Jumat, 17 Oktober 2014

Gugatan Sengeketa Tata Usaha Negara

GUGATAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA


     1.  Cara Mengajukan Gugatan


G
ugatan sengketa TUN harus diajukan secara tertulis kepada pengadilan yang berwenang. Orang yang tidak pandai menulis dapat mengajukan / mengutarakan keinginannya untuk menggugat itu kepada Panitera Pengadilan yang akan membantu merumuskan gugatannya dalam bentuk tertulis.
Gugatan harus tertulis, sebab hal itu akan menjadi pegangan bagi pengadilan dan para pihak, selama pemeriksaan terhadapa sengketa TUN yang bersangkutan.

Isi tuntutan dan petitum gugatan TUN sudah ditetapkan dalam undang-undang Peradilan TUN, yaitu hanya berisi tuntutan pokok yang bermaksud agar keputusan TUN yang merugikan dirinya dinyatakan batal atau tidak sah.
Tidak ada tuntutan pokok lainnya, hanya saja di samping tuntutan pokok dimungkinkan adanya tuntutan tambahan dan juga hanya berupa tuntutan ganti rugi.
Khusus untuk sengketa Kepegawaian diperbolehkan menambah tuntutan / adanya tuntutan tambahan berupa tuntutan rehabilitasi.

Kecuali gugatan TUN harus tertulis, gugatan harus memuat:
a.   nama, kewarganegaraan, tempat tinggal
b.   dan pekerjaan penggugat atau kuasanya,
c.   nama, jabatan, dan tempat kedudukan tergugat.
d.  dasar gugatan dalam hal yang diminta untuk diputuskan oleh pengadilan. Pasal 56 UU PTUN ayat (1)

Dalam hal gugatan dibuat dan ditandatangani oleh seorang kuasa penggugat, maka gugatan tersebut harus disertai surat kuasa penggugat, berupa surat kuasa khusus yang sah.
Pasal 56 ayat (2)
Gugatan sedapat mungkin disertai Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan oleh penggugat.
Pasal 56 ayat (3)
Apabila keputusan TUN tidak ada / mungkin tidak ada pada tergugat maka, sebagai bahan persiapan pemeriksaan, dapat diminta kepada Badan atau pejabat TUN yang bersangkutan mengirimkan keputusan TUN yang dimaksud kepada pengadilan.

2.  Objek Gugatan.


Yang menjadi objek gugatan atau pangkal sengketa TUN ialah Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh badan/pejabat Tata Usaha Negara  yang mengandung  perbuatan onrechtmatig overhead daad (perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa)

3.  Alasan Mengajukan Gugatan


Alasan mengajukan gugatan TUN, ditunjukkan oleh Pasal 53 ayat (1), Orang atau Badan Hukum perdata yang merasa dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara, dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan / atau direhabilitasi.
Alasan atau dasar gugatan ditunjukkan oleh Pasal 53 ayat (2):
“alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:
a.    Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.   Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.”

Ad. Pasal 53 Ayat (2) huruf a
Suatu Keputusan Tata Usaha Negara dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan apabila keputusan itu:

1).     Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat prosedural / formal.

Misalnya: ketentuan peraturan perundang-undangan menentukan bahwa sebelum keputusan pemberhentian dikeluarkan, pegawai yang bersangkutan harus diberi kesempatan untuk membela diri. Kalau ada keputusan TUN yang tidak memberikan kesempatan tersebut sebelum keputusan TUN dikeluarkan, maka keputusan TUN itu bertentangan dengan ketentuan dalam perundang-undangan yang bersifat prosedural atau formal.

2).     Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat materiil dengan substansiil.

Misalnya: suatu keputusan ditingkat banding administratif, yang dengan salah, menyatakan bahwa gugatan penggugat diterima, atau tidak diterima.


4.  Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan


Dalam mengajukan gugatan harus memperhatikan tenggang waktu, kapan seseorang atau badan hukum perdata dapat mengajukan gugatannya. Tenggang waktu ini tidak dikenal dalam Hukum Acara Perdata kecuali kadaluarsa.

Pasal 55 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara menetapkan:

“Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.”

Ketentuan ini berarti, sesudah tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung saat diterimanya atau diumumkannya keputusan Badan atau Pejabat TUN dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvakelijk verklaard) oleh pengadilan, dan keputusan TUN yang dianggap melawan hukum atau merugikan orang atau badan hukum perdata dinyatakan sah, dan tidak dapat diubah lagi melalui proses hukum.
Khusus terhadap keputusan yang dianggap ada berdasarkan pasal 3 (2) Undang-Undang Peratun, maka tenggang waktu 90 hari tersebut terhitung setelah lewatnya tenggang waktu yang ditentukan peraturan dasarnya.

Misalnya:
1.  Ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian: “Dalam hal pengesahan permintaan akte pendirian ditolak, alasan penolakan diberikan kepada pendiri secara tertulis dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan setelah diterimanya permintaan”.
2.  Ketentuan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang No 25 Tahun 1992: “Pengesahan akta pendirian diberikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah diterimanya permintaan pengesahan”.

Contoh:
Permintaan diterima pada tanggal 1 April 2007, badan atau pejabat Tata Usaha Negara wajib memberikan keputusan terhadap permohonan tersebut palng lambat pada tanggal 1 Juni 2007 (keputusan tersebut dapat menolak atau mengabulkan permintaan). Apabila permintaan ditolak, maka gugatan atas penolakan itu adalah 29 Agustus 2007. Sesudah itu permintaan tersebut tidak lagi mempunyai hak untuk diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.


A.  Ketentuan Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang No 15 Tahun 2001 Tentang Merek:
“Dalam hal terdapat kekurangan dalam kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal meminta agar kelengkapan persyaratan tersebut dipenuhi dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal pengiriman surat permintaan untuk memenuhi kelengkapan persyaratan tersebut”.

Contoh:
Surat permintaan untuk memenuhi kelengkapan persyaratan dikirim Direktorat Jenderal pada tanggal 24 Maret 2007 kepada pemohon, maka pemohon pada 24 Mei 2007 harus sudah mengirimkan kelengkapan persyaratan yang diminta oleh Direktorat Jenderal.


Dalam hal peraturan dasar tidak menentukan tenggang waktu seperti tersebut diatas maka tenggang waktu sembilan puluh hari dihitung setelah lewatnya batas 4 bulan, terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan oleh Badan atau Pejabat TUN.
Misalnya:
Terhadap suatu permohonan / permintaan tertentu, peraturan dasarnya tidak menentukan batas waktu untuk diselesaikan oleh Badan atau Pejabat TUN. Permohonan diterima oleh badan atau pejabat TUN pada tanggal 1 Maret 2007, tetapi Badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan bersikap diam sampai lebih dari 4 bulan sesudah menerima permohonan tersebut. Menurut ketentuan pasal 3 ayat (3) Undang-Undang PTUN 4 bulan setelah diterimanya permohonan tersebut, yaitu tanggal 1 Juli 2007, dianggap ada Keputusan TUN dari Badan atau Pejabat TUN yang berkewajiban menangani permohonan tersebut, yang bersifat penolakan.


Dalam hal ini pemohon dalam waktu sembilan puluh hari sesudah tanggal 1 Juli 2007 dapat mengajukan gugatannya ke Pengadilan TUN paling lambat 29 September 2007. Sesudah tanggal itu pemohon tidak mempunyai hak mengajukan gugatan ke Pengadilan TUN. Atau Pengadilan TUN dapat menolak gugatan yang diajukan.

Pasal 55 Undang-Undang Peratun: menentukan pula bahwa bila peraturan dasarnya menentukan bahwa suatu keputusan harus diumumkan (dalam Berita Negara, atau surat kabar) maka tenggang waktu 90 hari untuk mengajukan gugatan ke pengadilan TUN dihitung sejak hari pengumuman.

5.  Kompetensi Mengadili Sengketa Tata Usaha Negara.


Mengenai kompetensi / wewenang pengadilan mana yang berhak mengadili (relative competentie) dan sekaligus menentukan pengadilan TUN dimana gugatan harus diajukan, pasal 54 Undang-Undang Peratun menentukan:

(1).     Gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.
(2).     Apabila tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Peradilan, gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
(3).     Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada dalam daerah hukum Pengadilan tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat untuk selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan.
(4).     Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Negara yang bersangkutan yang diatur dengan peraturan pemerintah, gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat.
(5).     Apabila penggugat dan tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta.
(6).    Apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri, dan penggugat di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kedudukan tergugat.

Ketentuan pasal 54 ayat (3), agak berbeda dengan ketentuan dalam hukum acara perdata, dengan pertimbangan untuk meringankan beban dari orang atau badan hukum perdata dalam mengajukan gugatan suatu keputusan TUN.
Tanggal diterimanya gugatan oleh Panitera Pengadilan TUN dianggap sebagai tanggal diajukannya gugatan kepada Pengadilan yang berwenang, agar tidak melewati tenggang waktu pengajuan gugatan.
Panitera Pengadilan berkewajiban memberikan petunjuk secukupnya kepada penggugat mengenai gugatan tersebut.
Para pihak yang bersengketa masing-masing dapat didampingi atau diwakili oleh seorang atau beberapa orang kuasa, pemberian kuasa dapat dilakukan dengan surat kuasa atau lisan di persidangan. Surat Kuasa yang dibuat di luar negeri bentuknya harus memenuhi persyaratan di negara yang bersangkutan dan diketahui oleh Perwakilan Republik Indonesia di negara tersebut, serta kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi.
Badan / Pejabat TUN yang digugat dapat meminta bantuan Kejaksaan sebagai kuasa / wakil di depan Pengadilan TUN. (Hal ini didasarkan pada Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang No 16 Tahun 2005 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia)

Penggugat dalam mengajukan gugatannya, diwajibkan membayar uang muka biaya perkara yang besarnya ditaksir oleh Panitera Pengadilan, kemudian dicatat dalam daftar perkara oleh Panitera Pengadilan.
Akan tetapi penggugat dapat juga mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan untuk bersengketa secara cuma-cuma, disertai surat keterangan tidak mampu dari kepala desa, atau lurah setempat.
Apabila penggugat telah memperoleh penetapan berperkara dengan cuma-cuma ditingkat pertama, juga berlaku untuk tingkat banding dan kasasi.
Selambat-lambatnya dalam jangka waktu tiga puluh hari setelah gugatan dicatat, hakim menentukan hari, jam dan tempat persidangan, dan menyuruh memanggil kedua belah pihak untuk hadir pada waktu dan tempat yang ditentukan.

Demikian juga penggugat dapat mengajukan permohonan untuk kepentingan penggugat yang dinilai cukup mendesak, yang dapat disimpulkan dari alasan-alasan dalam permohonan:

Misalnya:
a.   Kepentingan yang bersangkutan menyangkut Keputusan TUN yang memerintahkan harus segera membongkar bangunan rumah yang ditempatinya.
b.  Kepentingan penggugat yang bersangkutan, menyangkut keputusan TUN tentang NEM anaknya sebagai siswa SD. Ini harus segera diputus karena berkaitan dengan masa penerimaan siswa baru SLTP

Dalam menangani pemeriksaan secara cepat maka ketua pengadilan dalam jangka waktu 14 hari setelah diterimanya permohonan tersebut mengeluarkan penetapannya, apakah dikabulkan permohonannya atau tidak, terhadap penetapan tersebut tidak ada upaya hukum, baik berupa perlawanan atau banding.
Apabila permohonan dikabulkan, maka pemeriksaan dipersidangan dilakukan tanpa melalui prosedur pemeriksaan persiapan.

6.  Acara Pemeriksaan Perkara Sengketa Tata Usaha Negara.


Ada tiga tahap acara pemeriksaan sengketa TUN:
a.   Ketua pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar dalam hal:
a. pokok gugatan nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang pengadilan;
b. syarat-syarat gugatan sebagaimana jawaban no 12 huruf d,e,f, tidak dipenuhi penggugat sekalipun ia telah diberitahu dan diperingatkan;
c. gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak
d. apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah dipenuhi oleh Keputusan TUN yang digugat;
gugatan yang diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktu.

b.  Pemeriksaan persiapan oleh Hakim (majelis) yang akan menangani sengketa TUN, sebelum pokok sengketa diperiksa di pengadilan;

c.   Pemeriksaan selanjutnya adalah pemeriksaan biasa di pengadilan-pengadilan, yaitu prosedur pemeriksaan pokok sengketa di persidangan pengadilan baik dengan acara biasa maupun acara cepat.

Dengan demikian pada dasarnya Undang-Undang PTUN menghendaki proses pemeriksaan sengketa TUN dapat dilaksanakan dengan secepatnya, hal ini dapat dilihat dari:
Pertama: Pasal 62 UU PTUN, bermaksud bahwa dari proses pemeriksaan tersebut sedapat mungkin diselesaikan dengan cepat, sehingga dalam hal-hal tersebut tidak menimbulkan hambatan dalam Pembangunan Nasional, dan bagi orang atau badan hukum perdata yang bersangkutan segera mengetahui dan mendapatkan kepastian hukum mengenai hak dan kewajibannya.
Kedua: adalah diadakan pemeriksaan persiapan oleh hakim (Majelis Hakim) yang akan menangani sengketa TUN, sebelum pokok sengketa TUN diperiksa dipersidangan Pengadilan, hal ini diatur dalam Pasal 63 UU PTUN.
Ketiga: adalah prosedur biasa di pengadilan yaitu prosedur pemeriksaan pokok persengketaan di persidangan pengadilan, baik dengan acara biasa atau acara cepat.
Pemeriksaan dengan acara cepat dimungkinkan apabila penggugat dengan gugatannya mohon kepada Pengadilan agar pemeriksaan sengketa yang bersangkutan dipercepat mengingat adanya kepentingan penggugat yang dinilai cukup mendesak, hal ini dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya.
Misalnya:
Kepentingan yang bersangkutan, menyangkut Keputusan TUN yang berisikan perintah untuk segera membongkar bangunan rumah yang ditempatinya.

Dalam menangani permohonan pemeriksaan secara cepat maka Ketua Pengadilan dalam jangka waktu 14 hari setelah diterimanya permohonan tersebut mengeluarkan penetapannya yaitu dikabulkannya atau tidak permohonannya tersebut. Terhadap penetapan tersebut tidak ada upaya hukum, baik berupa perlawanan atau banding.
Apabila permohonan dikabulkan, maka pemeriksaan acara cepat dilakukan dengan hakim tunggal dan pemeriksaan dipersidangan dilakukan tanpa melalui prosedur pemeriksaan persiapan.

7.  Pemberian Kuasa

Pemberian kuasa oleh pihak-pihak (kedua belah pihak) diatr dalam pasal 57 UU PTUN  jadi apabila dikehendaki, para pihak dapat diwakili atau didampingi oleh kuasa atau beberapa orng kuasa. Pemberian kuasa dapat  dilakukan sebelum dan selama dalam perkara. Pemberian kuasa yang dilakukan sebelum perkara diperiksa harus secra tertulis dengan membuat surat kuasa khusus. Dengan adanya surat kuasa khusus ini , si penerima kuasa khusus bisa melakukan tindakan-tindakan yang berkenaan dengan jalannya pemeriksaan perkara untuk dan atas nama si pemberi kuasa. Sedangkan pemberian kuasa yang dilakukan di persidangan  bisa dilakukan secara lisan.

 8.  Gugat Rekonvensi

Dalam hukum acara PTUN tidak mungkin dikenal gugat rekonvensi (gugat balik), karena dengan gugat rekonvensi berarti kedudukan para pihak semula menjadi berbalik. Kedudukan para pihak dalam hukum acara TUN telah definitif, tidak dapat berubah-ubah . Penggugat tetap merupakan individu atau badan hukum perdata, sedangkan tergugat tetap merupakan badan atau pejabat TUN.

Daftar Pustaka


1.        Agus M. Mazwan Sosrokusumo, S.H. Freis Ermessen, sebuah type Tindak Pidana Hukum di Bidang Hukum Tata Pemerintahan, Seri Karangan Tersebar, Fakultas Hukum Universitas Jember, 1983.

2.        Prof.DR. Baharudin Lopa ,S.H. dan DR A. Hamzah, S.H. Mengenal Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta.

3.        Prof DR. Mr Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Seri Pustaka Ilmu Administrasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981

4.        Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Cetakan Keenam, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996

5.        Ismail Saleh, S.H. Pidato Sambutan Pemerintah Atas Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Terhadap Rancangan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Tanggal 20 Desember 1986.

6.        Joko Widodo, Good Governance telahaan dari Demensi Akuntabilitas Dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Penerbit, Insan Cendekia 2001.

7.        Y.W Sunindya, S.H., Dra Ninik Widiyanti, Administrasi Negara Dan Peradilan Administrasi. Aneka Cipta, Jakarta, 1990.

8.        Martiman Prodjohamidjojo, S.H. Hukum Acara Peradilan Tata Usah Negara, Ghalia Indonesia 1993.

9.        Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Revisi , PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2007

10.     Undang-Undang Dasar 19945

11.     Undang-Undang Dasar 1945 peruhan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat dalam satu naskah

12.     Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara serta Penjelasannya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987.

13.     UNdang-Undang No 7 Tahun  2004 Tentang


---------------------------------Arsip Pembelajaran Pembelajaran TUN


Keputusan Tata Usaha Negara

KEPUTUSANTATA USAHA NEGARA


B
adan / Pejabat Tata Usaha Negara dalam menjalankan administrasi negara akan membuat keputusan-keputusan baik yang bersifat menetapkan maupun yang bersifat mengatur. Keputusan Badan / Pejabat Tata Usaha Negara ini disebut sebagai Keputusan Tata Usaha Negara.
Undang-Undang PTUN memberikan pengertian tentang keputusan Tata Usaha Negara sebagai berikut:

“Keputusan TUN adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang berisi tindakan hukum tata usaha negara, berdasarkan Undang-Undang, bersifat konkrit, individuil, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seorang atau badan hukum perdata (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No 5 Tahun 1986)”

1.  Keputusan TUN yang dapat menimbulkan sengketa TUN hanyalah keputusan yang tertulis: hal ini penting untuk pembuktian. Pengertian tertulis, lebih menitik beratkan pada isinya, bukan pada bentuknya. (Keputusan (beschiking) harus penetapan tertulis terutama menunjuk pada isi (materi) dan bukan pada bentuk form dari keputusan itu).
Memorandum, nota dinas, disposisi, katabelece, sudah dapat memenuhi pengertian / syarat tertulis, asal isinya jelas mencantumkan Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkannya, maksud dan apa yang ditetapkan dalam memo, nota itu, serta kepada siapa itu ditujukan. Jadi tidak perlu berbentuk resmi seperti Surat Keputusan.
Keputusan Tata Usaha Negara yang berbentuk lisan bukan kewenangan dari Pengadilan Tata Usaha Negara, melainkan kewenangan Pengadilan Umum.

2.  Keputusan Tata Usaha Negara harus bersifat Konkrit: obyek yang dputuskan disitu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan.

   


Misalnya:
1.  Keputusan mengenai kepemilikan tanah oleh Tuan Fajar Napitupulu, yang beralamat di Jln Kesuma Puri Kav 76 / 77, Cibubur, Jakarta Timur
2.  Izin Usaha bagi PT. Nalendra Shinta Mina; di Desa Cijambe Kabupaten Subang
3.  Pemberhentian dengan tidak hormat Kasan Waluyo sebagai PNS;
4.  Keputusan pendaftaran Merk “Aqua”


3.  Keputusan TUN harus bersifat Individual: tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju, kalau yang dituju itu lebih dari satu orang, maka nama dari tiap-tiap orang yang namanya terkena putusan itu harus disebutkan satu persatu.


Misalnya:
Keputusan tentang pengangkatan PNS dengan lampiran yang menyebutkan satu-persatu nama yang diangkat sebagai PNS.

4.  Keputusan TUN harus bersifat Final: definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Suatu keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain, belum bersifat final dan karena itu belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan.


Misalnya:
A.  Keputusan Menteri Hukum dan HAM Tentang Pengesahan Akta Pendirian Perseroan Terbatas.
B.  Keputusan Menteri Kehutanan tentang izin Hak Pengusahaan Hutan.
C.  Keputusan Direktur Jenderal HAKI tentang Hak Penggunaan Merk Dagang, Paten, Hak Cipta, Rahasia Dagang.


Pasal 2 UU PTUN, menetapkan adanya Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak termasuk sebagai Keputusan Tata usaha Negara, yaitu:

1.  Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan hukum perdata / merupakan perbuatan hukum perdata.


Misalnya:
a.   Penetapan Pejabat TUN tentang pengangkatan tenaga akhli / expert berdasarkan perjanjian.
b.  Penetapan Pejabat TUN tentang jual beli ATK, pemborongan, renovasi gendung atau taman kantor.


2.  Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum / berlaku umum.
Keputusan ini memuat norma-norma hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan umum, yang kekuatan berlakunya mengikat setiap orang.


Misalnya:
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Jaksa Agung RI Nomor: Tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia

3.  Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan KUHP atau perundangan yang bersifat pidana (KUHAP).

Misalnya:
Penahanan seseorang tersangka oleh Jaksa / Polisi berdasarkan ketentuan pidana.


4.  Keputusan yang masih memerlukan persetujuan pihak lainnya.
Keputusan ini belum final, sebab keputusan ini belum dapat berlaku sebelum ada persetujuan dari pihak lainnya / instansi atasan atau instansi lainnya. Dalam rangka pengawasan administratif yang bersifat preventif dan keseragaman kebijaksanaan, sering kali peraturan menjadi dasar keputusan menentukan bahwa sebelum berlakunya keputusan TUN diperlukan adanya persetujuan instansi atasannya atau instansi lainnya terlebih dahulu.


Misalnya:
A.  Keputusan pengangkatan baru pegawai harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari BKN
B.  Keputusan pengangkatan baru Widyaiswara harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari LAN


5.  Keputusan Tata Usaha Negara Berdasar Hasil Pemeriksaan Badan Peradilan.

Vonis Hakim bukan Keputusan Tata Usaha Negara

Misalnya:
1. Keputusan pemberhentian sebagai PNS berdasarkan Keputusan Pengadilan yang menetapkan PNS yang bersangkutan dijatuhi pidana lebih dari satu tahun penjara.
2. Keputusan Badan Pertanahan yang mengeluarkan sertipikat tanah atas nama seseorang yang didasarkan atas pertimbangan Keputusan Pengadilan Perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yang menjelaskan bahwa tanah sengketa tersebut merupakan tanah negara dan tidak berstatus tanah warisan yang diperkuat oleh para pihak.
3. Keputusan Menteri Hukum dan HAM Tentang Pemecatan Notaris setelah menerima usul Ketua Pengadilan Negeri atas dasar kewenangannya berdasar ketentuan Pasal 54 Undang-Undang No 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum

6.  Keputusan Tata Usaha Negara Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (sekarang TNI)
Sekarang TUN di lingkungan TNI diperiksa dan diselesaikan oleh Pengadilan Tata Usaha Militer (UU No 3 Tahun 1992)

7.  Keputusan Komisi Pemilihan Umum.
Keputusan hasil pemilu (keputusan partai-partai mana yang ikut serta dalam pemilu, Partai-partai peserta Pemilu yang memperoleh suara terbanyak, banyak, sedikit, dan tidak memperoleh suara)

Sebaliknya dari pembatasan Keputusan Tata Usaha Negara / pengertian mengenai TUN, undang-undang memperluas pengertian Keputusan TUN dengan menganggap sikap diam dari pejabat TUN atau Badan sebagai sikap berbuat aktif dan sebagai penetapan tertulis sebagaimana ditentukan pasal 3 Undang-Undang Peradilan TUN, sebagai berikut:

(1).        Apabila badan atau pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.
(2).        Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan dimaksud.
(3).        Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.

Sikap diam dari pejabat TUN sama dengan dikeluarkan Keputusan TUN, yang berisi penolakan suatu permohonan. Bilamana sikap diam itu menimbulkan kerugian bagi seroang atau badan hukum perdata, maka ia dapat mengajukan gugatan sengketa Tata Usaha Negara ke Pengadilan TUN. Sebagai bukti tertulis adanya permohonan yang dianggap ditolak itu, cukup mengajukan arsip permohonan mengenai penolakan terhadap permohonannya.

Sedangkan hal itu menjadi kewajibannya” badan atau Pejabat TUN menurut ketentuan Perundang-undangan yang berlaku berwenang menangani permohonan yang bersangkutan. Oleh karenanya Badan atau Pejabat TUN berkewajiban menanganinya dan mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara baik berisi mengabulkan ataupun menolak permohonan tersebut.

Sebaliknya, bila Badan atau Pejabat TUN memang tidak mempunyai wewenang menangani permohonan itu, maka baginya juga tidak ada wewenang / kewajiban menangani permohonan yang bersangkutan. Sehingga apabila Badan atau Pejabat TUN bersikap diam, maka tidak berarti ia dianggap telah menolak atau dianggap telah ada keputusan TUN yang berisi menolak permohonan.

Ada kemungkinan peraturan dasar tidak menentukan batas waktu kapan Badan atau Pejabat TUN paling lambat harus memberikan keputusannya dan selama tenggang waktu itu ia bersikap diam, namun sampai dengan lewatnya batas waktu baru menanggapi permohonan dan membuat keputusan TUN, baik berisi mengabulkan ataupun menolak permohonan.

Ada kemungkinan peraturan dasar tidak menentukan batas waktu kapan Badan atau Pejabat TUN paling lambat harus memberikan keputusannya dan selama tenggang waktu itu ia bersikap diam, namun sampai dengan lewatnya batas waktu baru menanggapi permohonan dan membuat keputusan TUN, baik berisi mengabulkan ataupun menolak permohonan. Keputusan seperti ini dianggap sebagai keputusan fiktif, atau sama saja tidak pernah ada. Karenanya sesungguhnya pada saat habisnya tenggang waktu menangani permohonan yang bersangkutan, dan Badan Pejabat TUN tersebut bersikap diam, ia sudah dianggap mengeluarkan Keputusan TUN yang berisi penolakan.


Kapan saatnya dianggap keputusan TUN yang bersifat menolak? Hal ini berhubungan adanya tenggang waktu mengajukan gugatan sengketa TUN di Pengadilan Tata Usaha Negara.

Daftar Pustaka


1.        Agus M. Mazwan Sosrokusumo, S.H. Freis Ermessen, sebuah type Tindak Pidana Hukum di Bidang Hukum Tata Pemerintahan, Seri Karangan Tersebar, Fakultas Hukum Universitas Jember, 1983.

2.        Prof.DR. Baharudin Lopa ,S.H. dan DR A. Hamzah, S.H. Mengenal Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta.

3.        Prof DR. Mr Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Seri Pustaka Ilmu Administrasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981

4.        Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Cetakan Keenam, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996

5.        Ismail Saleh, S.H. Pidato Sambutan Pemerintah Atas Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Terhadap Rancangan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Tanggal 20 Desember 1986.

6.        Joko Widodo, Good Governance telahaan dari Demensi Akuntabilitas Dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Penerbit, Insan Cendekia 2001.

7.        Y.W Sunindya, S.H., Dra Ninik Widiyanti, Administrasi Negara Dan Peradilan Administrasi. Aneka Cipta, Jakarta, 1990.

8.        Martiman Prodjohamidjojo, S.H. Hukum Acara Peradilan Tata Usah Negara, Ghalia Indonesia 1993.

9.        Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Revisi , PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2007

10.     Undang-Undang Dasar 19945

11.     Undang-Undang Dasar 1945 peruhan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat dalam satu naskah

12.     Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara serta Penjelasannya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987.

13.     UNdang-Undang No 7 Tahun  2004 Tentang


---------------Arsip Materi Pembelajaran TUN

Bidang yang banyak menimbulkan sengketa Tata Usaha Negara

BIDANG-BIDANG YANG BANYAK MENIMBULKAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA.


P
emerintah dalam usahanya menuju pada pemerintahan yang baik, masih menjumpai adanya badan / pejabat Tata Usaha Negara yang dalam melaksanakan tugas-tugas administrasi negara melakukan tindakan-tindakan atau membuat keputusan-keputusan yang dirasakan merugikan warganegaranya.
Beberapa bidang tugas Tata Usaha Negara yang menimbulkan sengketa Tata Usaha Negara, adalah bidang-bidang yang terutama banyak menyangkut hajat hidup orang banyak, atau kepentingan umum warganegara baik orang seorang atau badan hukum perdata.

Bidang-bidang tersebut antara lain:
1). Bidang Pertahanan.
Terutama yang berkaitan dengan hak kepemilikan atas tanah, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan lain-lainnya, serta hak adat (hak ulayat), yang tetap diakui keberadaannya oleh undang-undang.

2).  Bidang pelayanan administrasi kepegawaian.
Sering terjadi tindakan atau hukuman kepada Pegawai Negeri dirasakan tidak adil, bahkan kadang-kadang dirasakan lebih berat daripada pidana berdasarkan hukum pidana. Demikian juga pemberhentian di luar ketentuan hukum kepegawaian, karena mengeritik atasannya yang memang berbuat keliru, jauh lebih berat dari pidana denda, hukuman semacam ini berlangsung terus dan menderitakan keluarganya.
Dalam hal pemberian penilaian prestasi kerja PNS (DP3), dapat jadi timbul ketidak puasan dari pegawai yang nilai.

3). Bidang Tenaga Kerja.
Sebagai negara modern yang sedang berkembang industrinya, perusahaan industri memerlukan penyerapan tenaga kerja yang tinggi, sehingga sangat rawan dalam pembinaan ketenaga kerjaan agar para tenaga kerja dapat meningkatan produktifitasnya dan terjamin keselamatan kerjanya, selain hak-haknya sebagai tenaga kerja yang harus mendapat perlindungan.
Misalnya: Adanya Pemutusan Hubungan Kerja, Pemberian Upah rendah, Jam kerja, Jamiman Kesehatan Kerja, Cuti, dll.

4). Bidang Perijinan.
Pelayanan perijinan atau legalisasi dalam kegiatan usaha atau kegiatan lainnya sering terjadi adanya keterlambatan, yang mengakibatkan kerugian bagi pihak lainnya (warganegara yang dilayani) ataupun tidak dikeluarkannya izin yang diminta tanpa suatu alasan sehingga merugikan warganegara atau badan hukum perdata.
Misalnya:
Perijinan: IMB, SIUP, SITU, HO, Izin Penggunaan Tenaga Kerja Asing, IPK, HPH, Izin Mendirikan Apotik, Mendirikan Rumah Sakit, Mendirikan Sekolah, Izin Praktek Dokter Izin Mendirikan Hotel dll
     
      Legalisasi: Pengesahan Akte Pendirian Koperasi, Pengesahan Akte Pendirian Perseroan Terbatas (PT)

Pendaftaran: Merek, Paten, Hak Cipta, Lisensi, Rahasia Dagang, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

Daftar Pustaka


1.        Agus M. Mazwan Sosrokusumo, S.H. Freis Ermessen, sebuah type Tindak Pidana Hukum di Bidang Hukum Tata Pemerintahan, Seri Karangan Tersebar, Fakultas Hukum Universitas Jember, 1983.

2.        Prof.DR. Baharudin Lopa ,S.H. dan DR A. Hamzah, S.H. Mengenal Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta.

3.        Prof DR. Mr Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Seri Pustaka Ilmu Administrasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981

4.        Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Cetakan Keenam, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996

5.        Ismail Saleh, S.H. Pidato Sambutan Pemerintah Atas Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Terhadap Rancangan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Tanggal 20 Desember 1986.

6.        Joko Widodo, Good Governance telahaan dari Demensi Akuntabilitas Dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Penerbit, Insan Cendekia 2001.

7.        Y.W Sunindya, S.H., Dra Ninik Widiyanti, Administrasi Negara Dan Peradilan Administrasi. Aneka Cipta, Jakarta, 1990.

8.        Martiman Prodjohamidjojo, S.H. Hukum Acara Peradilan Tata Usah Negara, Ghalia Indonesia 1993.

9.        Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Revisi , PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2007

10.     Undang-Undang Dasar 19945

11.     Undang-Undang Dasar 1945 peruhan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat dalam satu naskah

12.     Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara serta Penjelasannya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987.

13.     UNdang-Undang No 7 Tahun  2004 Tentang



 ---------------------Arsip Materi Diklat Jaksa 2008 Pelajaran TUN

Sengketa Tata Usaha Negara

SENGKETATATA USAHA NEGARA


T
ujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan Undang-Undang PTUN adalah untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara antara pemerintah dengan warganegaranya.

Tata Usaha Negara: adalah administrasi Negara yang melakukan fungsi menyelenggarakan urusan pemerintah baik pusat maupun daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan tertentu. Tata Usaha Negara dilakukan oleh fungsionaris Pegawai Negeri yang menjabat fungsi tertentu.
Misalnya: Menteri, Direktur Jenderal, Sekretaris Jenderal, Inspektur Jenderal, Gubernur, Walikota, Kepala Kantor Wilayah, Kepala Dinas, Bupati, Kepala Kantor dll.

Sengketa Tata Usaha Negara: adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang dan Badan Hukum Perdata, dengan badan atau pejabat Tata Usaha Negara, baik pusat maupun daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 4 UU PTUN).

Istilah “Sengketa” TUN dalam undang-undang Peratun, mempunyai arti khusus sesuai dengan fungsi Peratun, yaitu penilaian perbedaan pendapat dalam penerapan hukum, antara perorangan atau Badan hukum perdata dengan pejabat TUN atau badan. Dalam asas hukum Tata Usaha Negara, kepada orang atau badan hukum perdata, yang merasa dirugikan harus diberikan kesempatan mengajukan gugatan ke pengadilan, dalam hal ini Pengadilan TUN.
Perlu diketahui bahwa tidak semua sengketa dibidang TUN menurut Undang-Undang Peratun merupakan sengketa TUN yang dapat diselesaikan oleh Peratun.

Sengketa TUN yang diselesaikan Peratun pertama-tama harus terjadi antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat TUN. Dalam hal ini apabila terjadi sengketa antara badan hukum publik BUMN dengan Direktorat Jenderal Pajak, harus diajukan kepada Menteri Keuangan, di samping itu ada kemungkinan Badan atau pejabat TUN mengadakan perbuatan hukum pribat (privaatrechtelijke rechtshandeling) dengan orang atau badan huku perdata dan yang kemudian terjadi sengketa. Sengketa demikian ini tidak termasuk sengketa TUN.

Misalnya:
1.  Perjanjian pembelian Alat Tulis Kantor antara Biro Umum Departemen atau Pimpinan Proyek dengan rekanannya (badan hukum perdata).
2.  Perjanjian pemeliharaan renovasi gendung kantor atau pemeliharaan taman kantor antara Kapusdiklat Pegawai Departemen dengan badan hukum perdata


Siapakah yang dimaksud dengan orang atau badan hukum perdata dalam Undang-Undang Peratun?

Orang: yang dimaksud dalam undang-undang Peratun adalah orang yang menurut Kodrat (natuurljk person) sebagaimana diatur dalam hukum perdata. Orang tersebut harus mempunyai kemampuan (bekwamheid) untuk melakukan tindakan hukum (rechthandeling).

Badan Hukum Perdata, (privatrechtelijke rechtspersoon) adalah Badan Hukum yang didirikan menurut ketentuan hukum perdata (Koperasi, Yayasan, PT, Fa, CV).

Sengketa Tata Usaha Negara timbul sebagai akibat keputusan tata usaha negara yang merugikan warganegaranya baik orang seorang atau badan hukum perdata.

Daftar Pustaka


1.        Agus M. Mazwan Sosrokusumo, S.H. Freis Ermessen, sebuah type Tindak Pidana Hukum di Bidang Hukum Tata Pemerintahan, Seri Karangan Tersebar, Fakultas Hukum Universitas Jember, 1983.

2.        Prof.DR. Baharudin Lopa ,S.H. dan DR A. Hamzah, S.H. Mengenal Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta.

3.        Prof DR. Mr Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Seri Pustaka Ilmu Administrasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981

4.        Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Cetakan Keenam, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996

5.        Ismail Saleh, S.H. Pidato Sambutan Pemerintah Atas Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Terhadap Rancangan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Tanggal 20 Desember 1986.

6.        Joko Widodo, Good Governance telahaan dari Demensi Akuntabilitas Dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Penerbit, Insan Cendekia 2001.

7.        Y.W Sunindya, S.H., Dra Ninik Widiyanti, Administrasi Negara Dan Peradilan Administrasi. Aneka Cipta, Jakarta, 1990.

8.        Martiman Prodjohamidjojo, S.H. Hukum Acara Peradilan Tata Usah Negara, Ghalia Indonesia 1993.

9.        Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Revisi , PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2007

10.     Undang-Undang Dasar 19945

11.     Undang-Undang Dasar 1945 peruhan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat dalam satu naskah

12.     Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara serta Penjelasannya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987.

13.     UNdang-Undang No 7 Tahun  2004 Tentang



 ------------Arsip Materi Diklat  Pelajaran TUN