Jumat, 17 Oktober 2014

Kekuasaan Pengadilan Tata Usaha Negara

KEKUASAAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA


N
egara Republik Indonesia dalam judikatif / peradilan menggunakan multi juridiction system, sehingga penting sekali adanya penetapan kompetensi bagi setiap peradilan (atributie van rechmatig). Hal ini sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal ini membedakan antara empat lingkungan Peradilan yang masing-masing mempunyai lingkungan wewenang mengadili perkara-perkara tertentu.
     Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara, merupakan peradilan khusus karena mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan tertentu. Sedangkan peradilan umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya, baik mengenai perkara pidana, maupun perkara perdata. Keempat lingkungan peradilan tersebut berpuncak pada Mahkamah Agung, sebagai Pengadilan Negara tertinggi.
Struktur Peradilan sebagai berikut: UU No 4 Tahun 2004à Peradilan terdiri 1. Peradilan Umum (MA, PT, PN). 2. Peradilan Militer (MA, Mahmilti, Mahmil) 3. Peradilan Agama (MA, PT Agama, Pengadilan Agama). 4. Peradilan TUN (MA, PT TUN, Pengadilan TUN).

      Pasal 4 Undang-Undang No 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara mengatakan bahwa PTUN adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara.
Penjelasan Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan “rakyat pencari keadilan” adalah setiap orang baik warga negara Indonesia maupun orang asing, dan badan hukum perdata yang mencari keadilan pada Peradilan Tata Usaha Negara.

Dari ketentuan pasal tersebut beserta penjelasannya, jelas bahwa kompetensi PTUN adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN. (Pasal 47 UU PTUN)
Sengketa dalam pengertian hukum ialah perbedaan pendapat antara minimal dua pihak mengenai penerapan hukum tentang suatu hak maupun kewajiban.
Adapun yang dimaksud dengan sengketa Tata Usaha Negara ialah sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 ayat (4) UU No 9 tahun 2004)

Dari definisi berdasar pasal 1 ayat (4) tersebut, maka unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk adanya sengketa TUN yakni:
a.     Harus ada perbedaan pendapat tentang suatu hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban tersebut merupakan akibat saja dari penerapan hukum tertentu. Ini berarti bahwa sengketa itu timbul karena adanya penerapan hukum yang dilakukan oleh pejabat.
b. Sengketa yang terjadi harus dalam bidang tata usaha negara. Yang dimaksud dengan TUN adalah Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi menyelenggarakan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah.
c.  Pihak / subjek yang bersengketa adalah warganegara (individu / orang seorang / atau badan hukum perdata) sebagai penggugat melawan Administrasi Negara atau Badan / Pejabat TUN sebagai tergugat.
d.   Sengketa tersebut timbul karena dikeluarkannya dan berlakunya keputusan Tata Usaha Negara. Berarti keputusan TUN merupakan causa prima (penyebab utama) bagi timbulnya sengketa Tata Usaha Negara.

       Apabila Badan atau Pejabat TUN diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan sengketa TUN tertentu secara administratif, maka sengketa tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui upaya administratif yang tersedia.
PTUN baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa TUN yang harus diselesaikan melalui upaya administratif tersebut, dan setelah upaya administrasi tersebut dilaksanakan.

A.  Susunan Organisasi Peradilan Tata Usaha Negara


     Peradilan Tata Usaha Negara disusun sebagai berikut:
1.     Pengadilan Tata Usaha negara, yang merupakan Pengadilan Tingkat I, yaitu Pengadilan yang pertama kali menangani sengketa Tata Usaha Negara
2. Pengadilan Tinggi Tata usaha Negara, yang merupakan Pengadilan Tingkat Banding.

Pengadilan Tata Usaha Negara, (Pengadilan Tingkat I) dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden, sedangkan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (Pengadilan tingkat banding) dibentuk dengan Undang-Undang.
Susunan Pengadilan Tata Usaha Negara, terdiri atas Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, Sekretaris.
Pimpinan Pengadilan terdiri atas seorang Ketua, dan Wakil Ketua, sedangkan hakim anggota pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara adalah Hakim Tinggi (Pasal 11 UU No 9 tahun 2004)

B.   Upaya Administratif


      Adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh seseorang atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu keputusan TUN. Prosedur tersebut dilaksanakan dilingkungan pemerintah sendiri yang terdiri dari dua bentuk:

1. Banding Administratif.
Keputusan dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari badan atau pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan tersebut


Contoh:
1. Keputusan Badan Pertimbangan Kepegawaian dalam hal sengketa kepegawaian negeri (sengketa antara Pegawai Negeri Sipil dengan Badan / Pejabat TUN)
2. Keputusan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi yang menguatkan keputusan P4P dan P4D dalam sengketa perburuhan.
3. Keputusan Direktorat Jenderal HAKI, yang menolak permohonan pendaftaran Merek, diajukan kepada Komisi Banding


2. Keberatan Administratif.

Penyelesaian keputusan administrasi negara diselesaikan sendiri oleh Badan / Pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan itu.
Contoh:
1.   Permintaan ulang dalam waktu paling lama satu bulan sejak diterimanya penolakan Pengesahan Akte Pendirian Koperasi (Pasal 11 ayat (2) UU No 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian)

Pengadilan Tata Usaha Negara tidak berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal Keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan:
a.  Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam atau keadaan luar biasa yang membahayakan negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
b.  Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau masyarakat bersama dan / atau kepentingan pembangunan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku (Pasal 49 UU PTUN)

Daftar Pustaka


1.        Agus M. Mazwan Sosrokusumo, S.H. Freis Ermessen, sebuah type Tindak Pidana Hukum di Bidang Hukum Tata Pemerintahan, Seri Karangan Tersebar, Fakultas Hukum Universitas Jember, 1983.

2.        Prof.DR. Baharudin Lopa ,S.H. dan DR A. Hamzah, S.H. Mengenal Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta.

3.        Prof DR. Mr Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Seri Pustaka Ilmu Administrasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981

4.        Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Cetakan Keenam, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996

5.        Ismail Saleh, S.H. Pidato Sambutan Pemerintah Atas Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Terhadap Rancangan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Tanggal 20 Desember 1986.

6.        Joko Widodo, Good Governance telahaan dari Demensi Akuntabilitas Dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Penerbit, Insan Cendekia 2001.

7.        Y.W Sunindya, S.H., Dra Ninik Widiyanti, Administrasi Negara Dan Peradilan Administrasi. Aneka Cipta, Jakarta, 1990.

8.        Martiman Prodjohamidjojo, S.H. Hukum Acara Peradilan Tata Usah Negara, Ghalia Indonesia 1993.

9.        Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Revisi , PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2007

10.     Undang-Undang Dasar 19945

11.     Undang-Undang Dasar 1945 peruhan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat dalam satu naskah

12.     Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara serta Penjelasannya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987.

13.     UNdang-Undang No 7 Tahun  2004 Tentang



                                                  -------Arsip Materi Diklat Pendidikan Jaksa 2008 

Tujuan Peradilan Tata Usaha Negara

SUMBER HUKUM, ASAS, DAN TUJUAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA


A. Sumber Hukum


1.   Hukum Tertulis

S
etiap peraturan perundang-undangan, dalam arti material, yang berisi tentang wewenang Badan atau Jabatan TUN untuk melakukan tindakan-tindakan hukum TUN dan yang mengatur tentang kemungkinan menggugat tindakan hukum TUN yang bersangkutan.
(Indoharto, 2002 – 35)

Hukum tertulis dapat dibedakan dalam dua bagian:
a.   Hukum TUN yang bersifat umum. Yaitu peraturan perundang-undangan itu berisi ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang bentuk dan isi tindakan hukum TUN serta hubungan-hubungan hukum yang dilahirkan pada umumnya.
b.   Hukum TUN yang bersifat khusus. Yaitu peraturan perundang-undangan yang memberikan wewenang kepada para Badan dan Jabatan TUN untuk melakukan tindakan-tindakan hukum TUN dalam mengurus atau mengatur suatu bidang kehidupan dalam masyarakat.

2. Hukum Tidak Tertulis

Sumber hukum ini berkembang dalam teori hukum dan jurisprudensi pemerintahan maupun peradilan. Sebelum dibentuknya peradilan tata usaha negara di Indonesia, perkembangan dan penerapan asa-asas tersebut sudah terjadi dalam yurisprudensi hukum perdata, hal itu dikenal dengan adanya perbuatan-perbuatan penguasa yang dinyatakan sebagai umpaya bersifat sewenang-wenang, penyalahgunaan wewenang, dilakukan dengan itikad buruk, melanggar norma kepatutan, yang sekarang berkembang sebagai asas umum pemerintahan yang baik.

Sesungguhnya keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara telah dikehendaki sejak jaman Hindia Belanda yang dituangkan dalam ketentuan Pasal 134 Pasal (1) IS (ternyata konkordan dengan Grondwet di Nederland yaitu pasal 160 dan 161) dan Pasal 20 R.O. (Reglemen op de rechtelijke het beleid der justitie) atau Peraturan Susunan Pengadilan dan Kebijaksanaan Kehakiman (LNHB 1847 No 57), RO ini merupakan peraturan jaman Hindia Belanda yang tidak dicabut dan tetap berlaku berdasarkan Peraturan Peralihan Pasal II Undang-Undang Dasar 1945 (berdasar UUD 1945 setelah amandemen adalah Pasal I)

Pasal-pasal tersebut selain memberikan kemungkinan diadakan suatu peradilan Administrasi yang mandiri, juga mengatur tentang dasar kompetensi antara hakim biasa dengan hakim administratif.

B. Asas Peradilan Tata Usaha Negara


Asas Peratun pada dasarnya selalu memperhatikan asas hukum pada umumnya, khususnya yang mengenai hukum administrasi negara yaitu:
a.   Asas legalitas, bahwa setiap perbuatan administrasi negara berdasar hukum
b.   Asas tidak boleh menyalahgunakan wewenang / kekuasaan (detournement du pouvoir)
c.   Asas tidak boleh menyerobot badan administrasi negara yang satu, oleh badan administrasi negara lainnya, atau disebut exes de pouvoir
d.   Asas kesamaan hak bagi setiap penduduk atau asas non diskriminatif
e.   Asas upaya memaksa, atau bersaksi sebagai jaminan bagi pejabat kepada hukum dan negara
f.     Asas kebebasan (Freis Ermessen), yaitu badan-badan administrasi negara diberikan kebebasan dalam menyelesaikan masalah yang menyangkut kepentingan umum

Asas Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia terletak pada asas hukum yang melandasi yaitu:
a.   Asas Praduga Rechmatig (vermoeden van rechmatigheid = praesumtio iustae causa). Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa harus selalu dianggap rechmatig sampai ada pembatalannya dengan asas ini gugatan tidak dapat menunda pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara (Pasal 67 ayat (1) UU No 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara)
b.   Asas Pembuktian Bebas, Hakim yang menetapkan beban pembuktian (Pasal 107 UU No 9 Tahun 2004 yang masih dibatasi dengan pasal 100)
c.   Asas Keaktifan Hakim (dominus litis), asas ini dimaksudkan mengimbangi keaktifan tergugat, mengingat tergugat adalah Pejabat Tata Usaha Negara, sedangkan penggugat adalah orang / badan hukum perdata (Pasal 58, 63 ayat (1), (2), Psl 80, Psl 85 UU 9 / 2004)
d.   Asas Keputusan Hakim mempunyai kekuatan mengikat (ergaomnes) Sengketa Tata Usaha Negara adalah hukum publik. Dengan demikian putusan Pengadilan TUN berlaku bagi siapa saja, tidak hanya bagi pihak yang bersengketa.

C. Tujuan Peradilan Tata Usaha negara


Tujuan utama dibentukan Peradilan Tata Usaha Negara ialah menyelesaikan perkara-perkara perselisihan antara warganegara dengan pejabat TUN sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang dirasa merugikan warganya. Namun demikian ada tindakan-tindakan Pejabat TUN yang tidak dapat diadili oleh Peradilan TUN apabila tindakan tersebut untuk kepentingan umum. Pengertian kepentingan umum ialah menyangkut tiap peraturan hukum, atau segala hukum yang tertujukan untuk kemaslahatan masyarakat pada umumnya, sebab hukum bukan hanya memelihara kepentingan orang seorang melainkan untuk kepentingan semua orang atau orang banyak.
Kepentingan umum dalam peraturan hukum dapat menyangkut dua sara yaitu memegang peran aktif dan yang memegang peran pasif.
Peran aktif dari kepentingan umum: ia menuntut adanya hukum dan selanjutnya isi hukum harus memenuhi tugas dengan sebaik-baiknya, sebagai peraturan masyarakat yang adil dan damai.
Selanjutnya kepentingan umum tidak hanya menuntut hal itu saja, akan tetapi juga memelihara kepentingan pribadi yang tidak merugikan kepentingan umum atau masyarakat.

Daftar Pustaka


1.        Agus M. Mazwan Sosrokusumo, S.H. Freis Ermessen, sebuah type Tindak Pidana Hukum di Bidang Hukum Tata Pemerintahan, Seri Karangan Tersebar, Fakultas Hukum Universitas Jember, 1983.

2.        Prof.DR. Baharudin Lopa ,S.H. dan DR A. Hamzah, S.H. Mengenal Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta.

3.        Prof DR. Mr Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Seri Pustaka Ilmu Administrasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981

4.        Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Cetakan Keenam, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996

5.        Ismail Saleh, S.H. Pidato Sambutan Pemerintah Atas Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Terhadap Rancangan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Tanggal 20 Desember 1986.

6.        Joko Widodo, Good Governance telahaan dari Demensi Akuntabilitas Dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Penerbit, Insan Cendekia 2001.

7.        Y.W Sunindya, S.H., Dra Ninik Widiyanti, Administrasi Negara Dan Peradilan Administrasi. Aneka Cipta, Jakarta, 1990.

8.        Martiman Prodjohamidjojo, S.H. Hukum Acara Peradilan Tata Usah Negara, Ghalia Indonesia 1993.

9.        Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Revisi , PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2007

10.     Undang-Undang Dasar 19945

11.     Undang-Undang Dasar 1945 peruhan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat dalam satu naskah

12.     Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara serta Penjelasannya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987.

