Jumat, 10 April 2015

ARTI PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA


A.    ARTI  PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA

Sesuai dengan ketentuan Pasal 178 HIR Pasal 189 , apabila pemeriksaan perkara selesai, Majelis Hakim karena  jabatannnya melakukan musyawara untuk  mengambil putusan yang kan di ajukan .Proses pemeriksaan  di anggap selesai apabila  telah menempuh tahap jawaban  dari tergugat  sesuai Pasal 121 HIR, Pasal 113 Rv yang dibarengi dengan replik dari penggugat  berdasarkan Pasal 115 Rv  maupun duplik dari tergugat dan dilanjutkan dengan proses tahap pembuktian konklusi.  Jika semua  tahap ini telah tuntas diselesaikan, Majelis meyatakan pemeriksaan ditutup dan proses  selanjutnya adalah menjatuhkan atau mengucapkan putusan. Mendahului  pengucapan  putusan itulah  tahap musyawara  bagi Majelis untuk menentukan  putusan apa yang hendak  di jatuhakan pada pihak  yang  berperkara .
             Bahwa yang dimaksud  dengan putusan pada uraian ini adalah   putusan peradilan  tinggakat pertama. Dan memang tujuan  akhir proses  pemeriksaan Perkara di PN, diambilnya suatu putusan  oleh hakim yang berisi  penyelasaian perkara yang disengketakan.  Berdasarkan  putusan itu, ditentukan dengan pasti hak maupun hubungan hukum  para pihak dengan objek  yang disengketakan. 
                                                                                                                        ---------bersambung
Hukum Acara Perdata.
Membaca sambil menulis untuk mengusir kejenuhan selama bertugas sebagai Kasi Datun di Kejari Pematang Siantar.

Selasa, 07 April 2015

Pengertian Hukum menurut para Ahli Hukum


1.     Plato. Dilukiskan dalam buknnya Republik. Hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat.
2.     Aristoteles, Hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak  hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim. Undang-undang adalah sesuatu yang berbeda dari bentuk da nisi konstitusi; karena kedudukan itulah undang-undang mengawasi hakim dalam melaksanakan jabatannya dalam menghukum orang-ornag yang bersalah.
3.     Austin, hukum adalah sebagai peraturan yang diadakan untuk memberi bimbingan kepada mahluk yang berakal oleh mahluk yang berakal yang berkuasa atasnya (Friedman, 1993: 149).
4.     Bellfoid, hukum yang berlaku disuatu masyarakat mengatur tata tertib masyarakat itu didasarkan atas kekuasaan yang ada pada masyarakat.
5.     Mr. E.M. Mayers, hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan ditinjau kepada tingkah laku manusia  dalam masyarakat dan menjadi pedoman penguasa-penguasa negra dalam melakukan tugasnya.
6.     Duguit, hukum adalah tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaanya pada saat tertentu diindahkan oleh masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama terhadap orang yang melanggar peraturan itu.
7.     Imanuel Kant, hukum adalah keseluruhan  syarat-syarat yang dengan ini kehendak dari orang yang satu dapat menyesuaikan  dengan kehendak bebas dari orang lain memenuhi peraturan hukum tentang kemerdekaan.
8.     Van Kant, hukm adalah serumpun peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang dadakan untuk mengatur melindungi kepentingan orang dalam masyarakat.
9.     Van Apeldoorn, hukum adalahgejala social tidak  ada  masyarakat  yang tidak mengenal hukum itu menjadi suatu aspek kebudayaan yaitu agama, kesusilaan, adat-istiadat dan kebiasaan.
10. S>M. Amir, SH,  hukum adalah peratran, kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi.
11. E Utrecht, menyebutkan hukum adalah  himpunan petunjuk hidup-perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang bersangktan, oleh karena itu pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa itu.
12. M.H Tirtaamidjata, SH, bahwa hukum adalah semua aturan (norma) yang harus dituruti dalam tingkah laku dan tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian  jika melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang kehilangan kemerdekaanya, didenda dan sebagainya.
13. J.T.C. Simorangkir, SH dan Woerjo Sastroprajanoto, SH, bahwa hukum itu peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat  oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman.
14. Soerojo Wignjodipoero, SH, hukum adalah himpunan peraturan-peraturan hidup yang bersifat  memaksa, berisikan suatu perintah  larangan atau izinuntuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu atau dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.
15. Dr. Soejono Dirdjosisworo, SH, menyebutkan aneka arti hukum yang meliputi : 1). Hukum dalam arti ketentuan penguasa (undang-undang, keputusan hakim dan sebagainnya), 2). Hukum dalam arti petugas-petugasnya (penegak hukum), 3). Hukum dalam arti sikap tindak, 4). Hukum dalam arti sistem kaidah, 5). Hukum dalam arti jalinan nilai, 6). Hukum dalam arti tata hukum, 7). Hukum dalam arti ilmu hukum, 8). Hukum dalam arti disiplim huku.
16. Dr. Soerjono Soekanto, SH, MH dan Purnadi Purbacaraka, SH menyebutkan  arti yang diberikan  masyaraat pada hukum sebagai berikut : A). hukum sebagai ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran.  B). hukum sebagai disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan  atau gejala-gejala yang dihadapinya.  C). hukum sebagai kaidah, yakni pedoman atau patokan sikap tindak atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan. D). hukum sebagai tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat kaidah-kaidah hukum yang berlaku pada suatu waktu. Sumber : Majalah Purna Adhyaksa Sumut edisi 3 April 2015  hal 42- anda perlu tahu.


