Minggu, 08 Februari 2015

Penyitaan


PENYITAAN
 bahan referensi penambah pengetahuan  ttg penyitaan

Esensi fundamental sebagai landasan penerapan “sita” atau “penyitaan”yang perlu diperhatikan paling tidak ada dua tindakan, yaitu “tindakan hukum eksepsional” dan “tindakan perampasan”. Dalam hal “penyitaan” merupakan suatu “tindakan hukum eksepsional”, berarti penyitaan merupakan tindakan hukum yang diambil oleh pengadilan mendahului pemeriksaan pokok.
Istilah “penyitaan” berasal dari terminologi Beslag (bahasa Belanda), dan istilah ini (beslag) juga lazim dipakai dalam bahasa indonesia, namun istilah bakunya ialah kata “sita” atau “penyitaan”.
Beberapa pengertian penyitaan yaitu:
(1) tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat selama tindakan paksa berada ke dalam keadaan penjagaan;
(2) tindakan paksa penjagaan (custody) itu  diberitahukan secara resmi (official)
berdasarkan permintaan pengadilan atau hakim; dan
(3) barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut, berupa barang yang disengketakan, tetapi boleh juga barang yang akan dijadikan sebagai alat pembayaran atas keputusan hutang debitur atau tergugat dengan jalan menjual lelang (exsekutorial verkoop) barang yang disita tersebut.
Tindakan sita jaminan merupakan upaya hukum dan tindakan hukum“pengecualian”. Bahwa tidak selalu proses pemeriksaan perkara harus diikuti dengan tindakan sita jaminan dan sebagai upaya untuk perkara atau mendahului putusan pengadilan. Seringkali penyitaan dilakukan pada saat proses pemeriksaan perkara sedang berjalan. Dengan demikian seolah-olah pengadilan telah menghukum tergugat lebih dulu, sebelum pengadilan sendiri menjatuhkan putusan.
Tindakan penyitaan membenarkan putusan yang belum dijatuhkan. Tegasnya, sebelum pengadilan menyatakan pihak tergugat bersalah berdasarkan putusan, tergugat sudah dijatuhi hukuman berupa penyitaan harta sengketa atau harta kekayaan tergugat. Itu sebabnya, tindakan penyitaan merupakan tindakan hukum yang sangat ekspensional. Pengabulan permohonan penyitaan merupakan tindakan hukum pengecualian, yang penerapannya mesti dilakukan pengadilan dengan segala pertimbangan yang hati-hati sekali.
Tindakan penyitaan harus didukung fakta-fakta yang kuat dan mendasar. Karena itu tindakan penyitaan tidak boleh diterapkan secara serampangan. Jangan sampai terjadi misalnya penyitaan telah diletakkan atas harta kekayaan tergugat, tetapi gugatanternyata ditolak oleh pengadilan.
Kebijakan mengabulkan “sita jaminan”, sejak semula sebaiknya sudah dilandasi oleh bukti-bukti yang kuat tentang akan dikabulkannya gugatan penggugat.
Oleh karena penjatuhan sita (beslag) seolah-olah merupakan pernyataan kesalahan tergugat sebelum putusan dijatuhkan, dengan sendirinya tindakan penyitaan menimbulkan berbagai dampak yang harus dipikul tergugat, antara lain dari segi kejiwaan. Dengan adanya penyitaan maka tentunya telah menempatkan tergugat dalam posisi keresahan dan kehilangan harga diri. Karena di dalam proses persidangan sedang berlangsung, putusan yang akan dijatuhkan belum tentu akan menghukum dan menyalahkan tergugat. Namun dengan adanya penyitaan tersebut, kepercayaan masyarakat terhadap tergugat sudah mulai hilang dan luntur. Itu artinya pengadilan berdampak psikologis.
Dengan memperhatikan akibat-akibat negatif seperti ini, para hakim harus dituntut untuk teliti di dalam menjalankan permohonan sita. Hakim harus menyadari bahwa tindakan penyitaan (sita) tersebut dapat bergerak sangat eksepsional, dan sitamemaksakan kebenaran gugatan, dimana sebelum putusan dijatuhkan kepada tergugat atau sebelum putusan untuk menghukumnya belum mempunyai kekuatan hukum tetap (inkrach), tetapi tergugat telah dihukum dan dinyatakan bersalah dengan jalan menyita harta kekayaannya. Menjamin hak-hak penggugat, andaikata gugatan penggugat dikabulkan karena dimenangkan, maka akan lebih pasti bahwa putusannya itu dapat dilaksanakan dan ia dapat menikmati kemenangannya tersebut. Oleh karena alasan yang eksepsional itulah, maka penerapannya haruslah:
(a) secara bijaksana Majelis Hakim (Pengadilan) mempertimbangkan secara hati-hati disertai dasar alas an yang kuat serta didukung pula oleh fakta-fakta yang mendasar; dan
(b) kebijaksanaan mengabulkan sita jaminan, sejak semula didasarkanoleh adanya bukti yang kuat tentang akan dikabulkannya gugatan penggugat.
Dari segi pelaksanaannya, penyitaan sifatnya terbuka yang umum. Dalam pelaksanaannya:
(1) penyitaan secara fisik dilakukan ditengah-tengah kehidupan masyarakat sekitarnya;
(2) secara resmi disaksikan oleh dua orang saksi maupun oleh kepala desa namun bisa pula disaksikan oleh masyarakat luas;
(3) administratif justisial, dimana penyitaan barang tertentu harus diumumkan dalam buku register kantor yang bersangkutan yang sesuai dengan asas publisitas.
Dengan demikian jelas bahwa tindakan penyitaan berdampak terdapat psikologis yang sangat merugikan nama baik atau kredibilitas seseorang baik sebagai pribadi, apalagi sebagai pelaku bisnis.
Tindakan penyitaan dapat meruntuhkan kepercayaan orang atas bonafilitas korporasi dan bisnis yang dijalankan. Pengaruh buruk tindakan penyitaan dari segi psikologis bukan hanya ditanggung dan menimpa diri pribadi dan bisnis tersita, tetapi berdampak luas kepada keluarga dalam pergaulan sosial-kemasyaraakatan.
Pada hakikatnya tindakan penyitaan merupakan perintah perampasan atas harta sengketa atau harta kekayaan tergugat. Perintah perampasan itu dilakukan oleh pengadilan dalam surat penetapan berdasarkan permohonan  penggugat. Perampasan harta tergugat tersebut adakalanya bersifat permanendan juga temporer (sementara)
Manakala tindakan penyitaan dimaknai sebagai tindakan perampasan berdasarkan perintah hakim, makna perampasan dalam penyitaan tidak boleh diartikan secarasempit dan bersifat mutlak. Karena dengan mengartikannya secara sempit dan mutlak akan dapat menimbulkan penyalahgunaan lembaga sita jaminan.
Penyalah-gunaan ini terus terjadi dalam praktek sebagai akibat dari kelemahan menafsirkan arti “sita jaminan” sebagai perampasan yang mutlak. Tidak demikian halnya bahwa sita atau penyitaan sebagai tindakan-tindakan perampasan harta sengketa atau harta kekayaan tergugat bukan bersifat mutlak terlepas dari hak danpenguasaan serta pengusahaan barang yang disita dari tangan tergugat. Oleh karena itu, agar tidak terjadi kesalahan penafsiran maupun penyalahgunaannya maka perlu diketahui acuan yang tepat dan proposional untuk memberlakukan “barang sitaan”. Acuan yang mesti dipedomani terhadap perlakuan barang sitaan terutama bagi hakim adalah:
a. Sita semata-mata hanya sebagai jaminan. Istilah, maksud dan esensi jaminan,harta yang disita ditunjukkan untuk menjamin gugatan tergugat, agar gugatan itu tidak ilusioner.
b. Hak atas benda sitaan tetap dimiliki tergugat. Sekalipun barang yang disita dirampas atas perintah hakim, hak milik atas barang tersebut masih tetap berada di tangan tergugat sampai putusan dieksekusi. Keliru sekali anggapan sementara pihak-pihak maupun hakim, yang berpendapat sita bersifat melepaskan hak milik tergugat atas barang yang disita sejak tanggal berita acara sita dibuat.
c. Penguasaan benda sitaan tetap dipegang tergugat.
Sejalan dengan acuan yang menegaskan hak milik atas benda sitaan tidak tanggal (lepas) dari kekuasaantergugat, maka penguasaan atas benda sitaan tetap berada ditangantergugat. Maka sungguh keliru praktik hukum yang mengabsahkan pelimpahan benda sitaan berpindah ke tangan penggugat. Penerapan dan praktek hukum yang seperti itu, jelas bertentangan Pasal 197 ayat 9 HIR atau Pasal 212 Rbg.
Penyitaan bisa bersifat permanen, apabila penyitaan kelak dilanjutkan dengan perintah penyerahan kepada Penggugat berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, atau apabila penyitaan dilanjutkan kelak dengan penjualan lelang untuk melunasi pembayaran hutang tergugat kepada penggugat.
Penyitaan yang dilakukan atas harta sengketa atau harta kekayaan tergugat dapat dinyatakan bersifat temporer apabila hakim memerintahkan pengangkatan sita. Perintah pengangkatan sita jaminan yang seperti ini terjadi berdasarkan surat penetapan pada saat proses persidangan mulai berlangsung, dan bisa juga dilakukan hakim sekaligus pada saat menjatuhkan putusan, apabila gugatan penggugat ditolak. Pasal ini memberikan kewenangan kepada hakim atau juru sita untuk menyerahkan penjagaan, penguasaan, dan pengusahaan barang yang disita ditangan penggugat atau dibawah penjagaan pengadilan.
Asset Recovery merupakan hak milik, atau barang yang disita dapat dieksekusi melalui penjualan lelang, jika perkara yang sengketakan merupakan perselisihan hutang-piutang atau tuntutnan ganti rugi berdasarkan Toratau Wanprestasi.
Barang yang menjadi objek sitaan dapat langsung menjadi objek eksekusi, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 214 Rbg, yang menegaskan bahwa setiapbarang yang disita dilarang diperjualbelikan atau dipindahkan tergugat kepada
pihak ketiga atau pihak lain. Dalam hal ini, perbuatan jual-beli merupakan salah satuperbuatan yang dilarang, dimana jual-beli akan batal demi hukum, apabila terlebih dahulu telah didaftarkan dan diumumkan. Dalam kasus seperti ini, sita itu masih tetap menjangkau pihak ketiga atau pihak lain yang ingin memiliki harta sitaan tersebut, sehingga eksekusi dapat dilaksanakan dan tanpa halangan.
Namun dalam hal ini, penggugat harus menjelaskan secara terperinci dan menunjukkan identitas barang yang hendak disita pada saat permohonan sita diajukan pada Ketua Majelis guna menjaga objek eksekusi yang sudah pasti tadi benar-benar ada dan sesuai data di lapangan. Misalnya, penggugat harus menjelaskan letak, ukuran dan batasan-batasannya.
Lebih lanjut adalah penegasan MA memberi kepastian atas objek eksekusi yang apabila telah berketentuan hukum tetap, kemenangan atas penggugat dapat langsung dijamin dengan pasti terhadap adanya barang sitaan tersebut. 
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa tujuan pokok dari tindakan penyitaan (sita) adalah:
(1) untuk melindungi kepentingan penggugat dari itikad buruk tergugat sehingga gugatan menjadi tidak hampa (ilusioner), pada saat putusan setelah berkekuatan hukum tetap; dan
(2) memberi jaminan kepastianhukum bagi Penggugat terhadapkepastian terhadap objek eksekusi, apabila keputusan telah berkekuatan hukum tetap.
Tindakan penyitaan (sita) tidaklah mungkin dapat dilakukan tanpa memenuhi syarat-syarat yang telah ada dan berlaku sesuai peraturan perundang-undangan. Namun kecukupan syarat-syarat tidaklah cukup dan sempurna apabila tidak dibarengi dengan adanya alasan-alasan penyitaan. Pertama-tama syarat penyitaan harus melalui adanya permohonan sita kepada hakim.
Hakim tentunya akan mempelajari permohonan sita tersebut sesuai dengan tata cara pengajuan permohonan yang berlaku. Syarat penyitaan berdasarkan permohonan sita merupakan hal yang mendasar, sebab hakim tidaklah akan menjatuhkan sita apabila tidak ada inisiatif dari pengugat yang mengajukan permohonan sita. Sita berdasarkan permohonan diajukan dalam surat gugatan. Biasanya, dalam suatu permohonan sita diajukan bersama-sama di dalam surat gugatan.
Bentuk dan tata cara pengguna permohonan sita jaminan yang seperti ini dalam praktiknya lazim dijumpai. Penggugat mengajukan permohonan sita secara tertulis dalam bentuk surat gugatan, sekaligus bersamaan dengan pengajuan gugatan pokok.
Pengajuan permohonan sita dalam bentuk ini tidak dapat dipisahkan dari dalil gugatan pokok. Apabila permohonan sita diajukan Kepastian objek eksekusi atas barang sitaan semakin sempurna sesuai dengan penegasan MA yang menyatakan, bila putusan telah berkekuatan hukum tetap maka barang yang disita demi hukum langsung menjadi sita eksekusi. bersamaan di dalam gugatan, perumusan permohonan sita di dalam surat gugatan biasanya mengikuti pedoman yang ada.
Pertama, gugatan sita dirumuskan setelah uraian “posita” atau“dalil gugat”. Dengan perumusan dalil gugat itulah ditentukan layak atau tidaknya diajukan permohonan sita, karena dari perumusan dalil gugat beserta penjelasan mengenai uraian fakta dan peristiwa yang mendukung dalil gugat, akan lebih tepat dan lebih mudah dirumuskan permohonan sita serta alas an-alsan kepentingan penyitaan.
Kedua, permintaan pernyataan sah biasanya diajukan pada “petitum kedua”. Biasanya setelah diuraikan perumusan permohonan sita pada akhir “posita gugat”, permohonan sita itu dipertegas lagi dalam “petitum gugat”, yang berisi permintaan kepada pengadilan supaya sita yang diletakkan atas harta sengketa atau harta kekayaan tergugat, dinyatakan sah dan berharga.
Namun ada kalanya permohonan sita juga diajukan secara terpisah dari pokok perkara. Dalam bentuk permohonan seperti ini, penggugat membuatnya atau menyiapkannya dalam bentuk tersendiri secara terpisah darigugatan pokok perkara. Penggugat dapat mengajukan permohonan sita dalam surat yang lain, bahkan dimungkinkan dan dibolehkan pengajuan permohonan sita tersendiri secara lisan.
Satu hal penting yang harus diperhatikan dalam hal pengajuan sita adalah tenggang waktu pengajuan sita, sampai batas waktu kapan permohonan sita dapat diajukan dan kepada instansi pengadilan mana saja pengajuan sita jaminan yang dibenarkan oleh hukum.
Penentuan tenggang waktu pengajuan permohonan sita diatur dalam Pasal 261 ayat 1 Rbg. Menurut ketentuan perundang- undangan yang berlaku, pengajuan permohonan sita dapat dilakukan: 
1) Selama putusan belum dijatuhkan atau selama belum berkekuatan hukum tetap. Menurut Pasal 261 ayat 1 Rbg, ketentuan tenggang waktu ini yang dibenarkan karena hukum yaitu selama putusan belum dijatuhkan atau selama putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Jadi selama putusan perkara belum diputus oleh hakim atau selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap, masih terbuka hak dan kesempatan untuk mengajukan permohonan sita.
2) Sejak mulai berlangsung pemeriksaan perkara di sidang pengadilan negeri
sampai putusan dijatuhkan. Dalam Pasal 261 ayat 1 Rbg ada ketentuan yang berbunyi “selama putusan belum dijatuhkan”. Makna dan penafsiran kalimat tersebut
Namun di dalam praktiknya, bentuk permohonan sita tersendiri secara lisan jarang terjadi. Tetapi pada hakekatnya, kelangkaan praktek itu bukan berarti dapat melenyapkan hak penggugat untuk mengajukan permohonan sita secara lisan.
3) Atau selama putusan belum dapat dieksekusi. Dalam Pasal 261 ayat 1 Rbg juga memuat ketentuan yang berbunyi “selama putusan belum dapat dieksekusi(dilaksanakan)”. Selama putusan belum dapat dilaksanakan mengandung arti yuridisselama putusan yang bersangkutan belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Berdasarkan ketentuan di atas jelas bahwa permohonan sita dapat dimohonkan ke pengadilan apabila putusan belum dapat dieksekusi, karena putusan tersebut masih belum berkekuatan hukum tetap (inkrach), yang dapat masih dapat dilakukan upaya hukum banding maupun dikasasi. Dalam hubungan ini, kendati undang-undang secara tegas memberi hak dan kewenangan kepada hakim untuk menyita hartakekayaan atau harta terpekara milik tergugat sesuai dengan Pasal 261 Rbg jo. Pasal 206 Rbg, tetapi hakim harus teliti dan cermat didalam pengabulan terhadap permohonan sita. Ini karena sita sangat eksepsional sekali sifatnya. Permohonan sita yang telah dimohonkan selayaknya disempurnakan dengan adanya alasan sita. Sangat mustahil sekali hakim mau mengabulkan sita apabila tidak dibarengi dengan suatu alasan sitayang relevan dan logis, serta kuat. Mengingat sangat eksepsionalnya sifat tindakan penyitaan (sita) ini, maka hakim harus benar-benar mengamati, memperhatikan, serta menimbang alasan sita tersebut dengan cermat dan teliti. Jangansampai permohonan sita itu dikabulkan tanpa mengkaji pengabulan sita dengan alasan yang dibenarkan oleh hukum.
Sebelum permohonan sita dikabulkan hakim, hakim berhak dan berwewenang memeriksa fakta-fakta tentang adanya dugaan atau persangkaan berupa petunjuk-petunjuk pelanggaran hokum (misalnya penggelapan) yang hendak dilakukan tergugat atas barang-barang yang menjadi objek sengketa.
Apabila alasan sita memang telah sesuaidengan aturan-aturan yang berlaku dan telah memenuhi unsur persangkaan hakim bahwa perlu dilakukan sita, maka permohonan sita dapat dikabulkan. Sebaliknya apabila alasan permohonan sita tidak sesuai dengan fakta-fakta, aturan-aturan, dan unsur-unsur penilaian persangkaan hakim, maka sewajarnya permohonan sita tersebut ditolak. Hal ini ditujukan untuk melindungi hak dari tergugat. Walaupun esensi atau alasan utama sita terletak pada “tergugat akan menggelapkan barang yang menjadi objek perkara”, namun perlu diperhatikan pula unsur sita jaminan jangan sampai terlalumerugikan pihak tergugat. Dari ketentuan Pasal 261 ayat 1 Rbg dapat kita lihat tentang batas pengajuan tenggang waktu sita. Namun terkait dengan masalah kewenangan untuk memerintahkan pelaksanaan sita, masih ada silang pendapat di antara praktisi hukum. Pendapat pertama, mutlak menjadi kewenangan Pengadilan Negeri. Menurut pendukung pendapat ini, hanyalah Pengadilan Negeri yang memmpunyai kewenangan atas sita. Di dalam undang-undang tidak ada kewenangan yang diberikan kepada Pengadilan Tinggi (PT) sebagai instansitingkat banding.
Sehubungan dengan pendapat ini, telah dirinci aturan penerapan penyitaan sebagai berikut: 
a) Apabila Pengadilan Negeri (PN) menolak sita, maka Pengadilan Tinggi (PT) tidak berwewenang memerintahkan PN untuk melakukan sita, kecuali apabila PN mencabut permohonan sita, maka PT berwewenang penuh untuk mengabulkan sita dengan cara Universitas Sumatera Utaramembatalkan putusan PN. 
b) Apabila penggugat menganggap perlu dilakukan penyitaan, sedangkan perkara sudah pada tingkat banding, maka permohonan tetap diajukan kepada PN, karena PN berwewenang penuh memutus pengabulan atau permohonan sita. Pendapat kedua, Pengadilan Tinggi (PT) berwewenang memerintah sita.
Menurut Prof. Subekti, Permohonan penyitaan dapat diajukan kepada Pengadilan Tinggi (PT) selama pokok perkaranya belum diputus oleh pengadilan tingkatbanding, dengan alasan yang berpijak pada Pasal 261 Rbg karena di dalamnya terdapat kalimat: “Sebelumputusan memperoleh kekuatan hukum tetap”. Kalimat tersebut” menunjukan “bahwa permohonan sita dapat juga ditujukan kepada PT selama pokok perkaranya belum diputus dalam tingkat banding”. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa permohonan sita hanya boleh dikabulkan dan diletakan terhadap barang-barang yang ditunjuk penggugat. Penunjukan ini diwajibkan terhadap barang yang ditunjuk secara jelas dan pasti, baik mengenai sifat, letak, ukuran yangberkaitan dengan identitas barang.
Jadi, kewajiban penggugat sehubungan dengan penunjukan barang yang diminta untukdisita mengandung unsur: 
(1) menjelaskan letak, sifat, dan ukuran barang; 
(2) mengemukakan surat-surat yang berkenaan dengan identitas barang (bukti surat barang); dan 
(3) penegasan positif status barang adalah milik tergugat.
Pada diri hakim tidak ada kewajiban hukum untuk mencari dan menemukan identitas atau rincian barang yang menjadi objek sita. Hal ini adalah mutlak kewajiban penggugat. Oleh karena itu, sangat mustahil bagi penggugat memintahakim mencari dan menemukan identitas barang yang hendak disita. Oleh karena tindakan penyitaan (sita) adalah untuk kepentingan penggugat maka si penggugat yang mesti menyebut identitasnya secara terang dan pasti.
Di dalam pengajuan gugatan, penggugat harus dapat menunjukan kepada hakim tentang adanya relevansi dan urgensi penyitaan dilakukan dalam perkara yang bersangkutan. Bila ditinjau dari ketentuan Pasal 261 Rbg maupun Pasal 720 Rv, alasan-alasan pokok permintaansita adalah, sebagai berikut: Namun di antara beberapa unsur kewajiban diatas, ada yang berpendapat tidak mutlak penggugat harus dapat menunjukan atau mengajukan surat identitas atau surat bukti  barang.Menurut praktek yang sudah ada, dianggap cukup bila penggugat telah mampu menjelaskan unsur, sifat , letak, dan ukurannya, ditambah dengan unsur penegasan yang positif bahwa barang itu milik tergugat atau setidak- tidaknya dalam kekuasan tergugat.Intinya adalah penggugat tidak boleh menyebutkan barang objek sita secara umum, meskipun Pasal 1311 KUH Perdata menegaskan segala harta kekayaan debitur menjadi tanggungan untuk membayar utangnya.
a. Adanya kekhawatiran atau persangkaan bahwa tergugat berusaha mencari akal guna menggelapkan atau mengasingkan harta kekayaannya, dimana dilakukan selama proses pemeriksaan perkara berlangsung.
b. Kekhawatiran atau persangkaan itu harus nyata dan mempunyai sifat yang objektif, dimana: 1) Penggugat harus mampu menunjukan fakta-fakta tentang adanya langkah-langkah tergugat untuk menggelapkan atau mengasingkan harta kekayaannya, selama proses pemeriksaan perkara berlangsung. 2) Sekurangkurangnya, penggugat dapat menunjukan adanya indikasi objektif tentang adanya upaya untuk menghilangkan atau mengasingkan barang-barangnya guna menghindari isi gugatan penggugat. 3) Sesuai dengan pendapat Prof. Supomo yang menjelaskan dalam peradilan perdata tugas hakim adalah mempertahankan tata hukum perdata.
Hakim harus mampu melihat bahwa seandainya sita tidak diajukan akan menimbulkan kerugian dari pihak penggugat. Hal tersebut di atas harus diperkuat dengan eratnya isi gugatan dengan penyitaan, yang apabila penyitaan tidak dilakukan maka timbul kerugian dari pihak penggugat. Dengan demikian, penggugat tidak dibenarkan mendasarkan kekhawatiran dan persangkaan secara pribadi saja terhadap tergugat untuk mengajukan sita. Berdasarkan Pasal 261 Rbg atau Pasal720 Rv, alasan dapat dikatakan objektif apabila dilengkapi dengan fakta-fakta atau petunjuk-petunjuk yang nyata. Hal ini diharuskan karena hakim dapat menolak permohonan sita apabila alasan sita tidak kuat. Karenamenurut undang- undang, yang berhak menilai alasan sita adalah hakim. Jadialasan sita harus dapat benar-benar meyakinkan hakim. Semua alasan-alasan yang diangkat oleh penggugat pada akhirnya untuk kepentingan tergugat sendiri agar haknya terjamin sekiranya gugatannya dikabulkan nanti, dan telah berkekuatan hukum tetap untuk dilaksanakan.



Suber : http://www.ppatk.go.id/files/PEMULIHANASET_ASSETRECOVERY_DENGANMENYITASETILEGAL_PAPER_EDINST_10JUNI20130.pdf

Senin, 19 Januari 2015

Bolehkah JPN mewakili BUMN/D dalam menghadapi gugatan Datun?






Bolehkah Jaksa Pengacara Negara mewakili Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dalam menghadapi gugatan perdata dan tata usaha negara?

Sampai saat ini,  akademisi dan praktisi hukum Indonesia belum sepaham memberikan jawaban.
Ada yang menganggap tak ada yang salah dengan pendampingan hukum itu, tetapi ada juga yang berpendapat sebaliknya.
Prakteknya, puluhan BUMN/BUMD menjalin kerjasama dengan kejaksaan. Kejaksaan mewakili pemerintah atau negara dengan kuasa khusus menghadapi gugatan perdata dan tata usaha negara.
Wewenang ini tegas dinyatakan dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Tetapi bagi sebagian orang, Kejaksaan tak boleh mewakili BUMN karena kekayaan BUMN adalah kekayaan negara yang dipisahkan. Dengan konsep ini BUMN dipahami sebagai entitas privat, yang tak seharusnya menggunakan organ negara sebagai kuasa hukumnya.

Perbedaan pandangan di kalangan praktisi dan akademisi tak lepas dari sumber hukum yang mengaturnya.

Advokat Fredrich Yunadi, misalnya, termasuk yang menganggap Jaksa Pengacara Negara (JPN) tak bisa mewakili BUMN. Ia menunjuk Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 07 Tahun 2012.
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 07 Tahun 2012 :

Berdasarkan penelusuran hukumonline, SEMA No. 07 Tahun 2012 mengatur tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Poin yang dirujuk Fredrich ada dalam lampiran, pada bagian Hasil Rapat Kamar Perdata Subkamar Perdata Umum. Di situ disebutkan tegas “Jaksa sebagai Pengacara Negara tidak dapat mewakili BUMN (Persero), karena BUMN tersebut berstatus badan hukum privat (vide Pasal 11 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN”.
Tetapi dari korps adhyaksa, bantuan hukum terhadap BUMN sudah sering dilakukan. Bahkan Peraturan Jaksa Agung (Perja) No. 040/A/J.A/12/2010 secara tegas menyebut BUMN/BUMD. Perja ini mengatur tentang Standar Operasi Prosedur Pelaksanaan Tugas, Fungsi, dan Wewenang Perdata dan Tata Usaha Negara.
Pasal 3 Perja mengatur apa saja bentuk ‘layanan’ hukum yang diberikan JPN.
Misalnya, bantuan hukum. Berdasarkan Perja, bantuan hukum adalah tugas JPN dalam perkara perdata dan tata usaha negara untuk mewakili lembaga negara, instansi pemerintah di pusat atau daerah, BUMN/BUMD, berdasarkan surat kuasa khusus, baik sebagai penggugat maupun tergugat yang dilakukan secara litigasi atau non-litigasi.
Sebutan BUMN/BUMD juga tercantum dalam ‘layanan’ pertimbangan hukum dan tindakan hukum lain yang disediakan JPN.

Rabu, 03 Desember 2014

Kekuatan Pembuktian Alat Bukti

KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI

Azas dalam pembuktian dibutuhkan bukti minumum yaitu :
1. Alat bukti yang sah;
2. Mencari kebenaran materiil (materil waarheid).

a. Keterangan saksi;

- syarat : yang dilihat sendiri, didengar sendiri, dialami sendiri, serta menyebut alasan pengetahuan.

- diberikan di persidangan di bawah sumpah

- didukung oleh keterangan saksi lain / alat bukti lain (Unus testis Nulus testis).
Keterangan saksi yang bukan alat bukti (Pasal 185 ayat 1 KUHAP) :
1. Testimonium de auditu
2. Pendapat, pikiran, rekaan – MARI 15 Maret 1984 No. PK/Pid/1983.
3. Tanpa sumpah – dilluar persidangan
4. Hubungan keluarga, kecuali ybs menghendakinya dengan PU dan terdakwa setuju mereka boleh didengar dengan sumpah Psl 168 KUHAP.
5. Anak-anak dibawah 15  tahun, belum  pernah  kawin orang sakit ingatan (Psl 171 KUHAP)

- Dapat dipakai sebagai penguat keyakinan Hakim

- Dapat dipakai sebagai petunjuk

-
Keterangan saksi yang disampaikan di sidang pengadilan mempunyai kekuatan pembuktian        bebas, jadi tidak sempurna (Volledig Bewijskracht) dan menentukan (Beslissend) tergantung penilaian Hakim.
Keterangan ahli
- Alat bukti baru dalam Hukum Pembuktian di Indonesia.

Ada 2 (dua) macam ahli :

1. Ahli Forensik/Visum Et Repertum dapat merupakan alat bukti surat

2. Ahli lainnya

- Diberikan di depan penyidik/PU

- Ahli mempunyai keahlian khusus untuk menjelaskan tentang pelaku dan diberikan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya.

- Diberikan di Persidangan

- Kekuatan pembuktian bebas : tidak mengikat, dan tidak menentukan.
Surat
- Surat dalam bentuk resmi dibuat oleh pejabat umum
- Dibentuk menurut ketentuan UU oleh pejabat tertentu di ;ingkup tugasnya
- Surat keterangan ahli
- Surat lain yang ada hubungannya dengan isi alat bukti lain
- Kekuatan pembuktian bersifat bebas
Keterangan terdakwa
- Menggantikan  pengakuan terdakwa yang merupakam Regina Probationis.
- Keterangan terdakwa bisa :

- Berisi pengakuan

- Keterangan tentang pengingkaran

- Syarat keterangan terdakwa :

- Diberikan di persidangan

- Pernyataan tentang apa yang diperbuat

- Pernyataan tentang apa yang diketahui dan dialaminya sendiri

- Hanya berlaku bagi dirinya sendiri


Keterangan terdakwa di luar sidang hanya dapat membantu menemukan bukti di sidang :

- Diberikan kepada penyidik

- Dibuatkan Berita Acara

- Ditandatangani oleh penyidik dan terdakwa ( Psl 189 ayat (2) KUHAP )
BEBAN PEMBUKTIAN (ONUS PROBATIO)

Dalam perkara korupsi :

a. Beban Pembuktian pada penuntut umum (beban pembuktian biasa) Penuntut umum yang mendakwa, PU yang diberi beban membuktikan berupa

- Tindak pidana yang terjadi yang dirumuskan dalam dakwaan yang berisi semua unsur tindak pidana (bestandelen)

- Bahwa terdakwalah yang bersalah atas tindak pidana yang terjadi
Dengan menggunakan alat-alat bukti sesuai UU :
▪  Alat bukti KUHAP dan
▪  Alat bukti petunjuk (pasal 26A UUPTPK)

b. Beban Pembuktian Terbalik (psl. 37 UUPTPK)  – Omkering van Bewijslast.

- Delik suap, menerima gratifikasi dengan nilai Rp.10 juta ke atas – beban pembuktian pada terdakwa 9pasal 12b)


Dapat menentukan putusan bebas karena :

- tidak terbukti dakwaan

- keyakinan Hakim tidak menjadi dasar (pasal 37 dan penjelasannya)

- tidak jelas apakah PU dapat menggagalkan bukti-bukti yang dikemukakan terdakwa sebagaimana pada putusan bebas pembuktian biasa.

- Terhadap harta milik yang belum didakwakan (pasal 38b)
PU pada pembacaan tuntutan menuntut juga perampasan benda-benda yang tidak didakwa. Terdakwa wajib membuktikan bahwa benda-benda tersebut bukan merupakan hasil korupsi.
Beban Pembuktian Terbalik Terbatas/Berimbang Terbalik (diatur dalam psl 37a UUPTPK)

- Beban pembuktian ada pada terdakwa.

- dalam hal kekayaannya tidak berimbang dengan penjelasan / sumber perngadaan kekayaannya

- yang diduga ada hubungannya dengan perkara yang didakwakan kepadanya.

- Disamping itu beban pembuktian ada pada PU pada perkara pokok yang diatur dalam pasal 2,3,4,13,14,15,16 dan pasal 5 s/d pasal 12.

- Ketidakberhasilan terdakwa membuktikan / memperkuat bukti pada TPK pokok merupakan alat bukti tambahan.


 



Penelitian Perkara dan Pemeriksaan Tambahan

           Penelitian Perkara dan Pemeriksaan Tambahan



Menurut Remmelink hukum pidana bukan tujuan pada diri sendiri tetapi ditujukan untuk menegakan tertib hukum, melindungi masyarakat hukum. Menurut C. Beccaria, tujuan hukum pidana tiada lain agar penjahat tidak lagi melakukan kejahatan dan orang lain ngeri melakukan hal yang sama. Dari kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat dan menciptakan ketertiban.
Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap hukum pidana maka hukum akan bertindak melalui instrumennya yaitu para penegak hukum. Para penegak hukum akan memproses suatu perkara mulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai dengan pada proses pemeriksaan di pengadilan. Hal ini dimaksudkan untuk mencari kebenaran materiil yang merupakan tujuan dari hukum acara pidana.
Hubungan antara penyidik dengan jaksa penuntut umum dalam proses pidana sangat erat. Mulai dari proses penangkapan, penahanan sampai dengan proses penyerahan tersangka dan barang bukti, semuanya atas koordinasi antara penyidik dengan jaksa sebagai penuntut umum.
Dalam pelaksanaan tugasnya menangani perkara pidana, antara penyidik dan penuntut umum terjalin hubungan yang bersifat fungsional dan instansional.
Yang dimaksud dengan koordinasi fungsional adalah hubungan kerja sama antara penyidik dan penuntut umum menurut fungsi dan wewenangnya masing-masing dalam penanganan perkara pidana. Hubungan tersebut adalah hubungan kerja sama yang bersifat saling mengawasi antara penyidik dengan penuntut umum dalam proses penanganan perkara pidana. Hubungan ini diatur di dalam KUHAP. Sedangkan hubungan yang bersifat instansional adalah hubungan yang bersifat instansi antara kepolisian dengan kejaksaan yaitu diatur dengan petunjuk teknis atau petunjuk palaksanaan yang dikeluarkan oleh masing-masing pimpinan instansi maupun yang dikeluarkan dalam bentuk produk bersama. Hubungan antara penyidik dengan jaksa pada perkara pidana,dimulai sejak penyidik mengirimkan surat pemberithuan dimulainya penyidikan (SPDP) kepada jaksa.  Hal ini sebagai bentuk koordinasi penyidik kepada jaksa bahwa penyidik telah mulai melakukan tindakan penyidikan setelah melalui proses penyelidikan.
SPDP bertujuan untuk mempersiapkan penuntutan, agar jaksa penuntut umum mengikuti perkembangan pernyidikan suatu perkara yang akan dijadikan dasar penuntutan.
Selain dari pemberitahuan dimulainya penyidikan, penyidik juga berkoordinasi dalam hal penangkapan, penahanan, perpanjangan penahanan, penyitaan, penyerahan berkas perkara, sampai dengan penghentian penyidikan harus memberitahukan kapada jaksa.
Penyerahan berkas perkara dari penyidik kepada jaksa penuntut umum dalam prakteknya disebut sebagai penyerahan tahap I. Penyerahan tahap I dilakukan setelah penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dinyatakan cukup dan dapat diajukan kepada jaksa/penuntut umum kemudian dituangkan dalam bentuk berkas perkara dan diserahkan kepada jaksa penuntut umum untuk diperiksa dan sebagai dasar penuntutan perkara pidana.
Apabila jaksa penuntut umum berpendapat masih terdapat kekurangan baik secara formil maupun materiil dari berkas perkara tersebut maka jaksa penuntut umum memberitahukan hal itu kepada penyidik dengan menggunakan surat model P-18 perihal pemberitahuan bahwa berkas perkara hasil penyidikan belum lengkap dan segera dilakukan penyidikan tambahan, dan surat model P-19 yang berisi petunjuk yang harus dilengkapi.  Dan dalam waktu 14 hari penyidik wajib menyampaikan kembali berkas perkara yang sudah dilengkapi kepada jaksa penuntut umum.
Apabila dalam jangka waktu yang ditentukan tersebut penyidik tidak menyerahkan kembali berkas perkara maka jaksa penuntut umum harus mengirimkan surat susulan kepada penyidik dengan menggunakan formulir model P-20 yang isinya mengingatkan/meminta perhatian agar penyidik secepatnya menyelesaikan penyidikan tambahan dan segera menyerahkan kembali berkas perkara kepada jaksa penuntut umum.
Setelah dilakukan penyidikan tambahan dan berkas disampaikan kembali kepada jaksa penuntut umum, ternyata menurut penilaian jaksa masih belum lengkap maka penyidik harus melengkapi lagi, dan begitu seterusnya hingga jaksa berpendapat bahwa berkas telah lengkap dan dapat dilanjutkan pada Penyerahan Tahap II.
Penyidik dalam melakukan penyidikan tambahan, ternyata tidak mampu melengkapi petunjuk dari jaksa penuntut umum maka dalam hal ini untuk menghindari kekecewaan dan ketidakadilan yang dirasakan oleh korban tindak pidana, dan lepasnya seorang tersangka/terdakwa dari tuntutan hukum, yang berakibat pada tidak tercapainya tujuan hukum pidana. Seharusnya jaksa dapat melakukan pemeriksaan tambahan untuk melanjutkan memeriksa perkara dan untuk menunjang pembuktian pada proses penuntutan.
Pemeriksaan tambahan untuk menunjang pembuktian dalam suatu perkara pidana termaktub dalam perumusan pada Pasal 30 (1) huruf e Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI yaitu melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Untuk mengetahui pengertian dari pemeriksaan tambahan maka perlu diketahui mengenai kelengkapan berkas perkara.
Berkas perkara dapat dinyatakan lengkap apabila telah memenuhi syarat formil dan materiil.
Syarat formil adalah kelengkapan dalam hal surat-surat atau dokumen yang harus dilengkapi misalnya, Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), Surat Perintah Penyidikan, Surat Perintah Penangkapan, Surat Perintah Penahanan, Laporan Polisi, Berita Acara Pemeriksaan Saksi, Berita Acara Pemeriksaan Tersangka, Berita Acara Penahanan,dan lain-lain sesuai dengan yang tercantum dalam lampiran Petunjuk Teknis Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor B-401 /E/9/1993 tentang Pelaksanaan Tugas Prapenuntutan. Sedangkan kelengkapan materiil berkas perkara adalah hal-hal yang menyangkut isi atau fakta-fakta hukum yang terdapat dalam berkas perkara, misalnya unsur delik yang disangkakan, alat bukti, kejadian perkara.
Dari penjelasan mengenai kelengkapan berkas perkara maka dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan tambahan adalah semua tindakan yang ditujukan untuk melengkapi berkas perkara, yaitu antara lain; memanggil dan memeriksa saksi, ahli, tersangka, memeriksa surat serta menggeledah dan menyita serta semua tindakan yang dilaksanakan untuk mencari alat bukti guna melengkapi berkas perkara.
Dalam Pasal 203 ayat 3 huruf b KUHAP yang berbunyi, sebagai berikut :
“Dalam hal Hakim memandang perlu pemeriksaan tambahan supaya diadakan pemeriksaan tambahan dalam waktu paling lambat 14 hari dan bilamana dalam waktu tersebut Penuntut Umum juga dapat menyelesaikan pemeriksaan tambahan, maka Hakim memerintahkan perkara itu diajukan ke sidang Pengadilan dengan acara biasa”.
Jadi Perbedaan prinsipil pada kedua pemeriksaan tambahan tersebut adalah : Pemeriksaan tambahan yang dilakukan Penuntut Umum atas dasar Pasal 30 (1) huruf e Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004; Dilakukan atas inisiatif dari Penuntut Umum dan dilakukan sebelum perkara dilimpahkan ke Pengadilan negeri. Sedangkan pemeriksaan tambahan yang dilakukan penuntut Umum atas dasar Pasal 203 (3) huruf b KUHAP; Dilakukan atas permintaan Hakim dan dilakukan sesudah perkara dilimpahkan ke Pengadilan Negeri. Hanya dalam acara pemeriksaan singkat, yaitu perkara-perkara kejahatan/ pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan Pasal 205 KUHAP, yang menurut Penuntut Umum, pembuktian serta penerapan hukumya mudah dan sifatnya sederhana.
Dalam kaitannya dengan pemeriksaan tambahan dari perumusan Pasal 30 (1) huruf e Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan tambahan hanya dapat dilakukan terhadap :
1.
Perkara-perkara yang sulit pembuktiannya ;
2.
Perkara-perkara yang dapat meresahkan masyarakat;
3.
Perkara-perkara yang dapat membahayakan keselamatan negara.

Sedangkan untuk perkara-perkara lain yang tidak termasuk salah satu dari 3 kriteria tersebut diatas tidak dilakukan pemeriksaan tambahan oleh Jaksa Penuntut Umum, akan tetapi pemeriksaan tambahan yang dilakukan hanyalah oleh penyidik atas permintaan / petunjuk Jaksa Penuntut Umum.
Pemeriksaan tambahan yang dilakukan oleh penyidik atas petunjuk dari Jaksa Penuntut Umum biasa dikenal dengan penyidikan tambahan. Penyidikan tambahan dilakukan dengan memperhatikan dasar hukum pada KUHAP, sebagai berikut: 

1.
“Dalam hal Penuntut Umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap, Pasal 110 ayat (2) KUHAP mengaturnya bahwa Penuntut Umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada Penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi.

2.
Dan Pasal 110 ayat (3) KUHAP menyebutkan “Dalam hal Penuntut Umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi Penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk Penuntut Umum”.

3.
Pasal 138 ayat (2) KUHAP “Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap Penuntut Umum mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu 14 hari sejak tanggal penerimaan berkas perkara kepada Penuntut Umum”.
Pemeriksaan tambahan dilakukan dengan tujuan untuk mewujudkan salah satu asas dalam hukum acara pidana yaitu asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Hal ini dimaksudkan demi terciptanya kepastian hukum dan menghormati hak asasi tersangka.
Asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan disebutkan dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yaitu pada pasal 4 ayat 2 yang berbunyi ; Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi harapan para pencari keadilan. Yang dimaksud dengan ”sederhana” adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan acara yang efisien dan efektif. Yang dimaksud dengan ”biaya ringan” adalah biaya perkara yang dapat terpikul oleh rakyat. Dan “cepat” berarti bahwa peradilan harus dilaksanakan secara cepat yang diwujudkan melalui kata segera dalam KUHAP, untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan hakim yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Namun demikian, dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan.
Menurut Ramelan, bahwa pemeriksaan tambahan tidak dapat mengatasi masalah bolak balik perkara yang menyebabkan tidak terwujudnya asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Hal ini karena pemeriksaan tambahan dalam pelaksanaannya tidak di optimalkan artinya jarang dilakukan dan karena undang-undang tidak menentukan kapan pemeriksaan tambahan dapat dilakukan, apakah setelah dua kali, tiga kali atau berapa kali bolak balik berkas perkara.
Dalam praktek, pemeriksaan tambahan sangat jarang dilakukan dalam menyelesaikan perkara pidana. Dengan tidak berjalannya pemeriksaan tambahan maka akibatnya adalah tidak terwujudnya asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Karena dapat terjadi bolak balik berkas perkara antara penyidik dengan jaksa penuntut umum apabila pada pengembalian berkas hasil penyidikan tambahan ternyata tidak dapat dipenuhi petunjuk jaksa penuntut umum. Hal ini sangat merugikan para pencari keadilan karena proses menuju penuntutan dan pemeriksaan di persidangan menjadi lebih lama.
Tidak optimalnya pelaksanaan pemeriksaan tambahan berakibat pada dihentikannya penyidikan oleh penyidik. Apabila penyidik menyatakan sudah tidak mampu lagi melengkapi petunjuk dari jaksa maka penyidik menyimpulkan bahwa perkara tersebut kurang alat bukti atau bukan merupakan perkara pidana, dan akhirnya penyidik mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan.
Dengan dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan ini maka korban dari tindak pidana merasa dirugikan karena tersangka/terdakwa dibebaskan, dan masyarakat juga dirugikan karena tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa telah meresahkan masyarakat tidak dapat ditindak lanjuti menurut proses hukum pidana serta tujuan dari hukum pidana dan hukum acara pidana tidak terwujud.
Oleh karena itu, maka pemeriksaan tambahan seharusnya dapat dioptimalkan demi tercapainya tujuan dari hukum pidana yakni menegakan tertib hukum dan melindungi masyarakat. Serta tujuan dari hukum acara pidana juga akan tercapai yaitu mencari kebenaran materiil, sebab dengan dilakukan pemeriksaan tambahan diharapkan dapat menemukan fakta-fakta baru guna menunjang proses penuntutan perkara dan pemeriksaan di sidang pengadilan.




Prapenuntutan

Prapenuntutan


Pengertian prapenuntutan terdapat istilah penyidikan. Hal ini diatur Didalam pasal 1 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Penyidikan dilakukan oleh pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, hal ini disebutkan didalam pasal 6 ayat 1 KUHAP.
Setelah penyidikan dinyatakan selesai maka KUHAP mengatur dalam pasal 110 ayat 1 KUHAP, yang berbunyi “Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum”. Hal ini untuk memenuhi asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.
Berkas perkara diterima oleh jaksa/penuntut umum kemudian jaksa memulai untuk mempelajari dan meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan tersebut, dan apabila terdapat kekurangan baik secara formil maupun materiil maka jaksa/penuntut umum segera memberitahukan kepada penyidik untuk dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk yang harus dilengkapi. Dan jika jaksa/penuntut umum menyatakan berkas telah lengkap maka perkara tersebut segera untuk dilimpahkan ke pengadilan dan proses prapenuntutan telah selesai kemudian masuk ke proses penuntutan.
Selain pemeriksaan tambahan yang dilakukan oleh penyidik dalam tingkat prapenuntutan dengan pedoman pada petunjuk Jaksa Penuntut Umum. Jaksa Penuntut Umum juga dapat melakukan pemeriksaan tambahan baik yang dilakukan pada penyerahan tahap I dan setelah penyerahan tahap II (Penyerahan fisik, penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti) yang dilakukan oleh pihak penyidik kepada Penuntut Umum.
Jaksa/Penuntut Umum dapat melakukan pemeriksanaan tambahan untuk perkara-perkara tertentu. Pemeriksaan tambahan disebutkan pada perumusan Pasal 30 ayat (1) huruf e Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004, yang berbunyi “melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik”.
Hal ini dilakukan apabila Penuntut Umum masih menganggap kurangnya alat bukti yang ada namun dalam praktek timbul permasalahan, mengingat batas waktu 14 hari untuk penyelesaian pemeriksaan tambahan terlalu singkat; keragu-raguan tentang dapat atau tidak dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan. Meskipun terdapat dasar hukum untuk dapat melakukan pemanggilan saksi dan ahli yang berbunyi : Pemanggilan saksi/ahli dilakukan secara langsung oleh Jaksa Penuntut Umum atau dengan bantuan instansi lain.  Tetapi hal ini masih dianggap kurang karena untuk mencari kelengkapan berkas perkara tidak hanya bisa melalui saksi tetapi juga hal-hal lain untuk mendukung pembuktian dalam proses penuntutan jaksa penuntut umum.
Dengan berdasarkan pada perumusan Pasal 30 ayat (1) huruf e Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, pada kenyataannya masih terdapat banyak hambatan dalam melakukan pemeriksaan tambahan meskipun dalam penjelasan telah dijelaskan bahwa antara lain sebagai berikut :
a.
Tidak dilakukan terhadap tersangka ;
b.
Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya dan atau dapat meresahkan masyarakat dan atau dapat membahayakan keselamatan negara ;
c.
Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 hari setelah dilakukan ketentuan Pasal 110 dan Pasal 138 ayat (2) KUHAP ;
d.
Prinsip koordinasi dan kerja sama dengan penyidik.
Dari penjelasan tersebut diatas, dapat dilihat bahwa pemeriksaan tambahan dalam pelaksanaannya kurang optimal artinya jarang sekali dilakukan, padahal hal tersebut penting guna memperoleh pembuktian yang cukup/lengkap dalam penanganan suatu perkara dan kepastian hukum serta penegakan hukum yang maksimal. Kekurangan ini menyebabkan ketidakadilan karena perkara yang merugikan korban tidak disidik secara maksimal, dan masyarakat juga dirugikan karena perkara yang meresahkan masyarakat tidak dapat dimaksimalkan penyidikannya.
Dengan tidak dilaksanakannya pemeriksaan tambahan maka akibat yang ditimbulkannya adalah bebasnya tersangka/terdakwa. Karena penyidik tidak dapat memenuhi petunjuk yang harus dilengkapi guna pemeriksaan tingkat penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan yang berujung pada dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).