13.     UNdang-Undang No 7 Tahun  2004 Tentang



                                                                                                                  ----Materi Diklat HTUN

Rabu, 15 Oktober 2014

Tipologi Korupsi

      Dalam realitas ruang lingkup prototype atau bentuk dan jenis korupsi begitu luas sehingga tidak mudah dihadapi sarana hukum semata. 
Menurut Prof Dr Syet Husein Alatas, guru besar Universitas Singapura yang banyak menulis dan pakar perihal korupsi menyebutkan terdapat 7 (tujuh) tipologi atau bentuk dan jenis korupsi yaitu : 
  1. Korupsi Transaktif (transactive corruption), jenis korupsi yang menunjuk adannya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kepda kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan kepada kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan yang biasnnya melibatkan dunia usaha atau bisnis dengan pemerintah. 
  2. Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption)yang menyangkut penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk berbagai keuntungan bagi teman atau sanak saudara dan krooni-kroninya.
  3. Korupsi yang memeras (extortive corruption) adalah korupsi yang dipaksakan kepada suatu pihak yang biasannya disertai ancaman, terror, penekanan (presur) terhadap kepentingan orang-orang dan hal-hal yang dimilikinya. 
  4. Korupsi Investif (investive corruption), adalah memberikan suatu jasa atau barang tertentu kepada pihaklain demi keuntungan dimasa depan. 
  5. Korupsi defensive (devensive corruption), adalah pihak yang akan dirugikan terpaksa ikut terlibat didalamnya atau bentuk ini membuat terjebak bahkan menjadi korban perbuatan korupsi. 
  6. Korupsi Otegenik (outogenic corruption), adalah korupsi yang dilakukan seorang diri (single fighter), tidak ada orang lain atau pihak lain yang terlibat. 
  7. Korupsi Suportif (supportive corruption), adalah korupsi dukungan (support) dan taka da orang atau pihak lain yang terlibat. 
        Jenis Praktik bisnis pada korupsi transaktif yaitu : 
  1. Korupsi epidemic (epidemic corruption). Jenis korupsi konvensional yang lebih popular dengan korupsi public (public corruption) dan dengan cepat mewabah atau “epidemic” yang pelaku biasanya masyarakat atau berbagai tingkat bawah dengan pungutan “tidak resmi” atau pungutan liar, suap menyuap untuk urusan administrasi, surat ijin atau lisensi, layanan dari pemerintah masih ada tambahan biaya petugas pajak yang curang, tagihan rekening listrik, telepon yang merugikan masyarakat, jadi benar-benar merupakan bentuk korupsi yang hamper sehari-hari terjadi pada masyarakat. 
  2. Korupsi endemic (endemic corruption), merupakan bentuk korupsi antara kalangan bisnis, pelaku bisnis dengan tindakan kolusi pada birokrat artinya krakter suap antara kontraktor dengan aparat birokrat, sehingga jatah proyek pada yang tidak berhak, komisi untuk pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah daerah, melakukan ruislag tukar guling dengan keputusan dipengaruhi unsur korupsi, menyalahgunakan APBN dan berbagai bentuk penyelengan keunagan Negara dalam pengelolaan keuangan dengan alas an kepentingan tugas padahal relative dan meragukan tapi menguntungkan diri sendiri atau korupsi ditempuh dengan cara sistematis dengan memanfaatkan peluang transaksi dalam dunia bisnis mulai proses perencanan atau korupsiberencana, selanjutnya sejak awal kontraktor berusaha memperoleh proyek melalui piminan proyek (pimpro) dan bekerja sama dengan rekanan pemborong atau kontraktor, kerja sama dengan rekanan pemborong atau kontraktor, kerjasama dapat terjadi mulai menyusun Rancangan Rencana Kerja dan Anggaran (RENJA), Rencana Kerja Anggaran Kementerian Lembaga (RKA-KL) menjadi Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Biaya (RAB) suatu proyek pembnagunan dan perencanan yang lain bahkan ikut menyusun memperjuangkan proyek tersebut agar terbit DIPA, sedangkan rencana tentang pembagian keuntungan atau komisi telah disusun rapi sejak awal. Modus korupsi sistematik melalui perencanaan sering membuat biaya operasional proyek menjadi kecil misalnya pajak PPn PPh 12,5%, Cost fee pemborong 10%, komisi pimpro 10%, beban servis pejabat 2,5%, rendawals 4%, cadangan sussut/hangus sampai 6% sisanya antara 55% sampai 60 % dan kualitas proyek menjadi buruk diluar spektek, bestek sehingga menjadi bermasalah. 
  3. Korupsi transnasional (transnasional corruption), adalah bentuk korupsi dilakukan oleh pelaku bisnis atau para elite birokrat dengan cara professional dengan memanfaatkan hi-tech dan bentuk kejahatan dimensi baru (new dimention crime) bahkan melibatkan investor asing, kontraktor asing dan oleh badan-badan usaha besar yang berbentuk multi nasional corporation yang melakukan korupsi, serta lebih popular disebut konglomerat hitam karena korupsi jenis ini langsung berpengaruh kepada besar kecilnya APBN. Praktik jenis korupsi transnasional misalnya dalam bentuk mark-up proyek pertambanagn emas, tembaga, minyak, eksplorasi uap, batu bara dan lain-lain, manipulasi pengelolaan hutan disertai illegal loging, komisi dalam jumlah besar pada proyek-proyek pemerintah, manipulasi perpajakan dan manipulasi proyek-proyek pembangunan lainnya serta kerugian yang ditimbulkan mencapai miliaran dolar atau triliun rupiah. 
      Jenis dan tipologi korupsi menurut bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang dibuat dalam pasal-pasal UU Nomor 31 tahun 1999 yang diubah dengan Undang-undang nomor 20 tahun 2001 sebagai berikut : 
  1. Tindak pidana korupsi dengan memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi (pasal 2) 
  2. Tindak pidana korupsi dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, sarana jabatan atau kedudukan (pasal 3) 
  3. Tindak pidana korupsi Suap dengan memberikan atau menjanjikan sesuatu (pasal 5) 
  4. Tindak pidana korupsi dengan suap pada hakim dan advokad (pasal 6) 
  5. Tindak pidana korupsi dalam hal membuat bangunan dan menjual bahan bangunan dan korupsi dalam hal menyerahkan alat keperluan TNI dan KNRI (pasal 7) 
  6. Tindak pidana korupsi oleh Pegawai negeri mengelapkan uang dan surat berharga (pasal 8) 
  7. Tindak pidana korupsi pegawai negeri memalsu buku-buku dan daftar-daftar (pasal 9) 
  8. Tindak pidana korupsi Pegawai negeri merusakan barang, akta, surat atau daftar (pasal 10) 
  9. Tindak pidana korupsi oleh Pegawai Negeri menerima hadiah atau janji yang berhubungan dengan kewenangan jabatan (pasal 11) 
  10. Tindak pidana korupsi oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara atau hakim dan advokat menerima hadiah atau janji; pegawai negeri memaksa membayar, memotong pembayaran, meminta pekerjaan, menggunakan tanah Negara dan turut serta dalam pemborongan (pasal 12) 
  11. Tindak pidana korupsi Suap Pegawai Negeri menerima gratifikasi (pasal 12b) 
  12. Tindak pidana korupsi suap pada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan jabatan (pasal13) 
  13. Tindak pidana korupsi yang berhubungan dengan hukum acara pemberantasan korupsi 
  14. Tindak pidana pelanggaran terhdapa pasal 220, 231, 421, 429 dan 430 KUHP (pasal 23).

Senin, 06 Oktober 2014

Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan

Resume Tugas ttg Penyelidikan sd Penuntutan


-     Pasal 1 Butir 5 KUHAP. Serangkaian tulisan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan yang diatur dalam undang-undangan ini.
- Pasal 26 UU No. 31/99. Penyidikan, penuntutan dan pemeriksa disidang pengadilan terhadap Tindak Pidana Korupsi, dilakukan berdasarkan Hukum Acara Pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.
-       Pasal 38 UU No. 30 / 2002 KPK
1.  Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan penyidikan dan Penuntutan yang diatur dalam undang-undang No. 8 / 1981 tentang HAP. Berlaku juga bagi penyelidik, Penyidik dan penuntut umum pada komisi pemberantasan korupsi.
2.   Ketentuan Sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat 2 undang No 8 tahun 1981 tentang HAP tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi sebagai mana di tentukan dalam undang-undang ini.
-  Pasal 7 : 2 KUHP. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat 1 huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar untuk nya masing-masing dan dalam pelaksanaan tujuannya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam pasal 6 ayat 1 huruf a.
-   Pasal 6 ayat 1 huruf b  Penyidik pasal 1 butir 4 KUHP. Penyidik adalah pejabat Polri negeri RI yang di beri wewenang oleh undang-undang ini melakukan penyidikan.
-   Penyelidik pasal 43 undang-undang No 30 / 2002. Penyelidik adalah penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang di singkat dan diberhentikan oleh KPK.

Tugasnya melaksanakan fungsi penyidikan :
-      Jika penyidik dalam melakukan penyidikan menemukan bukti permulaan yang cukup adanya tindak pidana korupsi dalam waktu 7 hari dari tanggal ditemukan bukti melapor kepada KPK.
-    Bukti permulaan yang cukup di anggap telah ada sekurang-kurangnya 2 alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan baik secara biasa maupun Elektronik atau optik.
-    Apabila tidak memerlukan bukti permulaan penyidik melaporkan ke KPK dan KPR menghentikan penyelidikan.
-  Dalam hal KPK berpendapat perkara tersebut dapat di teruskan KPK melalui penyidikan sendiri atau dapat melimpahkan perkara tersebut kepada penyidik kepolisian atau kejaksaan.
-    Dalam hal mendapat tugas tersebut kepolisian atau kejaksaan wajib melaksanakan koordinasi dan melaporkan perkembangan penyidikan kepada KPK.

Penyidikan
-      Penyidikan : Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta menyimpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
-         Penyidik pasal 1 ayat 1 KUHP : diangkat oleh Kapolri
-     Penyidik pasal 45 UU No 30 / 2002. Adalah penyidik pada komisi pemberantasan korupsi yang diangkat dan di berhentikan oleh KPK. Dalam hal tersangka ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Sejak tanggal tersebut khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam perundang-undangan lain tidak berlaku.
-  Pemeriksaan tersangka dilakukan dengan tidak mengurangi hak-hak tersangka (seperti diatur dalam BAB VI Pasal 50-74 ini No. 8 / 81.

Penyitaan (dalam UU No. 30/ 2002 pasal 47)
-    Apabila ada dengan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik yang dapat melakukan penyitaan tanpa izin ketua PN. Berkaitan dengan tugas penyidikannya.
-   Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur mengenai penyitaan, tidak berlaku.
-      Penyidik wajib membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan :
a.     Nama, jenis dan jumlah barang atau benda berharga lain yang disita.
b.     Keterangan tempat, waktu, hari, tanggal, bulan dan tahun dilakukan penyitaan.
c.     Keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang atau benda berharga lain tersebut.
d.     Tanda tangan dan identitas penyidik yang melakukan penyitaan dan
e.  Tanda tangan dan identitas dan pemilik atau orang yang menguasai barang tersebut.
-    Salinan berita acara penyitaan sebagaimana diatas disampaikan kepada keluarganya atau tersangka.
-      Diketahui Terjadinya Delik
-      Kedapatan tertangkap tangan (Pasal 1 Butir 19 KUHAP).
-      Karena Laporan (Pasal 1 Butir 24 KUHAP).
-      Karena pengadilan (Pasal 1 Butir 25 KUHAP).
-      Diketahui sendiri atau pemberitahuan orang lain atau dari surat kabar, radio dan sebagainya.
-  Pasal 40 UU No. 20 / 2002. Komisi pemberantasan korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara TPK. Untuk kepentingan, tersangka tindak pidana koperasi wajib memberikan keterangan kepada penyidik tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau koperasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh tersangka.Sehingga terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan TPK, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya.
-      Dalam hal tidak dapat membutuhkan antara sumber penghasilan seimbang dengan kekayaan untuk memperhambat alat bukti terdakwa melakukan tindak pidana.
-         Penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.
- Pengambil Alih Penyidikan dan Penuntutan yang Dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Alasan :
a.     Laporan Masyarakat mengenai tindak pidana korupsi yang tidak ditindaklanjuti.
b. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
c.  Penanganan tindak pidana korupsi ditunjukkan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya.
d.     Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi.
e.  Kasus atau penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari Eksekutif, yudikatif atau legislatif.
f.      Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan
-  Dalam hal komisi pemberantasan korupsi mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama (keempat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan KPK. Penyerahan tersebut dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan beralih ke KPK.

KPK Mempunyai Tugas :
a.     Koordinasi dengan Instansi yang berwenang melakukan pemberantasan TPK.
b.     Supervisi terhadap Instansi yang berwenang melakukan pemberantasan Tindak pidana korupsi.
c.     Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap KPK.
d.     Melakukan tindakan-tindakan pencegahan TPK.
e.     Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan negara.
Sd  penyelenggara negara, dan orang lain
yang ada kaitannya dengan TPK yang dilakukan oleh aparat hukum atau penyelenggara negara.
a.     Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat.
b.     Menyangkut kerugian negara paling sedikit / milyar rupiah.