Selasa, 18 November 2014

Beberapa pandangan para pakar hukum yang menentang penerapan pembuktian terbalik



Beberapa pandangan para pakar hukum
 yang menentang
penerapan pembuktian terbalik
=======================
a.
J. E Sahetapy atas tulisan “Problematika Beban Pembuktian Terbalik”, menyatakan lebih kurang tiga puluh tahun yang lalu, problematic bahan pembuktian terbalik sudah menjadi wacana di dunia fakultas hukum : “omkering van de bewisjslast”  begitulah problematic pembahasan pada waktu itu. Dirasakan dan dipikirkan pada waktu itu bahwa beban pembuktian terbalik sangat tidak tepat dengan berbagai argumentasi yang tidak begitu jauh berbeda secara substansial dengan yang disuarakan dewasa ini. Dalam pada itu kritik-kritik terhadap pembuktian terbalik akhir-akhir ini sangat kental nuansanya dengan nada partisan dan politik, dalam era reformasi, semua itu boleh-boleh saja atau sah-sah saja.
b.
Prof. Indriyanto Senoadji (Guru besar FH Universitas Kristen Dwipayana dan Pengajar PPs, PH UI) dalam tulisanya “Asas Pembuktian terbalik”, menyatakan pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik sebenarnya  tidak dikenal dalam sejarah Negara-negara yang mengakui sistem hukum pidana  pada Negara Angglo Saxon khsusnya untuk korupsi, sampai sekarang belum pernah menemukan delik mengenai pemberlakukan pembalikan beban embuktian, kecuali satu yaitu I. Didalam sistem UU Tipikor, yang dinamakan pembalikan eban pembuktian  atau pembuktian terbalik hanya ada satu delik, yaitu masalah suap (gratifikasi). Jqdi UU Nomor 31 tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No 20 tahun 2001 (Pasal 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 15), pembalikan beban pembuktian bukan untuk semua delik, hanya berlaku untuk pasal 12b dan 38 b yaitu yang berkaitan dengan delik suap. Menekankan apa yang dinamakan Pembuktian Terbalik dari terdakwa yang dikehendaki, pembuktian terbalik jauh lebih baik dilakukan dipengadilan, karena kesulitan untuk membuktikan  secara terbalik oleh tersangka diproses penyidikan dan peuntutan, menghindari adanya apa yang dinamakan kolusi, yang penting untuk apa yang dinamakan kolusi, yang penting untuk apa yang dinamakan pembalikan  beban pembuktian adalah adannya kata-kata pemberian gratifikasi yang memang menjadi kewajiban dari penuntut umum untuk dibuktikan.
c.
RM. Arobbi Rahmat Zoneidhi dalam tulisannya “Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan sistem pembuktian terbalik “ yaitu Pembuktian  terbalik (omkering van bewijslast atau shifting burden of proof), tersangka atau terdakwalah yang harus membuktikan  bahwa dirinya tidak bersalah atas apa yang disangkakan atau dituduhkan kepadannya. Dengan sistem pembuktian terbalik ternyata masih kurang efektif untuk upaya penanggulangan korupsi sebab masih ada kelemahan  didalammnya yaitu pembuktian terbalik bertentangan dengan asas praduka tidak bersalah (presumption of innocence) karena tersangka atau terdakwa dianggap telah terbukti bersalah kecuali ia bisa membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Menyangkut  pelanggaran hak asasi manusia dalam kategori hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, walapun persturan tentang pelaporan harta kekayaan pejabat sudah ada, apabila penerapan asas ini tidak secara professional hal tersebut tidak timbul.
d.
Romli Atmasasmita (Guru Besar Hukum Pidana Internasional Unpad dan Ketua Forum 2004) atas tulisan pembuktian terbalik kasus korupsi menyatakan teori pembuktian yang selama ini diakui adalah asas pembuktian “beyond reasonable doubt” yang dianggap tidak bertentangan dengan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence), akan tetapi di sisi lain sering menyulitkan  proses pembuktian kasus-kasus korupsi. Dalam pasal 31 UU Nomor 31 tahun 1999 dan pasal 37 UU No 20 tahun 2001 telah membuat ketentuan mengenai pembuktian terbalik (reversal burder of proof) hanya masih belum dilandaskan kepada justifikasi teoritis, melainkan hanya menempatkan  ketentuan  pembuktian terbalik tersebut semata-mata sebagai sarana memudahkan proses pembuktian saja tanpa dipertimbangkan aspek hak asasi tersangka/terdakwa berdasarkan UUD 1945.
e.
Supriyadi Widodo Eddyono dengan tema tulisan “Pembebanan Pembuktian Terbalik dan tantanganya (verification reversed mposition and it,s Challenges)”.

a).
Terkait dengan pembuktian terbalik.

1.
Penerapan pembuktian terbalik secara murni terhadap perkara korupsi banyak mendapat tantangan baik dari segi teoritis maupun praktis dan salah satunya bertentangan dengan asas presumption of innocent atau praduga tidak bersalah.

2.
Pembuktian seimbang atau beban semi terbalik diartikan sebagai beban pembuktian diletakkan baik terhadap terdakwa maupun Jaksa Penuntut Umum secara berimbang terhadap objek pembuktian yang berbeda secara berlawanan.

3.
Munculnya norma beban pembuktian terbalik, awalnya dilatar belakangi dari problem penegakan hukum dalam kasus korupsi, karena korupsi kerap dilakukan secara sistematis, terencana oleh oknum yang berpendidikan, birokrat dan pengusaha ynag secara politis dan ekonomi amat kuat, sehingga gampang mempengaruhi jalannya proses peradilan.

4.
Pembuktian terbalik yang dikenal dari Negara penganut rumpun Anglo saxon dan hanya terbatas pada “certain case” atau pemberian yang berkolerasi dengan ‘bribery” suap. Pembuktian terbalik diterapkan di beberapa Negara antara laian United Kingdom of great Britain, Singapura, Indonesia, Hong Kong, Pakistan, India dan sebagainya.

b).
Tantangan Pembuktian terbalik yaitu:

1.
Beban pembuktian terbalik oleh Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa, akan berpotensi menimbulkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yakni ketentuan khusus tentang asas praduga tidak bersalah. Dalam pembuktian terbalik hakim berangkat daripraduga bahwa terdakwa telah bersalah, sehingga terdakwa harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, dan jika tidak dapat membuktikan hal ini, maka dinyatakan bersalah tanpa membuktikan lagi dari pihak penuntut umum, maka disamping hakim dapat menjatuhkan putusan pidana atas kenyakinan hakim sendiri tampa alat bukti, hal ini sama dengan sistem teori pembuktian conriction intime (pembuktian berdasarkan kenyakinan hakim semata), sehingga tumbuhnya pergeseran dari praduga tidak bersalah menjadi asas praduga tidak bersalah menjadi asas praduga bersalah (presumption of guilt) atas praduga  korupsi (presumption of corruption).

2.
Asas tidak mempersalahkan diri sendiri  (non-self in crimination).

3.
Asas hak untuk diam (right to remain silent).



Kesimpulan dari uraian diatas :


1.
Berdasarkan penjelasan pasal 37 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi bahwa sistem pembuktian ada dua  yaitu wettelijk negatief stelsel dan vrij stelsel.

2.
Penerapan pembuktian terbalik bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah, sistem pembuktian wettelijk negative stelsel, asas hukum.

3.
Penerapan pembuktian terbalik menempatkan seseorang dalamkedudukan bersalah yang setiapsaat dapat diatngkap dan ditahan aparat penegak hukum antara lain penyidik  Polri, Kejaksaan, dn Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) adanya kecurigaan tidak seimbangnya penghasilan dengan harta kekayaan yang dimiliki.

4.
Penerapan pembuktian terbalik menimbulkan rasa ketakutan kepada masyarakat baik sebagai aparat Negara maupun pengusaha.

5.
Penerapan pembuktian terbalik ditentang beberapa pakar hukum pidana terutama yang melanggar asas praduga tidak bersalah.



Saran :



Penerapan pembuktian terbalik yang menimbukan dua sistem pembuktian yang berlaku dalam hukum pidana Indonesia, yang akan menimbulkan kebingungan dalam pelaksanaanya. Berdasarkan  ketentuan hukum yang dianut  hukum pidana Indonesia adalah siste pembuktian wettelijk negative stelsel diaman dalam menentukan kesalahan tersangka/terpidana minimal dua alat bukti dan hakim yakin dan asas praduga tak bersalah bahwa seorang yang dituduh melakukan kejahatan dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan hakim yang mempunyaiketentuan hukum yang pasti, sesuai dengan aliran eropah continental yang dianut Negara Indonesia. Aliran erpoah continental semua  turunana aturan dan asas hukumnya searah, dan tidak bisa dalam kasus tertentu  menerapkan wettelijk negative stelsel sebaliknya dalamkasus lain  diterapkan  pembuktian vrij stelsel, akan merusak tatanan hukum Indonesia. Melihat factor  negative menerapkan pembuktian terbalik serta penjelasan pasal 37 UU No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang menerapkan  pembuktian sistem pembuktian  diri sendiri (non self-incrimination) dicabut, guna terciptanya  ketenangan hidup masyarakat dalam memiliki harta kekayaan yang dimiliki masyarakat pada umumnya diperoleh sesuai aturan hukum, hanya sebagaian kecil yang memiliki harta  kekayaan banyak yang tidak sesuai dengan penghasilannya, yang umumnya diperoleh  dengan jalan korupsi, karena jumlah aparatur  pemerintah  yang berpotensi dapat melakukan perbuatan korupsi hnya sebagian kecil dimana jumlah aparat pemerintah dengan statsu sipil dan militer hanya berkisar 4 juta ornag sedangkan jumlah  anggota masyarakat mencapai 230 juta jiwa, jangan hanya jumlah aparat pemerintah sebesar 4 juta orang menimbulkan  ketakutan terhadap 230 juta jiwa bagi pemilik harta kekayaan yang relative banyak. Jangan menyamaratakan  semua pemilik harta yang banyak lalu dituduh dari hasil korupsi. Untuk menghindari kesalahan menuduh orang melakukan korupsi, diwajibkan  aparat penegak hukum terlebih dahulu minimal dua alat buktinya yang kemudian ditambah kenyakinan hakim untuk menyalahkan seseorang  melakukan perbuatan korupsi, dengan demikian posisi masyarakat selalu dalam lindungan hukum serta semua asas hukum pidana searah dengan aliran eropah continental yang dianut hukum Indonesia.







Minggu, 16 November 2014

Kejaksaan memiliki wewenang melakukan penanganan asset




Apakah Kejaksaan memiliki wewenang melakukan penanganan asset?

1
Aset yang diamksud adalah asset yang memilikikaitan dengan tindak pidana.
2.
KUHAP Pasal 1 angka 16 menerangkan bahwa asset yang ada kaitannya dengan tindak pidana. Terhadap asset dapat dikenakan penyitaan.
Tindakan penyitaan yang dimaksud dalam pasal ini adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih  dan atau menyimpan dibawah penguasaanya asset-aset terkait tindak pidana untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.
3.
Jadi  tindakan terhadap asset hanya dapat dilakukan  oleh aparat penegak hukum karena tindakan pro-yustisia.
4.
Aparat penegak hukum yang dimaksud adalah penyidik baik itu Penyidik POLRI, Penyidik PNS, Penyidik KPK (tindak pidana korupsi) dan Penyidik Kejaksaan (tindak pidana korupsi dan Pelanggaran HAM Berat).
5.
Penanganan asset tidak hanya pada tahap penyidikan melainkan juga ada pada tahap penuntutan,
6.
Pada tahap penuntutan, Jaksa Penuntut Umum juga memiliki kewenaganan menangani asset karena sistim peradilan Indonesia kewenangan  adalah Dominus litis (domain) lembaga Kejaksaan.
7.
Walaupun terjadi penyerahan tersangka dan berkas perkara pada tahap peradilan namum asset merupakan  barang bukti tetap dalam penguasaan Jaksa Penuntut Umum.
8.
Putusan pengadilan yang berkekuatan tetap dieksekusi oleh Kejaksaan termasuk asset yang telah diputuskan oleh pengadilan.
9.
Penuntutan yang merupakan wewenang kkusus (dominus litis) kejaksaan, pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (incraaht) juga merupakan kewenangan kejaksaan.
10.
Justifikasi dan legitimasi Kejaksaan untuk bertindak sebagai  asset recovery office terkait dengan tugas pokok dan fungsinya dalam penyidikan, dan sebagai eksekutor yang melaksanakan putusan dan atau ketetapan pengadilan serta melakukan penyelesian sesuai dengan perintah pengadilan atau disposal.
11.
Barang milik Negara sebagai barang yang diperoleh atas beban anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) atau berasal dari  perolehan lainya yang san (Non APBN).
12.
Menurut peraturan pemerintah yang dimaksud dengan barang milik Negara yang relevan dengan konteks pemulihan asset, yaitu barang yang diperoleh berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (incraaaht).
13.
Dalam konteks Kejaksaan Agung, Jaksa Agung selaku pimpinan lembaga secara ex officio berstatus sebagai pengguna barang yang secara fungsional kewenangan dan tanggung jawabnya selaku pengurus barang dijalankan oleh Jaksa Agung Muda Pembinaan. Jaksa Agung Muda Pembinaan mendelegasikan kewenangan dan tanggung jawab fungsional menggunakan barng kepada kepala Biro keunagan  dan fungsinya antara lain : mengelola pendapatan dan uang milik Negara serta pendapatan Negara bukan pajak (PNBP) Kejaksaan  dan mengelola barang rampasan.
14.
Menetri keuangan dengan PERATURAN MENTERI KEUANGAN NO. 03/PMK.08/2011 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara yang berasal dari barang rampasan Negara dan gratifikasi, mengakui dan penegasan fungsi manajemen asset pro yustisi kejaksaan  seperti pada pasal 8 dan pasal 9 yang menyebutkan Jaksa Agung sebagai Pengurus Barang rampasan  Negara.

Syarat Arbitrase


Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa  (3).

UU NO. 30 TAHUN 1999

Datun
Syarat Arbitrase

1
Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase.
2.
Dalam hal timbul sengketa, pemohon harus memberithaukan dengan surat tercatat, telegram, teleks, facsimile, e-mail atau dengan buku ekspedisi kepada termohon bahwa syarat arbitrase yang diadakan oleh pemohon atau termohon berlaku.
3.
Surat pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase sebagai mana dimaksud dalam ayat 1 memuat dengan jelas :

a.
Nama dan alamat para pihak;

b.
Penunjukan kepada klausulu atau perjanjian arbitrase yang berlaku;

c.
Perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa;

d.
Dasar tuntutan dan jumlah yang dituntut, apabila ada;

e.
Cara penyelesaian yang dikehendaki; dan

f.
Perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah artiber atau apabila tidak pernah diadakan perjanjian semacam itu, pemohon dan mengajukan usul tentang jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil.
4.
Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditanda tangani oleh para pihak.
5.
Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris.
Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus memuat :

a.
Masalah yang dipersengketakan;

b.
Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;

c.
Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter dan majelis arbitrase;

d.
Tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan;

e.
Nama lengkap sekretaris;

f.
Jangka waktu penyelesaian sengketa;

g.
Pernyataan kesediaan dari arbiter; dan

h.
Pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
6.
Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan tersebut di bawah ini :

a.
Meninggalnya salah satu pihak;

b.
Bangkrutnya salah satu pihak;

c.
Novasi;
Yang dimaksud  dengan novasi adalah Pembaharuan utang.

d.
Insolvensi salah satu pihak : yang dimaksud dengan insolvensi adalah keadaan tidak mampu membayar;

e.
Pewarisan;

f.
Berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok.

g.
Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan  pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut; atau

h.
Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.
7.
Penunjukan dua orang arbiter oleh para pihak memberi wewenang kepada dua arbiter tersebut untuk memilih dan menunjuk arbiter yang ketiga;

Arbiter ketiga sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diangkat sebagai ketua majelis arbitrase;
Apabila dalam waktu paling lama 30 hari setelah pemberitahuan diterima oleh termohon sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat 1, dan salah pihak ternyata tidak menunjuk seseorang yang akan menjadi anggota majelis arbitrase, arbiter yang ditunjuk oleh pihak lainnya akan bertindak sebagai arbiter tunggal dan putusannya mengikat kedua belah pihak.

Pelaksanaan Putusan dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Nasional/Internasional)


Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa  (8).

UU NO. 30 TAHUN 1999

Datun
Pelaksanaan Putusan Arbitrase

ARBITRASE NASIONAL

1
Dalam waktu paling lama 30 hari  terhitung sejak tanggal diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasannya kepada Penitera Pengadilan Negeri.
2.
Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.
3.
Perintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 61 diberikan dalam waktu paling lama 30 hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri.
4.
Putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Negeri, dilaksankan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
ARBITRASE INTERNASIONAL
1.
Yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah pengadilan negeri Jakarta Pusat.
2.
Putusan arbitrase internasional hanya diakui serta dapat dilaksankan diwilayah hukum republic Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a.
Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase disuatu Negara yang dengan Negara Indonesia  terikat dengan perjanjian, baik secara bilateral maupul multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.

b.
Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dengan huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.
Yang dimaksud dengan “ruang lingkup hukum perdagangan’ adalah kegiatan-kegiatan antara lain bidang :

-
Perniagaan;

-
Perbankan;

-
Keuangan;

-
Penanaman modal;

-
Industry;

-
Hak kekayaan intelektual.
3.
Permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter  atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Penyampaian berkas permohonan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus disertai dengan :

a.
Lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase internasional, sesuai dengan ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahkan resminya dalam bahasa Indonesia.

b.
Lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar putusan arbitrase internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan anskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia; dan

c.
Keterangan dari perwakilan diplomat republic Indonesia dinegara tempat putusan arbitrase internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa Negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan Negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanan putusan arbitrase Internasional.
4.
Terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 huruf d yang mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase internasional, tidak dapat diajukan banding atau kasasi.
5.
Setelah ketua Pengadilan Jakarta Pusat memberikan  perintah eksekusi sebagaimana dimaksud dalam pasal 64, maka pelaksanan selanjutnya dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang secara relative berwenang melaksankan putusannya.
Sita eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan serta baeang milik termohon eksekusi.
Tata cara penyitaan serta pelaksanaan putusan mengikuti tata cara sebagaimana ditentukan oleh Hukum Acara Perdata.