Pengertian aset dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
“aset” mengandung arti sesuatu yang memiliki nilai tukar; modal; kekayaan.[1] Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) pasal 499 yang dinamakan kebendaan, yaitu tiap-tiap barang dan
tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik. Sedangkan menurut sifatnya,
benda dibedakan menjadi benda bergerak yaitu yang dihabiskan dan tidak dapat
dihabiskan, serta benda tidak bergerak baik yang sudah ada ditangan pihak
ketiga.[2] Dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu “Harta
kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun
tidak langsung.”
Perampasan secara terminologi berasal dari kata “rampas”
memiliki makna ambil/dapat dengan paksa (dengan kekerasan).[3] Menurut
UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPK), dalam pasal 18 ayat (1) menyatakan
bahwa perampasan dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan
kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita. Dan sebagaimana
diatur dalam pasal 18 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20
tahun 2001 dikatakan bahwa perampasan sebagai salah satu bentuk pidana
tambahan.
Secara terminologi tentang pihak ketiga dalam sistem hukum pidana
tentunya dilihat pada subjek yang terkait, karena dalam hal kedudukan pihak
ketiga memiliki banyak orientasi yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan
defenisi dan bahkan peranannya pada perkara hukum pidana.
Pada pengertian pihak ketiga yang diatur didalam KUHAP adalah “pihak
ketiga yang berkepentingan” meliputi pihak-pihak yang secara langsung maupun
tidak menderita kerugian karena dihentikannya penyidikan dan penuntutan, maupun
dalam permintaan ganti rugi dan rehabilitasi.
Terkait dengan tindak pidan korupsi dalam modus operandinya, pihak
ketiga tentunya berperan penting dalam kegiatannya. Pihak ketiga dalam hal ini
bisa sebagai subjek yang turut serta dalam melakukan tindak pidana korupsi.
Secara modusnya pelaku korupsi akan mengikut sertakan pihak-pihak lain untuk
melakukan upaya penghilangan jejak dan penyelamatan aset hasil kejahatan dari
pengintaian pihak berwajib.
Sementara dalam prakteknya terdapat berbagai kemungkinan yang dapat
menghalangi penyelesaian mekanisme penindakan seperti itu, contohnya tidak
ditemukannya atau meninggalnya atau adannya halangan lain yang mengakibatkan
pelaku tidak bisa menjalani pemeriksaan dipengadilan, atau tidak ditemukannya
bukti yang cukup untuk mengajukan tuntutan ke pengadilan dan sebab-sebab yang
lainnya.
Bahwa Penyitaan aset para pelaku korupsi baik yang sudah
jatuh ketangan pihak ketiga merupakan langkah antisipatif yang bertujuan untuk
menyelamatkan atau mencegah larinya harta kekayaan. Harta kekayaan inilah yang
kelak diputuskan oleh pengadilan, apakah harus diambil sebagai upaya untuk
pengembalian kerugian keuangan negara atau sebagai pidana tambahan berupa
merampas hasil kejahatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar