Beberapa pandangan para pakar hukum
yang menentang
penerapan pembuktian terbalik
=======================
|
|||||
a.
|
J. E Sahetapy atas tulisan “Problematika Beban Pembuktian Terbalik”, menyatakan
lebih kurang tiga puluh tahun yang lalu, problematic bahan pembuktian
terbalik sudah menjadi wacana di dunia fakultas hukum : “omkering van de bewisjslast”
begitulah problematic pembahasan pada waktu itu. Dirasakan dan
dipikirkan pada waktu itu bahwa beban pembuktian terbalik sangat tidak tepat
dengan berbagai argumentasi yang tidak begitu jauh berbeda secara substansial
dengan yang disuarakan dewasa ini. Dalam pada itu kritik-kritik terhadap
pembuktian terbalik akhir-akhir ini sangat kental nuansanya dengan nada
partisan dan politik, dalam era reformasi, semua itu boleh-boleh saja atau
sah-sah saja.
|
||||
b.
|
Prof. Indriyanto Senoadji (Guru besar
FH Universitas Kristen Dwipayana dan Pengajar PPs, PH UI) dalam tulisanya “Asas Pembuktian terbalik”, menyatakan
pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik sebenarnya tidak dikenal dalam sejarah Negara-negara
yang mengakui sistem hukum pidana pada
Negara Angglo Saxon khsusnya untuk
korupsi, sampai sekarang belum pernah menemukan delik mengenai pemberlakukan
pembalikan beban embuktian, kecuali satu yaitu I. Didalam sistem UU Tipikor,
yang dinamakan pembalikan eban pembuktian
atau pembuktian terbalik hanya ada satu delik, yaitu masalah suap
(gratifikasi). Jqdi UU Nomor 31 tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No 20
tahun 2001 (Pasal 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 15), pembalikan beban
pembuktian bukan untuk semua delik, hanya berlaku untuk pasal 12b dan 38 b
yaitu yang berkaitan dengan delik suap. Menekankan apa yang dinamakan
Pembuktian Terbalik dari terdakwa yang dikehendaki, pembuktian terbalik jauh
lebih baik dilakukan dipengadilan, karena kesulitan untuk membuktikan secara terbalik oleh tersangka diproses
penyidikan dan peuntutan, menghindari adanya apa yang dinamakan kolusi, yang
penting untuk apa yang dinamakan kolusi, yang penting untuk apa yang
dinamakan pembalikan beban pembuktian
adalah adannya kata-kata pemberian gratifikasi yang memang menjadi kewajiban
dari penuntut umum untuk dibuktikan.
|
||||
c.
|
RM. Arobbi Rahmat Zoneidhi dalam
tulisannya “Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dengan sistem pembuktian terbalik “ yaitu Pembuktian terbalik (omkering van bewijslast atau
shifting burden of proof), tersangka atau terdakwalah yang harus
membuktikan bahwa dirinya tidak
bersalah atas apa yang disangkakan atau dituduhkan kepadannya. Dengan sistem
pembuktian terbalik ternyata masih kurang efektif untuk upaya penanggulangan
korupsi sebab masih ada kelemahan
didalammnya yaitu pembuktian terbalik bertentangan dengan asas praduka
tidak bersalah (presumption of
innocence) karena tersangka atau terdakwa dianggap telah terbukti
bersalah kecuali ia bisa membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.
Menyangkut pelanggaran hak asasi
manusia dalam kategori hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut, walapun persturan tentang pelaporan harta kekayaan pejabat sudah ada,
apabila penerapan asas ini tidak secara professional hal tersebut tidak
timbul.
|
||||
d.
|
Romli Atmasasmita (Guru Besar Hukum
Pidana Internasional Unpad dan Ketua Forum 2004) atas tulisan pembuktian
terbalik kasus korupsi menyatakan teori pembuktian yang selama ini diakui
adalah asas pembuktian “beyond reasonable doubt” yang dianggap tidak
bertentangan dengan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence),
akan tetapi di sisi lain sering menyulitkan
proses pembuktian kasus-kasus korupsi. Dalam pasal 31 UU Nomor 31
tahun 1999 dan pasal 37 UU No 20 tahun 2001 telah membuat ketentuan mengenai
pembuktian terbalik (reversal burder of proof) hanya masih belum dilandaskan
kepada justifikasi teoritis, melainkan hanya menempatkan ketentuan
pembuktian terbalik tersebut semata-mata sebagai sarana memudahkan
proses pembuktian saja tanpa dipertimbangkan aspek hak asasi
tersangka/terdakwa berdasarkan UUD 1945.
|
||||
e.
|
Supriyadi Widodo Eddyono dengan tema
tulisan “Pembebanan Pembuktian Terbalik
dan tantanganya (verification reversed mposition and it,s Challenges)”.
|
||||
a).
|
Terkait dengan pembuktian terbalik.
|
||||
1.
|
Penerapan pembuktian terbalik secara
murni terhadap perkara korupsi banyak mendapat tantangan baik dari segi
teoritis maupun praktis dan salah satunya bertentangan dengan asas
presumption of innocent atau praduga tidak bersalah.
|
||||
2.
|
Pembuktian seimbang atau beban semi
terbalik diartikan sebagai beban pembuktian diletakkan baik terhadap terdakwa
maupun Jaksa Penuntut Umum secara berimbang terhadap objek pembuktian yang
berbeda secara berlawanan.
|
||||
3.
|
Munculnya norma beban pembuktian
terbalik, awalnya dilatar belakangi dari problem penegakan hukum dalam kasus
korupsi, karena korupsi kerap dilakukan secara sistematis, terencana oleh
oknum yang berpendidikan, birokrat dan pengusaha ynag secara politis dan
ekonomi amat kuat, sehingga gampang mempengaruhi jalannya proses peradilan.
|
||||
4.
|
Pembuktian terbalik yang dikenal dari
Negara penganut rumpun Anglo saxon dan hanya terbatas pada “certain case”
atau pemberian yang berkolerasi dengan ‘bribery” suap. Pembuktian terbalik
diterapkan di beberapa Negara antara laian United Kingdom of great Britain,
Singapura, Indonesia, Hong Kong, Pakistan, India dan sebagainya.
|
||||
b).
|
Tantangan Pembuktian terbalik yaitu:
|
||||
1.
|
Beban pembuktian terbalik oleh Jaksa
Penuntut Umum kepada terdakwa, akan berpotensi menimbulkan pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM) yakni ketentuan khusus tentang asas praduga tidak
bersalah. Dalam pembuktian terbalik hakim berangkat daripraduga bahwa
terdakwa telah bersalah, sehingga terdakwa harus membuktikan bahwa dirinya
tidak bersalah, dan jika tidak dapat membuktikan hal ini, maka dinyatakan
bersalah tanpa membuktikan lagi dari pihak penuntut umum, maka disamping
hakim dapat menjatuhkan putusan pidana atas kenyakinan hakim sendiri tampa
alat bukti, hal ini sama dengan sistem teori pembuktian conriction intime
(pembuktian berdasarkan kenyakinan hakim semata), sehingga tumbuhnya
pergeseran dari praduga tidak bersalah menjadi asas praduga tidak bersalah
menjadi asas praduga bersalah (presumption of guilt) atas praduga korupsi (presumption of corruption).
|
||||
2.
|
Asas tidak mempersalahkan diri
sendiri (non-self in crimination).
|
||||
3.
|
Asas hak untuk diam (right to remain
silent).
|
||||
|
Kesimpulan dari uraian diatas :
|
||||
1.
|
Berdasarkan penjelasan pasal 37 UU No.
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi bahwa sistem pembuktian ada
dua yaitu wettelijk negatief stelsel
dan vrij stelsel.
|
||||
2.
|
Penerapan pembuktian terbalik
bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah, sistem pembuktian wettelijk
negative stelsel, asas hukum.
|
||||
3.
|
Penerapan pembuktian terbalik
menempatkan seseorang dalamkedudukan bersalah yang setiapsaat dapat diatngkap
dan ditahan aparat penegak hukum antara lain penyidik Polri, Kejaksaan, dn Komisi pemberantasan
Korupsi (KPK) adanya kecurigaan tidak seimbangnya penghasilan dengan harta
kekayaan yang dimiliki.
|
||||
4.
|
Penerapan pembuktian terbalik
menimbulkan rasa ketakutan kepada masyarakat baik sebagai aparat Negara
maupun pengusaha.
|
||||
5.
|
Penerapan pembuktian terbalik ditentang
beberapa pakar hukum pidana terutama yang melanggar asas praduga tidak
bersalah.
|
||||
|
Saran :
|
||||
|
Penerapan pembuktian terbalik yang
menimbukan dua sistem pembuktian yang berlaku dalam hukum pidana Indonesia,
yang akan menimbulkan kebingungan dalam pelaksanaanya. Berdasarkan ketentuan hukum yang dianut hukum pidana Indonesia adalah siste
pembuktian wettelijk negative stelsel diaman dalam menentukan kesalahan
tersangka/terpidana minimal dua alat bukti dan hakim yakin dan asas praduga
tak bersalah bahwa seorang yang dituduh melakukan kejahatan dianggap tidak
bersalah sebelum adanya putusan hakim yang mempunyaiketentuan hukum yang
pasti, sesuai dengan aliran eropah continental yang dianut Negara Indonesia.
Aliran erpoah continental semua
turunana aturan dan asas hukumnya searah, dan tidak bisa dalam kasus
tertentu menerapkan wettelijk negative
stelsel sebaliknya dalamkasus lain diterapkan
pembuktian vrij stelsel, akan merusak tatanan hukum Indonesia. Melihat
factor negative menerapkan pembuktian
terbalik serta penjelasan pasal 37 UU No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi yang menerapkan
pembuktian sistem pembuktian
diri sendiri (non self-incrimination) dicabut, guna terciptanya ketenangan hidup masyarakat dalam memiliki
harta kekayaan yang dimiliki masyarakat pada umumnya diperoleh sesuai aturan
hukum, hanya sebagaian kecil yang memiliki harta kekayaan banyak yang tidak sesuai dengan
penghasilannya, yang umumnya diperoleh
dengan jalan korupsi, karena jumlah aparatur pemerintah
yang berpotensi dapat melakukan perbuatan korupsi hnya sebagian kecil
dimana jumlah aparat pemerintah dengan statsu sipil dan militer hanya
berkisar 4 juta ornag sedangkan jumlah
anggota masyarakat mencapai 230 juta jiwa, jangan hanya jumlah aparat
pemerintah sebesar 4 juta orang menimbulkan
ketakutan terhadap 230 juta jiwa bagi pemilik harta kekayaan yang
relative banyak. Jangan menyamaratakan
semua pemilik harta yang banyak lalu dituduh dari hasil korupsi. Untuk
menghindari kesalahan menuduh orang melakukan korupsi, diwajibkan aparat penegak hukum terlebih dahulu
minimal dua alat buktinya yang kemudian ditambah kenyakinan hakim untuk
menyalahkan seseorang melakukan
perbuatan korupsi, dengan demikian posisi masyarakat selalu dalam lindungan
hukum serta semua asas hukum pidana searah dengan aliran eropah continental
yang dianut hukum Indonesia.
|
||||
Selasa, 18 November 2014
Beberapa pandangan para pakar hukum yang menentang penerapan pembuktian terbalik
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar