Senin, 24 November 2014

Kisah terima uang sogok


Sebuah kisah,........terima uang sogok
Sidang pembunuhan kasus korban yang bernama  Pogos Hian  diduga dibunuh majikannya bernama Na Mora Jong, seorang pengusaha garmen keturunan Cina.      Pembunuhan terhadap Pogos Hian sebenarnya bukan menjadi tujuan utama Na Mora Jong. Tetapi karena perbuatan Na Mora Jong memperkosa dan membunuh seorang wanita diketahui  Pogos Hian, maka sang pemilik garmen ini harus melenyapkan si Pogos Hian agar rahasia kejahatannya tidak terungkap. Dengan terbunuhnya si Pogos Hian, maka tidak ada lagi saksi mata yang melihat perbuatan yang dilakukan atas diri diri Boru Nabagak. Saat persidangan kasus tersebut sudah berlangsung tujuh kali, hari ini memasuki sidang putusan.
Na Mora Jong  dibela pengacara handal yang bernama Pargabus Namalo. Sudah ratusan kasus pembunuhan yang dibelanya selalu dimenangkannya. Dengan kepiawaian bersilat lidah dan mengajukan argumen pembelaan yang licik dan masuk akal tetapi sebenarnya tidak benar itu, ia dapat menyakinkan para hakim yang menyidangkan perkara yang dibelanya dan hakim memutus bebas para terdakwa. Kepiawaiannya itu telah menjadi buah bibir disemua tempat, sehingga banyak pelaku kejahatan memakai  jasanya untuk membela perkara mereka.  Mereka berkeyakinan bahwa apabila kasus mereka ditangani  Pargabus Namalo, maka mereka pasti dibebaskan dari segala tuduhan, walaupun sebenarnya mereka adalah pelakunya.  Banyak orang memuji kehebatanya sehingga namanaya tersohor . Tapi bagi pihak korban, sosok Pargabus Namalo  adalah iblis yang harus dilenyapkan.  Keluarga korban sangat menaruh dendam terhadap Abunawas Parlente yang selalu memenangkan pelaku pembunuhan.  Berapa kali, orang-ornag  yang menaruh dendam kepadanya berupaya membunuhnya, tetapi ia selalu lolos.
Waktu  Pargabus Namalo menjadi mahasiswa terbaik dan lulus dengan predikat cum laude dengan indeks prestasi sempurna.  Setelah tamat,  Pargabus Namalo mulai menjalankan profesinya sebagai pengacara,  kasus pertama  yang ditanganinya adalah kasus korupsi, yang dilakukan seorang pejabat .  Dengan kemampuan  dan  kepiawainya melihat celah hukum untuk mematahkan tuduhan kepada klienya,  padahal yang nyata-nyata  melakukan korupsi diputus bebas Hakim Pengadilan. Ini kemenangan pertama yang diraihnya saat menjadi pengacara.  Dengan kemenangnya itu,  dirinya merasa hebat, dan  sangatlah jarang  seorang pengacara  dapat memenangkan kliennya  dalam kasus korupsi.  Kemenangan ini  menjadi sejarah bagi peradilan.  Dengan demikian, banyak pelaku-pelaku  kejahatan memintanya membela perkara mereka dan nyaris seratus perses ia memenangkan perkara itu.
Orang-orang mengakui kecerdasan Pargabus Namalo sebagai pengacara. Namun kecerdasan itu tidak dimbangi moral yang baik.  Ia cenderung mendewakan uang untuk memperkaya dirinya dengan cara kotor,  sehingga walaupun nyata-nyata clienya bersalah, namun karena telah dibayar denga uang banyak, maka ia bekerja keras membebaskan klienya, dengan demikian, selain menjadi pengacara kenamaan yang sangat terkenal,  Pargabus Namalo dibenci banyak orang,  tetapi Pargabus Namalo  tidak memperdulikan kebencian orang-orang terhadap dirinya. Dengan bangga, ia selalu berdalih bahwa kebenaran harus ditegakan. Kemenangan yang diraihnya adalah sebuah penegakan kebenaran.  Siapa  tidak bersalah harus dibebaskan. Tetapi dia lupa bahwa disamping ia mampu memamfaatkan celah hukum untuk memenangkan kliennya,  ia juga ahli menyuap hakim pengadilan  dengan sebagaian uang yang diterima kliennya. Dengan demikian, maka banyak perkara yang ditanganinya  bebas dipengadilan.  Dan hari ini dipengadilan Metro, Pargabus Namalo akan kembali membuktikan kehebatannya sebagai pengacara ternama dalam pembunuhan si Pogos Hian.
Didalam ruangan terasa sejuk karena disetiap sudut dipasang pendingin udara. Pada kursi panjang deretan satu dan dua di depan telah penuh terisi. Mereka  adalah ibu-ibu dan pegawai pemerhati hukum.  Didepan, dikursi tengah duduk Hakim Ketua yang bernama Pilatus, sedangkan di kiri kanan  duduk dua hakim anggota  yaitu wanita muda (Herodias)  dan seorang lainnya lelaki setengah baya berkepala botak (Barabas).  ada juga kelihatn tiga orang jaksa penuntut, mengenakan toga hitam, sama seperti dikenakan  para hakim.
Beberapa menit  kemudian, dengan  dikawal  dua petugas jaksa, terdakwa Na Mora Jong masuk keruang  sidang diiringi pengacara Pargabus Namalo.
Sidang dimulai, ...apakah saudara terdakwa dalam sehat?....ketua Majelis Hakim  (Pilatus) memulai persidangan...........................
“ya, aku dalam keadaan sehat, pak hakim yang mulia.”
“saat ini kami majelis.....akan membacakan putusan perkara pembunuhan terhadap saudara si Pogos Hian yang didakwakan kepada saudara,  Sudah mengertikah saudara...............
“ya, aku mengerti, pak hakim yang mulia.’
............“baiklah, setelah kami menimbang-nimbang dan berdasarkan fakta-fakta hukum yang ada, kami menyatakan saudara terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan karena terbukti  tidak bersalah.  Tidak seorangpun saksi mata yang melihat perbuatan terdakwa, sehingga keterangan saksi  Hati Polos,  yang hanya mendengar suara mirip terdakwa,  sehingga suara mirip suara terdakwa tidak dapat dijadikan alat bukti kuat.
.........Dalil-dalil yang dikemukakan pengacara terdakwa masuk akal dan dapat diterima, sehingga hal ini memnjadi pertimbangan kami  dalam membebaskan terdakwa.
Apakah ada keberatan? ‘ tanya Ketua Majelis Hakim.
“kami pikir-pikir dulu, pak hakim yang mulia, “.............jawab jaksa penuntut.
“kami menerima permintaan Jaksa Penuntut.  
Apakah tanggapan dari pengacara terdakwa”
........“kami menerima seribu persen keputusan ini, pak hakim yang mulia” katanya sambil tersenyum puas dikursinya menerima putusan hakim itu.
“saudara terdakwa, apakah saudara menerima putusan  ini?.”
“dengan senang hati aku menerimanya, pak hakim yang mulia.”
“sekarang saudara bebas meninggalkan ruangan ini!” kata Ketua Majelis Hakim sembari mengetuk palu dua kali di meja.
Setelah palu keputusan hakim diketuk, maka Na Mora Jong  melompat kegirangan dan segera menyalami para hakim dan penuntut umum sambil tertawa berbahak-bahak.
‘terimakasih pak hakim, pak jaksa dan pak pengacara. Kalian hebat!’
Melihat tingkah laku Na Mora Jong  yang congkak dan sombong mendapatkan kemenangan, para pegunjung sidang bersungut sungut. Mereka tidak menerima putusan  hakim yang dianggap tidak adil dan terkesan memihak terdakwa.  Satu persatu mereka meninggalkan ruang sidang dengan wajah  masam, bercampur kecewa. Mereka yang kecewa dengan putusan hakim. Mereka tahu korban yang dibunuh terdakwa orang kecil dan miskin, sedangkan terdakwa  adalah satu pengusaha terkaya di kota Metro.
Kemudian.....Na Mora Jong  dan pengacara  Pargabus Namalo berjalan menuju satu ruangan ......sambil bercakap-cakap dengan muka senang.
“hebab benar kau Pargabus Namalo....... tidak sia-sia aku membayar engkau dalam jumlah besar, kata  Na Mora Jong  dengan bangga.
‘hehehehe........ Sudah menjadi keahlianku memenangkan klienku.” Sahut Pargabus Namalo
“keahlianmu memutarbalikan fakta, hahahaha...” kata Na Mora Jong sambil  tertawa.
“maksudmu?”................kata Pengacara  Pargabus Namalo
............“Engkau ahli membebaskan para pembunuh.”
......“jadi, engkau membunuh si Pogos Hian?’
“bukan sebelum persidangan aku telah mengatakan kepadamu bahwa akulah pembunuh Si Pogos Hian?
“sekarang, ........engkau sudah mengetahui kehebatanku memutar balikan fakta hukum, bukan?.........
“aku mengakui, ..............engkau pengacara hebat. Bagaimana mungkin hakim-hakim itu mempercayai omonganmu dalam persidangan, sehingga membebaskan aku?’
“itu urusanku, terpenting engkau bebas, bukan?
“tetapi hakim-hakim itu bodoh. ....Jaksa-jaksa itu bodoh,..... mereka tertipu oleh pengacara  yang ahli memutar balikan fakta hukum dipersidangan.”
“engaku harus berterima kasih kepadaku, sebab karena aku, sekarang engkau dapat bebas seperti harimau dihutan, bukan?’
“tentu, aku sangat berterima kasih kepadamu  Pargabus Namalo. Untuk itu aku telah menyediakan  sesuatu untukmu.”
“apa itu?’
“hari ini kita berpesta di rumahku dan akan kuberikan sesuatu untukmu, sebagai rasa terima kasihku, jika engaku tidak ada, tentu aku akan membusuk dipenjara!”
“kunci kemenanganmu bukan karena kemampuanku memberikan pembelaan dipersidangan.”
“lantas karena apa?’
“sebagaian uang yang engkau berikan kepada sebagai upah jasa pembelaan kepadamu itu kugunakan menyuap hakim dan jaksa,   Sehingga mereka memenangkan engkau.  Apalagi korban hanyalah seorang miskin,  tidak mempunyai keluarga yang medukungnya di pengadilan, sehingga dengan leluasa aku, hakim dan jaksa mempermainkan fakta hukum, dengan sebuah alasan pembenaran fakta hukum, dengan sebuah alasan pembenaran kepadamu yang sebenarnya tidak masuk akal.
Kami memperdebatkan  saksi si Polos Hati bahwa itu suaramu saat engkau bunuh si Pogos Hian. Soal suara yang didengar saksi itu, tidak dapat dijadikan fakta hukum karena alasan  banyak orang memilki suara sama denganmu, tidak pasti saat itu orang yang membunuh Pogos Hian adalah engkau. Sebenarya hakim menyakini bahwa ditempat kejadian  itu hanya ada suara yang sama  denga suaramu yaitu engkau sendiri,  maka mereka memutuskan  hukuman berat untukmu. Tetapi hal itu mereka tidak lakukan.  Mereka sengaja tidak mepersoalkan  suara yang didengar saksi itu dan menganggab suara itu bukan suaramu, sehingga dakwaan terhadap kamu lemah, ...terang Pargabus Namalo.
‘mengapa hakim dan jaksa sebodoh itu?’
“mereka adalah hakim dan jaksa terbaik, tetapi uang telah melenyapkan kepandaian mereka dalam melihat fakta hukum.  Ketika mereka menerima suap, seketika  mereka  menjadi bodoh seperti kerbau, hati nurani manusianya lenyap seketika berganti hati binatang”.
“berapa uang yang engkau gunakan membeli para hakim dan jaksa itu”.
“kubeli harga diri  dan martabat mereka, masing-masing seratus ratus juta rupiah”
“hah...harga diri mereka sebesar itu?’
“ya, harga diri mereka hanya sebesar itu.”
“seratus ratus juta rupiah. Hahahahaha...” Na Mora Jong tertawa terbahak-bahak
“bahkan, jika aku mau, aku bisa mengajukan tawaran lebih rendah lagi  agar mereka menurunkan harga diri meraka dibawah seratus  ratus juta rupiah,.... tetapi aku menganggap seratus juta rupiah adalah harga terendah untuk membeli diri mereka.  Dan, aku berhasil membeli mereka, menjadikan mereka bodoh seperti seekor kerbau......hehehehe .... Aku membuat mereka menjadi seekor binatang yang ditarik ke tempat pembatantaian,,,hahahahahha....”
“engkau hebat, Pargabus Namalo.”””
“engkau tidak pernah kalah dalam membela klienmu?’ kata Na Mora jong.....
“engkau memenangkan pembunuh,.....”
“ya, mereka semua kubebaskan dan kini tengah menikmati kehidupan alam kebebasan di luar sana.”
Pargabus Namalo,....walaupun aku dibebaskan, aku merasakan ada beban berat yang menghimpit batinku.”
“beban berat ?” tanya Pargabus Namalo
“aku merasa dikejar dosa dan rasa bersalah.”
“ah, tepislah semua perasaanmu itu, nikmati saja alam kebebasanmu denga sukacita.” Ujar Abunawas Parlente
“tapi aku tidak dapat bersuka cita dalam beban yang menghimpitku.  Aku merasa batinku semakin terpenjara. Suara teriakan korban selalu tergiang ditelingaku siang dan malam.”
‘ah, lupakanlah hal itu, marilah kita berpesta dan bersenang-senang”
Kemudian pegacara Pargabus Namalo dan Na Mora Jong, naik mobil  pulang,... kerumah terdakwa,...dimana keluargga Na Mora Jong sudah berdiri didepan pintu menunggu kepulangan Na Mora Jong  yang selama ini ditahan.
Mereka mengadakan jamuan makan dan tamu-tamu Na Mora Jong berdatangan sambil membicarakan kehebatan pengacara  Pargabus Namalo.
Selesai acara :............................
“’pak,  aku pamit dulu, istriku tentu mencemaskan aku,  ujar Pargabus Namalo kepada Na Mora Jong
“baiklah, tetapi tunggu sebentar.”
Na Mora Jong  segera masuk kekamarnya, kemudian ia keluar dengan sebuah amplop besar ditangannya.
“terimalah ini sebagai tanda terima kasihku kepada.”
“apa ini?”
“lima ratus juta rupiah.”
“untukku?”
“untuk perjuanganmu. Selain itu, terimalah kunci Mobil Nisan keluaran terbaru ini.”
“ohhh....” terima kasih dapat mengendarainya pulang ke rumahmu.”
‘”jika dibandingkan dengan kemenangan yang kuperoleh, hadiah ini tidaklah berarti.’
“baiklah, aku pamit.”
Akhir kisah..........masyarakat di kota metro tdk percaya hukum lagi, rata rata sudah apatis,.....dan jaksa penuntut yang menyidangkan sudah semakinpangkat berbintang,....
Pemerhati hukum selalu berteriak.......................................
Jaksa penuntut  sering dapat oponi negatif......suka terima suap.....
Dan setelah ditelusuri...ternyata jaksa penuntut rata-rata tidak sejahtera maka sering mau dipengaruhi pengacara...
Tidak ada yang berjuang untuk kesejahteraan jaksa penuntut,.....dimana pejabat yang pernah pengalaman kerjanya banyak terima suap, sehingga berpikir semua sudah sejahtera......sudah berbintang tidak mau berjuang karna pundi-pundinya sudah banyak........
Sedangkan pengacara itu semakin kaya saja....tanpa harus diminta pertanggung jawaban.....
Akhir daripada cerita..............masyarakat metro sudah mulai  tidak senang dengan perbuataan oknum-oknum tersebut..................dibawa dalam doa-doa siang dan malam.......dan hasilnya sudah mulai kelihatan....oknum aparat hukum itu sudah ada yg sakit klosterol,..darah tinggi......gula...dan ada meninggal karena tabrakan dan banyak lagi.................sesungguhnya “Doa orang teraniaya pasti didengar Tuhan”

Rabu, 19 November 2014

Uang Pengganti sebagai Pidana tambahan



Bagaimana kedudukan uang pengganti sebagai pidana tambahan dalam perkara pidana korupsi?.

a.
Uang Pengganti sebagai Pidana tambahan.


Pasal 18 Undang-undang RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut :

1.
Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam KUHP, sebagai pidana tambahan :

a.
Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;

b.
Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

c.
Penutup seluruhnya atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.

d.
Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.

2.
Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti
tersebut.

3.
Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf
b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dari Undang-Undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Korupsi telah menjadi kejahatan yang dianggap merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi sudah masuk dalam kategori membahayakan. Korupsi di Indonesia merupakan persoalan bangsa yang bersifat recurrent dan darurat yang telah dihadapi bangsa Indonesia dari masa ke masa dalam rentang waktu relatif lama sehingga pengadilan khusus korupsi diharapkan dapat membantu menyelesaikan sejumlah kejahatan korupsi masa lalu agar mengembalikan harta kekayaan negara yang hilang.
Undang-undang RI No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dilengkupi UU RI No. 31 tahun 1999 Beserta Penyelesayan, Citra Umbara Bandung 2002, hal. 719 pidana korupsi.”    Untuk dapat menentukan dan membuktikan berapa sebenarnya jumlah harta benda yang diperoleh terpidana dari tindak pidana korupsi jangan hanya ditafsirkan harta benda yang masih dikuasai oleh terpidana pada saat jatuhnya putusan pengadilan tetapi juga harta benda hasil korupsi yang pada waktu pembacaan  putusan sudah dialihkan terdakwa kepada orang lain.
Pada prakteknya, putusan pidana pembayaran uang pengganti bervariasi besarannya yang dapat disebabkan beberapa faktor antara lain seperti hakim memiliki perhitungan tersendiri, sebagian hasil korupsi sudah dikembalikan atau tindak pidana korupsi dilakukan oleh lebih dari satu orang sehingga pidana pembayaran uang pengganti dibebankan bersama-sama.
Kendala dalam penjatuhan pembayaran uang pengganti dalam rangka penyelesaian keuangan negara pernah diungkapkan (Prof. Ramelan)  adalah:

1.
Kasus korupsi dapat diungkapkan setelah berjalan dalam kurun waktu yang lama sehingga sulit untuk menelusuri uang atau hasil kekayaan yang diperoleh dari korupsi.

2.
Dengan berbagai upaya pelaku korupsi telah menghabiskan uang hasil korupsi atau mempergunakan/mengalihkan dalam bentuk lain termasuk mengatasnamakan nama orang lain yang sulit terjangkau hukum.

3.
Dalam pembayaran pidana uang pengganti, si terpidana banyak yang tidak sanggup membayar.

`4.
Dasarnya pihak ketiga yang menggugat pemerintah atas barang bukti yang disita dalam rangka pemenuhan pembayaran uang pengganti.
Masalah penetapan sanksi pidana dan tindakan pada tahap kebijakan legislasi, perumusan ketentuan sanksinya banyak dipengaruhi oleh konsep atau rancangan undang-undang yang diajukan ke legislatif. Menurut Barda NawawiArief, “strategi kebijakan pemidanaan dalam kejahatan-kejahatan yang berdimensi baru harus memperhatikan hakekat permasalahannya. Bila hakekat permasalahannya lebih dekat dengan masalah-masalah di bidang hukum perekonomian dan perdagangan, maka lebih diutamakan penggunaan pidana denda atau semacamnya”.
Penetapan sanksi hukum pidana seharusnya dilakukan melalui pendekatan rasional. Bila berdasar pada konsep rasional ini, maka kebijakan penetapan sanksi dalam pidana tidak terlepas dari penetapan tujuan yang ingin dicapai oleh kebijakan kriminal secara keseluruhan, yakni perlindungan masyarakat. Disebabkan pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu, maka haruslah dirumuskan terlebih dahulu tujuan pemidanaan yang diharapkan dapat menunjang tujuan umum tersebut. Kemudian, berorientasi dari tujuan itu untuk menetapkan cara, sarana atau tindakan apa yang akan dilakukan.
Tujuan adanya pidana uang pengganti adalah untuk memidana seberat mungkin para koruptor agar mereka jera dan untuk menakuti orang lain agar tidak melakukan korupsi.
Tujuan lainnya adalah untuk mengembalikan uang negara yang melayang akibat suatu perbuatan korupsi. Pemikiran ini sejalan dengan definisi tindak pidana korupsi. Menurut UU, salah satu unsur tipikor adalah adanya tindakan yang merugikan negara. Dengan adanya unsur ini, maka setiap terjadi suatu korupsi pasti akan menimbulkan kerugian pada keuangan negara. Merupakan suatu hal yang wajar apabila pemerintah kemudian menerapkan suatu kebijakan yang tertuang dalam UU dalam mengupayakan kembalinya uang negara yang hilang akibat tipikor.

Sudah jelas bahwa korupsi mengakibatkan pelaku memperoleh keuntungan finansial dan sebaliknya negara menderita kerugian secara finansial. Akibat kerugian yang ditanggung negara pada akhirnya berdampak pada berbagai hal. Bahkan korupsi telah mengakibatkan kemiskinan, sehingga pelaku korupsi harus dikenakan pidana pembayaran uang pengganti. Akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara dan perekonomian negara juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.
Penjatuhan pidana tambahan dapat dilihat dalam arti sempit maupun luas.
Dalam arti sempit, penjatuhan pidana berarti kewenangan menjatuhkan pidana menurut undang-undang oleh pejabat yang berwenang (hakim).
Dilihat dalam arti luas, penjatuhan pidana merupakan suatu mata rantai tindakan hukum dari pejabat yang berwenang, mulai dari proses penyidikan, penuntutan sampai pada putusan pidana yang dijatuhkan pengadilan dan dilaksanakan oleh aparat pelaksana pidana. Seperti pidana lainnya, pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti dicantumkan dalam putusan hakim.

Akan tetapi kontras dengan beban mulia yang diembannya, ternyata pengaturan mengenai pidana uang pengganti justru tidak jelas. Baik UU No. 3 tahun 1971 yang hanya mengatur mengenai uang pengganti dalam satu pasal yakni pasal 34huruf c maupun undang-undang penggantinya UU No. 31 Tahun 1999 serta perubahannya UU No. 20 Tahun 2001 pada pasal 18. Minimnya pengaturan mengenai uang pengganti mengakibatkan munculnya berbagai permasalahan. Salah satunya adalah dalam menentukan berapa jumlah pidana uang pengganti yang dapat dikenakan kepada terdakwa. Pasal 34 huruf c UU No. 3/1971 dan pasal 18 ayat (1) huruf b hanya menetapkan rumusan sederhana mengenai besarnya uang pengganti yaitu sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi, maka dapat ditafsirkan besarnya uang pengganti dapat dihitung berdasarkan nilai harta si terdakwa yang diperoleh dari tindak pidana korupsi yang didakwakan. Maka untuk menentukan besarnya uang pengganti, pertama-tama hakim harus secara cermat memilah-milah bagian mana dari keseluruhan harta terdakwa yang berasal dari tindak pidana korupsi yang didakwakan kepadanya dan mana yang bukan. Setelah dilakukan pemilahan, hakim kemudian baru dapat melakukan perhitungan berapa besaran uang pengganti yangakan dibebankan.
Prakteknya, dengan konsep ini hakim pasti akan menemui kesulitan dalam menentukan besaran uang pengganti. Pertama, hakim akan sulit memilah-milah mana aset yang berasal adri korupsi dan mana yang bukan, karena pada perkembangannya kompleksitas suatu tindak pidana korupsi semakin meningkat. Selain itu, untuk melakukan hal ini jelas butuh keahlian khusus serta data dan informasi yang lengkap.
Belum lagi kalau kita bicara soal waktu yang tentunya tidak sebentar, apalagi jika
harta yang akan dihitung berada di luar negeri sehingga membutuhkan birokrasi diplomatik yang pasti sangat rumit dan memakan waktu.
Kedua, perhitungan besaran uang pengganti akan sulit dilakukan apabila aset terdakwa yang akan dinilai ternyata telah dikonversi dalam bentuk aset yang berdasarkan sifatnya mempunyai nilai yang fluktuatif, yang nilainya terus berubah.  Salah seorang pejabat Kejagung, YosephSuardi Sabda saat itu menjabat sebagai Direktur Perdata mengatakan pengaturan rumusan jumlah uang pengganti dalam UU Korupsi yang berlaku saat ini sangat membingungkan. Disebutkan lebih baik menggunakan pemahaman bahwa uang pengganti disamakan saja dengan kerugian negara yang ditimbulkan. Dengan menetapkan besaran uang pengganti sama dengan jumlah kerugian negara maka sisi positifnya adalah menghindari kerepotan hakim dalam memilah dan menghitung aset terpidana karena besarnya sudah jelas serta memudahkan pengembalian keuangan negara yang disebabkan oleh tindak pidana korupsi.
Memang ada kesan akan menimbulkan ketidakadilan bagi terdakwa karena harta bendanya yang diperoleh dari korupsi belum tentu sama banyak dengan kerugiannegara yang timbul. Apalagi dalam hal terjadi penyertaan, akan sangat membingungkan menentukan berapa harta masing-masing terdakwa yang diperoleh dari korupsi.
Ada dua model pembebanan yang selama ini diterapkan oleh hakim dalam memutus perkara korupsi yang berupa penyertaan. Model pertama adalah pembebanan tanggung renteng, sedangkan yang kedua model pembebanan secara proporsional. Menurut model pertama, tiap-tiap dari mereka memiliki kewajiban untuk memenuhi hukuman tersebut. Dimana menurut konsep keperdataan, apabila salah satu dari terdakwa telah melunasi sejumlah uang pengganti maka otomatis kewajiban terdakwa lain gugur secara otomatis.
Model kedua, pembebasan secara proporsional adalah pembebanan pidana uang pengganti dimana majelis hakim dalam amarnya secara definatif menentukan berapa besar beban masing-masing terdakwa. Penentuan jumlah uang pengganti tersebut didasarkan pada penafsiran hakim atas kontribusi masing-masing terdakwa dalam tindak pidana korupsi terkait.
Mengenai penentuan pidana pembayaran uang pengganti berpedoman pada Surat Jaksa Agung No. B-28/A/Ft.1/05/2009 tanggal 11 Mei 2009, mengenai petunjuk kepada jaksa penuntut umum dalam membuat surat tuntutan yang salah satu diantara petunjuk adalah mengenai pidana pembayaran uang pengganti yaitu:
1.
Kewajiban membayar uang pengganti sedapat mungkin langsung ditujukan kepada instansi yang dirugikan sebagai akibat dari tindak pidana korupsi. Amar surat tuntutan: ‘membayar uang pengganti kepada negara (institusi yang dirugikan) sebesar.......dst.
2.
Untuk memberikan rasa keadilan kepada terpidana yang membayar uang pengganti tetapi hanya sebagian dari pidana dalam putusan, maka didalam amar tuntutan supa
ya ditambahkan klausul: “apabila terdakwa/terpidana membayar uang pengganti, maka jumlah uang pengganti yang dibayarkan tersebut akan diperhitungkan dengan lamanya pidana tambahan berupa pidana penjara sebagai pengganti dari kewajiban membayar uang pengganti.
3.
Terhadap kewajiban pembayaran uang pengganti yang terdakwanya lebih dari satu orang supaya di dalam amar tuntutan disebutkan secara jelas dan pasti jumlah kepada masing-masing terdakwa dan tidak boleh disebutkan secara tanggung renteng karena tidak akan memberikan kepastian hukum dan menimbulkan kesulitan dalam eksekusi. Kesulitan eksekusi yang terjadi baik menyangkut jumlah uang pengganti yang harus dibayar oleh masing-masing terdakwa/terpidana maupun terhadap terpidana yang tidak membayar (atau membayar sebagian) uang pengganti sehingga harus menjalani hukuman badan sebagai pengganti dari kewajiban membayar uang pengganti tersebut.
4.
Apabila tidak diketahui secara pasti jumlah yang diperoleh dari tindak pidana korupsi oleh masing-masing terdakwa/terpidana, maka salah satu cara yang dapat dipedomani untuk menentukan besarnya uang pengganti yang akan digunakan kepada masing-masing terpidana/terdakwa adalah menggunakan kualifikasi turut serta dalam pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHAP.
5.
Untuk pelaksanaan petunjuk penentuan besaran uang pengganti supaya dilaksanakan secara tertib dengan administrasi yang dapat dipertanggungjawabkan disertai bukti-bukti yang akurat yang dapat dipergunakan sebagai bahan pelaporan hasil penyelamatan kerugian keuangan negara oleh KejaksaanAgung.

Membaca sekalian menulis….semoga berguna……










Selasa, 18 November 2014

Beberapa pandangan para pakar hukum yang menentang penerapan pembuktian terbalik



Beberapa pandangan para pakar hukum
 yang menentang
penerapan pembuktian terbalik
=======================
a.
J. E Sahetapy atas tulisan “Problematika Beban Pembuktian Terbalik”, menyatakan lebih kurang tiga puluh tahun yang lalu, problematic bahan pembuktian terbalik sudah menjadi wacana di dunia fakultas hukum : “omkering van de bewisjslast”  begitulah problematic pembahasan pada waktu itu. Dirasakan dan dipikirkan pada waktu itu bahwa beban pembuktian terbalik sangat tidak tepat dengan berbagai argumentasi yang tidak begitu jauh berbeda secara substansial dengan yang disuarakan dewasa ini. Dalam pada itu kritik-kritik terhadap pembuktian terbalik akhir-akhir ini sangat kental nuansanya dengan nada partisan dan politik, dalam era reformasi, semua itu boleh-boleh saja atau sah-sah saja.
b.
Prof. Indriyanto Senoadji (Guru besar FH Universitas Kristen Dwipayana dan Pengajar PPs, PH UI) dalam tulisanya “Asas Pembuktian terbalik”, menyatakan pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik sebenarnya  tidak dikenal dalam sejarah Negara-negara yang mengakui sistem hukum pidana  pada Negara Angglo Saxon khsusnya untuk korupsi, sampai sekarang belum pernah menemukan delik mengenai pemberlakukan pembalikan beban embuktian, kecuali satu yaitu I. Didalam sistem UU Tipikor, yang dinamakan pembalikan eban pembuktian  atau pembuktian terbalik hanya ada satu delik, yaitu masalah suap (gratifikasi). Jqdi UU Nomor 31 tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No 20 tahun 2001 (Pasal 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 15), pembalikan beban pembuktian bukan untuk semua delik, hanya berlaku untuk pasal 12b dan 38 b yaitu yang berkaitan dengan delik suap. Menekankan apa yang dinamakan Pembuktian Terbalik dari terdakwa yang dikehendaki, pembuktian terbalik jauh lebih baik dilakukan dipengadilan, karena kesulitan untuk membuktikan  secara terbalik oleh tersangka diproses penyidikan dan peuntutan, menghindari adanya apa yang dinamakan kolusi, yang penting untuk apa yang dinamakan kolusi, yang penting untuk apa yang dinamakan pembalikan  beban pembuktian adalah adannya kata-kata pemberian gratifikasi yang memang menjadi kewajiban dari penuntut umum untuk dibuktikan.
c.
RM. Arobbi Rahmat Zoneidhi dalam tulisannya “Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan sistem pembuktian terbalik “ yaitu Pembuktian  terbalik (omkering van bewijslast atau shifting burden of proof), tersangka atau terdakwalah yang harus membuktikan  bahwa dirinya tidak bersalah atas apa yang disangkakan atau dituduhkan kepadannya. Dengan sistem pembuktian terbalik ternyata masih kurang efektif untuk upaya penanggulangan korupsi sebab masih ada kelemahan  didalammnya yaitu pembuktian terbalik bertentangan dengan asas praduka tidak bersalah (presumption of innocence) karena tersangka atau terdakwa dianggap telah terbukti bersalah kecuali ia bisa membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Menyangkut  pelanggaran hak asasi manusia dalam kategori hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, walapun persturan tentang pelaporan harta kekayaan pejabat sudah ada, apabila penerapan asas ini tidak secara professional hal tersebut tidak timbul.
d.
Romli Atmasasmita (Guru Besar Hukum Pidana Internasional Unpad dan Ketua Forum 2004) atas tulisan pembuktian terbalik kasus korupsi menyatakan teori pembuktian yang selama ini diakui adalah asas pembuktian “beyond reasonable doubt” yang dianggap tidak bertentangan dengan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence), akan tetapi di sisi lain sering menyulitkan  proses pembuktian kasus-kasus korupsi. Dalam pasal 31 UU Nomor 31 tahun 1999 dan pasal 37 UU No 20 tahun 2001 telah membuat ketentuan mengenai pembuktian terbalik (reversal burder of proof) hanya masih belum dilandaskan kepada justifikasi teoritis, melainkan hanya menempatkan  ketentuan  pembuktian terbalik tersebut semata-mata sebagai sarana memudahkan proses pembuktian saja tanpa dipertimbangkan aspek hak asasi tersangka/terdakwa berdasarkan UUD 1945.
e.
Supriyadi Widodo Eddyono dengan tema tulisan “Pembebanan Pembuktian Terbalik dan tantanganya (verification reversed mposition and it,s Challenges)”.

a).
Terkait dengan pembuktian terbalik.

1.
Penerapan pembuktian terbalik secara murni terhadap perkara korupsi banyak mendapat tantangan baik dari segi teoritis maupun praktis dan salah satunya bertentangan dengan asas presumption of innocent atau praduga tidak bersalah.

2.
Pembuktian seimbang atau beban semi terbalik diartikan sebagai beban pembuktian diletakkan baik terhadap terdakwa maupun Jaksa Penuntut Umum secara berimbang terhadap objek pembuktian yang berbeda secara berlawanan.

3.
Munculnya norma beban pembuktian terbalik, awalnya dilatar belakangi dari problem penegakan hukum dalam kasus korupsi, karena korupsi kerap dilakukan secara sistematis, terencana oleh oknum yang berpendidikan, birokrat dan pengusaha ynag secara politis dan ekonomi amat kuat, sehingga gampang mempengaruhi jalannya proses peradilan.

4.
Pembuktian terbalik yang dikenal dari Negara penganut rumpun Anglo saxon dan hanya terbatas pada “certain case” atau pemberian yang berkolerasi dengan ‘bribery” suap. Pembuktian terbalik diterapkan di beberapa Negara antara laian United Kingdom of great Britain, Singapura, Indonesia, Hong Kong, Pakistan, India dan sebagainya.

b).
Tantangan Pembuktian terbalik yaitu:

1.
Beban pembuktian terbalik oleh Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa, akan berpotensi menimbulkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yakni ketentuan khusus tentang asas praduga tidak bersalah. Dalam pembuktian terbalik hakim berangkat daripraduga bahwa terdakwa telah bersalah, sehingga terdakwa harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, dan jika tidak dapat membuktikan hal ini, maka dinyatakan bersalah tanpa membuktikan lagi dari pihak penuntut umum, maka disamping hakim dapat menjatuhkan putusan pidana atas kenyakinan hakim sendiri tampa alat bukti, hal ini sama dengan sistem teori pembuktian conriction intime (pembuktian berdasarkan kenyakinan hakim semata), sehingga tumbuhnya pergeseran dari praduga tidak bersalah menjadi asas praduga tidak bersalah menjadi asas praduga bersalah (presumption of guilt) atas praduga  korupsi (presumption of corruption).

2.
Asas tidak mempersalahkan diri sendiri  (non-self in crimination).

3.
Asas hak untuk diam (right to remain silent).



Kesimpulan dari uraian diatas :


1.
Berdasarkan penjelasan pasal 37 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi bahwa sistem pembuktian ada dua  yaitu wettelijk negatief stelsel dan vrij stelsel.

2.
Penerapan pembuktian terbalik bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah, sistem pembuktian wettelijk negative stelsel, asas hukum.

3.
Penerapan pembuktian terbalik menempatkan seseorang dalamkedudukan bersalah yang setiapsaat dapat diatngkap dan ditahan aparat penegak hukum antara lain penyidik  Polri, Kejaksaan, dn Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) adanya kecurigaan tidak seimbangnya penghasilan dengan harta kekayaan yang dimiliki.

4.
Penerapan pembuktian terbalik menimbulkan rasa ketakutan kepada masyarakat baik sebagai aparat Negara maupun pengusaha.

5.
Penerapan pembuktian terbalik ditentang beberapa pakar hukum pidana terutama yang melanggar asas praduga tidak bersalah.



Saran :



Penerapan pembuktian terbalik yang menimbukan dua sistem pembuktian yang berlaku dalam hukum pidana Indonesia, yang akan menimbulkan kebingungan dalam pelaksanaanya. Berdasarkan  ketentuan hukum yang dianut  hukum pidana Indonesia adalah siste pembuktian wettelijk negative stelsel diaman dalam menentukan kesalahan tersangka/terpidana minimal dua alat bukti dan hakim yakin dan asas praduga tak bersalah bahwa seorang yang dituduh melakukan kejahatan dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan hakim yang mempunyaiketentuan hukum yang pasti, sesuai dengan aliran eropah continental yang dianut Negara Indonesia. Aliran erpoah continental semua  turunana aturan dan asas hukumnya searah, dan tidak bisa dalam kasus tertentu  menerapkan wettelijk negative stelsel sebaliknya dalamkasus lain  diterapkan  pembuktian vrij stelsel, akan merusak tatanan hukum Indonesia. Melihat factor  negative menerapkan pembuktian terbalik serta penjelasan pasal 37 UU No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang menerapkan  pembuktian sistem pembuktian  diri sendiri (non self-incrimination) dicabut, guna terciptanya  ketenangan hidup masyarakat dalam memiliki harta kekayaan yang dimiliki masyarakat pada umumnya diperoleh sesuai aturan hukum, hanya sebagaian kecil yang memiliki harta  kekayaan banyak yang tidak sesuai dengan penghasilannya, yang umumnya diperoleh  dengan jalan korupsi, karena jumlah aparatur  pemerintah  yang berpotensi dapat melakukan perbuatan korupsi hnya sebagian kecil dimana jumlah aparat pemerintah dengan statsu sipil dan militer hanya berkisar 4 juta ornag sedangkan jumlah  anggota masyarakat mencapai 230 juta jiwa, jangan hanya jumlah aparat pemerintah sebesar 4 juta orang menimbulkan  ketakutan terhadap 230 juta jiwa bagi pemilik harta kekayaan yang relative banyak. Jangan menyamaratakan  semua pemilik harta yang banyak lalu dituduh dari hasil korupsi. Untuk menghindari kesalahan menuduh orang melakukan korupsi, diwajibkan  aparat penegak hukum terlebih dahulu minimal dua alat buktinya yang kemudian ditambah kenyakinan hakim untuk menyalahkan seseorang  melakukan perbuatan korupsi, dengan demikian posisi masyarakat selalu dalam lindungan hukum serta semua asas hukum pidana searah dengan aliran eropah continental yang dianut hukum Indonesia.







Minggu, 16 November 2014

Kejaksaan memiliki wewenang melakukan penanganan asset




Apakah Kejaksaan memiliki wewenang melakukan penanganan asset?

1
Aset yang diamksud adalah asset yang memilikikaitan dengan tindak pidana.
2.
KUHAP Pasal 1 angka 16 menerangkan bahwa asset yang ada kaitannya dengan tindak pidana. Terhadap asset dapat dikenakan penyitaan.
Tindakan penyitaan yang dimaksud dalam pasal ini adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih  dan atau menyimpan dibawah penguasaanya asset-aset terkait tindak pidana untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.
3.
Jadi  tindakan terhadap asset hanya dapat dilakukan  oleh aparat penegak hukum karena tindakan pro-yustisia.
4.
Aparat penegak hukum yang dimaksud adalah penyidik baik itu Penyidik POLRI, Penyidik PNS, Penyidik KPK (tindak pidana korupsi) dan Penyidik Kejaksaan (tindak pidana korupsi dan Pelanggaran HAM Berat).
5.
Penanganan asset tidak hanya pada tahap penyidikan melainkan juga ada pada tahap penuntutan,
6.
Pada tahap penuntutan, Jaksa Penuntut Umum juga memiliki kewenaganan menangani asset karena sistim peradilan Indonesia kewenangan  adalah Dominus litis (domain) lembaga Kejaksaan.
7.
Walaupun terjadi penyerahan tersangka dan berkas perkara pada tahap peradilan namum asset merupakan  barang bukti tetap dalam penguasaan Jaksa Penuntut Umum.
8.
Putusan pengadilan yang berkekuatan tetap dieksekusi oleh Kejaksaan termasuk asset yang telah diputuskan oleh pengadilan.
9.
Penuntutan yang merupakan wewenang kkusus (dominus litis) kejaksaan, pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (incraaht) juga merupakan kewenangan kejaksaan.
10.
Justifikasi dan legitimasi Kejaksaan untuk bertindak sebagai  asset recovery office terkait dengan tugas pokok dan fungsinya dalam penyidikan, dan sebagai eksekutor yang melaksanakan putusan dan atau ketetapan pengadilan serta melakukan penyelesian sesuai dengan perintah pengadilan atau disposal.
11.
Barang milik Negara sebagai barang yang diperoleh atas beban anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) atau berasal dari  perolehan lainya yang san (Non APBN).
12.
Menurut peraturan pemerintah yang dimaksud dengan barang milik Negara yang relevan dengan konteks pemulihan asset, yaitu barang yang diperoleh berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (incraaaht).
13.
Dalam konteks Kejaksaan Agung, Jaksa Agung selaku pimpinan lembaga secara ex officio berstatus sebagai pengguna barang yang secara fungsional kewenangan dan tanggung jawabnya selaku pengurus barang dijalankan oleh Jaksa Agung Muda Pembinaan. Jaksa Agung Muda Pembinaan mendelegasikan kewenangan dan tanggung jawab fungsional menggunakan barng kepada kepala Biro keunagan  dan fungsinya antara lain : mengelola pendapatan dan uang milik Negara serta pendapatan Negara bukan pajak (PNBP) Kejaksaan  dan mengelola barang rampasan.
14.
Menetri keuangan dengan PERATURAN MENTERI KEUANGAN NO. 03/PMK.08/2011 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara yang berasal dari barang rampasan Negara dan gratifikasi, mengakui dan penegasan fungsi manajemen asset pro yustisi kejaksaan  seperti pada pasal 8 dan pasal 9 yang menyebutkan Jaksa Agung sebagai Pengurus Barang rampasan  Negara.