Tampilkan postingan dengan label DATUN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label DATUN. Tampilkan semua postingan

Senin, 19 Januari 2015

Bolehkah JPN mewakili BUMN/D dalam menghadapi gugatan Datun?






Bolehkah Jaksa Pengacara Negara mewakili Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dalam menghadapi gugatan perdata dan tata usaha negara?

Sampai saat ini,  akademisi dan praktisi hukum Indonesia belum sepaham memberikan jawaban.
Ada yang menganggap tak ada yang salah dengan pendampingan hukum itu, tetapi ada juga yang berpendapat sebaliknya.
Prakteknya, puluhan BUMN/BUMD menjalin kerjasama dengan kejaksaan. Kejaksaan mewakili pemerintah atau negara dengan kuasa khusus menghadapi gugatan perdata dan tata usaha negara.
Wewenang ini tegas dinyatakan dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Tetapi bagi sebagian orang, Kejaksaan tak boleh mewakili BUMN karena kekayaan BUMN adalah kekayaan negara yang dipisahkan. Dengan konsep ini BUMN dipahami sebagai entitas privat, yang tak seharusnya menggunakan organ negara sebagai kuasa hukumnya.

Perbedaan pandangan di kalangan praktisi dan akademisi tak lepas dari sumber hukum yang mengaturnya.

Advokat Fredrich Yunadi, misalnya, termasuk yang menganggap Jaksa Pengacara Negara (JPN) tak bisa mewakili BUMN. Ia menunjuk Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 07 Tahun 2012.
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 07 Tahun 2012 :

Berdasarkan penelusuran hukumonline, SEMA No. 07 Tahun 2012 mengatur tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Poin yang dirujuk Fredrich ada dalam lampiran, pada bagian Hasil Rapat Kamar Perdata Subkamar Perdata Umum. Di situ disebutkan tegas “Jaksa sebagai Pengacara Negara tidak dapat mewakili BUMN (Persero), karena BUMN tersebut berstatus badan hukum privat (vide Pasal 11 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN”.
Tetapi dari korps adhyaksa, bantuan hukum terhadap BUMN sudah sering dilakukan. Bahkan Peraturan Jaksa Agung (Perja) No. 040/A/J.A/12/2010 secara tegas menyebut BUMN/BUMD. Perja ini mengatur tentang Standar Operasi Prosedur Pelaksanaan Tugas, Fungsi, dan Wewenang Perdata dan Tata Usaha Negara.
Pasal 3 Perja mengatur apa saja bentuk ‘layanan’ hukum yang diberikan JPN.
Misalnya, bantuan hukum. Berdasarkan Perja, bantuan hukum adalah tugas JPN dalam perkara perdata dan tata usaha negara untuk mewakili lembaga negara, instansi pemerintah di pusat atau daerah, BUMN/BUMD, berdasarkan surat kuasa khusus, baik sebagai penggugat maupun tergugat yang dilakukan secara litigasi atau non-litigasi.
Sebutan BUMN/BUMD juga tercantum dalam ‘layanan’ pertimbangan hukum dan tindakan hukum lain yang disediakan JPN.

Selasa, 25 November 2014

Perbenturan Kepentingan Jaksa Sebagai Jaksa Pengacara Negara


  “Perbenturan Kepentingan Jaksa Sebagai Jaksa Pengacara Negara”// (contoh kasus)//Suatu Pendapat  para pemerhati//

Permasalahan pokok yang terjadi pada fungsi Jaksa sebagai jaksa pengacara negara terletak pada kedudukan struktural mereka yang berada di bawah Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara yang akan berimbas pada letak pertanggungjawaban kepada Jaksa Agung.
Salah satu contoh perbenturan kepentingan ini terjadi pada sengketa tanah antara PT. PELINDO dengan warga di Makassar.
Dalam kasus sengeketa tanah tersebut terjadi dalam proses perkara pidana dan perkara perdata. Dalam perkara pidana Jaksa yang bertindak sebagai jaksa penuntut umum menuntut warga melakukan tindak pidana penyerobotan berdasarkan laporan dari PT.Pelindo, namun majelis hakim memutus bahwa Perbuatan Terdakwa adalah bukan perbuatan pidana dan menyatakan terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum, dengan pertimbangan bahwa status hak atas tanah harus dibuktikan dulu dalam sidang perkara perdata.
Setelah itu, pihak Kejaksaan selanjutnya bertindak dalam kapasitas sebagai Jaksa Pengacara Negara (kuasa hukum PT. Pelindo) melakukan pemanggilan kepada satu-persatu warga (termasuk mantan Terdakwa yangg diputus lepas) untuk melakukan negosiasi mengenai objek tanah yg disengketakan.
Dalam contoh kasus tersebut sangat jelas terjadi “konflik kepentingan, pada satu sisi Kejaksaan bertindak sebagai Jaksa Penuntut Umum untuk menegakkan dan menerapkan hukum pidana materiil secara objektif dan proporsional, namun pada sisi lain pada kasus pokok yang sama bertindak sebagai Jaksa Pengacara Negara mewakili kepentingan keperdataan PT. Pelindo.

Kasus selanjutnya yang sempat marak ialah dalam sengketa pemilihan presiden (pilpres), keterlibatan Jaksa Pengacara Negara mewakili Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga sempat menimbulkan sengketa di Mahkamah Konstitusi. Kala itu, Kubu Megawati Soekarnoputri protes. Mereka menilai Komisi Pemilihan Umum seakan tidak netral menggunakan Jaksa Pengacara Negara yang berada langsung di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga menjadi pihak terkait dalam sengketa pilpres itu. Putusan Mahkamah Konstitusi memang membolehkan Jaksa Pengacara Negara menjadi kuasa hukum Komisi Pemilihan Umum dalam sengketa pilpres ini. Namun Mahkamah berpendapat bahwa di masa datang hal tersebut akan dipertimbangkan kembali demi menjaga independensi dan netralitas Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara pemilu.

Ketika Jaksa sebagai Jaksa Pengacara Negara berkedudukan berada dibawah Jaksa Agung maka akan menimbulkan perbenturan kepentingan. Jaksa Pengacara Negara merupakan sebuah kantor sendiri yang berisi profesional hukum perlu penyempurnaan yaitu :
1.
Delegasi Kewenangan;
Delegasi kewenangan dilakukan melalui pemisahan antara Jaksa yang bertugas sebagai penuntut dengan Jaksa yang bertugas sebagai advokat negara. Didalam tubuh kejaksaan agung dibentuk kantor advokat negara yang dipimpin oleh Jaksa Agung. Dengan adanya pemisahan kewenangan disini diharapkan tidak lagi terdapat conflict of interest yang terjadi antara fungsi penuntutan dengan fungsi sebagai kuasa khusus untuk bertindak baik di dalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau pemerintah dalam bidang perdata dan tata usaha Negara. Mereka yang bertindak sebagai advokat negara tidak dapat berkedudukan ganda sebagai jaksa penuntut. Walaupun tetap berada dibawah komando Jaksa Agung, diharapkan melalui pendelegasian kewenangan ini tercipta sebuah indepedensi agar kedepannya tidak lagi ada conflict of interest seperti kasus-kasus seperti diatas.
2.
Kantor Advokat Negara Professional;
Yang kami maksud disini sebagai Kantor Advokat Negara ialah bahwa nantinya Kantor Advokat Negara yang berada dibawah Jaksa Agung tersebut menjadi sebuah kantor professional yang dapat merekrut advokat/ahli hukum professional untuk bertindak sebagai advokat negara. Kantor Advokat Negara tidak hanya berisi jaksa yang bertindak sebagai advokat negara melainkan juga advokat/ahli hukum professional yang direkrut oleh Jaksa Agung untuk bertindak sebagai advokat negara. Konsep seperti ini mungkin bisa kita contoh dari Australia. Di Australia Kantor Advokat negara merupakan sebuah institusi profesional. Advokat dari Kantor Advokat Negara tidak hanya dinaungi oleh Jaksa sebagai Advokat Negara, namun juga para advokat/ahli hukum professional yang direkrut oleh Kejaksaan Agung Australia untuk menjadi advokat negara.
Kualifikasi untuk menjadi Advokat Negara dan pembelajaran berkelanjutan Seperti yang telah dikemukakan diatas untuk dilakukan pendelegasian kewenangan melalui pemisahan kewenangan antara fungsi penuntutan dan fungsi sebagai kuasa khusus untuk bertindak baik di dalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau pemerintah dalam bidang perdata dan tata usaha Negara. Nantinya pemisahan kewenangan fungsi tersebut akan berimbas pada pemisahan pelatihan bagi para calon jaksa. Calon jaksa penuntut akan menjalani pelatihan sebagai jaksa penuntut dan calon jaksa yang akan menjadi advokat negara akan menjalani pelatihan sebagai advokat negara.
Bahwa fungsi Jaksa sebagai kuasa khusus untuk bertindak baik di dalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau pemerintah dalam bidang perdata dan tata usaha Negara merupakan sebuah fungsi yang vital dan tetap harus dipertahankan, namun harus terdapat perbaikan baik itu dari sisi struktural, tekhnis kerja internal dan sistem rekruitmen.
Sumber : http://www.pemantauperadilan.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=232:tugas-dan-wewenang-kejaksaan-dalam-bidang-perdata-dan-tata-usaha-negara&catid=53:opini&Itemid=173





Minggu, 16 November 2014

Syarat Arbitrase


Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa  (3).

UU NO. 30 TAHUN 1999

Datun
Syarat Arbitrase

1
Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase.
2.
Dalam hal timbul sengketa, pemohon harus memberithaukan dengan surat tercatat, telegram, teleks, facsimile, e-mail atau dengan buku ekspedisi kepada termohon bahwa syarat arbitrase yang diadakan oleh pemohon atau termohon berlaku.
3.
Surat pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase sebagai mana dimaksud dalam ayat 1 memuat dengan jelas :

a.
Nama dan alamat para pihak;

b.
Penunjukan kepada klausulu atau perjanjian arbitrase yang berlaku;

c.
Perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa;

d.
Dasar tuntutan dan jumlah yang dituntut, apabila ada;

e.
Cara penyelesaian yang dikehendaki; dan

f.
Perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah artiber atau apabila tidak pernah diadakan perjanjian semacam itu, pemohon dan mengajukan usul tentang jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil.
4.
Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditanda tangani oleh para pihak.
5.
Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris.
Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus memuat :

a.
Masalah yang dipersengketakan;

b.
Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;

c.
Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter dan majelis arbitrase;

d.
Tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan;

e.
Nama lengkap sekretaris;

f.
Jangka waktu penyelesaian sengketa;

g.
Pernyataan kesediaan dari arbiter; dan

h.
Pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
6.
Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan tersebut di bawah ini :

a.
Meninggalnya salah satu pihak;

b.
Bangkrutnya salah satu pihak;

c.
Novasi;
Yang dimaksud  dengan novasi adalah Pembaharuan utang.

d.
Insolvensi salah satu pihak : yang dimaksud dengan insolvensi adalah keadaan tidak mampu membayar;

e.
Pewarisan;

f.
Berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok.

g.
Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan  pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut; atau

h.
Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.
7.
Penunjukan dua orang arbiter oleh para pihak memberi wewenang kepada dua arbiter tersebut untuk memilih dan menunjuk arbiter yang ketiga;

Arbiter ketiga sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diangkat sebagai ketua majelis arbitrase;
Apabila dalam waktu paling lama 30 hari setelah pemberitahuan diterima oleh termohon sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat 1, dan salah pihak ternyata tidak menunjuk seseorang yang akan menjadi anggota majelis arbitrase, arbiter yang ditunjuk oleh pihak lainnya akan bertindak sebagai arbiter tunggal dan putusannya mengikat kedua belah pihak.

Pelaksanaan Putusan dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Nasional/Internasional)


Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa  (8).

UU NO. 30 TAHUN 1999

Datun
Pelaksanaan Putusan Arbitrase

ARBITRASE NASIONAL

1
Dalam waktu paling lama 30 hari  terhitung sejak tanggal diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasannya kepada Penitera Pengadilan Negeri.
2.
Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.
3.
Perintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 61 diberikan dalam waktu paling lama 30 hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri.
4.
Putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Negeri, dilaksankan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
ARBITRASE INTERNASIONAL
1.
Yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah pengadilan negeri Jakarta Pusat.
2.
Putusan arbitrase internasional hanya diakui serta dapat dilaksankan diwilayah hukum republic Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a.
Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase disuatu Negara yang dengan Negara Indonesia  terikat dengan perjanjian, baik secara bilateral maupul multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.

b.
Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dengan huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.
Yang dimaksud dengan “ruang lingkup hukum perdagangan’ adalah kegiatan-kegiatan antara lain bidang :

-
Perniagaan;

-
Perbankan;

-
Keuangan;

-
Penanaman modal;

-
Industry;

-
Hak kekayaan intelektual.
3.
Permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter  atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Penyampaian berkas permohonan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus disertai dengan :

a.
Lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase internasional, sesuai dengan ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahkan resminya dalam bahasa Indonesia.

b.
Lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar putusan arbitrase internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan anskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia; dan

c.
Keterangan dari perwakilan diplomat republic Indonesia dinegara tempat putusan arbitrase internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa Negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan Negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanan putusan arbitrase Internasional.
4.
Terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 huruf d yang mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase internasional, tidak dapat diajukan banding atau kasasi.
5.
Setelah ketua Pengadilan Jakarta Pusat memberikan  perintah eksekusi sebagaimana dimaksud dalam pasal 64, maka pelaksanan selanjutnya dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang secara relative berwenang melaksankan putusannya.
Sita eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan serta baeang milik termohon eksekusi.
Tata cara penyitaan serta pelaksanaan putusan mengikuti tata cara sebagaimana ditentukan oleh Hukum Acara Perdata.











Hak Ingkar dalam Arbitrase dan alternatif Penyelesaian Sengketa


Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa  (4).

UU NO. 30 TAHUN 1999

Datun
Hak Ingkar

1
Terhadap arbiter dapat diajukan tuntutan ingkar apabila terdapat cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil keputusan.
Tuntutan ingkar terhadap seoarang arbiter dapat pula dilaksankan apabila terbukti adanya hubungan kekeluargaan, keuangan atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau kuasanya.
2.
Hak ingkar terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan Negeri diajukan kepada Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Hak ingkar terhadap arbiter tunggal diajukan kepada arbiter yang bersangkutan.
Hak ingkar terhadap anggota majelis arbitrasi diajukan kepada majelis arbitrase yang bersangkutan.

Pengertian Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa


Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa  (1).

UU NO. 30 TAHUN 1999

Datun
Pengertian

1
Arbitrase  adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa.
Para pihak adalah subjek hukum, baik menurut hukum perdta maupun hukum public.
Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantun dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum sengketa, atau suatu perjanjian  arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
2.
Undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternative penyelesaian sengketa.
3.
Pengadilan Negeri tidak  berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.
4.
Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa diantara mereka akan diselesaikan melalui arbitase dan para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menetukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka.
5.
Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa  di bidang perdaganagn dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundnag-undnagan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.