Advokat dan fee dalam menangani kasus
Advokat sebagai professional
selain dituntut untuk memenuhi tanggung jawab
kepada masyarakat juga dituntut memenuhi kebutuhan materinya.
Para advokat harus menentukan pilihan dimana posisi
mereka dalam hal honorarium atau legal fee ini.
Advokat
sering dikatakan sebagai profesi yang terhormat (officum nobile). Padangan tersebut lahir
dari fungsi kemasyarakatan yang dijalankan oleh profesi advokat. Orang yang menjalankan fungsi kemasyarakatan tersebut didorong oleh
penghormatan atas martabat manusia. Karena landasannya
adalah penghormatan atas martabat manusia dan menuntut
keahlian serta sikap etis maka pekerjaan advokat dipandang sebagai pekerjaan bermartabat.
Kegiatan profesional harus dibedakan dari kegiatan bisinis,
terutama pada pencapaian tujuannya. Dalam konteks bisnis, kembali modal/uang
kepada pemilik modal adalah tujuan akhir, sedangkan profesi justru menitik
beratkan tujuan pada kesdiaan melakukan kegiatan yang bermotif melayani.
Cita – cita sebuah profesi pada dasarnya menuntut individu
untuk memberikan pelayanan dan memperoleh kompensasinya berupa upaya memajukan
kepentingan umum.
Menurut Talcott Parsons, hal utama yang membedakan golongan
professional darientrepreneur (wirausaha) adalah perbedaan nilai. Para
Profesional tidak meletakan imbalan materi (profit-oriented) sebagai tujuan
utama meskipun tetap menganggapnya perlu, sebaliknya para pengusaha menganggap
mencari keuntungan adalah tujuannya.
Dalam penentuan honorarium atau legal fee seseorang advokat
menetapkan dengan batasan – batasan yang layak dengan mengingat kemampuan
klien. Sebagaimana diamanatkan oleh kode etik advokat Indonesia dalam bab
hubungan dengan klien: Bagian II Pasal 2 butir 2.8 Advokat harus
menentukan honorarium dalam batas-batas
yang layak dengan mengingat kemampuan klien. Bagian II Pasal 2 butir 2.9 Advokat tidak
dibenarkan dengan sengaja membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu.
Memberikan legal opinion
merupakan salah satu bagian dari jasa hukum advokat. Hal ini sebagaimana
dimaksud pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003tentang Advokat yang
menyatakan “Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa
memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili,
mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum
klien”.
Terlebih, legal opinion merupakan dasar perikatan dalam
hubungan antara advokat
dengan kliennya maka terhitung sejak legal opinion disampaikan kepada si klien
maka sejak itu pulalah advokat yang bersangkutan berhak atas honorarium. Pembayaran
terhadap jasa advokat itu sendiri dilakukan oleh klien yang menggunakan jasa si
advokat tersebut dengan jumlah atau nominal yang telah disepakati, ini sesuai
dengan isi UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat pasal 1 ayat 7, yang
menyebutkan bahwa, “Honorarium adalah imbalan atas jasa hukum yang diterima
oleh Advokat berdasarkan
kesepakatan dengan Klien”. Juga yang disebutkan dalam pasal satu poin
(f) dalam kode etik advokat Indonesia. Hal ini dimungkinkan kerena tidak adanya
standarisasi baku yang mengatur tentang minimal dan maksimal jumlah bayaran
jasa advokat.
Para advokat biasanya mengenakan tarif yang dianggap pantas
oleh kedua belah pihak, atau menggunakan kisaran yang menurut kantor advokat
bersangkutan pantas. Tidak ada suatu standar penentuan legal fee di kalangan
Advokat/Pengacara. Besar kecilnya honorarium yang akan diterima oleh
Advokat/Pengacara sangat tergantung kepada kesepakatan kedua belah pihak, klien
dan Advokat/Pengacara yang didasarkan kepada beberapa hal, antara lain:
1.
Profesionalitas si Advokat/Pengacara
(semakin terkenal berarti semakin mahal) 2. Besar kecilnya kasus yang ditangani.
2.
Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan perkara tersebut.
3.
Kemampuan financial si klien.
4.
Lokasi kasus/perkara yangditangani
(kalau di luar daerah/pulau berarti semakin mahal dengan penambahan biaya akomodasi dan transportasi).
Berdasarkan Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang
Advokat dan Kode Etik Indonesia bahwa jasa Advokat lebih difokuskan pada hukum
perjanjian sehingga berada pada azas kebebasan bagi mereka yang membuatnya. Itu
tertuang dalam Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat pasal 1 ayat
7 “Honorarium adalah imbalan atas jasa hukum
yang diterima oleh Advokat berdasarkan kesepakatan dengan Klien”.
pasal 21 ayat (2)
Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2003 yang berbunyi; “Besarnya honorarium atas jasa hukum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan secara wajar berdasarkan
persetujuan kedua belah pihak”. dan menurut Kode Etik Advokat Indonesia pasal 1
point (f) “Honorarium adalah pembayaran kepada advokat sebagai imbalan jasa
advokat berdasarkan kesepakatan dan atau perjanjian dengan kliennya”. Berkenaan
dengan perbuatan menerima legal fee sebagai bentuk hak yang boleh dilakukan
ketika bantuan hukum sudah diberikan dengan ukuran yang wajar dan disepakati
kedua belah pihak, hal demikian perjanjian kesepakatan antara advokat dan klien.
Bila melihat bunyi
Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan pasal 1 ayat 30; “Upah
adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai
imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan
dan dibayarkan menurusuatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk tunjangan
bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang
telah atau akan dilakukan”.
Honorarium advokat merupakan hak dari advokat atas dasar
pekerjaan yang diberikan yaitu berupa jasa hukum kepada kliennya, menyerupai
dengan rumusan upah pada pasal tersebut diatas. Dimana klien sebagai pengusaha
atau majikan dan advokat sebagai pekeja atau buruh, dimana dalam hubungan
advokat dengan klien ada suatu perjanjian antara mereka. Bisa disamakan bahwa
perjanjian itu merupakan perjanjian kerja. Di satu sisi, advokat itu adalah
profesi yang mulia (officum nobile) . Di sisi lain, ini adalah profesi untuk
mencari uang juga, itu tidak bisa dipungkiri. Advokat ialah bisnis jasa yang
mendapatkan penghasilan dari tugasnya yang memberikan jasa hukum. Ini lah yang dimaksudkan dengan kegiatan professional dengan kliennya
yang memiliki dimensi ekonomi dalam pengertian
nonekonomi. Non ekonominya yakni tugas sosial advokat
untuk memberikan jasa hukum secara pro bono atau bantuan hukum cuma – cuma.
Meskipun seorang advokat
mendapatkan penghasilan dari klien bukan berarti
seorang advokat harus sepenuhnya turut pada perintah klien.
Inilah yang membedakan advokat dengan pegawai atau buruh
biasa. Tidak benar bila seorang klien mengatur seorang
advokat apalagi terkait dengan langkah hukum yang akan digunakan dalam melakukan pembelaan terhadap klien.