PENYITAAN
bahan referensi penambah pengetahuan ttg penyitaan
Esensi
fundamental sebagai landasan penerapan “sita” atau “penyitaan”yang perlu
diperhatikan paling tidak ada dua tindakan, yaitu “tindakan hukum eksepsional”
dan “tindakan perampasan”. Dalam hal “penyitaan” merupakan suatu “tindakan
hukum eksepsional”, berarti penyitaan merupakan tindakan hukum yang diambil
oleh pengadilan
mendahului pemeriksaan pokok.
Istilah
“penyitaan” berasal dari terminologi Beslag (bahasa Belanda), dan istilah ini
(beslag) juga lazim dipakai dalam bahasa indonesia, namun istilah bakunya ialah
kata “sita” atau “penyitaan”.
Beberapa
pengertian penyitaan yaitu:
(1)
tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat selama tindakan paksa berada ke
dalam keadaan penjagaan;
(2)
tindakan paksa penjagaan (custody) itu
diberitahukan secara resmi (official)
berdasarkan
permintaan pengadilan atau hakim; dan
(3) barang
yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut, berupa barang yang disengketakan,
tetapi boleh juga barang yang akan dijadikan sebagai alat pembayaran atas
keputusan hutang debitur atau tergugat dengan jalan menjual lelang
(exsekutorial verkoop) barang yang disita tersebut.
Tindakan
sita jaminan merupakan upaya hukum dan tindakan hukum“pengecualian”. Bahwa
tidak selalu proses pemeriksaan perkara harus diikuti dengan tindakan sita
jaminan dan sebagai upaya untuk perkara atau mendahului putusan pengadilan.
Seringkali penyitaan dilakukan pada saat proses pemeriksaan perkara sedang
berjalan. Dengan demikian seolah-olah pengadilan telah menghukum tergugat lebih
dulu, sebelum pengadilan sendiri menjatuhkan putusan.
Tindakan penyitaan
membenarkan putusan yang belum dijatuhkan. Tegasnya, sebelum pengadilan
menyatakan pihak tergugat bersalah berdasarkan putusan, tergugat sudah dijatuhi
hukuman berupa penyitaan harta sengketa atau harta kekayaan tergugat. Itu
sebabnya, tindakan penyitaan merupakan tindakan hukum yang sangat ekspensional.
Pengabulan permohonan penyitaan merupakan tindakan hukum pengecualian, yang
penerapannya mesti dilakukan pengadilan dengan segala pertimbangan yang
hati-hati sekali.
Tindakan
penyitaan harus didukung fakta-fakta yang kuat dan mendasar. Karena itu
tindakan penyitaan tidak boleh diterapkan secara serampangan. Jangan sampai
terjadi misalnya penyitaan telah diletakkan atas harta kekayaan tergugat,
tetapi gugatanternyata ditolak oleh pengadilan.
Kebijakan
mengabulkan “sita jaminan”, sejak semula sebaiknya sudah dilandasi oleh
bukti-bukti yang kuat tentang akan dikabulkannya gugatan penggugat.
Oleh karena
penjatuhan sita (beslag) seolah-olah merupakan pernyataan kesalahan tergugat
sebelum putusan dijatuhkan, dengan sendirinya tindakan penyitaan menimbulkan
berbagai dampak yang harus dipikul tergugat, antara lain dari segi kejiwaan.
Dengan adanya penyitaan maka tentunya telah menempatkan tergugat dalam posisi
keresahan dan kehilangan harga diri. Karena di dalam proses persidangan sedang
berlangsung, putusan yang akan dijatuhkan belum tentu akan menghukum dan
menyalahkan tergugat. Namun dengan adanya penyitaan tersebut, kepercayaan
masyarakat terhadap tergugat sudah mulai hilang dan luntur. Itu artinya
pengadilan berdampak psikologis.
Dengan
memperhatikan akibat-akibat negatif seperti ini, para hakim harus dituntut untuk
teliti di dalam menjalankan permohonan sita. Hakim harus menyadari bahwa
tindakan penyitaan (sita) tersebut dapat bergerak sangat eksepsional, dan sitamemaksakan
kebenaran gugatan, dimana sebelum putusan dijatuhkan
kepada tergugat atau sebelum putusan untuk menghukumnya belum mempunyai
kekuatan hukum tetap (inkrach), tetapi tergugat telah dihukum dan dinyatakan
bersalah dengan jalan menyita harta kekayaannya. Menjamin
hak-hak penggugat, andaikata gugatan penggugat dikabulkan karena dimenangkan,
maka akan lebih pasti bahwa putusannya itu dapat dilaksanakan dan ia dapat
menikmati kemenangannya tersebut. Oleh karena alasan yang eksepsional itulah,
maka penerapannya haruslah:
(a) secara
bijaksana Majelis Hakim (Pengadilan) mempertimbangkan secara hati-hati disertai
dasar alas an yang kuat serta didukung pula oleh fakta-fakta yang mendasar; dan
(b)
kebijaksanaan mengabulkan sita jaminan, sejak semula didasarkanoleh adanya
bukti yang kuat tentang akan dikabulkannya gugatan penggugat.
Dari segi
pelaksanaannya, penyitaan sifatnya terbuka yang umum. Dalam pelaksanaannya:
(1) penyitaan
secara fisik dilakukan ditengah-tengah kehidupan masyarakat sekitarnya;
(2) secara
resmi disaksikan oleh dua orang saksi maupun oleh kepala desa namun bisa pula
disaksikan oleh masyarakat luas;
(3)
administratif justisial, dimana penyitaan barang tertentu harus diumumkan dalam
buku register kantor yang bersangkutan yang sesuai dengan asas publisitas.
Dengan
demikian jelas bahwa tindakan penyitaan berdampak terdapat psikologis yang
sangat merugikan nama baik atau kredibilitas seseorang baik sebagai pribadi,
apalagi sebagai pelaku bisnis.
Tindakan
penyitaan dapat meruntuhkan kepercayaan orang atas bonafilitas korporasi dan
bisnis yang dijalankan. Pengaruh
buruk tindakan penyitaan dari segi psikologis bukan hanya ditanggung dan
menimpa diri pribadi dan bisnis tersita, tetapi berdampak luas kepada keluarga dalam
pergaulan sosial-kemasyaraakatan.
Pada
hakikatnya tindakan penyitaan merupakan perintah perampasan atas harta sengketa
atau harta kekayaan tergugat. Perintah
perampasan itu dilakukan oleh pengadilan dalam surat penetapan berdasarkan
permohonan penggugat. Perampasan harta
tergugat tersebut adakalanya bersifat permanendan juga temporer (sementara)
Manakala
tindakan penyitaan dimaknai sebagai tindakan perampasan berdasarkan perintah
hakim, makna perampasan dalam penyitaan tidak boleh diartikan secarasempit dan
bersifat mutlak. Karena dengan mengartikannya secara sempit dan mutlak akan
dapat menimbulkan penyalahgunaan lembaga sita jaminan.
Penyalah-gunaan
ini terus terjadi dalam praktek sebagai akibat dari kelemahan menafsirkan arti
“sita jaminan” sebagai perampasan yang mutlak. Tidak demikian halnya bahwa sita
atau penyitaan sebagai tindakan-tindakan perampasan harta sengketa atau harta
kekayaan tergugat bukan bersifat mutlak terlepas dari hak danpenguasaan serta
pengusahaan barang yang disita dari tangan tergugat. Oleh karena itu, agar
tidak terjadi kesalahan penafsiran maupun penyalahgunaannya maka perlu
diketahui acuan yang tepat dan proposional untuk memberlakukan “barang sitaan”. Acuan yang
mesti dipedomani terhadap perlakuan barang sitaan terutama bagi hakim adalah:
a. Sita
semata-mata hanya sebagai jaminan. Istilah, maksud dan esensi jaminan,harta
yang disita ditunjukkan untuk menjamin gugatan tergugat, agar gugatan itu tidak
ilusioner.
b. Hak atas
benda sitaan tetap dimiliki tergugat. Sekalipun barang yang disita dirampas
atas perintah hakim, hak milik atas barang tersebut masih tetap berada di
tangan tergugat sampai putusan dieksekusi. Keliru sekali anggapan sementara
pihak-pihak maupun hakim, yang berpendapat sita bersifat melepaskan hak milik
tergugat atas barang yang disita sejak tanggal berita acara sita dibuat.
c.
Penguasaan benda sitaan tetap dipegang tergugat.
Sejalan
dengan acuan yang menegaskan hak milik atas benda sitaan tidak tanggal (lepas)
dari kekuasaantergugat, maka penguasaan atas benda sitaan tetap berada ditangantergugat.
