Bolehkah
Jaksa Pengacara Negara
mewakili Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
dalam menghadapi gugatan perdata dan tata usaha negara?
|
|
Sampai saat ini, akademisi dan praktisi hukum Indonesia belum
sepaham memberikan jawaban.
|
|
Ada
yang menganggap tak ada yang salah dengan pendampingan hukum itu, tetapi ada
juga yang berpendapat sebaliknya.
|
|
Prakteknya, puluhan BUMN/BUMD menjalin
kerjasama dengan kejaksaan. Kejaksaan mewakili pemerintah atau negara dengan
kuasa khusus menghadapi gugatan perdata dan tata usaha negara.
Wewenang
ini tegas dinyatakan dalam UU No. 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Tetapi bagi sebagian orang, Kejaksaan tak
boleh mewakili BUMN karena kekayaan BUMN adalah kekayaan negara yang
dipisahkan. Dengan konsep ini BUMN dipahami sebagai entitas privat, yang tak
seharusnya menggunakan organ negara sebagai kuasa hukumnya.
|
|
Perbedaan
pandangan di kalangan praktisi dan akademisi tak lepas dari sumber hukum yang
mengaturnya.
Advokat
Fredrich Yunadi, misalnya, termasuk yang menganggap Jaksa Pengacara Negara
(JPN) tak bisa mewakili BUMN. Ia menunjuk Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)
No. 07 Tahun 2012.
|
|
Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 07 Tahun 2012 :
|
|
Berdasarkan
penelusuran hukumonline, SEMA No. 07 Tahun 2012 mengatur tentang
Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman
Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Poin yang dirujuk Fredrich ada dalam
lampiran, pada bagian Hasil Rapat Kamar Perdata Subkamar Perdata Umum. Di
situ disebutkan tegas “Jaksa sebagai Pengacara Negara tidak dapat
mewakili BUMN (Persero), karena BUMN tersebut berstatus badan hukum privat
(vide Pasal 11 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN”.
|
|
Tetapi
dari korps adhyaksa, bantuan hukum terhadap BUMN sudah sering dilakukan.
Bahkan Peraturan Jaksa Agung (Perja) No. 040/A/J.A/12/2010 secara tegas
menyebut BUMN/BUMD. Perja ini mengatur tentang Standar Operasi Prosedur
Pelaksanaan Tugas, Fungsi, dan Wewenang Perdata dan Tata Usaha Negara.
|
|
Pasal
3 Perja mengatur apa saja bentuk ‘layanan’ hukum yang diberikan JPN.
Misalnya,
bantuan hukum. Berdasarkan Perja, bantuan hukum adalah tugas JPN dalam
perkara perdata dan tata usaha negara untuk mewakili lembaga negara, instansi
pemerintah di pusat atau daerah, BUMN/BUMD, berdasarkan surat kuasa khusus,
baik sebagai penggugat maupun tergugat yang dilakukan secara litigasi atau
non-litigasi.
|
|
Sebutan
BUMN/BUMD juga tercantum dalam ‘layanan’ pertimbangan hukum dan tindakan hukum
lain yang disediakan JPN.
|
Tampilkan postingan dengan label DATUN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label DATUN. Tampilkan semua postingan
Senin, 19 Januari 2015
Bolehkah JPN mewakili BUMN/D dalam menghadapi gugatan Datun?
Selasa, 25 November 2014
Perbenturan Kepentingan Jaksa Sebagai Jaksa Pengacara Negara
“Perbenturan Kepentingan
Jaksa Sebagai Jaksa Pengacara Negara”// (contoh
kasus)//
|
|
|
|
Permasalahan pokok yang terjadi pada fungsi Jaksa
sebagai jaksa pengacara negara terletak pada kedudukan struktural mereka yang
berada di bawah Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara yang
akan berimbas pada letak pertanggungjawaban kepada Jaksa Agung.
Salah satu contoh perbenturan kepentingan ini
terjadi pada sengketa tanah antara PT. PELINDO dengan warga di Makassar.
Dalam kasus sengeketa tanah tersebut terjadi
dalam proses perkara pidana dan perkara perdata. Dalam perkara pidana Jaksa yang bertindak sebagai jaksa penuntut umum
menuntut warga melakukan tindak pidana penyerobotan berdasarkan laporan dari
PT.Pelindo, namun majelis hakim memutus bahwa Perbuatan Terdakwa adalah bukan
perbuatan pidana dan menyatakan terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum,
dengan pertimbangan bahwa status hak atas tanah harus dibuktikan dulu dalam
sidang perkara perdata.
Setelah itu, pihak
Kejaksaan selanjutnya bertindak dalam kapasitas sebagai Jaksa Pengacara
Negara (kuasa hukum PT. Pelindo) melakukan pemanggilan kepada satu-persatu
warga (termasuk mantan Terdakwa yangg diputus lepas) untuk melakukan
negosiasi mengenai objek tanah yg disengketakan.
Dalam contoh kasus
tersebut sangat jelas terjadi “konflik kepentingan, pada satu sisi Kejaksaan
bertindak sebagai Jaksa Penuntut Umum untuk menegakkan dan menerapkan hukum
pidana materiil secara objektif dan proporsional, namun pada sisi lain pada
kasus pokok yang sama bertindak sebagai Jaksa Pengacara Negara mewakili
kepentingan keperdataan PT. Pelindo.
|
|
|
|
Kasus selanjutnya
yang sempat marak ialah dalam sengketa pemilihan presiden (pilpres),
keterlibatan Jaksa Pengacara Negara mewakili Komisi Pemilihan Umum (KPU)
juga sempat menimbulkan sengketa di Mahkamah Konstitusi. Kala itu, Kubu
Megawati Soekarnoputri protes. Mereka menilai Komisi Pemilihan Umum seakan
tidak netral menggunakan Jaksa Pengacara Negara yang berada langsung di bawah
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga menjadi pihak terkait dalam
sengketa pilpres itu. Putusan Mahkamah Konstitusi memang
membolehkan Jaksa Pengacara Negara menjadi kuasa hukum Komisi Pemilihan Umum
dalam sengketa pilpres ini. Namun Mahkamah berpendapat bahwa di masa datang
hal tersebut akan dipertimbangkan kembali demi menjaga independensi dan
netralitas Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara pemilu.
|
|
|
|
Ketika Jaksa sebagai
Jaksa Pengacara Negara berkedudukan berada dibawah Jaksa Agung maka akan
menimbulkan perbenturan kepentingan. Jaksa Pengacara Negara merupakan sebuah
kantor sendiri yang berisi profesional hukum perlu penyempurnaan yaitu :
|
|
1.
|
Delegasi Kewenangan;
Delegasi kewenangan dilakukan melalui pemisahan antara Jaksa yang bertugas
sebagai penuntut dengan Jaksa yang bertugas sebagai advokat negara. Didalam
tubuh kejaksaan agung dibentuk kantor advokat negara yang dipimpin oleh Jaksa
Agung. Dengan adanya pemisahan kewenangan disini diharapkan tidak lagi
terdapat conflict of interest yang terjadi antara fungsi
penuntutan dengan fungsi sebagai kuasa khusus untuk bertindak baik di dalam
maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau pemerintah dalam
bidang perdata dan tata usaha Negara. Mereka yang bertindak sebagai advokat negara
tidak dapat berkedudukan ganda sebagai jaksa penuntut. Walaupun tetap berada
dibawah komando Jaksa Agung, diharapkan melalui pendelegasian kewenangan ini
tercipta sebuah indepedensi agar kedepannya tidak lagi ada conflict
of interest seperti kasus-kasus seperti diatas.
|
2.
|
Kantor Advokat Negara Professional;
Yang kami maksud disini sebagai Kantor
Advokat Negara ialah bahwa nantinya Kantor Advokat Negara yang berada dibawah
Jaksa Agung tersebut menjadi sebuah kantor professional yang dapat merekrut
advokat/ahli hukum professional untuk bertindak sebagai advokat negara.
Kantor Advokat Negara tidak hanya berisi jaksa yang bertindak sebagai advokat
negara melainkan juga advokat/ahli hukum professional yang direkrut oleh
Jaksa Agung untuk bertindak sebagai advokat negara. Konsep seperti ini
mungkin bisa kita contoh dari Australia. Di Australia Kantor Advokat negara
merupakan sebuah institusi profesional. Advokat dari Kantor Advokat Negara
tidak hanya dinaungi oleh Jaksa sebagai Advokat Negara, namun juga para
advokat/ahli hukum professional yang direkrut oleh Kejaksaan Agung Australia
untuk menjadi advokat negara.
Kualifikasi untuk menjadi Advokat
Negara dan pembelajaran berkelanjutan Seperti yang telah dikemukakan diatas
untuk dilakukan pendelegasian kewenangan melalui pemisahan kewenangan antara
fungsi penuntutan dan fungsi sebagai kuasa khusus untuk bertindak baik di
dalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau pemerintah
dalam bidang perdata dan tata usaha Negara. Nantinya pemisahan kewenangan
fungsi tersebut akan berimbas pada pemisahan pelatihan bagi para calon jaksa.
Calon jaksa penuntut akan menjalani pelatihan sebagai jaksa penuntut dan
calon jaksa yang akan menjadi advokat negara akan menjalani pelatihan sebagai
advokat negara.
|
Bahwa fungsi Jaksa sebagai kuasa
khusus untuk bertindak baik di dalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas
nama Negara atau pemerintah dalam bidang perdata dan tata usaha Negara merupakan
sebuah fungsi yang vital dan tetap harus dipertahankan, namun harus terdapat
perbaikan baik itu dari sisi struktural, tekhnis kerja internal dan sistem
rekruitmen.
|
|
Sumber : http://www.pemantauperadilan.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=232:tugas-dan-wewenang-kejaksaan-dalam-bidang-perdata-dan-tata-usaha-negara&catid=53:opini&Itemid=173
|
Minggu, 16 November 2014
Syarat Arbitrase
Arbitrase
dan Alternatif penyelesaian sengketa
(3).
|
|||
|
UU NO. 30
TAHUN 1999
|
||
|
Datun
|
||
Syarat Arbitrase
|
|
||
1
|
Para pihak
dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara
mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase.
|
||
2.
|
Dalam hal timbul
sengketa, pemohon harus memberithaukan dengan surat tercatat, telegram,
teleks, facsimile, e-mail atau dengan buku ekspedisi kepada termohon bahwa
syarat arbitrase yang diadakan oleh pemohon atau termohon berlaku.
|
||
3.
|
Surat
pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase sebagai mana dimaksud dalam ayat 1
memuat dengan jelas :
|
||
a.
|
Nama dan
alamat para pihak;
|
||
b.
|
Penunjukan
kepada klausulu atau perjanjian arbitrase yang berlaku;
|
||
c.
|
Perjanjian
atau masalah yang menjadi sengketa;
|
||
d.
|
Dasar
tuntutan dan jumlah yang dituntut, apabila ada;
|
||
e.
|
Cara
penyelesaian yang dikehendaki; dan
|
||
f.
|
Perjanjian
yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah artiber atau apabila tidak
pernah diadakan perjanjian semacam itu, pemohon dan mengajukan usul tentang
jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil.
|
||
4.
|
Dalam hal
para pihak memilih penyelesaian sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal
tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditanda tangani
oleh para pihak.
|
||
5.
|
Dalam hal
para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1, perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk
akta notaris.
Perjanjian
tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus memuat :
|
||
a.
|
Masalah
yang dipersengketakan;
|
||
b.
|
Nama
lengkap dan tempat tinggal para pihak;
|
||
c.
|
Nama
lengkap dan tempat tinggal arbiter dan majelis arbitrase;
|
||
d.
|
Tempat
arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan;
|
||
e.
|
Nama
lengkap sekretaris;
|
||
f.
|
Jangka
waktu penyelesaian sengketa;
|
||
g.
|
Pernyataan
kesediaan dari arbiter; dan
|
||
h.
|
Pernyataan
kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang
diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
|
||
6.
|
Suatu
perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan tersebut di bawah
ini :
|
||
a.
|
Meninggalnya
salah satu pihak;
|
||
b.
|
Bangkrutnya
salah satu pihak;
|
||
c.
|
Novasi;
Yang
dimaksud dengan novasi adalah
Pembaharuan utang.
|
||
d.
|
Insolvensi
salah satu pihak : yang dimaksud dengan insolvensi adalah keadaan tidak mampu
membayar;
|
||
e.
|
Pewarisan;
|
||
f.
|
Berlakunya
syarat-syarat hapusnya perikatan pokok.
|
||
g.
|
Bilamana
pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan
persetujuan pihak yang melakukan
perjanjian arbitrase tersebut; atau
|
||
h.
|
Berakhirnya
atau batalnya perjanjian pokok.
|
||
7.
|
Penunjukan
dua orang arbiter oleh para pihak memberi wewenang kepada dua arbiter
tersebut untuk memilih dan menunjuk arbiter yang ketiga;
|
||
|
Arbiter
ketiga sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diangkat sebagai ketua majelis
arbitrase;
Apabila
dalam waktu paling lama 30 hari setelah pemberitahuan diterima oleh termohon
sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat 1, dan salah pihak ternyata tidak
menunjuk seseorang yang akan menjadi anggota majelis arbitrase, arbiter yang
ditunjuk oleh pihak lainnya akan bertindak sebagai arbiter tunggal dan
putusannya mengikat kedua belah pihak.
|
Pelaksanaan Putusan dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Nasional/Internasional)
Arbitrase dan Alternatif penyelesaian
sengketa (8).
|
||||
|
UU NO. 30 TAHUN 1999
|
|||
|
Datun
|
|||
Pelaksanaan
Putusan Arbitrase
|
|
|||
ARBITRASE NASIONAL
|
|
|||
1
|
Dalam waktu
paling lama 30 hari terhitung sejak
tanggal diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase
diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasannya kepada Penitera
Pengadilan Negeri.
|
|||
2.
|
Putusan
arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para
pihak.
|
|||
3.
|
Perintah
sebagaimana dimaksud dalam pasal 61 diberikan dalam waktu paling lama 30 hari
setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri.
|
|||
4.
|
Putusan
arbitrase yang telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Negeri, dilaksankan
sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya
telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
|
|||
ARBITRASE
INTERNASIONAL
|
||||
1.
|
Yang
berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase
internasional adalah pengadilan negeri Jakarta Pusat.
|
|||
2.
|
Putusan
arbitrase internasional hanya diakui serta dapat dilaksankan diwilayah hukum
republic Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
|
|||
a.
|
Putusan
arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase
disuatu Negara yang dengan Negara Indonesia
terikat dengan perjanjian, baik secara bilateral maupul multilateral,
mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
|
|||
b.
|
Putusan
arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dengan huruf a terbatas pada
putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup
hukum perdagangan.
Yang
dimaksud dengan “ruang lingkup hukum perdagangan’ adalah kegiatan-kegiatan
antara lain bidang :
|
|||
-
|
Perniagaan;
|
|||
-
|
Perbankan;
|
|||
-
|
Keuangan;
|
|||
-
|
Penanaman
modal;
|
|||
-
|
Industry;
|
|||
-
|
Hak
kekayaan intelektual.
|
|||
3.
|
Permohonan
pelaksanaan putusan arbitrase internasional dilakukan setelah putusan
tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.
Penyampaian
berkas permohonan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus
disertai dengan :
|
|||
a.
|
Lembar asli
atau salinan otentik putusan arbitrase internasional, sesuai dengan ketentuan
perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahkan resminya dalam
bahasa Indonesia.
|
|||
b.
|
Lembar asli
atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar putusan arbitrase
internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan anskah
terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia; dan
|
|||
c.
|
Keterangan
dari perwakilan diplomat republic Indonesia dinegara tempat putusan arbitrase
internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa Negara pemohon
terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan
Negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanan putusan arbitrase
Internasional.
|
|||
4.
|
Terhadap
putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam
pasal 66 huruf d yang mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase
internasional, tidak dapat diajukan banding atau kasasi.
|
|||
5.
|
Setelah
ketua Pengadilan Jakarta Pusat memberikan
perintah eksekusi sebagaimana dimaksud dalam pasal 64, maka pelaksanan
selanjutnya dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang secara relative
berwenang melaksankan putusannya.
Sita
eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan serta baeang milik termohon
eksekusi.
Tata cara
penyitaan serta pelaksanaan putusan mengikuti tata cara sebagaimana
ditentukan oleh Hukum Acara Perdata.
|
|||
Hak Ingkar dalam Arbitrase dan alternatif Penyelesaian Sengketa
Arbitrase
dan Alternatif penyelesaian sengketa
(4).
|
||
|
UU NO. 30
TAHUN 1999
|
|
|
Datun
|
|
Hak Ingkar
|
|
|
1
|
Terhadap
arbiter dapat diajukan tuntutan ingkar apabila terdapat cukup bukti otentik
yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara
bebas dan akan berpihak dalam mengambil keputusan.
Tuntutan
ingkar terhadap seoarang arbiter dapat pula dilaksankan apabila terbukti
adanya hubungan kekeluargaan, keuangan atau pekerjaan dengan salah satu pihak
atau kuasanya.
|
|
2.
|
Hak ingkar
terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan Negeri diajukan kepada
Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Hak ingkar
terhadap arbiter tunggal diajukan kepada arbiter yang bersangkutan.
Hak ingkar
terhadap anggota majelis arbitrasi diajukan kepada majelis arbitrase yang
bersangkutan.
|
Pengertian Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa
Arbitrase dan Alternatif penyelesaian
sengketa (1).
|
||
|
UU NO. 30 TAHUN 1999
|
|
|
Datun
|
|
Pengertian
|
|
|
1
|
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa
perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang
dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa.
Para pihak adalah subjek hukum, baik
menurut hukum perdta maupun hukum public.
Perjanjian arbitrase adalah suatu
kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantun dalam suatu perjanjian
tertulis yang dibuat para pihak sebelum sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak
setelah timbul sengketa.
|
|
2.
|
Undang-undang ini mengatur penyelesaian
sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum
tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas
menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang
mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara
arbitrase atau melalui alternative penyelesaian sengketa.
|
|
3.
|
Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para
pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.
|
|
4.
|
Dalam hal para pihak telah menyetujui
bahwa sengketa diantara mereka akan diselesaikan melalui arbitase dan para
pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menetukan dalam
putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini tidak diatur
dalam perjanjian mereka.
|
|
5.
|
Sengketa yang dapat diselesaikan melalui
arbitrase hanya sengketa di bidang
perdaganagn dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundnag-undnagan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Sengketa yang tidak dapat diselesaikan
melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan
tidak dapat diadakan perdamaian.
|
Langganan:
Postingan (Atom)