Menulis  untuk mengisi kesibukan sewaktu KasiDatun di Kejari  P Siantar Sumut.

Rabu, 01 April 2015

Hambatan menerapkan pasal 36 UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.


Hambatan dalam megungkap kasus tindak pidana pengalihan objek jaminan fidusia sebagaimana pasal 36 UU No. 42 tahun 1999 tentang jaminan Fidusia antara lain sebagai berikut:
1.     Tersangka melarikan diri, identitasnya tidak jelas, pelaku tidak diketahui keberadaannya dan tidak dapat dilakukan penahanan pada tersangka. Pada kasus pengalihan jaminan fidusia modus pelaku  yaitu mengalihkan benda bergerak objek jaminan fidusia, tanpa itikad tidak baik tanpa sepengetahuan kreditur. Biasannya pelaku disini telah memenuhi unsur dari pasal 36 UU No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yaitu: “Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan benda yang menjadi obyek jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2) yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu  dari Penerima Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)”.
Unsur-unsur dalam pasal dibagi dua :
a.      Unsur obyektif:
-       Mengalihkan
-       Menggadaikan
-       Menyewakan
-       Benda obyek jaminan fidusia
-       Pemberi fidusia
-       Tanpa persetujuan tertulis
b.     Unsur subyektif:
-       Melawan hukum
-       Dengan sengaja.
Berdasarkan ketentuan pidana pasal 36 UU No. 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia meskipun telah memenuhi unsur-unsur pasal diatas pelaku tidak dapat dilakukan penahanan dengan alasan karena pada pasal tersebut ketentuan pidana penjara paling lama 2 tahun, sedangkan dalam KUHAP pasal 21 ayat 4, yaitu:
-      tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
-      tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang TindakPidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt.Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41 Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086). Ketentuan pasal tersebut menjelaskan bahwa alasan dapat dilaksanakan penahanan apabila tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Sedangkan pada pasal 36 UU No. 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia, dikenakan pidana penjara hanya 2 tahun. Dengan demikian, pelaku pengalihan objek jaminan fidusia tidak dapat dilakukan penahanan karena pidana penjaranya tidak memenuhi ketentuan pasal 21 KUHAP.
Pada proses penyidikan dan pada proses persidangan pelaku biasanya kabur atau melarikan diri, dan tidak memenuhi panggilan dari penyidik. Dalam kenyataanya dilapangan penyidik dalam melakukan pemanggilan kepada si tersangka, si pelaku tersebut tidak memenuhi pemanggilan dari penyidik seperti si tersangka itu kabur/melarikan diri. Selain itu dalam pemalsuan identitas penyidik kesulitan dalam mencari keberadaan dari si tersangka, karena alamat yang ada di dalam identitasnya tersebut bukan merupakan identitas asli dari si tersangka sehingga hal tersebutlah yang membuat kesulitan penyidik dalam mencari keberadaan dari si tersangka.

