Bolehkah
Jaksa Pengacara Negara
mewakili Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
dalam menghadapi gugatan perdata dan tata usaha negara?
|
|
Sampai saat ini, akademisi dan praktisi hukum Indonesia belum
sepaham memberikan jawaban.
|
|
Ada
yang menganggap tak ada yang salah dengan pendampingan hukum itu, tetapi ada
juga yang berpendapat sebaliknya.
|
|
Prakteknya, puluhan BUMN/BUMD menjalin
kerjasama dengan kejaksaan. Kejaksaan mewakili pemerintah atau negara dengan
kuasa khusus menghadapi gugatan perdata dan tata usaha negara.
Wewenang
ini tegas dinyatakan dalam UU No. 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Tetapi bagi sebagian orang, Kejaksaan tak
boleh mewakili BUMN karena kekayaan BUMN adalah kekayaan negara yang
dipisahkan. Dengan konsep ini BUMN dipahami sebagai entitas privat, yang tak
seharusnya menggunakan organ negara sebagai kuasa hukumnya.
|
|
Perbedaan
pandangan di kalangan praktisi dan akademisi tak lepas dari sumber hukum yang
mengaturnya.
Advokat
Fredrich Yunadi, misalnya, termasuk yang menganggap Jaksa Pengacara Negara
(JPN) tak bisa mewakili BUMN. Ia menunjuk Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)
No. 07 Tahun 2012.
|
|
Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 07 Tahun 2012 :
|
|
Berdasarkan
penelusuran hukumonline, SEMA No. 07 Tahun 2012 mengatur tentang
Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman
Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Poin yang dirujuk Fredrich ada dalam
lampiran, pada bagian Hasil Rapat Kamar Perdata Subkamar Perdata Umum. Di
situ disebutkan tegas “Jaksa sebagai Pengacara Negara tidak dapat
mewakili BUMN (Persero), karena BUMN tersebut berstatus badan hukum privat
(vide Pasal 11 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN”.
|
|
Tetapi
dari korps adhyaksa, bantuan hukum terhadap BUMN sudah sering dilakukan.
Bahkan Peraturan Jaksa Agung (Perja) No. 040/A/J.A/12/2010 secara tegas
menyebut BUMN/BUMD. Perja ini mengatur tentang Standar Operasi Prosedur
Pelaksanaan Tugas, Fungsi, dan Wewenang Perdata dan Tata Usaha Negara.
|
|
Pasal
3 Perja mengatur apa saja bentuk ‘layanan’ hukum yang diberikan JPN.
Misalnya,
bantuan hukum. Berdasarkan Perja, bantuan hukum adalah tugas JPN dalam
perkara perdata dan tata usaha negara untuk mewakili lembaga negara, instansi
pemerintah di pusat atau daerah, BUMN/BUMD, berdasarkan surat kuasa khusus,
baik sebagai penggugat maupun tergugat yang dilakukan secara litigasi atau
non-litigasi.
|
|
Sebutan
BUMN/BUMD juga tercantum dalam ‘layanan’ pertimbangan hukum dan tindakan hukum
lain yang disediakan JPN.
|
Senin, 19 Januari 2015
Bolehkah JPN mewakili BUMN/D dalam menghadapi gugatan Datun?
Rabu, 03 Desember 2014
Kekuatan Pembuktian Alat Bukti
KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI
Azas dalam
pembuktian dibutuhkan bukti minumum yaitu : |
|||||||
1. |
Alat bukti
yang sah; |
||||||
2. |
Mencari kebenaran
materiil (materil waarheid). |
||||||
a. |
Keterangan
saksi; |
||||||
- |
syarat :
yang dilihat sendiri, didengar sendiri, dialami sendiri, serta menyebut
alasan pengetahuan. |
||||||
- |
diberikan
di persidangan di bawah sumpah |
||||||
- |
didukung
oleh keterangan saksi lain / alat bukti lain (Unus testis Nulus testis). |
||||||
Keterangan
saksi yang bukan alat bukti (Pasal 185 ayat 1 KUHAP) : |
|||||||
1. |
Testimonium
de auditu |
||||||
2. |
Pendapat,
pikiran, rekaan – MARI 15 Maret 1984 No. PK/Pid/1983. |
||||||
3. |
Tanpa
sumpah – dilluar persidangan |
||||||
4. |
Hubungan
keluarga, kecuali ybs menghendakinya dengan PU dan terdakwa setuju mereka
boleh didengar dengan sumpah Psl 168 KUHAP. |
||||||
5. |
Anak-anak
dibawah 15 tahun, belum pernah kawin orang sakit ingatan (Psl
171 KUHAP) |
||||||
- |
Dapat
dipakai sebagai penguat keyakinan Hakim |
||||||
- |
Dapat
dipakai sebagai petunjuk |
||||||
- |
Keterangan saksi yang disampaikan di sidang
pengadilan mempunyai kekuatan
pembuktian bebas, jadi tidak
sempurna (Volledig Bewijskracht) dan menentukan (Beslissend) tergantung
penilaian Hakim.
|
||||||
Keterangan
ahli |
|||||||
- |
Alat
bukti baru dalam Hukum Pembuktian di Indonesia. |
||||||
Ada 2
(dua) macam ahli : |
|||||||
1. |
Ahli
Forensik/Visum Et Repertum dapat merupakan alat bukti surat |
||||||
2. |
Ahli
lainnya |
||||||
- |
Diberikan
di depan penyidik/PU |
||||||
- |
Ahli
mempunyai keahlian khusus untuk menjelaskan tentang pelaku dan diberikan
menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya. |
||||||
- |
Diberikan
di Persidangan |
||||||
- |
Kekuatan
pembuktian bebas : tidak mengikat, dan tidak
menentukan. |
||||||
Surat |
|||||||
- |
Surat
dalam bentuk resmi dibuat oleh pejabat umum |
||||||
- |
Dibentuk
menurut ketentuan UU oleh pejabat tertentu di ;ingkup tugasnya |
||||||
- |
Surat
keterangan ahli |
||||||
- |
Surat
lain yang ada hubungannya dengan isi alat bukti lain |
||||||
- |
Kekuatan
pembuktian bersifat bebas |
||||||
Keterangan
terdakwa |
|||||||
- |
Menggantikan pengakuan terdakwa yang merupakam Regina Probationis. |
||||||
- |
Keterangan
terdakwa bisa : |
||||||
- |
Berisi
pengakuan |
||||||
- |
Keterangan
tentang pengingkaran |
||||||
- |
Syarat
keterangan terdakwa : |
||||||
- |
Diberikan
di persidangan |
||||||
- |
Pernyataan
tentang apa yang diperbuat |
||||||
- |
Pernyataan
tentang apa yang diketahui dan dialaminya sendiri |
||||||
- |
Hanya
berlaku bagi dirinya sendiri |
||||||
Keterangan
terdakwa di luar sidang hanya dapat membantu menemukan bukti di sidang : |
|||||||
- |
Diberikan
kepada penyidik |
||||||
- |
Dibuatkan
Berita Acara |
||||||
- |
Ditandatangani
oleh penyidik dan terdakwa ( Psl 189 ayat (2) KUHAP ) |
||||||
BEBAN
PEMBUKTIAN (ONUS PROBATIO) |
|||||||
Dalam
perkara korupsi : |
|||||||
a. |
Beban
Pembuktian pada penuntut umum (beban pembuktian biasa) Penuntut umum yang
mendakwa, PU yang diberi beban membuktikan berupa |
||||||
- |
Tindak
pidana yang terjadi yang dirumuskan dalam dakwaan yang berisi semua unsur
tindak pidana (bestandelen) |
||||||
- |
Bahwa
terdakwalah yang bersalah atas tindak pidana yang terjadi Dengan menggunakan alat-alat bukti sesuai UU : ▪ Alat bukti KUHAP dan ▪ Alat bukti petunjuk (pasal 26A UUPTPK) |
||||||
b. |
Beban
Pembuktian Terbalik (psl. 37 UUPTPK) –
Omkering van Bewijslast. |
||||||
- |
Delik
suap, menerima gratifikasi dengan nilai Rp.10 juta ke atas – beban pembuktian
pada terdakwa 9pasal 12b) |
||||||
Dapat
menentukan putusan bebas karena : |
|||||||
- |
tidak
terbukti dakwaan |
||||||
- |
keyakinan
Hakim tidak menjadi dasar (pasal 37 dan penjelasannya) |
||||||
- |
tidak
jelas apakah PU dapat menggagalkan bukti-bukti yang dikemukakan terdakwa
sebagaimana pada putusan bebas pembuktian biasa. |
||||||
- |
Terhadap
harta milik yang belum didakwakan (pasal 38b) PU pada pembacaan tuntutan menuntut juga perampasan benda-benda yang tidak didakwa. Terdakwa wajib membuktikan bahwa benda-benda tersebut bukan merupakan hasil korupsi. |
||||||
Beban
Pembuktian Terbalik Terbatas/Berimbang Terbalik (diatur dalam psl 37a UUPTPK) |
|||||||
- |
Beban
pembuktian ada pada terdakwa. |
||||||
- |
dalam
hal kekayaannya tidak berimbang dengan penjelasan / sumber perngadaan
kekayaannya |
||||||
- |
yang
diduga ada hubungannya dengan perkara yang didakwakan kepadanya. |
||||||
- |
Disamping
itu beban pembuktian ada pada PU pada perkara pokok yang diatur dalam pasal
2,3,4,13,14,15,16 dan pasal 5 s/d pasal 12. |
||||||
- |
Ketidakberhasilan
terdakwa membuktikan / memperkuat bukti pada TPK pokok merupakan alat bukti
tambahan. |
||||||
Penelitian Perkara dan Pemeriksaan Tambahan
Penelitian Perkara dan Pemeriksaan Tambahan
|
||
Menurut
Remmelink hukum pidana bukan tujuan pada diri sendiri tetapi ditujukan untuk
menegakan tertib hukum, melindungi masyarakat hukum. Menurut
C. Beccaria, tujuan hukum pidana tiada lain agar penjahat tidak lagi
melakukan kejahatan dan orang lain ngeri melakukan hal yang sama. Dari kedua
pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk
melindungi masyarakat dan menciptakan ketertiban.
|
||
Dalam
hal terjadi pelanggaran terhadap hukum pidana maka hukum akan bertindak
melalui instrumennya yaitu para penegak hukum. Para penegak hukum akan
memproses suatu perkara mulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan,
penuntutan sampai dengan pada proses pemeriksaan di pengadilan. Hal ini
dimaksudkan untuk mencari kebenaran materiil yang merupakan tujuan dari hukum
acara pidana.
|
||
Hubungan
antara penyidik dengan jaksa penuntut umum dalam proses pidana sangat erat.
Mulai dari proses penangkapan, penahanan sampai dengan proses penyerahan
tersangka dan barang bukti, semuanya atas koordinasi antara penyidik dengan
jaksa sebagai penuntut umum.
|
||
Dalam
pelaksanaan tugasnya menangani perkara pidana, antara penyidik dan penuntut
umum terjalin hubungan yang bersifat fungsional dan instansional.
|
||
Yang
dimaksud dengan koordinasi fungsional adalah hubungan kerja sama antara
penyidik dan penuntut umum menurut fungsi dan wewenangnya masing-masing dalam
penanganan perkara pidana. Hubungan tersebut adalah hubungan kerja sama yang
bersifat saling mengawasi antara penyidik dengan penuntut umum dalam proses
penanganan perkara pidana. Hubungan ini diatur di dalam KUHAP. Sedangkan
hubungan yang bersifat instansional adalah hubungan yang bersifat instansi
antara kepolisian dengan kejaksaan yaitu diatur dengan petunjuk teknis atau
petunjuk palaksanaan yang dikeluarkan oleh masing-masing pimpinan instansi
maupun yang dikeluarkan dalam bentuk produk bersama. Hubungan antara penyidik
dengan jaksa pada perkara pidana,dimulai sejak penyidik mengirimkan surat
pemberithuan dimulainya penyidikan (SPDP) kepada jaksa. Hal ini sebagai bentuk koordinasi penyidik
kepada jaksa bahwa penyidik telah mulai melakukan tindakan penyidikan setelah
melalui proses penyelidikan.
|
||
SPDP
bertujuan untuk mempersiapkan penuntutan, agar jaksa penuntut umum mengikuti
perkembangan pernyidikan suatu perkara yang akan dijadikan dasar penuntutan.
Selain dari pemberitahuan dimulainya penyidikan, penyidik juga berkoordinasi dalam hal penangkapan, penahanan, perpanjangan penahanan, penyitaan, penyerahan berkas perkara, sampai dengan penghentian penyidikan harus memberitahukan kapada jaksa. |
||
Penyerahan
berkas perkara dari penyidik kepada jaksa penuntut umum dalam prakteknya
disebut sebagai penyerahan tahap I. Penyerahan tahap I dilakukan setelah
penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dinyatakan cukup dan dapat diajukan
kepada jaksa/penuntut umum kemudian dituangkan dalam bentuk berkas perkara
dan diserahkan kepada jaksa penuntut umum untuk diperiksa dan sebagai dasar
penuntutan perkara pidana.
|
||
Apabila
jaksa penuntut umum berpendapat masih terdapat kekurangan baik secara formil
maupun materiil dari berkas perkara tersebut maka jaksa penuntut umum
memberitahukan hal itu kepada penyidik dengan menggunakan surat model P-18
perihal pemberitahuan bahwa berkas perkara hasil penyidikan belum lengkap dan
segera dilakukan penyidikan tambahan, dan surat model P-19 yang berisi
petunjuk yang harus dilengkapi. Dan
dalam waktu 14 hari penyidik wajib menyampaikan kembali berkas perkara yang
sudah dilengkapi kepada jaksa penuntut umum.
|
||
Apabila
dalam jangka waktu yang ditentukan tersebut penyidik tidak menyerahkan
kembali berkas perkara maka jaksa penuntut umum harus mengirimkan surat
susulan kepada penyidik dengan menggunakan formulir model P-20 yang isinya
mengingatkan/meminta perhatian agar penyidik secepatnya menyelesaikan
penyidikan tambahan dan segera menyerahkan kembali berkas perkara kepada
jaksa penuntut umum.
|
||
Setelah
dilakukan penyidikan tambahan dan berkas disampaikan kembali kepada jaksa
penuntut umum, ternyata menurut penilaian jaksa masih belum lengkap maka
penyidik harus melengkapi lagi, dan begitu seterusnya hingga jaksa
berpendapat bahwa berkas telah lengkap dan dapat dilanjutkan pada Penyerahan
Tahap II.
|
||
Penyidik
dalam melakukan penyidikan tambahan, ternyata tidak mampu melengkapi petunjuk
dari jaksa penuntut umum maka dalam hal ini untuk menghindari kekecewaan dan
ketidakadilan yang dirasakan oleh korban tindak pidana, dan lepasnya seorang
tersangka/terdakwa dari tuntutan hukum, yang berakibat pada tidak tercapainya
tujuan hukum pidana. Seharusnya jaksa dapat melakukan pemeriksaan tambahan
untuk melanjutkan memeriksa perkara dan untuk menunjang pembuktian pada
proses penuntutan.
|
||
Pemeriksaan
tambahan untuk menunjang pembuktian dalam suatu perkara pidana termaktub
dalam perumusan pada Pasal 30 (1) huruf e Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004
Tentang Kejaksaan RI yaitu melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu
dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang
dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Untuk mengetahui
pengertian dari pemeriksaan tambahan maka perlu diketahui mengenai
kelengkapan berkas perkara.
|
||
Berkas
perkara dapat dinyatakan lengkap apabila telah memenuhi syarat formil dan
materiil.
Syarat formil adalah kelengkapan dalam hal surat-surat atau dokumen yang harus dilengkapi misalnya, Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), Surat Perintah Penyidikan, Surat Perintah Penangkapan, Surat Perintah Penahanan, Laporan Polisi, Berita Acara Pemeriksaan Saksi, Berita Acara Pemeriksaan Tersangka, Berita Acara Penahanan,dan lain-lain sesuai dengan yang tercantum dalam lampiran Petunjuk Teknis Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor B-401 /E/9/1993 tentang Pelaksanaan Tugas Prapenuntutan. Sedangkan kelengkapan materiil berkas perkara adalah hal-hal yang menyangkut isi atau fakta-fakta hukum yang terdapat dalam berkas perkara, misalnya unsur delik yang disangkakan, alat bukti, kejadian perkara. |
||
Dari
penjelasan mengenai kelengkapan berkas perkara maka dapat disimpulkan bahwa
pemeriksaan tambahan adalah semua tindakan yang ditujukan untuk melengkapi
berkas perkara, yaitu antara lain; memanggil dan memeriksa saksi, ahli,
tersangka, memeriksa surat serta menggeledah dan menyita serta semua tindakan
yang dilaksanakan untuk mencari alat bukti guna melengkapi berkas perkara.
|
||
Dalam
Pasal 203 ayat 3 huruf b KUHAP yang berbunyi, sebagai berikut :
“Dalam hal Hakim memandang perlu pemeriksaan tambahan supaya diadakan pemeriksaan tambahan dalam waktu paling lambat 14 hari dan bilamana dalam waktu tersebut Penuntut Umum juga dapat menyelesaikan pemeriksaan tambahan, maka Hakim memerintahkan perkara itu diajukan ke sidang Pengadilan dengan acara biasa”. |
||
Jadi
Perbedaan prinsipil pada kedua pemeriksaan tambahan tersebut adalah :
Pemeriksaan tambahan yang dilakukan Penuntut Umum atas dasar Pasal 30 (1)
huruf e Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004; Dilakukan atas inisiatif dari
Penuntut Umum dan dilakukan sebelum perkara dilimpahkan ke Pengadilan negeri.
Sedangkan pemeriksaan tambahan yang dilakukan penuntut Umum atas dasar Pasal
203 (3) huruf b KUHAP; Dilakukan atas permintaan Hakim dan dilakukan sesudah
perkara dilimpahkan ke Pengadilan Negeri. Hanya dalam acara pemeriksaan
singkat, yaitu perkara-perkara kejahatan/ pelanggaran yang tidak termasuk
ketentuan Pasal 205 KUHAP, yang menurut Penuntut Umum, pembuktian serta
penerapan hukumya mudah dan sifatnya sederhana.
Dalam kaitannya dengan
pemeriksaan tambahan dari perumusan Pasal 30 (1) huruf e Undang-undang Nomor
16 Tahun 2004 dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan tambahan hanya dapat
dilakukan terhadap :
|
||
1.
|
Perkara-perkara yang sulit
pembuktiannya ;
|
|
2.
|
Perkara-perkara yang dapat
meresahkan masyarakat;
|
|
3.
|
Perkara-perkara yang dapat
membahayakan keselamatan negara.
|
|
|
Sedangkan untuk
perkara-perkara lain yang tidak termasuk salah satu dari 3 kriteria tersebut
diatas tidak dilakukan pemeriksaan tambahan oleh Jaksa Penuntut Umum, akan
tetapi pemeriksaan tambahan yang dilakukan hanyalah oleh penyidik atas
permintaan / petunjuk Jaksa Penuntut Umum.
Pemeriksaan tambahan yang dilakukan oleh penyidik atas petunjuk dari Jaksa Penuntut Umum biasa dikenal dengan penyidikan tambahan. Penyidikan tambahan dilakukan dengan memperhatikan dasar hukum pada KUHAP, sebagai berikut: |
|
1.
|
“Dalam hal Penuntut Umum
berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap,
Pasal 110 ayat (2) KUHAP mengaturnya bahwa Penuntut Umum segera mengembalikan
berkas perkara itu kepada Penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi.
|
|
2.
|
Dan Pasal 110 ayat (3)
KUHAP menyebutkan “Dalam hal Penuntut Umum mengembalikan hasil penyidikan
untuk dilengkapi Penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai
dengan petunjuk Penuntut Umum”.
|
|
3.
|
Pasal 138 ayat (2) KUHAP
“Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap Penuntut Umum
mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik disertai petunjuk tentang hal
yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu 14 hari sejak tanggal
penerimaan berkas perkara kepada Penuntut Umum”.
|
|
Pemeriksaan
tambahan dilakukan dengan tujuan untuk mewujudkan salah satu asas dalam hukum
acara pidana yaitu asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Hal ini
dimaksudkan demi terciptanya kepastian hukum dan menghormati hak asasi
tersangka.
|
||
Asas
peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan disebutkan dalam Undang-Undang
Pokok Kekuasaan Kehakiman yaitu pada pasal 4 ayat 2 yang berbunyi ; Peradilan
dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Ketentuan ini
dimaksudkan untuk memenuhi harapan para pencari keadilan. Yang dimaksud
dengan ”sederhana” adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan
dengan acara yang efisien dan efektif. Yang dimaksud dengan ”biaya ringan”
adalah biaya perkara yang dapat terpikul oleh rakyat. Dan “cepat” berarti
bahwa peradilan harus dilaksanakan secara cepat yang diwujudkan melalui kata
segera dalam KUHAP, untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada
keputusan hakim yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Namun demikian,
dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak mengorbankan ketelitian
dalam mencari kebenaran dan keadilan.
|
||
Menurut
Ramelan, bahwa pemeriksaan tambahan tidak dapat mengatasi masalah bolak balik
perkara yang menyebabkan tidak terwujudnya asas peradilan sederhana, cepat
dan biaya ringan. Hal ini karena pemeriksaan tambahan dalam pelaksanaannya
tidak di optimalkan artinya jarang dilakukan dan karena undang-undang tidak
menentukan kapan pemeriksaan tambahan dapat dilakukan, apakah setelah dua
kali, tiga kali atau berapa kali bolak balik berkas perkara.
|
||
Dalam
praktek, pemeriksaan tambahan sangat jarang dilakukan dalam menyelesaikan
perkara pidana. Dengan tidak berjalannya pemeriksaan tambahan maka akibatnya
adalah tidak terwujudnya asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Karena dapat terjadi bolak balik berkas perkara antara penyidik dengan jaksa
penuntut umum apabila pada pengembalian berkas hasil penyidikan tambahan
ternyata tidak dapat dipenuhi petunjuk jaksa penuntut umum. Hal ini sangat
merugikan para pencari keadilan karena proses menuju penuntutan dan
pemeriksaan di persidangan menjadi lebih lama.
|
||
Tidak
optimalnya pelaksanaan pemeriksaan tambahan berakibat pada dihentikannya
penyidikan oleh penyidik. Apabila penyidik menyatakan sudah tidak mampu lagi
melengkapi petunjuk dari jaksa maka penyidik menyimpulkan bahwa perkara
tersebut kurang alat bukti atau bukan merupakan perkara pidana, dan akhirnya
penyidik mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan.
|
||
Dengan
dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan ini maka korban dari
tindak pidana merasa dirugikan karena tersangka/terdakwa dibebaskan, dan
masyarakat juga dirugikan karena tindak pidana yang dilakukan oleh
tersangka/terdakwa telah meresahkan masyarakat tidak dapat ditindak lanjuti
menurut proses hukum pidana serta tujuan dari hukum pidana dan hukum acara
pidana tidak terwujud.
|
||
Oleh
karena itu, maka pemeriksaan tambahan seharusnya dapat dioptimalkan demi
tercapainya tujuan dari hukum pidana yakni menegakan tertib hukum dan
melindungi masyarakat. Serta tujuan dari hukum acara pidana juga akan
tercapai yaitu mencari kebenaran materiil, sebab dengan dilakukan pemeriksaan
tambahan diharapkan dapat menemukan fakta-fakta baru guna menunjang proses
penuntutan perkara dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
|
Prapenuntutan
Prapenuntutan
Pengertian prapenuntutan terdapat istilah penyidikan. Hal ini diatur Didalam pasal 1 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Penyidikan dilakukan oleh pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, hal ini disebutkan didalam pasal 6 ayat 1 KUHAP.
| ||
Setelah penyidikan dinyatakan selesai maka KUHAP mengatur dalam pasal 110 ayat 1 KUHAP, yang berbunyi “Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum”. Hal ini untuk memenuhi asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.
| ||
Berkas perkara diterima oleh jaksa/penuntut umum kemudian jaksa memulai untuk mempelajari dan meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan tersebut, dan apabila terdapat kekurangan baik secara formil maupun materiil maka jaksa/penuntut umum segera memberitahukan kepada penyidik untuk dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk yang harus dilengkapi. Dan jika jaksa/penuntut umum menyatakan berkas telah lengkap maka perkara tersebut segera untuk dilimpahkan ke pengadilan dan proses prapenuntutan telah selesai kemudian masuk ke proses penuntutan.
| ||
Selain pemeriksaan tambahan yang dilakukan oleh penyidik dalam tingkat prapenuntutan dengan pedoman pada petunjuk Jaksa Penuntut Umum. Jaksa Penuntut Umum juga dapat melakukan pemeriksaan tambahan baik yang dilakukan pada penyerahan tahap I dan setelah penyerahan tahap II (Penyerahan fisik, penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti) yang dilakukan oleh pihak penyidik kepada Penuntut Umum.
| ||
Jaksa/Penuntut Umum dapat melakukan pemeriksanaan tambahan untuk perkara-perkara tertentu. Pemeriksaan tambahan disebutkan pada perumusan Pasal 30 ayat (1) huruf e Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004, yang berbunyi “melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik”.
| ||
Hal ini dilakukan apabila Penuntut Umum masih menganggap kurangnya alat bukti yang ada namun dalam praktek timbul permasalahan, mengingat batas waktu 14 hari untuk penyelesaian pemeriksaan tambahan terlalu singkat; keragu-raguan tentang dapat atau tidak dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan. Meskipun terdapat dasar hukum untuk dapat melakukan pemanggilan saksi dan ahli yang berbunyi : Pemanggilan saksi/ahli dilakukan secara langsung oleh Jaksa Penuntut Umum atau dengan bantuan instansi lain. Tetapi hal ini masih dianggap kurang karena untuk mencari kelengkapan berkas perkara tidak hanya bisa melalui saksi tetapi juga hal-hal lain untuk mendukung pembuktian dalam proses penuntutan jaksa penuntut umum.
| ||
Dengan berdasarkan pada perumusan Pasal 30 ayat (1) huruf e Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, pada kenyataannya masih terdapat banyak hambatan dalam melakukan pemeriksaan tambahan meskipun dalam penjelasan telah dijelaskan bahwa antara lain sebagai berikut :
| ||
a.
|
Tidak dilakukan terhadap tersangka ;
| |
b.
|
Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya dan atau dapat meresahkan masyarakat dan atau dapat membahayakan keselamatan negara ;
| |
c.
|
Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 hari setelah dilakukan ketentuan Pasal 110 dan Pasal 138 ayat (2) KUHAP ;
| |
d.
|
Prinsip koordinasi dan kerja sama dengan penyidik.
| |
Dari penjelasan tersebut diatas, dapat dilihat bahwa pemeriksaan tambahan dalam pelaksanaannya kurang optimal artinya jarang sekali dilakukan, padahal hal tersebut penting guna memperoleh pembuktian yang cukup/lengkap dalam penanganan suatu perkara dan kepastian hukum serta penegakan hukum yang maksimal. Kekurangan ini menyebabkan ketidakadilan karena perkara yang merugikan korban tidak disidik secara maksimal, dan masyarakat juga dirugikan karena perkara yang meresahkan masyarakat tidak dapat dimaksimalkan penyidikannya.
| ||
Dengan tidak dilaksanakannya pemeriksaan tambahan maka akibat yang ditimbulkannya adalah bebasnya tersangka/terdakwa. Karena penyidik tidak dapat memenuhi petunjuk yang harus dilengkapi guna pemeriksaan tingkat penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan yang berujung pada dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
| ||
Selasa, 25 November 2014
Perbenturan Kepentingan Jaksa Sebagai Jaksa Pengacara Negara
“Perbenturan Kepentingan
Jaksa Sebagai Jaksa Pengacara Negara”// (contoh
kasus)//
|
|
|
|
Permasalahan pokok yang terjadi pada fungsi Jaksa
sebagai jaksa pengacara negara terletak pada kedudukan struktural mereka yang
berada di bawah Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara yang
akan berimbas pada letak pertanggungjawaban kepada Jaksa Agung.
Salah satu contoh perbenturan kepentingan ini
terjadi pada sengketa tanah antara PT. PELINDO dengan warga di Makassar.
Dalam kasus sengeketa tanah tersebut terjadi
dalam proses perkara pidana dan perkara perdata. Dalam perkara pidana Jaksa yang bertindak sebagai jaksa penuntut umum
menuntut warga melakukan tindak pidana penyerobotan berdasarkan laporan dari
PT.Pelindo, namun majelis hakim memutus bahwa Perbuatan Terdakwa adalah bukan
perbuatan pidana dan menyatakan terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum,
dengan pertimbangan bahwa status hak atas tanah harus dibuktikan dulu dalam
sidang perkara perdata.
Setelah itu, pihak
Kejaksaan selanjutnya bertindak dalam kapasitas sebagai Jaksa Pengacara
Negara (kuasa hukum PT. Pelindo) melakukan pemanggilan kepada satu-persatu
warga (termasuk mantan Terdakwa yangg diputus lepas) untuk melakukan
negosiasi mengenai objek tanah yg disengketakan.
Dalam contoh kasus
tersebut sangat jelas terjadi “konflik kepentingan, pada satu sisi Kejaksaan
bertindak sebagai Jaksa Penuntut Umum untuk menegakkan dan menerapkan hukum
pidana materiil secara objektif dan proporsional, namun pada sisi lain pada
kasus pokok yang sama bertindak sebagai Jaksa Pengacara Negara mewakili
kepentingan keperdataan PT. Pelindo.
|
|
|
|
Kasus selanjutnya
yang sempat marak ialah dalam sengketa pemilihan presiden (pilpres),
keterlibatan Jaksa Pengacara Negara mewakili Komisi Pemilihan Umum (KPU)
juga sempat menimbulkan sengketa di Mahkamah Konstitusi. Kala itu, Kubu
Megawati Soekarnoputri protes. Mereka menilai Komisi Pemilihan Umum seakan
tidak netral menggunakan Jaksa Pengacara Negara yang berada langsung di bawah
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga menjadi pihak terkait dalam
sengketa pilpres itu. Putusan Mahkamah Konstitusi memang
membolehkan Jaksa Pengacara Negara menjadi kuasa hukum Komisi Pemilihan Umum
dalam sengketa pilpres ini. Namun Mahkamah berpendapat bahwa di masa datang
hal tersebut akan dipertimbangkan kembali demi menjaga independensi dan
netralitas Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara pemilu.
|
|
|
|
Ketika Jaksa sebagai
Jaksa Pengacara Negara berkedudukan berada dibawah Jaksa Agung maka akan
menimbulkan perbenturan kepentingan. Jaksa Pengacara Negara merupakan sebuah
kantor sendiri yang berisi profesional hukum perlu penyempurnaan yaitu :
|
|
1.
|
Delegasi Kewenangan;
Delegasi kewenangan dilakukan melalui pemisahan antara Jaksa yang bertugas
sebagai penuntut dengan Jaksa yang bertugas sebagai advokat negara. Didalam
tubuh kejaksaan agung dibentuk kantor advokat negara yang dipimpin oleh Jaksa
Agung. Dengan adanya pemisahan kewenangan disini diharapkan tidak lagi
terdapat conflict of interest yang terjadi antara fungsi
penuntutan dengan fungsi sebagai kuasa khusus untuk bertindak baik di dalam
maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau pemerintah dalam
bidang perdata dan tata usaha Negara. Mereka yang bertindak sebagai advokat negara
tidak dapat berkedudukan ganda sebagai jaksa penuntut. Walaupun tetap berada
dibawah komando Jaksa Agung, diharapkan melalui pendelegasian kewenangan ini
tercipta sebuah indepedensi agar kedepannya tidak lagi ada conflict
of interest seperti kasus-kasus seperti diatas.
|
2.
|
Kantor Advokat Negara Professional;
Yang kami maksud disini sebagai Kantor
Advokat Negara ialah bahwa nantinya Kantor Advokat Negara yang berada dibawah
Jaksa Agung tersebut menjadi sebuah kantor professional yang dapat merekrut
advokat/ahli hukum professional untuk bertindak sebagai advokat negara.
Kantor Advokat Negara tidak hanya berisi jaksa yang bertindak sebagai advokat
negara melainkan juga advokat/ahli hukum professional yang direkrut oleh
Jaksa Agung untuk bertindak sebagai advokat negara. Konsep seperti ini
mungkin bisa kita contoh dari Australia. Di Australia Kantor Advokat negara
merupakan sebuah institusi profesional. Advokat dari Kantor Advokat Negara
tidak hanya dinaungi oleh Jaksa sebagai Advokat Negara, namun juga para
advokat/ahli hukum professional yang direkrut oleh Kejaksaan Agung Australia
untuk menjadi advokat negara.
Kualifikasi untuk menjadi Advokat
Negara dan pembelajaran berkelanjutan Seperti yang telah dikemukakan diatas
untuk dilakukan pendelegasian kewenangan melalui pemisahan kewenangan antara
fungsi penuntutan dan fungsi sebagai kuasa khusus untuk bertindak baik di
dalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau pemerintah
dalam bidang perdata dan tata usaha Negara. Nantinya pemisahan kewenangan
fungsi tersebut akan berimbas pada pemisahan pelatihan bagi para calon jaksa.
Calon jaksa penuntut akan menjalani pelatihan sebagai jaksa penuntut dan
calon jaksa yang akan menjadi advokat negara akan menjalani pelatihan sebagai
advokat negara.
|
Bahwa fungsi Jaksa sebagai kuasa
khusus untuk bertindak baik di dalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas
nama Negara atau pemerintah dalam bidang perdata dan tata usaha Negara merupakan
sebuah fungsi yang vital dan tetap harus dipertahankan, namun harus terdapat
perbaikan baik itu dari sisi struktural, tekhnis kerja internal dan sistem
rekruitmen.
|
|
Sumber : http://www.pemantauperadilan.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=232:tugas-dan-wewenang-kejaksaan-dalam-bidang-perdata-dan-tata-usaha-negara&catid=53:opini&Itemid=173
|
Langganan:
Postingan (Atom)