Tugas dan
Wewenang Kejaksaan Kejaksaan adalah
lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara secara merdeka di bidang penuntutan
serta kewenangan lain berdasarkan
undang-undang, jadi antara kejaksaan dengan kekuasaan negara di bidang
penuntutan serta kewenangan lain tidak
terpisahkan satu sama lain.
Berdasarkan Pasal
30 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia, maka tugas dan wewenang Kejaksaan adalah:
- Di bidang
pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
a)
melakukan penuntutan;
b)
melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
c)
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana
bersyarat, putusan pidana pengawasan,
dan keputusan lepas bersyarat;
d)
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
e)
melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke
pengadilan yang dalam pelaksanaannya
dikoordinasikan dengan penyidik.
- Di bidang
perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar
pengadilan untuk dan atas nama negara
atau pemerintah.
- Dalam bidang
ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:
a.
peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b.
pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c.
pengawasan peredaran barang cetakan;
d.
pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
e.
Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f.
penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
Di samping tugas
dan wewenang tersebut dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,
kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang
lain berdasarkan undang-undang, di antaranya Kejaksaan membina hubungan
kerja sama dengan badan penegak hukum
dan keadilan serta badan negara atau instansi
lainnya. Kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup
tugas dan wewenang Kejaksaan itu harus
ditetapkan dan dikendalikan oleh Jaksa Agung.
Penataan Barang
Bukti Barang bukti dalam proses
persidangan mempunyai fungsi untuk memperkuat
keyakinan hakim dalam menilai kebenaran material dan formal atas kesalahan,
Pasal 32, 33 dan Pasal 35 UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, lihat juga Pasal 38 dan Pasal 39
yang menyatakan untuk meningkatkan kualitas kinerja kejaksaan, Presiden dapat membentuk sebuah
komisi yang susunan dan kewenangannya diatur oleh Presiden. Kejaksaan berwenang menangani
perkara pidana yang diatur dalam Qanun sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Untuk menjaga
agar sifat, jumlah dan atau bentuk barang bukti tidak berubah yang dapat menyulitkan Jaksa Penuntut Umum
untuk membuktikan kesalahan terdakwa,
maka mekanisme penerimaan, penyimpanan dan penataan barang bukti tersebut harus tersusun.
Setiap
penyerahan barang bukti/temuan secara pisik oleh penyidik kepada kejaksaan diterima oleh:
1.
Kejaksaan Tinggi oleh Kasi Penuntutan Tingkat Pidana Para Tindak
Pidana Khusus.
2.
Kejaksaan Negeri oleh Kasi Tindak Pidana Umum/Kasi Tindak Pidana
Khusus.
3.
Cabang Kejaksaan Negeri oleh Kasubsi Tindak Pidana.
Adapun prosedur
penerimaan barang bukti tersebut adalah:
a)
Barang bukti yang akan diterima oleh petugas wajib terlebih dahulu
secara pisik dicocokkan dengan daftar
yang terdapat dalam berkas perkara, dengan disaksikan oleh tersangka/terdakwa dan penyidik.
b)
Selain wajib mencocokkan barang bukti dengan daftar barang bukti,
penerimaan barang bukti juga meneliti
jumlah satuan berat, kadar nilai barang bukti, serta bagian I angka 1 Lampiran
Keputusan Jaksa Agung R.I. Nomor: KEP.112/JA/19/1989 tentang Mekanisme Penerimaan Penyimpanan Dan
Penataan Barang Bukti. Bagian I Lampiran
Keputusan Jaksa Agung R.I. Nomor: KEP.112/JA/19/1989 tentang Mekanisme Penerimaan Penyimpanan Dan Penataan
Barang Bukti.
- Hasil penelitian
dituangkan dalam Berita Acara Penelitian Barang Bukti (B-1) dan ditandatangani bersama oleh yang
menyerahkan dan yang meneliti/
menerima. Terhadap barang bukti
yang memerlukan penelitian khusus dari ahli tertentu antara lain seperti logam mulia, perhiasan,
narkotika dan sebagainya, jika tidak
dapat diselesaikan dengan segera, sebelum dibungkus dan disegel,
dibuatkan Tanda Terima Sementara yang
memuat perincian berat, jumlah, jenis, ciri dan
sifat khusus.
- Setelah barang
bukti dicocokkan dengan daftar barang bukti atau setelah diteliti oleh pejabat yang berwenang untuk itu segera
dibukukan dalam Register Barang Bukti
(RB-1) diberikan label barang bukti (B-5) dan dicatat dalam Kartu Barang Bukti (B-4) kemudian disimpan dalam gudang
barang bukti.
- Setelah ditunjuk
Jaksa Penuntut Umum (Pemegang PK-5A) ia wajib meneliti kembali pisik barang bukti seperti tersebut
dalam daftar barang bukti dengan
disaksikan oleh Petugas Barang Bukti Penerima Barang Bukti. Hasil
penelitian agar dituangkan dalam Berita Acara Peneltiian Barang Bukti
(B-1) dan ditandatangani oleh Jaksa
Penuntut Umum dan Petugas Penerima Barang
Bukti.
- Barang bukti
yang diterima di Kejaksaan Tinggi harus diregister tersendiri oleh Kasi Penuntutan Tindak Pidana Umum atau Kasi
Penuntutan Tindak Pidana Khusus sesuai
dengan jenis perkaranya dan selanjutnya segera disampaikan kepada Kejaksaan Negeri yang bersangkutan
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari. Perkara
dan barang bukti wajib meneliti kembali
barang bukti tersebut dan hasilnya dituangkan dalam Berita Acara Penelitian (B-1).
- Setelah selesai
melaksanakan penelitian barang bukti sebagaimana dimaksud, barang bukti tersebut dibungkus kembali
dengan menggunakan kertas pembungkus
warna coklat, dilak dan dicap dengan cap segel Kejaksaan serta dibuatkan Berita Acara Pembungkus dan
Penyegelan Barang Bukti. Setelah barang
bukti diregister, diberi label barang bukti dan diisi Kartu Barang Bukti, maka barang bukti dengan Berita Acara
Penitipan diserahkan kepada pemegang barang
bukti untuk disimpan.
- Barang bukti
dapat dititipkan/dikembalikan kepada mereka, dari siapa benda itu disita, atau kepada mereka yang paling
berhak, karena:
1)
Kepentingan penuntutan tidak diperlukan lagi (Pasal 46, 194
KUHAP).
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dinyatakan Rumah
Penyimpanan Benda Sitaan Negara selanjutnya disebut RUPBASAN adalah tempat benda yang disita oleh
Negara untuk keperluan proses peradilan (Pasal 1 angka 3).
2)
Di tiap Ibukota Kabupaten/Kotamadya dibentuk RUPBASAN oleh Menteri,
dan apabila dipandang perlu Menteri
dapat membentuk RUPBASAN di luar tempat sebagaimana dimaksud yang merupakan cabang RUPBASAN dengan Kepala
Cabang RUPBASAN diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri (Pasal 26).
Selanjutnya
dalam Pasal 27 dinyatakan:
1)
Di dalam RUPBASAN ditempatkan benda yang harus disimpan untuk
keperluan barang bukti dalam pemeriksaan
dalam tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan termasuk barang yang dinyatakan dirampas
berdasarkan putusan hakim.
2)
Dalam. hal benda sitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
mungkin dapat disimpan dalam RUPBASAN,
maka cara penyimpanan benda sitaan tersebut diserahkan kepada Kepala RUPBASAN.
3)
Benda sitaan disimpan di tempat RUPBASAN untuk menjamin keselamatan
dan keamanannya.
4)
Kepala RUPBASAN tidak boleh menerima benda yang harus disimpan untuk
keperluan barang bukti dalam
pemeriksaan, jika tidak disertai surat penyerahan yang sah, yang dikeluarkan
oleh pejabat yang bertanggungjawab
secara juridis atas benda sitaan tersebut. Sangat dibutuhkan oleh pemiliknya (perhatikan
penjelasan dari Pasal 194 ayat (2)
KUHAP).
- Pengembalian
barang bukti kepada orang yang berhak menerimanya dibuatkan Berita Acara Pengembalian yang
ditandatangani Jaksa Penuntut Umum dan
Penerima Barang Bukti. Selain dibuatkan Berita Acara Pengembalian pemegang barang bukti dari penerima barang bukti wajib
menandatangani Kartu Barang Bukti
setelah ia menerima kembali barangnya.
- Terhadap barang
bukti yang dikembalikan tetapi tidak diambil, maka pemilik
atau yang berhak berdasarkan Keputusan Pengadilan dipanggil kembali
secara sah dan diberitahukan melalui
mass media dan/atau diumumkan melalui Kantor
Pengadilan Negeri, Kecamatan, Kelurahan dan lain-lain. Sesudah 6 (enam) bulan sejak putusan menjadi
tetap tidak diambil oleh yang berhak
menerimanya, barang bukti dilelang berdasarkan kepada Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1947 jo Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 1948.
- Barang bukti
yang tidak mempunyai nilai ekonomis, sedangkan biaya lelang lebih tinggi dari barangnya atau diperkirakan tidak
ada peminatnya, supaya barang bukti
tersebut diusulkan kepada Jaksa Agung untuk dimanfaatkan bagi:
a.
Kepentingan Dinas Kejaksaan,
b.
Badan-badan Sosial, dan
c.
Korban Bencana Alam.
- Selanjutnya, barang bukti yang rusak sehingga tidak
mungkin dilelang atau dimanfaatkan supaya
diusulkan kepada Jaksa Agung untuk dimusnahkan. Selanjutnya, barang
bukti itu dapat serahkan kembali bila diminta pengadilan. Berkas perkara yang dilimpahkan ke
Pengadilan, bila barang buktinya diminta oleh
Pengadilan, agar diserahkan (Pasal 44 ayat (2) KUHAP) dengan dibuat
Berita Acara Penyerahan.
Demikian pula
bila perkara tersebut sudah diputus dan mempunyai kekuatan hukum tetap, pada waktu penerimaan
kembali barang bukti dari Pengadilan
untuk pelaksanaan eksekusi, agar dibuat Berita Acara Penerimaan,
Mekanisme penyerahan dan penerimaan
ke/dari Pengadilan agar disesuaikan dengan mekanisme penerimaan barang bukti dari penyidik.
Pada
dasarnya merupakan barang bukti berupa
barang hasil temuan, barang sitaan, dan selanjutnya dapat menjadi barang rampasan Negara dalam kaitan
dengan perkara pidana. Barang Temuan
Barang Temuan adalah yang berdasarkan pemeriksaan ditemukan
penyidik atau instansi-instansi terkait
yang tidak diketahui identitas yang memiliki atau yang menguasai atau yang mengangkut, baik nama
maupun alamatnya. Sehingga, barang
temuan tersebut harus dibuatkan Berita Acara Penemuan oleh Petugas
Kejaksaan yang menemukan sendiri barang
tersebut atau oleh petugas yang menerima barang
temuan tersebut dari pihak ketiga. barang temuan tersebut harus
diberitakan dalam mass media dan atau
diumumkan melalui kantor Pengadilan Negeri, Kecamatan, Kelurahan yang dapat diketahui secara luas oleh penduduk di
dalam wilayah Kejaksaan Negeri yang
bersangkutan; Dalam pengumuman tersebut di atas supaya dinyatakan bahwa
barang siapa yang merasa dirinya sebagai
pemilik barang tersebut yang berhak supaya
mengambil ke Kantor Kejaksaan Negeri yang bersangkutan dalam jangka waktu
6 (enam) bulan.
Dalam jangka
waktu 6 (enam) bulan ada yang datang dan mengaku sebagai pemilik barang-barang tersebut/yang berhak
supaya mengajukan bukti-bukti tertulis,
serta dengan membawa surat keterangan mengenai jati diri dari
Lurah/Kepala Desa yang dikukuhkan oleh
Camat setempat. Apabila ternyata dari hasil penelitian bukti- bukti tertulis
tersebut adalah benar dan meyakinkan, maka barang-barang tersebut harus diserahkan kepada pemilik yang berhak
dengan disertai Berita Acara. Sedangkan,
seseorang yang datang mengaku sebagai pemilik yang berhak tetapi tidak dapat menunjukkan bukti-bukti tertulis, atau
bukti-bukti yang dibawa tidak benar atau
diragukan kebenarannya maka permohonan pengambilan barang bukti itu
harus ditolak.
Penolakan atas
permohonan pengambilan barang tersebut tidak dapat diterima oleh orang yang merasa dirinya sebagai
pemilik/yang berhak, maka yang
Bagian VI angka 3 Lampiran Keputusan Jaksa Agung R.I. Nomor: KEP-12/JA/19/1989 tentang Mekanisme Penerimaan, Penyimpanan Dan
Penataan Barang Bukti Bagian VI angka 4
Lampiran Keputusan Jaksa Agung R.I. Nomor: KEP-12/JA/19/1989 tentang Mekanisme Penerimaan, Penyimpanan Dan
Penataan Barang Bukti bersangkutan dapat mengajukan gugatan perdata.
Selanjutnya penyelesaian barang temuan
tersebut disesuaikan dengan bunyi amar putusan Pengadilan Perdata yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Setelah lewat
jangka waktu 6 (enam) bulan itu ternyata tidak ada orang yang datang dan mengajukan sebagai pemilik/yang
berhak atau ada orang yang datang dan
mengaku sebagai pemilik tetapi permohonannya ditolak oleh Kejaksaan atau
adanya putusan Pengadilan Perdata yang
menyatakan barang temuan tidak ada pemiliknya,
maka barang temuan tersebut harus dilelang melalui Kantor Lelang Negara.
Kantor Lelang Negara yang dimaksud disini adalah
Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan
Lelang (KPKNL) yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.06/2007 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor
40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, Terhadap barang temuan tersebut dapat juga
tidak dilelang.
Apabila
lelang tidak mungkin dilaksanakan karena
diperkirakan biaya lelang lebih besar dari pada
harga yang dilelang atau tidak ada peminat atau barang yang akan
dilelang tidak mempunyai nilai ekonomis,
supaya barang-barang tersebut diusulkan ke Kejaksaan Agung untuk dimanfaatkan bagi:
- kepentingan
Dinas Kejaksaan,
-
Badan-badan Sosial, Bagian VI angka 5 Lampiran Keputusan Jaksa Agung
R.I. Nomor: KEP-12/JA/19/1989 tentang
Mekanisme Penerimaan, Penyimpanan Dan Penataan Barang Bukti 71
Bagian VI angka 6 Lampiran Keputusan Jaksa Agung R.I. Nomor:
KEP-12/JA/19/1989 tentang Mekanisme
Penerimaan, Penyimpanan Dan Penataan Barang Bukti Menurut Instruksi Presiden
R.I Nomor 9 Tahun 1970, bahwa
pemanfaatan barang-barang temuan yang diusulkan oleh Kejaksaan kepada Kejaksaan Agung untuk diteruskan usul
tersebut kepada Menteri Keuangan untuk
mendapat persetujuan.
Selanjutnya,
barang temuan yang rusak sehingga tidak
mungkin dilelang atau dimanfaatkan supaya diusulkan ke Kejaksaan Agung
untuk dimusnahkan.
Dengan demikian,
barang temuan yang sudah diumumkan di mass media dan belum lewat jangka waktu 6 (enam) bulan ada
pihak yang menyatakan sebagai pemiliknya
yang berdasarkan penelitian oleh Kejaksaan bahwa dokumen secara tertulis tentang kepemilikan barang temuan
itu adalah benar, maka pihak Kejaksaan
harus menyerahkan barang temuan tersebut kepada yang bersangkutan dengan
Berita Acara.
Sedangkan
setelah lewat jangka waktu 6 (enam) bulan, ada pihak yang mengajukan permohonan sebagai pemilik barang
temuan tersebut, maka pihak Kejaksaan
dapat menolak permohonan tersebut, tetapi masih diberi kesempatan bagi pemohon untuk mengajukan gugatan perdata atas
kepemilikan barang temuan itu. Selanjutnya, dengan adanya putusan pengadilan
secara perdata yang menyatakan barang
temuan tidak ada pemiliknya, maka barang temuan dapat dilelang melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang
(KPKNL). Berdasarkan keterangan Keputusan Jaksa Agung R.I. Nomor:
KEP-12/JA/19/1989 tentang Mekanisme
Penerimaan, Penyimpanan Dan Penataan Barang Bukti
Barang
Sitaan Barang sitaan yang dimaksud adalah
barang-barang yang disita sebagai barang
bukti sitaan perkara pidana, mengingat penyitaan sering dijumpai dalam perkara perdata, misalnya
terkait hal hutang piutang. Dalam perkata perdata, jika sesudah lewat waktu
yang ditentukan belum juga dipenuhi
putusan tersebut, atau jika pihak yang dikalahkan tersebut, sesudah dipanggil dengan patut tidak juga menghadap,
maka ketua pengadilan karena jabatannya
memberikan perintah secara tertulis supaya disita sejumlah barang tidak tetap (barang bergerak) dan jika tidak ada
barang seperti itu, atau ternyata tidak
cukup, maka barang tetap kepunyaan orang yang dikalahkan tersebut,
sehingga dirasa cukup sebagai pengganti
jumlah uang yang tersebut dalam putusan dan seluruh biaya pelaksanaan putusan tersebut (Pasal 197 ayat
(1) HIR).
Surat perintah
inilah yang lazim disebut (penetapan)
atau yang biasa disebut suatu penetapan perintah eksekusi. Surat penetapan ini
menjamin sahnya perintah menjalankan eksekusi, baik terhadap panitera atau juru sita yang mendapat
perintah maupun pihak yang kalah
(tereksekusi). Tanpa surat penetapan, pihak yang kalah dapat menolak
tindakan. Sedangkan yang dimaksud barang sitaan yang dieksekusi lelang
Kejaksaan adalah barang-barang sitaan
yang merupakan barang bukti dalam perkara pidana, karena pertimbangan sifatnya cepat rusak,
busuk, berbahaya atau biaya penyimpannya
terlalu tinggi, maka dapat dilelang mendahului Keputusan Pengadilan berdasarkan Pasal 45 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHAP).
Barang sitaan
yang dijadikan barang bukti, misalnya berupa kayu gergajian yang dengan pertimbangan sifatnya cepat
rusak/busuk dan biaya penyimpanan tinggi,
maka Kejaksaan Negeri yang menangani perkara memohon barang sitaan
tersebut untuk dilelang. Lelang barang
bukti sitaan memerlukan ijin dari Ketua Pengadilan tempat perkara berlangsung, dan uang hasil lelang dipergunakan sebagai bukti
dalam perkara. Dalam Pasal 46 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) dinyatakan: Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan
kepada orang atau kepada mereka dari
siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila :
a.
kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
b.
perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau
ternyata tidak merupakan tindak
pidana;
c.
perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau
perkara tersebut ditutup demi hukum,
kecuali apabila benda itu diperoleh dari
suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.
Apabila perkara
sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka
yang disebut dalam putusan tersebut,
kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk
dirusakkan sampai tidak dapat
dipergunakan lagi atau, jika benda tersebut masih diperlukan sebagai
barang bukti dalam perkara lain Selanjutnya, barang sitaan sebagai barang
bukti tersebut dapat menjadi barang
rampasan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, bahwa barang kepunyaan si
terhukum yang diperoleh dengan kejahatan atau
yang dengan sengaja dipakai untuk melakukan kejahatan dapat dirampas
untuk negara.
Barang sitaan
yang digunakan sebagai barang bukti dalam perkara pidana, dapat menjadi barang rampasan Kejaksaan, jika
terdapat beberapa unsur yang dipenuhi
oleh hakim untuk dapat merampas suatu barang, yaitu barang sitaan itu kepunyaan si terhukum yang diperoleh dengan
kejahatan atau yang dengan sengaja
dipakai untuk melakukan kejahatan. Bahwa barang sitaan itu dapat menjadi
barang rampasan, maka barang tersebut
haruslah merupakan barang kepunyaan pelaku, jadi jika barang sitaan itu walaupun dipergunakan
oleh terpidana untuk melakukan tindak
pidana atau merupakan hasil dari tindak pidana akan tetapi barang
tersebut bukanlah milik terpidana maka
atas barang tersebut tidak dapat dirampas tetapi hanya sebagai barang bukti dan harus dikembalikan kepada
yang berhak, kecuali dalam hal pemalsuan uang sebagaimana dinyatakan dalam
Pasal 250 bis KUHP yang mengatur tentang
tindak pidana pemalsuan uang.
Barang sitaan
yang dijadikan barang bukti dalam suatu
perkara pidana dapat dijual lelang sebelum ataupun sesudah adanya putusan pengadilan terhadap perkara tersebut,
apabila barang sitaan sebagai barang
bukti itu merupakan barang yang bersifat cepat rusak atau busuk atau
memerlukan biaya penyimpanan yang
tinggi, dan uang hasil lelang digunakan sebagai pengganti barang bukti dalam perkara pidana tersebut.
Barang
Rampasan Sebagaimana telah dikemukakan
di atas, bahwa barang temuan atau barang
sitaan sebagai barang bukti dalam perkara pidana tersebut dapat menjadi
barang rampasan, yang selanjutnya
dilaksanakan lelang eksekusi terhadap barang rampasan tersebut.
Berdasarkan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP-
089/J.A/8/1988 tentang Penyelesaian Barang Rampasan, dinyatakan barang
rampasan adalah barang bukti yang
berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dinyatakan dirampas
untuk Negara (Pasal 1).
Penyelesaian barang rampasan dilakukan dengan cara dijual
lelang melalui Kantor Lelang Negara atau
dipergunakan bagi kepentingan Negara, kepentingan sosial atau dimusnahkan atau
dirusak sampai tidak dapat dipergunakan lagi (Pasal 3). Tenggang waktu
untuk menyelesaikan barang rampasan
selambat-lambatnya 4 (empat) bulan setelah putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal
4).
Barang rampasan
yang telah diputus oleh Pengadilan dilimpahkan
penanganannya kepada Bidang yang berwenang menyelesaikan barang
rampasan sesegera mungkin setelah
keputusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, dengan menyertakan salinan vonnis atau
extract vonnis dan pendapat hukum. Setelah
menerima barang rampasan, bidang yang berwenang menyelesaikan barang
rampasan mengajukan permohonan kepada
Kepala Kejaksaan Negeri atau Kepala
Kejaksaan Tinggi atau Jaksa Agung Muda yang berwenang menyelesaikan
barang rampasan.
Setiap barang
rampasan yang akan dijual lelang oleh Kejaksaan terlebih dahulu mendapat izin dari Kepala Kejaksaan
Negeri atau Kepala Kejaksaan Tinggi atau
Jaksa Agung Muda yang berwenang menyelesaikan barang rampasan, menurut harga dan barang rampasan yang dikeluarkan oleh
Instansi yang berwenang.
Barang rampasan
yang termasuk dalam satu putusan Pengadilan tidak diperkenankan dijual lelang secara
terpisah-pisah kecuali dalam keadaan yang
mendesak, dan harus mendapat izin untuk menjual lelang barang rampasan
yang, Pasal 5 Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor:
KEP-089/J.A/8/1988 tentang Penyelesaian
Barang Rampasan. Pasal 6 Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor:
KEP-089/J.A/8/1988 tentang Penyelesaian
Barang Rampasan. dipisah-pisahkan oleh Kepala Kejaksaan Negeri atau Kepala
Kejaksaan Tinggi atau Jaksa Agung Muda
yang berwenang menyelesaikan barang rampasan.
Adapun
barang rampasan suatu putusan Pengadilan
yang tidak diperkenankan dijual lelang secara
terpisah kecuali dalam keadaan yang mendesak, yaitu:
a.
Barang sengketa dalam perkara perdata, yaitu apabila dalam satu
Putusan Pengadilan terdapat barang
rampasan yang terkait dalam perkara perdata, sambil menunggu Putusan perdatanya dapat diajukan
permohonan izin untuk dijual
lelang.
b.
Barang yang dituntut oleh pihak ketiga, yaitu apabila dalam satu
Putusan Pengadilan terdapat barang
rampasan yang dituntut oleh pihak ketiga yang
beritikad baik, sambil menunggu penyelesaian tuntutan tersebut barang-barang rampasan lainnya dapat diajukan permohonan
izin untuk dijual lelang.
c.
Barang yang akan diajukan bagi kepentingan Negara atau Sosial,
yaitu:
1)
Barang rampasan yang sebelumnya telah diagunkan kepada salah satu
Bank. Sesuai dengan ketentuan yang
terdapat dalam Instruksi Mahkamah Agung
R.I. Nomor 01/1971 dan Surat Edaran Mahkamah Agung R.I. Nomor 3
Tahun 1983 yang antara lain berbunyi: Barang-barang
bukti yang disita dari Bank atau yang
menurut hukum yang paling berhak adalah Bank, supaya dikembalikan kepada Bank, kecuali
Undang-Undang menentukan lain. Pasal 7 Keputusan Jaksa Agung R.I. Nomor:
KEP-089/J.A/1988 tentang Penyelesaian
Barang Rampasan, dan lihat juga Bagian II Izin Lelang dan Pendapat Umum
angka 9 Surat Edaran Nomor: SE-03/B/B.5/1988
tentang Penyelesaian Barang Rampasan. Sesuai dengan ketentuan tersebut terhadap
barang-barang rampasan yang sebelumnya
telah diagunkan pada bank dapat diajukan permohonan bagi kepentingan Bank yang bersangkutan ke
Kejaksaan Agung R.I. Permohonan dari
Bank yang bersangkutan dilampiri dengan bukti akad kredit dan bukti- bukti
agunan.
2)
Barang-barang rampasan yang akan diajukan permohonan bagi
kepentingan Negara atau Sosial oleh
Badan Badan Instansi Pemerintah. Permohonan izin bagi kepentingan Negara atau Sosial diajukan
bersamaan waktunya dengan permohonan
izin untuk menjual lelang barang rampasan lainnya.
Barang-barang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 12 Keputusan Jaksa Agung R.I. Nomor: KEP-089/J.A/1988
tentang Penyelesaian Barang Rampasan,
yaitu: apabila dalam satu Putusan Pengadilan terdapat diantaranya barang-barang rampasan berupa Narkotika dan
atau Elektronika yang dilarang untuk
diimport, yaitu semua jenis pesawat penerima siaran radio dan televisi dalam keadaan terpasang, bawang putih,
buah-buahan segar, makanan dalam kaleng,
kertas koran dan lain-lain yang berasal dari perkara penyelundupan, penyelesaiannya tidak dijual lelang dan
barang-barang tersebut supaya dilaporkan
ke Kejaksaan Agung R.I untuk ditentukan lebih lanjut. e. Barang akan diajukan untuk dimusnahkan,
yaitu apabila dalam satu Putusan
Pengadilan terdapat barang rampasan yang akan diajukan untuk
dimusnahkan, permohonan izin pemusnahan
diajukan ke Kejaksaan Agung R.I.
Barang rampasan
yang berada di luar daerah hukum Kejaksaan yang
bersangkutan, yaitu apabila Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri,
Cabang Kejaksaan Negeri mempunyai barang
rampasan yang berada di luar daerah
hukumnya, maka permohonan izin lelang terhadap barang rampasan lainnya (yang berada di wilayah hukum Kejaksaan
tersebut) supaya didahulukan. Kecuali
apabila Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri, Cabang Kejaksaan Negeri
yang bersangkutan akan melelang
barang-barang rampasan tersebut secara bersama-sama.
Jadi, terhadap
barang rampasan yang termasuk dalam satu Putusan Pengadilan pada prinsipnya tidak diperkenankan dijual
lelang secara terpisah-pisah, kecuali
dalam keadaan mendesak. Namun, sebaliknya barang rampasan dalam
beberapa putusan Pengadilan dapat dijual
lelang secara bersama-sama. bahwa
penjualan lelang barang-barang rampasan dapat digabungkan dari beberapa
Putusan apabila penggabungan tersebut
akan memperoleh hasil yang lebih baik dari pada
penjualan dilakukan berdasarkan satu Putusan Pengadilan saja atau jika
barang- barang tersebut seandainya dilelang berdasarkan satu Putusan Pengadilan
saja, tidak mungkin ada pembelinya
karena barang-barang tersebut terlalu sedikit. Pasal 7 ayat (3) Keputusan Jaksa
Agung Republik Indonesia Nomor: KEP- 089/J.A/8/1988 tentang Penyelesaian Barang
Rampasan.
Barang rampasan
yang telah diterbitkan Keputusan Izin Lelang barang rampasan, segera dilaksanakan pelelangannya
dengan perantaraan Kantor Pelayanan
Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Menurut Keputusan Jaksa Agung
Republik Indonesia Nomor:
KEP-089/J.A/8/1988 tentang Penyelesaian Barang Rampasan, maka terhadap barang-barang rampasan dengan
harga tertentu yang ditetapkan Instansi
yang berwenang dapat dijual tanpa melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) (Pasal 9).
Dengan telah
dilaksanakan lelang barang rampasan,
maka hasil penjualan lelang barang rampasan segera disetor ke Kas Negara dan Pelaksanaan penjualan lelang barang
rampasan segera dilaporkan kepada Jaksa
Agung Muda yang berwenang menyelesaikan barang rampasan (Pasal 10). Selanjutnya tenggang waktu untuk
menyelesaikan barang rampasan menurut
Pasal 273 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP dibatasi selambat-lambatnya dalam
masa 4 (empat) bulan semenjak Putusan
Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Tenggang waktu tersebut mengikat dan merupakan kewajiban bagi Kejaksaan
untuk mentaatinya.
Penyelesaian
barang rampasan pada umumnya diselesaikan dengan cara dijual lelang melalui KPKNL, kecuali untuk
barang-barang rampasan tertentu Jaksa Agung
dapat menetapkan lain yaitu digunakan bagi kepentingan Negara,
kepentingan sosial atau dimusnahkan.
Terutama terhadap barang-barang rampasan dalam perkara penyelundupan yang dilarang untuk import dan
dilarang untuk diedarkan, Jaksa Agung dapat menetapkan untuk digunakan bagi
kepentingan Negara atau sosial atau
untuk dimusnahkan. Tindakan ini perlu diambil untuk mengamankan dan
atau melindungi barang-barang yang telah
dapat diproduksi di dalam Negeri. Setiap
satuan barang rampasan dari suatu perkara yang putusan Pengadilannya telah memperoleh kekuatan hukum
tetap dalam tenggang waktu 7 (tujuh)
hari setelah putusan tersebut diterima sudah harus dilimpahkan penangannya oleh Bidang yang menangani sebelum menjadi
barang rampasan kepada Bidang yang
berwenang menyelesaikannya dengan melampirkan salinan vonnis atau
extract vonnis, dan pendapat hukum.
Pelimapahan harus dilakukan dengan suatu Berita
Acara.
Untuk
dipergunakan bagi kepentingan Negara atau sosial atau pemusnahan barang-barang rampasan terutama
yang berasal dari perkara penyelundupan
dan pelanggaran wilayah perairan R.I dapat digunakan sebagai dasar Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1970
tentang Penjual dan atau
Pemindahtanganan barang-barang yang dimiliki atau dikuasai Negara, dalam rangka pengajuan premi/ganjaran. Sedangkan
untuk dipergunakan bagi kepentingan
Negara atau sosial atau pemusnahan barang rampasan yang berasal dari perkara lainnya dapat digunakan sebagai
dasar Peraturan Pemerintah Nomor
81 Penjelasan Umum angka 3 Surat
Edaran Nomor: SE-03/B/B.5/8/1988 tentang Penyelesaian Barang Rampasan. 11 Tahun 1947 sebagaimana
telah diubah dan ditambah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 1948.
Jadi, dari
uraian di atas, barang-barang rampasan dapat dijual lelang, yang terlebih dahulu dilakukan permohonan
izin penjualan lelang barang rampasan
yang diajukan kepada:
a.
Kepala Kejaksaan Negeri oleh Bagian yang berwenang menyelesaikan barang rampasan atau Kepala Cabang Kejaksaan
Negeri.
b.
Kepala Kejaksaan Tinggi oleh Asisten Bidang yang berwenang menyelesaikan barang-barang rampasan atau
Kepala Kejaksaan Negeri atau Kepala
Cabang Kejaksaan Negeri.
c.
Jaksa Agung Muda yang berwenang menyelesaikan barang rampasan
oleh Kepala Kejaksaan Tinggi atau Kepala
Kejaksaan Negeri atau Kepala Cabang
Kejaksaan Negeri.
Permohonan izin
untuk menjual barang rampasan dilampirkan dokumen atau surat-surat sebagai berikut:
a.
Turunan Putusan Pengadilan atau extract vonnisnya yang
membuktikan bahwa barang bukti dimaksud
telah dinyatakan dirampas untuk Negara.
b.
Pertelaan yang jelas dari barang-barang yang akan dilelang
tersebut (macamnya, jenisnya, jumlahnya,
karat-karatnya, berat dan sebagainya)
dalam satu daftar.
c.
Kondisi dari barang rampasan oleh instansi yang ada kaitannya
dengan barang rampasan tersebut, setelah
dilakukan penelitian di tempat.
d.
Perkiraan harga dasar yang wajar dari instansi berwenang yang
didasarkan pada kondisi barang rampasan
tersebut.
Barang-barang
rampasan dapat dijual lelang, jika
putusan pengadilan mengenai barang rampasan tersebut sudah
memperoleh kekuatan hukum tetap, dan
barang rampasan tersebut tidak dijadikan bukti atau tidak akan dijadikan bukti dalam perkara
perdata atau dituntut oleh pihak ketiga.
Eksekusi
Kejaksaan yang dapat mengakibatkan
lelang adalah merupakan barang bukti dalam perkara pidana, yang merupakan barang temuan, sitaan
dan rampasan. Barang temuan, sitaan dan
rampasan yang dieksekusi lelang Kejaksaan
tersebut dapat berasal dari instansi-instansi terkait lainnya, misalnya
instansi Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai (DJBC) ataupun dari PT. Perhutani.
Lelang barang Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dapat
diadakan terhadap barang yang dinyatakan tidak dikuasai, barang yang
dikuasai Negara dan barang yang menjadi
milik Negara. DJBC telah mengelompokkan
barang menjadi tiga, yaitu barang
yang dinyatakan tidak dikuasai, barang yang
dikuasai Negara dan barang yang menjadi milik Negara. Lelang barang
tak bertuan dimaksudkan untuk
menyebut lelang yang dilakukan terhadap
barang yang dalam jangka waktu yang ditentukan tidak dibayar bea masuknya, sebagaimana yang diatur dalam Keputusan
Menteri Keuangan No. 36/KMK.01/2002
tanggal 12 Februari 2002 tentang Jasa Pra Lelang Dalam Lelang Barang Yang Dinyatakan Tidak Dikuasai,
Barang Yang Dikuasai Negara dan Barang
Yang Menjadi Milik Negara Pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Barang yang
dinyatakan tidak dikuasai, adalah:
a.
Barang yang tidak dikeluarkan dari tempat penimbunan sementara
yang berada di dalam area pelabuhan
dalam jangka waktu 30 (tigapuluh) hari
sejak penimbunannya;
b.
Barang yang tidak dikeluarkan dari Tempat Penimbunan Sementara
yang berada di luar area pelabuhan dalam
jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak
penimbunannya;
c.
Barang yang yang tidak dikeluarkan dari Tempat Penimbunan Berikat yang telah dicabat izinnya dalam jangka waktu 30 (tiga puuluh) hari sejak pencabutan ijin, atau;
d.
Barang yang dikirim melalui pos;
- yang ditolak si
alamat atau orang yang dituju dan tidak dapat dikirim kembali kepada pengirim di luar Daerah
Pabean.
- dengan tujuan
luar daerah Pabean yang diterima kembali karena
ditolak atau tidak dapat disampaikan kepada alamat yang dituju, tidak
diselesaikan oleh pengirim dalam jangka waktu 30 (tigapuluh) hari sejak diterimanya pemberitahuan dari kantor
pos.
Barang yang dikuasai Negara adalah:
a)
Barang yang dilarang atau dibatasi untuk diimpor atau diekspor
yang tidak diberitahukan atau
diberitahukan secara tidak benar dalam
Pemberitahuan Pabean;
b)
Barang dan atau sarana pengangkut yang ditegah oleh Pejabat Bea
dan Cukai, atau;
c)
Barang dan atau sarana pengangkut yang ditinggalkan di Kawasan Pabean oleh Pemilik yang tidak dikenal.
Barang yang jadi
milik Negara adalah:
a)
Barang yang dinyatakan tidak dikuasai yang merupakan barang yang dilarang untuk diekspor atau diimpor, kecuali
terhadap barang dimaksud ditetapkan lain
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b)
Barang yang dinyatakan tidak dikuasai yang merupakan barang yang
dibatasi untuk diekspor atau
diimpor, yang tidak diselesaikan pemiliknya
dalam jangka waktu 60 (enam puluh hari) terhitung sejak disimpan di Tempat Penimbunan Pabean;
c)
Barang atau sarana pengangkut yang ditegah oleh Pejabat Bea dan
Cukai yang berasal dari tindak pidanan
yang pelakunya tidak dikenal; B
d)
Barang dan atau sarana
pengangkut yang ditinggalkan di kawasan
Pabean oleh pemilik yang tidak dikenal yang tidak diselesaikan
dalam jangka waktu 30 (tigapuluh) hari
sejak disimpan di Tempat Penimbunan
Pabean;
e)
Barang yang dikuasai Negara
yang merupakan barang yang dilarang atau
dibatasi untuk diimpor atau diekspor atau
f)
Barang dan atau sarana pengangkut yang berdasarkan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap, dinyatakan dirampas untuk Negara.
Selanjutnya,
berdasarkan Keputusan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.48/Menhut-II/2006 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pelelangan Hasil Hutan
Temuan, Sitaan dan Rampasan, dinyatakan:
a)
Hasil Hutan Temuan adalah hasil hutan yang berdasarkan
pemeriksaan ditemukan di dalam dan atau
di luar hutan yang tidak diketahui identitas
yang memiliki atau yang menguasai atau yang mengangkut, baik nama maupun alamatnya;
b)
Hasil Hutan Sitaan adalah hasil hutan yang disita berdasarkan
hukum acara pidana sebagai barang bukti
dalam perkara pidana; Pasal 1 angka 1, 2, dan 3 Keputusan
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:
P.48/Menhut-II/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pelelangan Hasil Hutan
Temuan, Sitaan dan Rampasan.
c)
Hasil Hutan Rampasan adalah hasil hutan yang dirampas untuk Negara berdasarkan keputusan Pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pelelangan hasil
hutan temuan, sitaan dan rampasan dimaksudkan untuk mengamankan barang bukti dan menjaga hak-hak
negara dari kerugian akibat pencurian,
kerusakan, penyusutan dan penurunan kualitas karena penyimpanan dalam waktu yang lama.
Obyek Lelang
meliputi hasil hutan kayu dan bukan kayu
hasil dari temuan, sitaan dan rampasan. Hasil hutan temuan, sitaan dan
atau rampasan yang tidak dapat dilelang
meliputi satwa dan atau tumbuhan liar dan
hasil hutan yang berasal dari Hutan Konservasi dan atau hasil hutan kayu
yang berasal dari Hutan Lindung.
Pemohon Lelang
untuk obyek lelang hasil hutan temuan adalah Kepala Instansi yang menangani bidang Kehutanan
setempat. Pemohon Lelang untuk obyek
lelang hasil hutan sitaan adalah Penyidik apabila kasus dalam proses penyidikan atau Penuntut Umum apabila berkas
penyidikan telah berada di Penuntut
Umum. Pemohon Lelang untuk obyek lelang hasil hutan rampasan adalah Kepala Kejaksaan Negeri setempat.
Pasal 2 dan Pasal 3 Keputusan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.48/Menhut-
II/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pelelangan Hasil Hutan Temuan, Sitaan dan
Rampasan. Pasal 7 Keputusan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.48/Menhut-II/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pelelangan Hasil
Hutan Temuan, Sitaan dan Rampasan.
Pemohon Lelang
sebagaimana dimaksud, mengajukan permohonan
kepada Kepala Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN) (sebagaimana telah diubah dengan Kantor
Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang
(KPKNL) setempat untuk dilaksanakan pelelangan. Pelelangan hasil hutan temuan dilakukan oleh Kepala Instansi
yang menangani bidang kehutanan
setempat. Sedangkan untuk pelelangan hasil hutan sitaan, dilakukan sebagai berikut :
a)
Jika perkara berada pada tingkat penyidikan atau penuntutan, hasil
hutan tersebut dijual lelang oleh
Penyidik atau Penuntut Umum dengan persetujuan
dan disaksikan oleh pihak tersangka atau kuasa hukumnya;
b)
Dalam hal persetujuan dan kesaksian pihak tersangka atau kuasa
hukumnya sebagaimana dimaksud pada huruf
a tidak dapat dilaksanakan, maka proses lelang
tetap dilaksanakan;
c)
Jika perkara berada pada tingkat pengadilan, hasil hutan tersebut
dijual lelang oleh Penuntut Umum atas
izin hakim yang menyidangkan perkaranya
dan disaksikan pihak terdakwa atau kuasa hukumnya;
d)
Jika perkara telah diputus oleh pengadilan dan telah mempunyai
kekuatan hukum tetap serta dinyatakan
hasil hutan dirampas untuk Negara, maka hasil
hutan dijual lelang oleh Jaksa pelaksana putusan. Pasal 6 Keputusan
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.48/Menhut-II/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pelelangan Hasil
Hutan Temuan, Sitaan dan Rampasan.
Dengan demikian
diperoleh pemahaman bahwa eksekusi Kejaksaan yang menyebabkan lelang adalah berupa barang
temuan dan sitaan, rampasan Kejaksaan
yang berasal dari suatu barang bukti dalam perkara pidana. Eksekusi lelang Kejaksaan tersebut dapat merupakan
barang bukti yang berasal dari penyidik
maupun instansi-instansi lain di antaranya Direktorat Bea dan Cukai (DJBC) atau PT. Perhutani.
Penyetoran hasil
lelang eksekusi Kejaksaan, khususnya untuk barang bukti yang sudah mempunyai kekuatan hukum
dinyatakan sebagai barang rampasan maka
hasil lelang disetorkan ke Kas Negara dalam rangka Pendapat Negara Bukan Pajak (PNBP). Sedangkan untuk
barang sitaan yang dijadikan barang
bukti dalam suatu perkara pidana dapat dijual lelang sebelum ataupun sesudah adanya putusan pengadilan terhadap
perkara tersebut, apabila barang sitaan
sebagai barang bukti itu merupakan barang yang bersifat cepat rusak atau busuk atau memerlukan biaya penyimpanan yang
tinggi maka uang hasil lelang digunakan
sebagai pengganti barang bukti dalam perkara pidana tersebut.
Barang sitaan
baik yang belum dilelang maupun sudah lelang (uang pengganti barang bukti) dikembalikan kepada orang atau
kepada mereka dari siapa benda itu
disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak
memerlukan lagi, perkara tersebut tidak
jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan
tindak pidana, serta perkara tersebut
dikesampingkan untuk kepentingan umum atau
perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh
dari suatu tindak pidana atau yang
dipergunakan untuk melakukan suatu tindak
pidana. Kemudian, dapat saja barang sitaan dari suatu perkara pidana
yang sudah diputus tidak dikembalikan,
jika menurut putusan hakim benda itu dirampas
untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak
dapat dipergunakan lagi, atau karena
barang sitaan itu masih diperlukan sebagai
barang bukti dalam perkara lain.
tulisan ini hanya membaca dan untuk dimengerti............