2.     Objeknya sulit ditemukan.
Berdasarkan kasus pengalihan objek jaminan fidusia salah satunya: dengan ilustrasi; “tersangka telah mengalihkan kendaraan objek jaminan fidusia kepada pihak ketiga berupa sepeda motor, dalam perjalanan waktu pihak ketiga telah mengalihkan lagi objek jaminan fidusia kepada pihak lain, dan pihak lain tersebut ternyata juga sudah mengalihkan objek jaminan fidusia.”
berdasarkan kasus yang sudah diuraikan diatas objek jaminan fidusia sulit ditemukan karena keberadaan objek yang sulit ditemukan keberadaanya.
Hal ini sering ditemui oleh penyidik dikarenakan modus dari pelaku mengalihkan objek jaminan fidusia kebeberapa pihak.
Dalam hal ini jaksa biasanya memberikan P19 kepada penyidik untuk menggunakan pasal 372 KUHP agar dapat dilakukan penahanan, dan pada tahap persidangan si tersangka agar mudahdihadapkan dipersidangan dan agar tidak kabur dan melarikan diri lagi dalam pemeriksaan di persidangan.

Permasalahan seperti  diatas perlu mendapat solusi supaya efektif dalam melaksanakan penegakan huku :
a)     Implementasi pasal 36 Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dalam kasus pengalihan objek jaminan fidusia dalam mengungkap suatu tindak pidana pengalihan objek jaminan fidusia harus sesuai dengan pasal 36 Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia, karena pasal tersebutlah yang mengatur tentang ketentuan pidana dalam kasus pengalihan objek jaminan fidusia. selain itu penyidik dalam menangani kasus pengalihan objek jaminan fidusia selalu menerapkan pasal 36 UU No. 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia, karena unsur-unsur yang dilakukan oleh si pelaku telah memenuhi unsur dari pasal 36 tersebut, maka penyidik menerapkan pasal tersebut kepada pelaku pengalihan objek jaminan fidusia.
b)    Kendala dan upaya penyidik dalam mengungkap tindak pidana pengalihan objek jaminan fidusia pada tindak pidana pengalihan objek jaminan fidusia bermacam-macam, tetapi yang sering dihadapi penyidik pada kasus pengalihan objek jaminan fidusia yaitu tersangka melarikan diri, identitas tidak jelas, pelaku tidak diketahui keberadaaannya, dan tidak dapat dilakukan penahanan.
Hambatan tersebut yang dihadapi penyidik pada kasus pengalihan objek jaminan fidusia, karena pada kasus tersebut tersangka sering kabur dan tidak datang apabila dipanggil oleh penyidik maupun di muka persidangan. Selain itu ada hambatan lain yang dihadapi oleh penyidik yaitu objeknya sulit ditemukan, karena keberadaan dari objek benda jaminan fidusia tersebut keberadaannya sulit ditemukan, di karenakan benda objek jaminan fidusia tersebut sudah beralih kepada pihak lain dan tidak lagi berada di pihak kreditur, sehingga benda objek jaminan fidusia tersebut sulit ditemukan dan diketahui keberadaannya.
Dalam setiap kendala yang dihadapi penyidik ada upayanya, yaitu upaya yang dilakukan penyidik dalam menanggulangi hambataan tersebut yaitu seperti tersangka melarikan diri, identitasnya tidak jelas, pelaku tidak diketahui keberadaannya, dan tersangka tidak dapat dilakukan penahanan.
c)     Sebaiknya dalam Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia jangan mengatur tentang kepentingan debitur saja tapi juga mengatur tentang kepentingan kreditur juga.
d)    Pemerintah lebih banyak membuka cabang kantor pendaftaran jaminan fidusia di daerah-daerah, dan tidak hanya berada pada per provinsi saja, agar dalam pendaftaran tidak ada kendala kesulitan.
e)     Lembaga pembiayaan dalam memberikan uang muka atau DP lebih memperhatikan lagi dan mempertimbangkan, jangan memberikan uang muka atau DP dengan nilai yang minim.
f)      Bagi masyarakat lebih menaati hukum dan lebih sadar akan efek yang ditimbulkan apabila melakukan atau melanggar hukum.

Hambatan menerapkan pasal 36 UU No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.


 
Hambatan dalam megungkap kasus tindak pidana pengalihan objek jaminan fidusia sebagaimana pasal 36 UU No. 42 tahun 1999 tentang jaminan Fidusia antara lain sebagai berikut:
1.     Tersangka melarikan diri, identitasnya tidak jelas, pelaku tidak diketahui keberadaannya dan tidak dapat dilakukan penahanan pada tersangka. Pada kasus pengalihan jaminan fidusia modus pelaku  yaitu mengalihkan benda bergerak objek jaminan fidusia, tanpa itikad tidak baik tanpa sepengetahuan kreditur. Biasannya pelaku disini telah memenuhi unsur dari pasal 36 UU No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yaitu: “Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan benda yang menjadi obyek jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2) yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu  dari Penerima Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)”.
Unsur-unsur dalam pasal dibagi dua :
a.      Unsur obyektif:
-       Mengalihkan
-       Menggadaikan
-       Menyewakan
-       Benda obyek jaminan fidusia
-       Pemberi fidusia
-       Tanpa persetujuan tertulis
b.     Unsur subyektif:
-       Melawan hukum
-       Dengan sengaja.
Berdasarkan ketentuan pidana pasal 36 UU No. 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia meskipun telah memenuhi unsur-unsur pasal diatas pelaku tidak dapat dilakukan penahanan dengan alasan karena pada pasal tersebut ketentuan pidana penjara paling lama 2 tahun, sedangkan dalam KUHAP pasal 21 ayat 4, yaitu:
-      tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
-      tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang TindakPidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt.Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41 Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086). Ketentuan pasal tersebut menjelaskan bahwa alasan dapat dilaksanakan penahanan apabila tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Sedangkan pada pasal 36 UU No. 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia, dikenakan pidana penjara hanya 2 tahun. Dengan demikian, pelaku pengalihan objek jaminan fidusia tidak dapat dilakukan penahanan karena pidana penjaranya tidak memenuhi ketentuan pasal 21 KUHAP.
Pada proses penyidikan dan pada proses persidangan pelaku biasanya kabur atau melarikan diri, dan tidak memenuhi panggilan dari penyidik. Dalam kenyataanya dilapangan penyidik dalam melakukan pemanggilan kepada si tersangka, si pelaku tersebut tidak memenuhi pemanggilan dari penyidik seperti si tersangka itu kabur/melarikan diri. Selain itu dalam pemalsuan identitas penyidik kesulitan dalam mencari keberadaan dari si tersangka, karena alamat yang ada di dalam identitasnya tersebut bukan merupakan identitas asli dari si tersangka sehingga hal tersebutlah yang membuat kesulitan penyidik dalam mencari keberadaan dari si tersangka.

2.     Objeknya sulit ditemukan.
Berdasarkan kasus pengalihan objek jaminan fidusia salah satunya: dengan ilustrasi; “tersangka telah mengalihkan kendaraan objek jaminan fidusia kepada pihak ketiga berupa sepeda motor, dalam perjalanan waktu pihak ketiga telah mengalihkan lagi objek jaminan fidusia kepada pihak lain, dan pihak lain tersebut ternyata juga sudah mengalihkan objek jaminan fidusia.”
berdasarkan kasus yang sudah diuraikan diatas objek jaminan fidusia sulit ditemukan karena keberadaan objek yang sulit ditemukan keberadaanya.
Hal ini sering ditemui oleh penyidik dikarenakan modus dari pelaku mengalihkan objek jaminan fidusia kebeberapa pihak.
Dalam hal ini jaksa biasanya memberikan P19 kepada penyidik untuk menggunakan pasal 372 KUHP agar dapat dilakukan penahanan, dan pada tahap persidangan si tersangka agar mudahdihadapkan dipersidangan dan agar tidak kabur dan melarikan diri lagi dalam pemeriksaan di persidangan.

Permasalahan seperti  diatas perlu mendapat solusi supaya efektif dalam melaksanakan penegakan huku :
a)     Implementasi pasal 36 Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dalam kasus pengalihan objek jaminan fidusia dalam mengungkap suatu tindak pidana pengalihan objek jaminan fidusia harus sesuai dengan pasal 36 Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia, karena pasal tersebutlah yang mengatur tentang ketentuan pidana dalam kasus pengalihan objek jaminan fidusia. selain itu penyidik dalam menangani kasus pengalihan objek jaminan fidusia selalu menerapkan pasal 36 UU No. 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia, karena unsur-unsur yang dilakukan oleh si pelaku telah memenuhi unsur dari pasal 36 tersebut, maka penyidik menerapkan pasal tersebut kepada pelaku pengalihan objek jaminan fidusia.
b)    Kendala dan upaya penyidik dalam mengungkap tindak pidana pengalihan objek jaminan fidusia pada tindak pidana pengalihan objek jaminan fidusia bermacam-macam, tetapi yang sering dihadapi penyidik pada kasus pengalihan objek jaminan fidusia yaitu tersangka melarikan diri, identitas tidak jelas, pelaku tidak diketahui keberadaaannya, dan tidak dapat dilakukan penahanan.
Hambatan tersebut yang dihadapi penyidik pada kasus pengalihan objek jaminan fidusia, karena pada kasus tersebut tersangka sering kabur dan tidak datang apabila dipanggil oleh penyidik maupun di muka persidangan. Selain itu ada hambatan lain yang dihadapi oleh penyidik yaitu objeknya sulit ditemukan, karena keberadaan dari objek benda jaminan fidusia tersebut keberadaannya sulit ditemukan, di karenakan benda objek jaminan fidusia tersebut sudah beralih kepada pihak lain dan tidak lagi berada di pihak kreditur, sehingga benda objek jaminan fidusia tersebut sulit ditemukan dan diketahui keberadaannya.
Dalam setiap kendala yang dihadapi penyidik ada upayanya, yaitu upaya yang dilakukan penyidik dalam menanggulangi hambataan tersebut yaitu seperti tersangka melarikan diri, identitasnya tidak jelas, pelaku tidak diketahui keberadaannya, dan tersangka tidak dapat dilakukan penahanan.
c)     Sebaiknya dalam Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia jangan mengatur tentang kepentingan debitur saja tapi juga mengatur tentang kepentingan kreditur juga.
d)    Pemerintah lebih banyak membuka cabang kantor pendaftaran jaminan fidusia di daerah-daerah, dan tidak hanya berada pada per provinsi saja, agar dalam pendaftaran tidak ada kendala kesulitan.
e)     Dari lembaga pembiayaan  dalam memberikan uang muka atau DP lebih memperhatikan lagi dan mempertimbangkan, jangan memberikan uang muka atau DP dengan nilai yang minim.
f)      Bagi masyarakat lebih menaati hukum dan lebih sadar akan efek yang ditimbulkan apabila melakukan atau melanggar hukum.