Maka sungguh keliru praktik hukum yang mengabsahkan pelimpahan benda sitaan
berpindah ke tangan penggugat. Penerapan dan praktek hukum yang seperti itu, jelas
bertentangan Pasal 197 ayat 9 HIR atau Pasal 212 Rbg.
Penyitaan
bisa bersifat permanen, apabila penyitaan kelak dilanjutkan dengan perintah
penyerahan kepada Penggugat berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum
tetap, atau apabila penyitaan dilanjutkan kelak dengan penjualan lelang untuk
melunasi pembayaran hutang tergugat kepada penggugat.
Penyitaan
yang dilakukan atas harta sengketa atau harta kekayaan tergugat dapat
dinyatakan bersifat temporer apabila hakim memerintahkan pengangkatan sita. Perintah
pengangkatan sita jaminan yang seperti ini terjadi berdasarkan surat penetapan
pada saat proses persidangan mulai berlangsung, dan bisa juga dilakukan hakim
sekaligus pada saat menjatuhkan putusan, apabila gugatan penggugat ditolak.
Pasal ini memberikan kewenangan kepada hakim atau juru sita untuk menyerahkan
penjagaan, penguasaan, dan pengusahaan barang yang disita ditangan penggugat
atau dibawah penjagaan pengadilan.
Asset Recovery
merupakan hak milik, atau barang yang disita dapat dieksekusi melalui penjualan
lelang, jika perkara yang sengketakan merupakan perselisihan hutang-piutang
atau tuntutnan ganti rugi berdasarkan Toratau Wanprestasi.
Barang yang
menjadi objek sitaan dapat langsung menjadi objek eksekusi, sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 214 Rbg, yang menegaskan bahwa setiapbarang yang disita
dilarang diperjualbelikan atau dipindahkan tergugat kepada
pihak
ketiga atau pihak lain. Dalam hal ini, perbuatan jual-beli merupakan salah satuperbuatan
yang dilarang, dimana jual-beli akan batal demi hukum, apabila terlebih dahulu
telah didaftarkan dan diumumkan. Dalam kasus seperti ini, sita itu masih tetap
menjangkau pihak ketiga atau pihak lain yang ingin memiliki harta sitaan
tersebut, sehingga eksekusi dapat dilaksanakan dan tanpa halangan.
Namun dalam
hal ini, penggugat harus menjelaskan secara terperinci dan menunjukkan
identitas barang yang hendak disita pada saat permohonan sita diajukan pada
Ketua Majelis guna menjaga objek eksekusi yang sudah pasti tadi benar-benar ada
dan sesuai data di lapangan. Misalnya, penggugat harus menjelaskan letak,
ukuran dan batasan-batasannya.
Lebih
lanjut adalah penegasan MA memberi kepastian atas objek eksekusi yang apabila
telah berketentuan hukum tetap, kemenangan atas penggugat dapat langsung
dijamin dengan pasti terhadap adanya barang sitaan tersebut.
Berdasarkan uraian
tersebut di atas dapat diketahui bahwa tujuan pokok dari tindakan penyitaan
(sita) adalah:
(1) untuk
melindungi kepentingan penggugat dari itikad buruk tergugat sehingga gugatan
menjadi tidak hampa (ilusioner), pada saat putusan setelah berkekuatan hukum
tetap; dan
(2) memberi
jaminan kepastianhukum bagi Penggugat terhadapkepastian terhadap objek
eksekusi, apabila keputusan telah berkekuatan hukum tetap.
Tindakan
penyitaan (sita) tidaklah mungkin dapat dilakukan tanpa memenuhi syarat-syarat
yang telah ada dan berlaku sesuai peraturan perundang-undangan. Namun kecukupan
syarat-syarat tidaklah cukup dan sempurna apabila tidak dibarengi dengan adanya
alasan-alasan penyitaan. Pertama-tama syarat penyitaan harus melalui adanya
permohonan sita kepada hakim.
Hakim
tentunya akan mempelajari permohonan sita tersebut sesuai dengan tata cara
pengajuan permohonan yang berlaku. Syarat penyitaan berdasarkan permohonan sita
merupakan hal yang mendasar, sebab hakim tidaklah akan menjatuhkan sita apabila
tidak ada inisiatif dari pengugat yang mengajukan permohonan sita. Sita
berdasarkan permohonan diajukan dalam surat gugatan. Biasanya, dalam suatu
permohonan sita diajukan bersama-sama di dalam surat gugatan.
Bentuk dan
tata cara pengguna permohonan sita jaminan yang seperti ini dalam praktiknya
lazim dijumpai. Penggugat mengajukan permohonan sita secara tertulis dalam
bentuk surat gugatan, sekaligus bersamaan dengan pengajuan gugatan pokok.
Pengajuan
permohonan sita dalam bentuk ini tidak dapat dipisahkan dari dalil gugatan
pokok. Apabila permohonan sita diajukan Kepastian objek eksekusi atas barang
sitaan semakin sempurna sesuai dengan penegasan MA yang menyatakan, bila
putusan telah berkekuatan hukum tetap maka barang yang disita demi hukum
langsung menjadi sita eksekusi. bersamaan di dalam gugatan, perumusan
permohonan sita di dalam surat gugatan biasanya mengikuti pedoman yang ada.
Pertama,
gugatan sita dirumuskan setelah uraian “posita” atau“dalil gugat”. Dengan
perumusan dalil gugat itulah ditentukan layak atau tidaknya diajukan permohonan
sita, karena dari perumusan dalil gugat beserta penjelasan mengenai uraian
fakta dan peristiwa yang mendukung dalil gugat, akan lebih tepat dan lebih
mudah dirumuskan permohonan sita serta alas an-alsan kepentingan penyitaan.
Kedua,
permintaan pernyataan sah biasanya diajukan pada “petitum kedua”. Biasanya
setelah diuraikan perumusan permohonan sita pada akhir “posita gugat”, permohonan
sita itu dipertegas lagi dalam “petitum gugat”, yang berisi permintaan kepada
pengadilan supaya sita yang diletakkan atas harta sengketa atau harta kekayaan
tergugat, dinyatakan sah dan berharga.
Namun ada
kalanya permohonan sita juga diajukan secara terpisah dari pokok perkara. Dalam
bentuk permohonan seperti ini, penggugat membuatnya atau menyiapkannya dalam
bentuk tersendiri secara terpisah darigugatan pokok perkara. Penggugat dapat
mengajukan permohonan sita dalam surat yang lain, bahkan dimungkinkan dan
dibolehkan pengajuan permohonan sita tersendiri secara lisan.
Satu hal
penting yang harus diperhatikan dalam hal pengajuan sita adalah tenggang waktu
pengajuan sita, sampai batas waktu kapan permohonan sita dapat diajukan dan
kepada instansi pengadilan mana saja pengajuan sita jaminan yang dibenarkan
oleh hukum.
Penentuan
tenggang waktu pengajuan permohonan sita diatur dalam Pasal 261 ayat 1 Rbg.
Menurut ketentuan perundang- undangan yang berlaku, pengajuan permohonan sita
dapat dilakukan:
1) Selama putusan belum dijatuhkan atau selama belum
berkekuatan hukum tetap. Menurut Pasal 261 ayat 1 Rbg, ketentuan tenggang waktu
ini yang dibenarkan karena hukum yaitu selama putusan belum dijatuhkan atau
selama putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Jadi selama putusan
perkara belum diputus oleh hakim atau selama putusan belum mempunyai kekuatan
hukum yang tetap, masih terbuka hak dan kesempatan untuk mengajukan permohonan
sita.
2) Sejak
mulai berlangsung pemeriksaan perkara di sidang pengadilan negeri
sampai
putusan dijatuhkan. Dalam Pasal 261 ayat 1 Rbg ada ketentuan yang berbunyi
“selama putusan belum dijatuhkan”. Makna dan penafsiran kalimat tersebut
Namun di
dalam praktiknya, bentuk permohonan sita tersendiri secara lisan jarang
terjadi. Tetapi pada hakekatnya, kelangkaan praktek itu bukan berarti dapat
melenyapkan hak penggugat untuk mengajukan permohonan sita secara lisan.
3) Atau
selama putusan belum dapat dieksekusi. Dalam Pasal 261 ayat 1 Rbg juga memuat
ketentuan yang berbunyi “selama putusan belum dapat dieksekusi(dilaksanakan)”.
Selama putusan belum dapat dilaksanakan mengandung arti yuridisselama putusan
yang bersangkutan belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Berdasarkan
ketentuan di atas jelas bahwa permohonan sita dapat dimohonkan ke pengadilan
apabila putusan belum dapat dieksekusi, karena putusan tersebut masih belum
berkekuatan hukum tetap (inkrach), yang dapat masih dapat dilakukan upaya hukum
banding maupun dikasasi. Dalam hubungan ini, kendati undang-undang secara tegas
memberi hak dan kewenangan kepada hakim untuk menyita hartakekayaan atau harta
terpekara milik tergugat sesuai dengan Pasal 261 Rbg jo. Pasal 206 Rbg, tetapi
hakim harus teliti dan cermat didalam pengabulan terhadap permohonan sita. Ini
karena sita sangat eksepsional sekali sifatnya. Permohonan sita yang telah
dimohonkan selayaknya disempurnakan dengan adanya alasan sita. Sangat mustahil
sekali hakim mau mengabulkan sita apabila tidak dibarengi dengan suatu alasan
sitayang relevan dan logis, serta kuat. Mengingat sangat eksepsionalnya sifat
tindakan penyitaan (sita) ini, maka hakim harus benar-benar mengamati,
memperhatikan, serta menimbang alasan sita tersebut dengan cermat dan teliti.
Jangansampai permohonan sita itu dikabulkan tanpa mengkaji pengabulan sita
dengan alasan yang dibenarkan oleh hukum.
Sebelum
permohonan sita dikabulkan hakim, hakim berhak dan berwewenang memeriksa
fakta-fakta tentang adanya dugaan atau persangkaan berupa petunjuk-petunjuk
pelanggaran hokum (misalnya penggelapan) yang hendak dilakukan tergugat atas
barang-barang yang menjadi objek sengketa.
Apabila
alasan sita memang telah sesuaidengan aturan-aturan yang berlaku dan telah
memenuhi unsur persangkaan hakim bahwa perlu dilakukan sita, maka permohonan
sita dapat dikabulkan. Sebaliknya apabila alasan permohonan sita tidak
sesuai dengan fakta-fakta, aturan-aturan, dan unsur-unsur penilaian persangkaan
hakim, maka sewajarnya permohonan sita tersebut ditolak. Hal ini ditujukan
untuk melindungi hak dari tergugat. Walaupun esensi atau alasan utama sita
terletak pada “tergugat akan menggelapkan barang yang menjadi objek perkara”,
namun perlu diperhatikan pula unsur sita jaminan jangan sampai terlalumerugikan
pihak tergugat. Dari ketentuan Pasal 261 ayat 1 Rbg dapat kita lihat tentang
batas pengajuan tenggang waktu sita. Namun terkait dengan masalah kewenangan
untuk memerintahkan pelaksanaan sita, masih ada silang pendapat di antara
praktisi hukum. Pendapat pertama, mutlak menjadi kewenangan Pengadilan Negeri.
Menurut pendukung pendapat ini, hanyalah Pengadilan Negeri yang memmpunyai
kewenangan atas sita. Di dalam undang-undang tidak ada kewenangan yang
diberikan kepada Pengadilan Tinggi (PT) sebagai instansitingkat banding.
Sehubungan
dengan pendapat ini, telah dirinci aturan penerapan penyitaan sebagai berikut:
a)
Apabila Pengadilan Negeri (PN) menolak sita, maka Pengadilan Tinggi (PT) tidak
berwewenang memerintahkan PN untuk melakukan sita, kecuali apabila PN mencabut
permohonan sita, maka PT berwewenang penuh untuk mengabulkan sita dengan cara
Universitas Sumatera Utaramembatalkan putusan PN.
b) Apabila penggugat menganggap
perlu dilakukan penyitaan, sedangkan perkara sudah pada tingkat banding, maka
permohonan tetap diajukan kepada PN, karena PN berwewenang penuh memutus
pengabulan atau permohonan sita. Pendapat kedua, Pengadilan Tinggi (PT)
berwewenang memerintah sita.
Menurut
Prof. Subekti, Permohonan penyitaan dapat diajukan kepada Pengadilan Tinggi
(PT) selama pokok perkaranya belum diputus oleh pengadilan tingkatbanding,
dengan alasan yang berpijak pada Pasal 261 Rbg karena di dalamnya terdapat
kalimat: “Sebelumputusan memperoleh kekuatan hukum tetap”. Kalimat tersebut”
menunjukan “bahwa permohonan sita dapat juga ditujukan kepada PT selama pokok
perkaranya belum diputus dalam tingkat banding”. Seperti
telah dijelaskan sebelumnya bahwa permohonan sita hanya boleh dikabulkan dan
diletakan terhadap barang-barang yang ditunjuk penggugat. Penunjukan ini
diwajibkan terhadap barang yang ditunjuk secara jelas dan pasti, baik mengenai
sifat, letak, ukuran yangberkaitan dengan identitas barang.
Jadi,
kewajiban penggugat sehubungan dengan penunjukan barang yang diminta untukdisita
mengandung unsur:
(1) menjelaskan letak, sifat, dan ukuran barang;
(2)
mengemukakan surat-surat yang berkenaan dengan identitas barang (bukti surat
barang); dan
(3) penegasan positif status barang adalah milik tergugat.
Pada diri
hakim tidak ada kewajiban hukum untuk mencari dan menemukan identitas atau
rincian barang yang menjadi objek sita. Hal ini adalah mutlak kewajiban penggugat.
Oleh karena itu, sangat mustahil bagi penggugat memintahakim mencari
dan menemukan identitas barang yang hendak disita. Oleh karena tindakan
penyitaan (sita) adalah untuk kepentingan penggugat maka si penggugat yang
mesti menyebut identitasnya secara terang dan pasti.
Di dalam
pengajuan gugatan, penggugat harus dapat menunjukan kepada hakim tentang adanya
relevansi dan urgensi penyitaan dilakukan dalam perkara yang bersangkutan. Bila
ditinjau dari ketentuan Pasal 261 Rbg maupun Pasal 720 Rv, alasan-alasan pokok
permintaansita adalah, sebagai berikut: Namun di antara beberapa unsur
kewajiban diatas, ada yang berpendapat tidak mutlak penggugat harus dapat
menunjukan atau mengajukan surat identitas atau surat bukti barang.Menurut praktek yang sudah ada,
dianggap cukup bila penggugat telah mampu menjelaskan unsur, sifat , letak, dan
ukurannya, ditambah dengan unsur penegasan yang positif bahwa barang itu milik
tergugat atau setidak- tidaknya dalam kekuasan tergugat.Intinya adalah
penggugat tidak boleh menyebutkan barang objek sita secara umum, meskipun Pasal
1311 KUH Perdata menegaskan segala harta kekayaan debitur menjadi tanggungan
untuk membayar utangnya.
a. Adanya
kekhawatiran atau persangkaan bahwa tergugat berusaha mencari akal guna
menggelapkan atau mengasingkan harta kekayaannya, dimana dilakukan selama
proses pemeriksaan perkara berlangsung.
b.
Kekhawatiran atau persangkaan itu harus nyata dan mempunyai sifat yang
objektif, dimana: 1) Penggugat harus mampu menunjukan fakta-fakta tentang
adanya langkah-langkah tergugat untuk menggelapkan atau mengasingkan harta kekayaannya,
selama proses pemeriksaan perkara berlangsung. 2) Sekurangkurangnya, penggugat
dapat menunjukan adanya indikasi objektif tentang adanya upaya untuk
menghilangkan atau mengasingkan barang-barangnya guna menghindari isi gugatan penggugat.
3) Sesuai dengan pendapat Prof. Supomo yang menjelaskan dalam peradilan perdata
tugas hakim adalah mempertahankan tata hukum perdata.
Hakim harus
mampu melihat bahwa seandainya sita tidak diajukan akan menimbulkan kerugian
dari pihak penggugat. Hal tersebut di atas harus diperkuat dengan eratnya isi
gugatan dengan penyitaan, yang apabila penyitaan tidak dilakukan maka timbul
kerugian dari pihak penggugat. Dengan demikian, penggugat tidak dibenarkan
mendasarkan kekhawatiran dan persangkaan secara pribadi saja terhadap tergugat
untuk mengajukan sita. Berdasarkan Pasal 261 Rbg atau Pasal720 Rv, alasan dapat
dikatakan objektif apabila dilengkapi dengan fakta-fakta atau petunjuk-petunjuk
yang nyata. Hal ini diharuskan karena hakim dapat menolak permohonan sita apabila
alasan sita tidak kuat. Karenamenurut undang- undang, yang berhak menilai
alasan sita adalah hakim. Jadialasan sita harus dapat benar-benar meyakinkan
hakim. Semua alasan-alasan yang diangkat oleh penggugat pada akhirnya
untuk kepentingan tergugat sendiri agar haknya terjamin sekiranya gugatannya
dikabulkan nanti, dan telah berkekuatan hukum tetap untuk dilaksanakan.
Suber : http://www.ppatk.go.id/files/PEMULIHANASET_ASSETRECOVERY_DENGANMENYITASETILEGAL_PAPER_EDINST_10JUNI20130.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar