahnya demikian. Padahal setelah majelis kasasi meneliti  surat  peryataan terguuugat, surat  mana tidak dibantah  tergugat, berarti tergugat mengakui, bahwa  jumlah utangnya sebesar Rp 21.132.230,00 yang terdiri  dari utang  pokok dan bunga. Demikian juga putusan  MA No 2461 K/Pdt /1984 . judex  facti  di anggap salah  menerapkan  hukum  dan sekaligus  putusan yang dijatuhkan dinyatakan tidak cukup  pertimbangan, karena tidak seksama dan rinci menilai  dan mempertimbangkan segala  fakta yang  ditemukan dalam proses persidangan.
Begitu juga pertimbangan  yang mengandung  kontradiksi pada  dasarnya  dianggap  tidak memenuhi syarat  sebagai putusan  yang jelas dan rinci sehingga  cukup alasan menyatakan  putusan yang di ajukan  melanggar  asas yang digariskan pasal 178 ayat (1) HIR Pasal 189 ayat (1) RBG Dan Pasal 19 UU No .4 Tahun  2004 ( dahulu  Pasal 18 UU No. 14 Tahun 1970), demikian penegasan yang terkadung dalam putusan MA No 3538 K /Pdt /1984.

2.     Wajib Mengadili Seluruh  Bagian Gugatan 
Asas kedua digariskan dalam pasal 178 ayat (2) HIR, Pasal 189 ayat (2) RGB  dan pasal 50 Rv, putusan harus secara  total dan menyeluruh  memeriksa dan mengadili setiap segi gugatan  yang di ajukan. Tidak boleh  hanya memeriksa dan memutuskan sebagian saja, dan mengabaikan gugatan selebihnya, cara  mengadili yang demikian bertentangan dengan asas yang digariskan undang-undang.
sebagai contoh kasus Putusan  MA No  109 K/Sip/1960 dalam perkara yang di ajukan meliputi dalil pokok:
1)    Pihak penggugat dan tergugat  ditetapkan ahli waris dari pewaris
2)    Tanah sengketa  ditetapkan  sebagai harta peninggalan pewaris
3)    Menghukum tergugat menyerahkan  tanah terperkara untuk dibagi waris kepada penggugat dan tergugat.
Pengadilan tingkat pertama, menolak gugatan (2) dan ke (3), tetapi tidak megadili  dan memutuskan  Tututan gugatan (1). Menurut tingkat kasasi, cara mengadili segala gugatan, MA menyatakan meskipun tuntutan gugatan (2) dan (3) ditolak tuntutan (1) harus diputus dan di adili, jika kedua bela pihak terbukti ahli waris dan pewaris, harus dikabulkan sepanjang gugatan itu, sebliknya jika tidak terbukti, gugatan itu pun harus ditolak .
Begitu juga putusan  yang hanya mempertimbangkan dan memutus gugatan konvensi, padahal  tergugat  mengajukan  gugatan rekonvensi. Cara mengadili yang demikian bertentangan dengan asas yang digariskan Pasal 178 ayat (3) HIR, karena tindakan yang demikian memeriksa  gugatan tidak menyeluruh tetapi hanya sebagian saja. Demikian  yang di peringatkan  putusan MA No 104  K/Sip/1968. Putusan yang tidak memeriksa  dan memutuskan gugatan konvensi ,berarti pengadilan telah mengabaikan dan tidak melaksanakan  ketentuan pasal 132 b HIR, oleh karena itu putusan itu harus dibatalkan.
Dalam kasus ini  MA  putusan itu harus dibatalkan. Dalam kasus ini  MA berpendapat putusan PN tersebut melanggar Pasal 132 b HIR, khususnya ayat (3) yang menyatakan dalam hal tergugat mengajukan gugatan rekonvensi maka gugatan itu harus diselesaikan dan diputuskan  sekaligus bersama-sama dengan gugatan konvensi, akan tetapi ditinjau dari segi asas, putusan dalam kasus tersebut sekaligus  juga melanggar prinsip yang digariskan Pasal 178 ayat(2)HIR, yakni pengadilan melanggar kewajiban memeriksa dan memutuskan seluruh gugatan.

3.     Tidak Boleh Mengabulkan  Melebihi Tuntutan 
Asas lain, digariskan pada pasal 178 ayat (3) HIR dan Pasal 189 ayat (3) RBG  Dan Pasal 50 Rv. Putusan tidak boleh mengabulkan melebihi tunutan yang dikemukakan dalam gugatan. Larangan ini disebut  ultra petitum  partium hakim yang mengabulkan melebihi posita maupun petitum gugat, dianggap telah melampaui wewengnya (beyond the power  of his auhority). Apabila putusan mengandung  ultra petitum harus dinyatakan cacat  (invalid) meskipun hal itu dilakukan hakim dengan ikikad baik (good faith) maupun sesuai dengan kepentingan umum (public interest) mengadili dengan cara mengabulkan melebihi dari apa yang digugat, dapat di persamakan dengan tindakan yang tidak sah (ilegal) meskipun dilakukan dengan ikikat baik.
Oleh karena itu hakim yang melanggar tindakan prinsip titum sama dengan pelanggaran  terhadap  perinsip rule of law ;
-      Karena tindakan itu tidak sesuai dengan hukum ,padahal sesuai dengan prinsip  rule of law semua tindakan hakim mesti  sesuai dengan hukum (accordance with the law),
-      tindakan hakim yang mengabulkan melebihi dari yang di tuntut ,nyata-nyata malampaui  batas wewenang  yang di berikan  Pasal 178 ayat (3) HIR kepadanya tindakan yang melampaui batas wewenang (beyoud the power of his aouthority).
Sehubungan dengan itu  sekiranya tindakan ultra petitum  itu dilakukan hakim berdasarkan alasan ikikat baik, tetap tidak di benarkan atau ilegal, karena melanggar prinsip  the rule of  law (the principal of the rule of law ), oleh karena itu tidak dapat dibenarkan. Hal ini pun ditegaskan oleh MA No 1001 K/Ship 1972 yang melarang  hakim mengabulkan hal-hal yang diminta atau  melebihi daripada yang diminta .yang dibenarkan paling tidak putusan yang dijatuhkan hakim ,masih dalam kerangka  serasi dengan inti gugatan. Demikian penegasan  Putusan MA No 140 K/Ship 1971.
Putusan judex  facti yang didasarkan pada pentitum subsidair yang berbentuk Ex aequo et bono, dapat dibenarkan asal masi dalam kerangka  yang sesuai dengan inti petitum primair. Bahkan terdapat juga putusan yang lebih jauh dari itu  dalam putusan MA No 140 K/Ship /1971, dimungkinkan penegasan putusan MA No 556 K/Ship/1971.Dimungkinkan mengabulkan gugatan yang lebih permintaan dengan syarat asal masih sesuai dengan kejadian materiil namun perlu diingat permintaan yang demikian sangat kasuistik.
Akan tetapi sebaliknya dalam hal  petitum   primair dan subsidair masing- masing dirinci satu persatu,tindakan hakim yang mengabulkan sebagian petitum primair dan sebgian lagi petitum subsidair, dianggap tindakan yang melampaui batas wewenang ,oleh karena itu tidak dibenarkan. Demikian penegasan putusan MA No 882 K /Ship/1974. Dalam gugat mencantumkan patitum primair dan kebebasan cara mengadili dengan jalan mengabulkan petitum primair atau mengambil sebagian dari petitum subsidair. Putusan harus dibatalkan karena putusan PT mengabulkan ganti rugi yang tidak diminta dalam bentuk gugatan. Begitu  juga putusan yang didasari atas pertimbngan yang menimpang  dari gugatan, menurut putusan MA No.372/K /Ship 1970 harus dibatalkan.

4.     Diucapkan Dimuka Umum
a)     Prinsip keterbukaan untuk umum bersifat imperatif Persidangan dan putusan di ucapkan dalam sidang penadilan yang terbuka utuk umum, merupakan ng tidak salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari asas fair trial menurut asas fair trial berdasarkan proses yang jujur sejak awal  sampai akhir. Dengan demikian prinsip peradilan terbuka untuk umum mulai dari awal pemeriksaan sampai putusan dijatuhkan, merupakan bagian dari asas  fair trial. Dalam literatur  disebut the open justice principle .tujuan utamanya untuk menjamimn proses peradilan terhindar dari perbuatan tercela ( misbehavior)dari pejabat peradilan. Melalui prinsip terbuka umum, dianggap memiliki efec  pencegahan (deterrent effect) terjadinya proses peradilan yang bersifat berat sebelah (partial )atau diskriminatif, karena proses pemeriksaan sejak awal sejak awal sampai putusan dijatuhkan dilihat dan didengar publik.hal ini membuat hakim lebih berhati-hati melakukan kekeliruan (eror) dan penyalagunaan wewenang pada satu segi dan mencegah saksi  melakukan sumpah palsu  pada sisi lain.
b)    Akibat Hukum atas Pelanggaran asas keterbukaan. Prinsip pemeriksaan dan putusan di ucapkan secara terbuka ditegaskan dalam Pasal 18 UU No. 14 Tahun 1970, sebagaimana diubah  dengan UU No. 35 Tahun 1999 sekarang dalam pasal 20 UU No. 4 Tahun 2004 yang berbunyi: Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuasaan hukum  apabila di ucapkan dalam sidang terbuka umum.
Mengenai prinsip ini, juga ditegaskan dalam penjelasan umum  angka 5 huruf c UU No 14 Tahun 1970 : diwajibkan supaya pemeriksaan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum  oleh sekurang-kurangnyatiga orang hakim ,kecuali undang–undang menentukan lain. Dalam acara Pidana ,Prinsip ini ditegaskan dalam pasal 64 KUHAP. Terdakwa berhak diadili  di sidang  pengadilan yang terbuka untuk umum. Berdasarkan Pasal 19 Ayat (2) jo Pasal 20 UU No .4 Tahun 2004 di atas  pelanggaran  atas prinsip  keterbukaan dimaksud mengakibatkan putusan yang dijatuhkan :
·       Tidak sah, atau
·       Tidak mempunyai kekuasaan hukum.
Salah satu putusan MA yang menegaskan hal itu di muka umum. Terhadap tindakan ini dalam kasus ini putusan tidak  di ucapkan  di muka umum. Terhadap tindakan itu peradilan kasasi membatalkan putusan tersebut  atas alasan putusan  itu bertentangan  dengan ketentuan Pasal UU No. 14 Tahun1970 (sekarang Pasal 20 UU No. 4 Tahun 2004).
c). Dalam Hal Pemeriksaan Secara tertutup, putusan tetap diucapkan dalam sidang
      terbuka. 
Dalam kasus tertentu, peraturan perundang-undang  membenarkan pemeriksaan dilakukan dalam sidang tertutup. Akan tetapi, pengecualian ini sangat terbatas yang paling utama dalam bidang hukum kekeluargaan ,Khususnya mengenai perkara perceraian. Menurut pasal 39  ayat (3) UU No. 1 Tahun 1974  Tentang perkawinan, tata cara  perceraian di depan  sidang pengadilan  di atur dalam peraturan perundang-undangan  tersendiri  kemudian itu digariskan dalam Pasal 33 PP No .9 Tahun 1975 sebagai ketentuan pelaksanaan pasal itu menegaskan pemeriksaan gugatan perceraian  menurut pasal 33 tersebut :
·       Tidak hanya terbatas pada pemeriksaan para pihak yang berperkara,
·       Tetapi meliputi juga bagi pemeriksaan sanksi-sanksi.
Akan tetepi meskipun peraturan  perundang-undang membenarkan perkara perceraian  diperiksa secara  tertutup, namun Pasal 34 PP tersebut menegaskan : Sepanjang mengenai  proses pengucapan putusan tetap  tunduk kepada ketentuan 1999, sekarang di atur dalam Pasal 20 UU No .4 Tahun 2004.
d.     Diucapkan Dalam Sidang Pengadilan 
Dimana ditegakan prinsip pemeriksaan dan pengucapan putusan yang terbuka untuk umum? Dilakukan dalam ruang sidang gedung pengadilan yang ditentukan untuk itu .inilah patokan umum  yakni ruang sidang gedung pengadi. Hal ini jauh hari sudah ditegaskan dalam SEMA No .04 Tahun 1974. Selain persidangan harus terbuka untuk umum pemeriksaan  dan pengucapan putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan  hukum apabila dilakukan dalam sidang pengadilan.
Pada setiap gedung tersebut telah  ditentukan  beberapa ruang sidang dan secara khusus .hanya diruangan itu boleh dilakukan  pemeriksaan pengucapan putusan.
Tidak boleh dilakukan diluar  ruangan yang telah ditentukan sebagai ruang sidang.
Ruang kerja hakim atau ruang Administrasi, bukan ruang sidang. Pemeriksa dan pengucapan yang dilakukan ditempat itu meskipun dinyatakan terbuka untuk umum tidak sah karna  dilakukan diluar sidang pengadilan.
Dalam hal-hal tertentu dibenarkan melakukan pemeriksaan diluar ruang sidang  gedung pengadilan. Seperti pemeriksaan setempat atas barang  objek perkara  pasal 153 ayat (1) HIR membenarkan pemeriksaan persidangan  dilakukan di tempat barang terletak. Begitu juga sidang membuat sumpah ,memang ada prinsipnya dilakukan di ruang sidang pengadilan .Akan tetapi dalam hal tertentu Pasal 158 ayat 1 HIR, Pasal 1944 KUH Perdata membolehkan sidang pengucapan sumpah di rumah pihak yang diperintahkan mengucapkan sumpah pocong, sidang tentangam hanya, bahkan dapat dilakukan masjid. jadi, sepanjang undang-uraian ini menurut pasal di atas :
-        Cukup berupa ringkasan dalil gugtan
-        Tetapi harus  jelas dan di mengerti.
Dimasa yang lalu ,pada era zaman kolonial ketentuan ini di pedomani, perumusan pokok perkara dalam putusan diringkas  dari dalil gugatan. Tidak diambil  alih secara keseluruhan dari gugatan penggugat. Akan tetapi pada masa belakangan ini:
-        Jarang dijumpai putusan PN yang merumuskan pokok perkara dalam  putusan diringkas
-        Tetapi secara total diamb alih keseluruhan isi dalil  gugatan  dan persis sama   kalimat titik ,dan, komanya.
Nampaknya praktik ini telah  merupakan teknis  peradilan yang baku sehinggga menjadi kalimat yang baku, sehinga PT dan MA tidak mempersoalkanya lagi. Seolah-olah  timbul kesepakatan di antara hakim untuk  apa susah –susah  meringkas isi gugatan  dan persis sama lebih baik  ambil dan contek saja  dari gugatan si penggugat  dan dengan cara ini tidak ada resiko kesalahan atau kekeliruan  merumuskanya  dalam putusan .oleh karena praktik yang berlaku sekarang sudah  demikian ,dan cara ini di angggap tidak menimbulkan persoal hukum, perumusan tersebut  tidak bertentangan dengan Pasal 184 ayat (1) HIR ,Pasal 195 RGB.
Bersambung .......
Untuk mengusir rasa kejenuhan sebagai Kasi Datun di Kejari Pematang Siantar
Aku mulai membaca buku-buku Hukum Acara Pidana, sulit sekali untuk mengingatnya, terpaksa point-point penting saya ketik sebagai cara untuk mengingatnya.....

Jumat, 10 April 2015

ARTI PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA


A.    ARTI  PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA

Sesuai dengan ketentuan Pasal 178 HIR Pasal 189 , apabila pemeriksaan perkara selesai, Majelis Hakim karena  jabatannnya melakukan musyawara untuk  mengambil putusan yang kan di ajukan .Proses pemeriksaan  di anggap selesai apabila  telah menempuh tahap jawaban  dari tergugat  sesuai Pasal 121 HIR, Pasal 113 Rv yang dibarengi dengan replik dari penggugat  berdasarkan Pasal 115 Rv  maupun duplik dari tergugat dan dilanjutkan dengan proses tahap pembuktian konklusi.  Jika semua  tahap ini telah tuntas diselesaikan, Majelis meyatakan pemeriksaan ditutup dan proses  selanjutnya adalah menjatuhkan atau mengucapkan putusan. Mendahului  pengucapan  putusan itulah  tahap musyawara  bagi Majelis untuk menentukan  putusan apa yang hendak  di jatuhakan pada pihak  yang  berperkara .
             Bahwa yang dimaksud  dengan putusan pada uraian ini adalah   putusan peradilan  tinggakat pertama. Dan memang tujuan  akhir proses  pemeriksaan Perkara di PN, diambilnya suatu putusan  oleh hakim yang berisi  penyelasaian perkara yang disengketakan.  Berdasarkan  putusan itu, ditentukan dengan pasti hak maupun hubungan hukum  para pihak dengan objek  yang disengketakan. 
                                                                                                                        ---------bersambung
Hukum Acara Perdata.
Membaca sambil menulis untuk mengusir kejenuhan selama bertugas sebagai Kasi Datun di Kejari Pematang Siantar.

Selasa, 07 April 2015

Pengertian Hukum menurut para Ahli Hukum


1.     Plato. Dilukiskan dalam buknnya Republik. Hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat.
2.     Aristoteles, Hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak  hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim. Undang-undang adalah sesuatu yang berbeda dari bentuk da nisi konstitusi; karena kedudukan itulah undang-undang mengawasi hakim dalam melaksanakan jabatannya dalam menghukum orang-ornag yang bersalah.
3.     Austin, hukum adalah sebagai peraturan yang diadakan untuk memberi bimbingan kepada mahluk yang berakal oleh mahluk yang berakal yang berkuasa atasnya (Friedman, 1993: 149).
4.     Bellfoid, hukum yang berlaku disuatu masyarakat mengatur tata tertib masyarakat itu didasarkan atas kekuasaan yang ada pada masyarakat.
5.     Mr. E.M. Mayers, hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan ditinjau kepada tingkah laku manusia  dalam masyarakat dan menjadi pedoman penguasa-penguasa negra dalam melakukan tugasnya.
6.     Duguit, hukum adalah tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaanya pada saat tertentu diindahkan oleh masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama terhadap orang yang melanggar peraturan itu.
7.     Imanuel Kant, hukum adalah keseluruhan  syarat-syarat yang dengan ini kehendak dari orang yang satu dapat menyesuaikan  dengan kehendak bebas dari orang lain memenuhi peraturan hukum tentang kemerdekaan.
8.     Van Kant, hukm adalah serumpun peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang dadakan untuk mengatur melindungi kepentingan orang dalam masyarakat.
9.     Van Apeldoorn, hukum adalahgejala social tidak  ada  masyarakat  yang tidak mengenal hukum itu menjadi suatu aspek kebudayaan yaitu agama, kesusilaan, adat-istiadat dan kebiasaan.
10. S>M. Amir, SH,  hukum adalah peratran, kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi.
11. E Utrecht, menyebutkan hukum adalah  himpunan petunjuk hidup-perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang bersangktan, oleh karena itu pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa itu.
12. M.H Tirtaamidjata, SH, bahwa hukum adalah semua aturan (norma) yang harus dituruti dalam tingkah laku dan tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian  jika melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang kehilangan kemerdekaanya, didenda dan sebagainya.
13. J.T.C. Simorangkir, SH dan Woerjo Sastroprajanoto, SH, bahwa hukum itu peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat  oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman.
14. Soerojo Wignjodipoero, SH, hukum adalah himpunan peraturan-peraturan hidup yang bersifat  memaksa, berisikan suatu perintah  larangan atau izinuntuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu atau dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.
15. Dr. Soejono Dirdjosisworo, SH, menyebutkan aneka arti hukum yang meliputi : 1). Hukum dalam arti ketentuan penguasa (undang-undang, keputusan hakim dan sebagainnya), 2). Hukum dalam arti petugas-petugasnya (penegak hukum), 3). Hukum dalam arti sikap tindak, 4). Hukum dalam arti sistem kaidah, 5). Hukum dalam arti jalinan nilai, 6). Hukum dalam arti tata hukum, 7). Hukum dalam arti ilmu hukum, 8). Hukum dalam arti disiplim huku.
16. Dr. Soerjono Soekanto, SH, MH dan Purnadi Purbacaraka, SH menyebutkan  arti yang diberikan  masyaraat pada hukum sebagai berikut : A). hukum sebagai ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran.  B). hukum sebagai disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan  atau gejala-gejala yang dihadapinya.  C). hukum sebagai kaidah, yakni pedoman atau patokan sikap tindak atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan. D). hukum sebagai tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat kaidah-kaidah hukum yang berlaku pada suatu waktu. Sumber : Majalah Purna Adhyaksa Sumut edisi 3 April 2015  hal 42- anda perlu tahu.


Menulis  untuk mengisi kesibukan sewaktu KasiDatun di Kejari  P Siantar Sumut.

Rabu, 01 April 2015

Hambatan menerapkan pasal 36 UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.


Hambatan dalam megungkap kasus tindak pidana pengalihan objek jaminan fidusia sebagaimana pasal 36 UU No. 42 tahun 1999 tentang jaminan Fidusia antara lain sebagai berikut:
1.     Tersangka melarikan diri, identitasnya tidak jelas, pelaku tidak diketahui keberadaannya dan tidak dapat dilakukan penahanan pada tersangka. Pada kasus pengalihan jaminan fidusia modus pelaku  yaitu mengalihkan benda bergerak objek jaminan fidusia, tanpa itikad tidak baik tanpa sepengetahuan kreditur. Biasannya pelaku disini telah memenuhi unsur dari pasal 36 UU No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yaitu: “Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan benda yang menjadi obyek jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2) yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu  dari Penerima Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)”.
Unsur-unsur dalam pasal dibagi dua :
a.      Unsur obyektif:
-       Mengalihkan
-       Menggadaikan
-       Menyewakan
-       Benda obyek jaminan fidusia
-       Pemberi fidusia
-       Tanpa persetujuan tertulis
b.     Unsur subyektif:
-       Melawan hukum
-       Dengan sengaja.
Berdasarkan ketentuan pidana pasal 36 UU No. 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia meskipun telah memenuhi unsur-unsur pasal diatas pelaku tidak dapat dilakukan penahanan dengan alasan karena pada pasal tersebut ketentuan pidana penjara paling lama 2 tahun, sedangkan dalam KUHAP pasal 21 ayat 4, yaitu:
-      tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
-      tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang TindakPidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt.Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41 Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086). Ketentuan pasal tersebut menjelaskan bahwa alasan dapat dilaksanakan penahanan apabila tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Sedangkan pada pasal 36 UU No. 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia, dikenakan pidana penjara hanya 2 tahun. Dengan demikian, pelaku pengalihan objek jaminan fidusia tidak dapat dilakukan penahanan karena pidana penjaranya tidak memenuhi ketentuan pasal 21 KUHAP.
Pada proses penyidikan dan pada proses persidangan pelaku biasanya kabur atau melarikan diri, dan tidak memenuhi panggilan dari penyidik. Dalam kenyataanya dilapangan penyidik dalam melakukan pemanggilan kepada si tersangka, si pelaku tersebut tidak memenuhi pemanggilan dari penyidik seperti si tersangka itu kabur/melarikan diri. Selain itu dalam pemalsuan identitas penyidik kesulitan dalam mencari keberadaan dari si tersangka, karena alamat yang ada di dalam identitasnya tersebut bukan merupakan identitas asli dari si tersangka sehingga hal tersebutlah yang membuat kesulitan penyidik dalam mencari keberadaan dari si tersangka.

2.     Objeknya sulit ditemukan.
Berdasarkan kasus pengalihan objek jaminan fidusia salah satunya: dengan ilustrasi; “tersangka telah mengalihkan kendaraan objek jaminan fidusia kepada pihak ketiga berupa sepeda motor, dalam perjalanan waktu pihak ketiga telah mengalihkan lagi objek jaminan fidusia kepada pihak lain, dan pihak lain tersebut ternyata juga sudah mengalihkan objek jaminan fidusia.”
berdasarkan kasus yang sudah diuraikan diatas objek jaminan fidusia sulit ditemukan karena keberadaan objek yang sulit ditemukan keberadaanya.
Hal ini sering ditemui oleh penyidik dikarenakan modus dari pelaku mengalihkan objek jaminan fidusia kebeberapa pihak.
Dalam hal ini jaksa biasanya memberikan P19 kepada penyidik untuk menggunakan pasal 372 KUHP agar dapat dilakukan penahanan, dan pada tahap persidangan si tersangka agar mudahdihadapkan dipersidangan dan agar tidak kabur dan melarikan diri lagi dalam pemeriksaan di persidangan.

Permasalahan seperti  diatas perlu mendapat solusi supaya efektif dalam melaksanakan penegakan huku :
a)     Implementasi pasal 36 Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dalam kasus pengalihan objek jaminan fidusia dalam mengungkap suatu tindak pidana pengalihan objek jaminan fidusia harus sesuai dengan pasal 36 Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia, karena pasal tersebutlah yang mengatur tentang ketentuan pidana dalam kasus pengalihan objek jaminan fidusia. selain itu penyidik dalam menangani kasus pengalihan objek jaminan fidusia selalu menerapkan pasal 36 UU No. 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia, karena unsur-unsur yang dilakukan oleh si pelaku telah memenuhi unsur dari pasal 36 tersebut, maka penyidik menerapkan pasal tersebut kepada pelaku pengalihan objek jaminan fidusia.
b)    Kendala dan upaya penyidik dalam mengungkap tindak pidana pengalihan objek jaminan fidusia pada tindak pidana pengalihan objek jaminan fidusia bermacam-macam, tetapi yang sering dihadapi penyidik pada kasus pengalihan objek jaminan fidusia yaitu tersangka melarikan diri, identitas tidak jelas, pelaku tidak diketahui keberadaaannya, dan tidak dapat dilakukan penahanan.
Hambatan tersebut yang dihadapi penyidik pada kasus pengalihan objek jaminan fidusia, karena pada kasus tersebut tersangka sering kabur dan tidak datang apabila dipanggil oleh penyidik maupun di muka persidangan. Selain itu ada hambatan lain yang dihadapi oleh penyidik yaitu objeknya sulit ditemukan, karena keberadaan dari objek benda jaminan fidusia tersebut keberadaannya sulit ditemukan, di karenakan benda objek jaminan fidusia tersebut sudah beralih kepada pihak lain dan tidak lagi berada di pihak kreditur, sehingga benda objek jaminan fidusia tersebut sulit ditemukan dan diketahui keberadaannya.
Dalam setiap kendala yang dihadapi penyidik ada upayanya, yaitu upaya yang dilakukan penyidik dalam menanggulangi hambataan tersebut yaitu seperti tersangka melarikan diri, identitasnya tidak jelas, pelaku tidak diketahui keberadaannya, dan tersangka tidak dapat dilakukan penahanan.
c)     Sebaiknya dalam Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia jangan mengatur tentang kepentingan debitur saja tapi juga mengatur tentang kepentingan kreditur juga.
d)    Pemerintah lebih banyak membuka cabang kantor pendaftaran jaminan fidusia di daerah-daerah, dan tidak hanya berada pada per provinsi saja, agar dalam pendaftaran tidak ada kendala kesulitan.
e)     Lembaga pembiayaan dalam memberikan uang muka atau DP lebih memperhatikan lagi dan mempertimbangkan, jangan memberikan uang muka atau DP dengan nilai yang minim.
f)      Bagi masyarakat lebih menaati hukum dan lebih sadar akan efek yang ditimbulkan apabila melakukan atau melanggar hukum.