Beberapa pandangan para pakar hukum
yang menentang
penerapan pembuktian terbalik
=======================
|
|||||
a.
|
J. E Sahetapy atas tulisan “Problematika Beban Pembuktian Terbalik”, menyatakan
lebih kurang tiga puluh tahun yang lalu, problematic bahan pembuktian
terbalik sudah menjadi wacana di dunia fakultas hukum : “omkering van de bewisjslast”
begitulah problematic pembahasan pada waktu itu. Dirasakan dan
dipikirkan pada waktu itu bahwa beban pembuktian terbalik sangat tidak tepat
dengan berbagai argumentasi yang tidak begitu jauh berbeda secara substansial
dengan yang disuarakan dewasa ini. Dalam pada itu kritik-kritik terhadap
pembuktian terbalik akhir-akhir ini sangat kental nuansanya dengan nada
partisan dan politik, dalam era reformasi, semua itu boleh-boleh saja atau
sah-sah saja.
|
||||
b.
|
Prof. Indriyanto Senoadji (Guru besar
FH Universitas Kristen Dwipayana dan Pengajar PPs, PH UI) dalam tulisanya “Asas Pembuktian terbalik”, menyatakan
pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik sebenarnya tidak dikenal dalam sejarah Negara-negara
yang mengakui sistem hukum pidana pada
Negara Angglo Saxon khsusnya untuk
korupsi, sampai sekarang belum pernah menemukan delik mengenai pemberlakukan
pembalikan beban embuktian, kecuali satu yaitu I. Didalam sistem UU Tipikor,
yang dinamakan pembalikan eban pembuktian
atau pembuktian terbalik hanya ada satu delik, yaitu masalah suap
(gratifikasi). Jqdi UU Nomor 31 tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No 20
tahun 2001 (Pasal 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 15), pembalikan beban
pembuktian bukan untuk semua delik, hanya berlaku untuk pasal 12b dan 38 b
yaitu yang berkaitan dengan delik suap. Menekankan apa yang dinamakan
Pembuktian Terbalik dari terdakwa yang dikehendaki, pembuktian terbalik jauh
lebih baik dilakukan dipengadilan, karena kesulitan untuk membuktikan secara terbalik oleh tersangka diproses
penyidikan dan peuntutan, menghindari adanya apa yang dinamakan kolusi, yang
penting untuk apa yang dinamakan kolusi, yang penting untuk apa yang
dinamakan pembalikan beban pembuktian
adalah adannya kata-kata pemberian gratifikasi yang memang menjadi kewajiban
dari penuntut umum untuk dibuktikan.
|
||||
c.
|
RM. Arobbi Rahmat Zoneidhi dalam
tulisannya “Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dengan sistem pembuktian terbalik “ yaitu Pembuktian terbalik (omkering van bewijslast atau
shifting burden of proof), tersangka atau terdakwalah yang harus
membuktikan bahwa dirinya tidak
bersalah atas apa yang disangkakan atau dituduhkan kepadannya. Dengan sistem
pembuktian terbalik ternyata masih kurang efektif untuk upaya penanggulangan
korupsi sebab masih ada kelemahan
didalammnya yaitu pembuktian terbalik bertentangan dengan asas praduka
tidak bersalah (presumption of
innocence) karena tersangka atau terdakwa dianggap telah terbukti
bersalah kecuali ia bisa membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.
Menyangkut pelanggaran hak asasi
manusia dalam kategori hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut, walapun persturan tentang pelaporan harta kekayaan pejabat sudah ada,
apabila penerapan asas ini tidak secara professional hal tersebut tidak
timbul.
|
||||
d.
|
Romli Atmasasmita (Guru Besar Hukum
Pidana Internasional Unpad dan Ketua Forum 2004) atas tulisan pembuktian
terbalik kasus korupsi menyatakan teori pembuktian yang selama ini diakui
adalah asas pembuktian “beyond reasonable doubt” yang dianggap tidak
bertentangan dengan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence),
akan tetapi di sisi lain sering menyulitkan
proses pembuktian kasus-kasus korupsi. Dalam pasal 31 UU Nomor 31
tahun 1999 dan pasal 37 UU No 20 tahun 2001 telah membuat ketentuan mengenai
pembuktian terbalik (reversal burder of proof) hanya masih belum dilandaskan
kepada justifikasi teoritis, melainkan hanya menempatkan ketentuan
pembuktian terbalik tersebut semata-mata sebagai sarana memudahkan
proses pembuktian saja tanpa dipertimbangkan aspek hak asasi
tersangka/terdakwa berdasarkan UUD 1945.
|
||||
e.
|
Supriyadi Widodo Eddyono dengan tema
tulisan “Pembebanan Pembuktian Terbalik
dan tantanganya (verification reversed mposition and it,s Challenges)”.
|
||||
a).
|
Terkait dengan pembuktian terbalik.
|
||||
1.
|
Penerapan pembuktian terbalik secara
murni terhadap perkara korupsi banyak mendapat tantangan baik dari segi
teoritis maupun praktis dan salah satunya bertentangan dengan asas
presumption of innocent atau praduga tidak bersalah.
|
||||
2.
|
Pembuktian seimbang atau beban semi
terbalik diartikan sebagai beban pembuktian diletakkan baik terhadap terdakwa
maupun Jaksa Penuntut Umum secara berimbang terhadap objek pembuktian yang
berbeda secara berlawanan.
|
||||
3.
|
Munculnya norma beban pembuktian
terbalik, awalnya dilatar belakangi dari problem penegakan hukum dalam kasus
korupsi, karena korupsi kerap dilakukan secara sistematis, terencana oleh
oknum yang berpendidikan, birokrat dan pengusaha ynag secara politis dan
ekonomi amat kuat, sehingga gampang mempengaruhi jalannya proses peradilan.
|
||||
4.
|
Pembuktian terbalik yang dikenal dari
Negara penganut rumpun Anglo saxon dan hanya terbatas pada “certain case”
atau pemberian yang berkolerasi dengan ‘bribery” suap. Pembuktian terbalik
diterapkan di beberapa Negara antara laian United Kingdom of great Britain,
Singapura, Indonesia, Hong Kong, Pakistan, India dan sebagainya.
|
||||
b).
|
Tantangan Pembuktian terbalik yaitu:
|
||||
1.
|
Beban pembuktian terbalik oleh Jaksa
Penuntut Umum kepada terdakwa, akan berpotensi menimbulkan pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM) yakni ketentuan khusus tentang asas praduga tidak
bersalah. Dalam pembuktian terbalik hakim berangkat daripraduga bahwa
terdakwa telah bersalah, sehingga terdakwa harus membuktikan bahwa dirinya
tidak bersalah, dan jika tidak dapat membuktikan hal ini, maka dinyatakan
bersalah tanpa membuktikan lagi dari pihak penuntut umum, maka disamping
hakim dapat menjatuhkan putusan pidana atas kenyakinan hakim sendiri tampa
alat bukti, hal ini sama dengan sistem teori pembuktian conriction intime
(pembuktian berdasarkan kenyakinan hakim semata), sehingga tumbuhnya
pergeseran dari praduga tidak bersalah menjadi asas praduga tidak bersalah
menjadi asas praduga bersalah (presumption of guilt) atas praduga korupsi (presumption of corruption).
|
||||
2.
|
Asas tidak mempersalahkan diri
sendiri (non-self in crimination).
|
||||
3.
|
Asas hak untuk diam (right to remain
silent).
|
||||
|
Kesimpulan dari uraian diatas :
|
||||
1.
|
Berdasarkan penjelasan pasal 37 UU No.
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi bahwa sistem pembuktian ada
dua yaitu wettelijk negatief stelsel
dan vrij stelsel.
|
||||
2.
|
Penerapan pembuktian terbalik
bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah, sistem pembuktian wettelijk
negative stelsel, asas hukum.
|
||||
3.
|
Penerapan pembuktian terbalik
menempatkan seseorang dalamkedudukan bersalah yang setiapsaat dapat diatngkap
dan ditahan aparat penegak hukum antara lain penyidik Polri, Kejaksaan, dn Komisi pemberantasan
Korupsi (KPK) adanya kecurigaan tidak seimbangnya penghasilan dengan harta
kekayaan yang dimiliki.
|
||||
4.
|
Penerapan pembuktian terbalik
menimbulkan rasa ketakutan kepada masyarakat baik sebagai aparat Negara
maupun pengusaha.
|
||||
5.
|
Penerapan pembuktian terbalik ditentang
beberapa pakar hukum pidana terutama yang melanggar asas praduga tidak
bersalah.
|
||||
|
Saran :
|
||||
|
Penerapan pembuktian terbalik yang
menimbukan dua sistem pembuktian yang berlaku dalam hukum pidana Indonesia,
yang akan menimbulkan kebingungan dalam pelaksanaanya. Berdasarkan ketentuan hukum yang dianut hukum pidana Indonesia adalah siste
pembuktian wettelijk negative stelsel diaman dalam menentukan kesalahan
tersangka/terpidana minimal dua alat bukti dan hakim yakin dan asas praduga
tak bersalah bahwa seorang yang dituduh melakukan kejahatan dianggap tidak
bersalah sebelum adanya putusan hakim yang mempunyaiketentuan hukum yang
pasti, sesuai dengan aliran eropah continental yang dianut Negara Indonesia.
Aliran erpoah continental semua
turunana aturan dan asas hukumnya searah, dan tidak bisa dalam kasus
tertentu menerapkan wettelijk negative
stelsel sebaliknya dalamkasus lain diterapkan
pembuktian vrij stelsel, akan merusak tatanan hukum Indonesia. Melihat
factor negative menerapkan pembuktian
terbalik serta penjelasan pasal 37 UU No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi yang menerapkan
pembuktian sistem pembuktian
diri sendiri (non self-incrimination) dicabut, guna terciptanya ketenangan hidup masyarakat dalam memiliki
harta kekayaan yang dimiliki masyarakat pada umumnya diperoleh sesuai aturan
hukum, hanya sebagaian kecil yang memiliki harta kekayaan banyak yang tidak sesuai dengan
penghasilannya, yang umumnya diperoleh
dengan jalan korupsi, karena jumlah aparatur pemerintah
yang berpotensi dapat melakukan perbuatan korupsi hnya sebagian kecil
dimana jumlah aparat pemerintah dengan statsu sipil dan militer hanya
berkisar 4 juta ornag sedangkan jumlah
anggota masyarakat mencapai 230 juta jiwa, jangan hanya jumlah aparat
pemerintah sebesar 4 juta orang menimbulkan
ketakutan terhadap 230 juta jiwa bagi pemilik harta kekayaan yang
relative banyak. Jangan menyamaratakan
semua pemilik harta yang banyak lalu dituduh dari hasil korupsi. Untuk
menghindari kesalahan menuduh orang melakukan korupsi, diwajibkan aparat penegak hukum terlebih dahulu
minimal dua alat buktinya yang kemudian ditambah kenyakinan hakim untuk
menyalahkan seseorang melakukan
perbuatan korupsi, dengan demikian posisi masyarakat selalu dalam lindungan
hukum serta semua asas hukum pidana searah dengan aliran eropah continental
yang dianut hukum Indonesia.
|
||||
Selasa, 18 November 2014
Beberapa pandangan para pakar hukum yang menentang penerapan pembuktian terbalik
Minggu, 16 November 2014
Kejaksaan memiliki wewenang melakukan penanganan asset
Apakah Kejaksaan memiliki wewenang
melakukan penanganan asset?
|
|
1
|
Aset yang diamksud adalah asset yang
memilikikaitan dengan tindak pidana.
|
2.
|
KUHAP Pasal 1 angka 16 menerangkan
bahwa asset yang ada kaitannya dengan tindak pidana. Terhadap asset dapat dikenakan
penyitaan.
Tindakan penyitaan yang dimaksud dalam pasal ini adalah
serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaanya
asset-aset terkait tindak pidana untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan,
penuntutan dan peradilan.
|
3.
|
Jadi
tindakan terhadap asset hanya dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum karena tindakan
pro-yustisia.
|
4.
|
Aparat penegak hukum yang dimaksud
adalah penyidik baik itu Penyidik POLRI, Penyidik PNS, Penyidik KPK (tindak pidana korupsi)
dan Penyidik Kejaksaan (tindak pidana korupsi dan
Pelanggaran HAM Berat).
|
5.
|
Penanganan asset tidak hanya pada
tahap penyidikan melainkan juga ada pada tahap penuntutan,
|
6.
|
Pada tahap penuntutan, Jaksa Penuntut
Umum juga memiliki kewenaganan menangani asset karena sistim peradilan
Indonesia kewenangan adalah Dominus litis (domain) lembaga Kejaksaan.
|
7.
|
Walaupun terjadi penyerahan tersangka
dan berkas perkara pada tahap peradilan namum asset merupakan barang bukti tetap dalam penguasaan Jaksa
Penuntut Umum.
|
8.
|
Putusan pengadilan yang berkekuatan
tetap dieksekusi oleh Kejaksaan termasuk asset yang telah diputuskan oleh
pengadilan.
|
9.
|
Penuntutan yang merupakan wewenang
kkusus (dominus litis) kejaksaan, pelaksanaan putusan pengadilan yang telah
memiliki kekuatan hukum tetap (incraaht) juga merupakan kewenangan kejaksaan.
|
10.
|
Justifikasi dan legitimasi Kejaksaan
untuk bertindak sebagai asset recovery
office terkait dengan tugas pokok dan fungsinya dalam penyidikan, dan sebagai
eksekutor yang melaksanakan putusan dan atau ketetapan pengadilan serta
melakukan penyelesian sesuai dengan perintah pengadilan atau disposal.
|
11.
|
Barang milik Negara sebagai barang
yang diperoleh atas beban anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) atau
berasal dari perolehan lainya yang san
(Non APBN).
|
12.
|
Menurut peraturan pemerintah yang
dimaksud dengan barang milik Negara yang relevan dengan konteks pemulihan
asset, yaitu barang yang diperoleh berdasarkan keputusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap (incraaaht).
|
13.
|
Dalam konteks Kejaksaan Agung, Jaksa
Agung selaku pimpinan lembaga secara ex
officio berstatus sebagai “pengguna barang” yang
secara fungsional kewenangan dan tanggung jawabnya selaku pengurus barang
dijalankan oleh Jaksa Agung Muda Pembinaan. Jaksa Agung Muda Pembinaan
mendelegasikan kewenangan dan tanggung jawab fungsional menggunakan barng
kepada kepala Biro keunagan dan
fungsinya antara lain : “mengelola
pendapatan dan uang milik Negara serta pendapatan Negara bukan pajak (PNBP)
Kejaksaan dan mengelola barang
rampasan”.
|
14.
|
Menetri keuangan dengan PERATURAN
MENTERI KEUANGAN NO. 03/PMK.08/2011 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara
yang berasal dari barang rampasan Negara dan gratifikasi, mengakui dan
penegasan fungsi manajemen asset pro yustisi kejaksaan seperti pada pasal 8 dan pasal 9 yang
menyebutkan Jaksa Agung sebagai
Pengurus Barang rampasan Negara.
|
Syarat Arbitrase
Arbitrase
dan Alternatif penyelesaian sengketa
(3).
|
|||
|
UU NO. 30
TAHUN 1999
|
||
|
Datun
|
||
Syarat Arbitrase
|
|
||
1
|
Para pihak
dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara
mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase.
|
||
2.
|
Dalam hal timbul
sengketa, pemohon harus memberithaukan dengan surat tercatat, telegram,
teleks, facsimile, e-mail atau dengan buku ekspedisi kepada termohon bahwa
syarat arbitrase yang diadakan oleh pemohon atau termohon berlaku.
|
||
3.
|
Surat
pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase sebagai mana dimaksud dalam ayat 1
memuat dengan jelas :
|
||
a.
|
Nama dan
alamat para pihak;
|
||
b.
|
Penunjukan
kepada klausulu atau perjanjian arbitrase yang berlaku;
|
||
c.
|
Perjanjian
atau masalah yang menjadi sengketa;
|
||
d.
|
Dasar
tuntutan dan jumlah yang dituntut, apabila ada;
|
||
e.
|
Cara
penyelesaian yang dikehendaki; dan
|
||
f.
|
Perjanjian
yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah artiber atau apabila tidak
pernah diadakan perjanjian semacam itu, pemohon dan mengajukan usul tentang
jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil.
|
||
4.
|
Dalam hal
para pihak memilih penyelesaian sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal
tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditanda tangani
oleh para pihak.
|
||
5.
|
Dalam hal
para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1, perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk
akta notaris.
Perjanjian
tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus memuat :
|
||
a.
|
Masalah
yang dipersengketakan;
|
||
b.
|
Nama
lengkap dan tempat tinggal para pihak;
|
||
c.
|
Nama
lengkap dan tempat tinggal arbiter dan majelis arbitrase;
|
||
d.
|
Tempat
arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan;
|
||
e.
|
Nama
lengkap sekretaris;
|
||
f.
|
Jangka
waktu penyelesaian sengketa;
|
||
g.
|
Pernyataan
kesediaan dari arbiter; dan
|
||
h.
|
Pernyataan
kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang
diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
|
||
6.
|
Suatu
perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan tersebut di bawah
ini :
|
||
a.
|
Meninggalnya
salah satu pihak;
|
||
b.
|
Bangkrutnya
salah satu pihak;
|
||
c.
|
Novasi;
Yang
dimaksud dengan novasi adalah
Pembaharuan utang.
|
||
d.
|
Insolvensi
salah satu pihak : yang dimaksud dengan insolvensi adalah keadaan tidak mampu
membayar;
|
||
e.
|
Pewarisan;
|
||
f.
|
Berlakunya
syarat-syarat hapusnya perikatan pokok.
|
||
g.
|
Bilamana
pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan
persetujuan pihak yang melakukan
perjanjian arbitrase tersebut; atau
|
||
h.
|
Berakhirnya
atau batalnya perjanjian pokok.
|
||
7.
|
Penunjukan
dua orang arbiter oleh para pihak memberi wewenang kepada dua arbiter
tersebut untuk memilih dan menunjuk arbiter yang ketiga;
|
||
|
Arbiter
ketiga sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diangkat sebagai ketua majelis
arbitrase;
Apabila
dalam waktu paling lama 30 hari setelah pemberitahuan diterima oleh termohon
sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat 1, dan salah pihak ternyata tidak
menunjuk seseorang yang akan menjadi anggota majelis arbitrase, arbiter yang
ditunjuk oleh pihak lainnya akan bertindak sebagai arbiter tunggal dan
putusannya mengikat kedua belah pihak.
|
Pelaksanaan Putusan dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Nasional/Internasional)
Arbitrase dan Alternatif penyelesaian
sengketa (8).
|
||||
|
UU NO. 30 TAHUN 1999
|
|||
|
Datun
|
|||
Pelaksanaan
Putusan Arbitrase
|
|
|||
ARBITRASE NASIONAL
|
|
|||
1
|
Dalam waktu
paling lama 30 hari terhitung sejak
tanggal diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase
diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasannya kepada Penitera
Pengadilan Negeri.
|
|||
2.
|
Putusan
arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para
pihak.
|
|||
3.
|
Perintah
sebagaimana dimaksud dalam pasal 61 diberikan dalam waktu paling lama 30 hari
setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri.
|
|||
4.
|
Putusan
arbitrase yang telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Negeri, dilaksankan
sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya
telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
|
|||
ARBITRASE
INTERNASIONAL
|
||||
1.
|
Yang
berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase
internasional adalah pengadilan negeri Jakarta Pusat.
|
|||
2.
|
Putusan
arbitrase internasional hanya diakui serta dapat dilaksankan diwilayah hukum
republic Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
|
|||
a.
|
Putusan
arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase
disuatu Negara yang dengan Negara Indonesia
terikat dengan perjanjian, baik secara bilateral maupul multilateral,
mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
|
|||
b.
|
Putusan
arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dengan huruf a terbatas pada
putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup
hukum perdagangan.
Yang
dimaksud dengan “ruang lingkup hukum perdagangan’ adalah kegiatan-kegiatan
antara lain bidang :
|
|||
-
|
Perniagaan;
|
|||
-
|
Perbankan;
|
|||
-
|
Keuangan;
|
|||
-
|
Penanaman
modal;
|
|||
-
|
Industry;
|
|||
-
|
Hak
kekayaan intelektual.
|
|||
3.
|
Permohonan
pelaksanaan putusan arbitrase internasional dilakukan setelah putusan
tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.
Penyampaian
berkas permohonan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus
disertai dengan :
|
|||
a.
|
Lembar asli
atau salinan otentik putusan arbitrase internasional, sesuai dengan ketentuan
perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahkan resminya dalam
bahasa Indonesia.
|
|||
b.
|
Lembar asli
atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar putusan arbitrase
internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan anskah
terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia; dan
|
|||
c.
|
Keterangan
dari perwakilan diplomat republic Indonesia dinegara tempat putusan arbitrase
internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa Negara pemohon
terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan
Negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanan putusan arbitrase
Internasional.
|
|||
4.
|
Terhadap
putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam
pasal 66 huruf d yang mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase
internasional, tidak dapat diajukan banding atau kasasi.
|
|||
5.
|
Setelah
ketua Pengadilan Jakarta Pusat memberikan
perintah eksekusi sebagaimana dimaksud dalam pasal 64, maka pelaksanan
selanjutnya dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang secara relative
berwenang melaksankan putusannya.
Sita
eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan serta baeang milik termohon
eksekusi.
Tata cara
penyitaan serta pelaksanaan putusan mengikuti tata cara sebagaimana
ditentukan oleh Hukum Acara Perdata.
|
|||
Langganan:
Postingan (Atom)