A. Hal Menjalankan Putusan Hakim
Putusan
Pengadilan Negeri baru dapat dijalankan, apabila sudah mendapat kekuatan pasti,
yaitu apabila tidak mungkin atau tidak diadakan perbandingan seketika diucapkan
di muka umum, kecuali apabila terdakwa mohon pertangguhan menjalankan putusan
selama empat belas hari dalam tempo mana terhukum berniat akan memajukan
permohonan grasi kepada Presiden.
Biasanya
keputusan dapat dijalankan terhadap terdakwa hanya setelah keputusan tadi
menjadi keputusan terakhir dengan perkataan lain apabila upaya-upaya hukum yang
biasa telah ditempuh. Hukum yang dijatuhkan tanpa kehadiran tersangka atau “in
absentia” merupakan kekecualian.
Apabila
surat panggilan telah disampaikan kepada tersangka secara pribadi atau dimana
tertuduh hadir pada persidangan menurut jangka waktu yang telah ditentukan
dimana permohonan banding harus masuk dimulai dengan dinyatakannya kesalahan
terdakwa kesalahan terdakwa dan hukuman dijatuhkan dan tidak perlu adanya
pemberitahuan khusus mengenai keputusan pengadilan.
Apabila
permohonan grasi sudah masuk berkas panitera pengadilan delapan hari setelah
masuknya keputusan biasanya ini berakibat ditangguhkannya eksekusi sambil
menantikan diterima atau ditolaknya permohonan grasi.
Dalam
hal dimohon banding dari putusan Pengadilan Negeri oleh Pengadilan Tinggi, maka
putusan Pengadilan Negeri juga belum dapat dijalankan, melainkan harus ditunggu
putusan dalam perbandingan oleh Pengadilan Tinggi.
B. Pelaksanaan Putusan oleh Jaksa
Pelaksanaan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh
jaksa, yang untuk itu Penitera mengirimkkan salinan surat putusan kepada jaksa
(Pasal 270 KUHAP).
Eksekusi
putusan pengadilan baru dapat dilakukan oleh jaksa, setelah jaksa menerima
salinan surat putusan dari panitera. Menurut SEMA No. 21 Tahun 1983 Tanggal 8
Desember 1983 batas waktu pengiriman salinan putusan dari Panitera kepada jaksa
untuk perkara acara biasa paling lama 1 (satu) minggu dan untuk perkara dengan
acara singkat paling lama 14 hari.
Pelaksanaan
putusan pengadilan oleh jaksa atau penuntut umum ini, bukan lagi pada
penuntutan seperti penahanan, dakwaan, tuntutan dan lain-lain yang dalam ini
jelas KUHAP menyatakan : “jaksa”, berbeda dengan pada penuntutan seperti penahanan,
dakwaan, tuntutan dan lain-lain disebut “penuntut umum”.
Dengan
sendirinya ini berarti Jaksa yang tidak menjadi Penuntut Umum untuk suatu
perkara boleh melaksanakan putuan pengadilan.
Di
dalam Pasal 36 ayat 4 UUKK diatur tentang pelaksanaan keputusan hakim yang
memperhatikan kemanusiaan dan keadilan. Pertama-tama, Panitera membuat dan
menandatangani surat keterangan bahwa putusan telah memperoleh kekuatan hukum
yang tetap. Kemudian Jaksa membuat surat perintah menjalankan putusan
pengadilan yang dikirim kepada Lembaga Pemasyarakatan.
Kalau
Panitera belum dapat mengirimkan kutipan putusan, oleh karena surat putusan
belum selesai pembuatannya, maka kutipan itu dapat diganti dengan suatu
keterangan yang ditandatangani oleh Hakim dan Penitera dan yang memuat hal-hal
yang harus disebutkan dalam surat kutipan tersebut. Jaksa setelah menerima
surat kutipan atau surat keterangan tersebut di atas, harus berusaha, supaya
putusan Hakim selekas mungkin dijalankan.
Dan
bagaimana dengan pelaksanaan pidana mati dalam ketentuan Pasal 271 KUHAP
sebenarnya juga telah diatur dalam KUHP yaitu dalam rumusan Pasal 11 KUHP
disamping ketentuan ini dengan stbld 1945 no. 123 ditentukan bahwa pidana mati
sebagai dan sejauh tidak ditentukan lain oleh Presiden dilaksanakan dengan
jalan tembak mati. Dan dalam praktiknya beberapa waktu yang lalu pidana mati
dijalankan dengan jalan menembak mati ini.
Menurut
Pasal 329 HIR pidana mati dilakukan dihadapan Jaksa yang menurut perkara yang
kemudian mengakibatkan dijatuhkannya pidana mati itu. Diusahakan agar
pelaksanaan pidana mati tidak sampai dilihat oleh umum. Tata cara pelaksanaan
pidana mati ini selanjutnya diatur dengan Penetapan Presiden No. 2/1964 LN.
1964 No. 38 tanggal 27 April 1964 sebagaimana mestinya.
Dalam
tata cara pelaksanaannya ditentukan bahwa pidana mati dilakukan dengan
penembakan, atau mungkin jika tidak ditentukan lain oleh Menteri Kehakiman maka
pidana mati tersebut dilaksanakan disuatu tempat dalam daerah hukum pengadilan
yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama (pasal 2 ayat (4)).
Dalam
ketentuan selanjutnya disebutkan dalam pasal 3, yaitu : “Kepala Polisi
Komisariat Daerah (Kapolda : yang sekarang) tempat kedudukan pengadilan
tersebut dalam pasal 2, setelah mendengar nasihat jaksa tinggi atau jaksa yang
bertanggung jawab untuk pelaksanaannya, menentukan waktu dan tempat pelaksanaan
pidana mati.”
Dan
kemudian ketentuan pasal 4 menyatakan : “Kepala Polisi tersebutlah yang menjaga
keamanan dan menyediakan alat-alat yang diperlukan untuk itu. Ia bersama-sama dengan
Jaksa Tinggi/Jaksa menghadiri pelaksanaan pidana mati. Jaksa Tinggi/Jaksa
bertanggungjawab atas pelaksanaannya.”
Dengan
cara yang sesederhana mungkin pelaksanaan tersebut dilaksanakan seperti halnya
pelaksanaan dalam pasal 329 HIR dimuka, terkecuali ditetapkan oleh Presiden.
Untuk pelaksanaan pidana mati dalam ketentuan pasal 271 KUHAP sama dan menurut
Undang-Undang.
Mengenai
pelaksanaan putusan yang berupa pidana denda, KUHAP hanya mengatur dalam 1
pasal saja, yaitu Pasal 273 ayat (1): “Jika putusan pengadilan menjatuhkan
pidana denda, kepada terpidana diberikan jangka waktu satu bulan untuk membayar
denda tersebut, kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang harus
seketika dilunasi”. Dalam ayat (2) pasal tersebut, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang
paling lama satu bulan. Perlu diingat, bahwa jika dijatuhkan pidana denda
dengan subsidair pidana kurungan pengganti, terpidana dapat melunasi separuh
dendanya dan separuhnya lagi dijalani sebagai pidana kurungan.
Kita
juga dapat melihat dalam peraturan lama (HIR) pada Pasal 379, dikatakan bahwa
“upah dan ganti kerugian bagi pokrol, penasihat atau pembela dan wakil, tidak
boleh dimasukkan dalam pidana membayar ongkos perkara, tetapi harus ditanggung
selalu oleh pihak yang meminta bantuan pada orang yang demikian itu atau
berwakil kepadanya”. Oleh karena pemanggilan saksi-saksi, ahli juru bahasa, dan
sebagainya untuk menghadap di persidangan dilakukan oleh jaksa, maka jelas
bahwa perhitungan ongkos perkara pidana itu ada pada jaksa dan hakim.
Perhitungan
jaksa itu seharusnya diajukan dalam tuntutannya (requisitoir). Dalam tuntutan
itu, jaksa (penuntut umum) menuntut agar terpidana dipidana pula membayar biaya
perkara dengan jumlah tertentu, sesuai Pasal 197 ayat (1i) KUHAP dan Pasal 275
KUHAP. Walaupun KUHAP tidak menyebut bahwa beban biaya perkara itu adalah
pidana seperti HIR. Namun karena tidak diatur pidana pengganti seperti halnya
dengan denda, maka menjadi piutang negara dan oleh karena itu dapat dibebankan
kepada terpidana atau ahli warisnya.
Praktik
yang biasa dilakukan jaksa dewasa ini, jika terpidana tidak membayar biaya
perkara, agar tidak merupakan tunggakan hasil dinas kejaksaan, jaksa meminta
keterangan tidak mampu dari pamong praja bagi terpidana untuk membebaskannya
dari pembayaran dan menghapuskan sebagai tunggakan, tidaklah tepat semacam itu
hanya berlaku untuk biaya perkara perdata (Pasal 237 dan seterusnya HIR).
Terutama dalam perkara-perkara besar seperti korupsi, penyelundupan, dan
lain-lain, biaya perkara seharusnya dapat ditagih. Kurungan pengganti denda
seharusnya berimbang. Misalnya pidana denda satu juta rupiah (delik ekonomi,
korupsi, dan narkotika) subsidair 10 bulan kurungan berarti setiap bulan
dimulai seratus ribu rupiah. Terpidana dapat memilih, dibayar seluruh denda tersebut
atau separuhnya secara berimbang.
Mengenai
pelaksanaan pidana perampasan barang bukti, jaksa mengusahakan benda tersebut
kepada kantor lelang negara dan dalam waktu tiga bulan untuk dijual lelang,
yang hasilnya dimasukkan ke kas negara untuk dan atas nama jaksa, (Pasal 273
ayat (3) KUHAP). Ini pun dapat diperpanjang paling lama 3 bulan. Selain
perampasan barang bukti, dapat juga diputus untuk dimsunahkan atau untuk
dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi (Pasal 46 ayat (2) KUHAP).
Dalam
hal ini pun, jaksa yang melaksanakannya dengan suatu berita acara perusakan
atau pemusnahan. Misalnya dalam praktik buku-buku dan barang-barang lain yang
mudah terbakar, pemusnahannya dengan jalan dibakar, sedangkan senjata tajam
dibuang ke laut. Jika dijatuhkan pidana ganti kerugian, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 99 (ganti kerugian kepada pihak lain yang dirugikan atau korban
delik) maka pelaksanaannya dilakukan menurut tata cara putusan perdata. Jadi
berarti melalui juru sita.
C. Macam-macam Bentuk Eksekusi
1.
Eksekusi pidana denda
Jika putusan
pengadilan menjatuhka pidana denda, kepada terpidana diberikan jangka waktu
satu bulan untuk membayar denda tersebut, kecuali dalam putusan acara
pemeriksaan cepat yang harus seketika dilunasi (Pasal 273 ayat (1) KUHAP).
Menurut Surat Edaran
Mahkamah Agung/SEMA No. 2 Tahun 1983 tanggal 8 Desember 1983, yang dimaksud
dengan perkataan “harus seketika dilunasi” dalam Pasal 273 ayat (1) KUHAP harus
diartikan :
a)
Apabila terdakwa atau
kuasanya hadir pada waktu putusan diucapkan, maka pelunasannya harus dilakukan
pada saat diucapkan;
b)
Apabila terdakwa atau
kuasanya tidak hadir pada waktu putusan diucapkan, maka pelunasannya harus
dilakukan pada saat putusan itu oleh jaksa diberitahukan kepada terpidana.
Jika terdapat alasan yang kuat, maka jangka waktu pembayaran
pidana denda dapat diperpanjang untuk paling lama satu bulan. Dengan demikian
jangka waktu pembayaran pidana denda paling lama dua bulan. Dan apabila setelah
dua bulan dendanya belum juga dibayar oleh terpidana, maka eksekusi pidana
dendanya diganti dengan pidana kurungan sebagai pengganti denda (Pasal 30 ayat
(2) KUHP).
2. Eksekusi barang rampasan untuk Negara
Apabila putusan pengadilan juga menetapkan bahwa barang
bukti dirampas untuk negara, selain pengecualian sebagaimana tersebut pada
Pasal 46, jaksa menguasakan benda atau barang rampasan tersebut kepada Kantor
Lelang Negara dan dalam waktu 3 (tiga) bulan untuk dijual lelang, yang hasilnya
dimasukkan ke kas negara untuk dan atas nama jaksa (kejaksaan). Jangka waktu
pelelangan tersebut dapat diperpanjang untuk paling lama 1 (satu) bulan. Dengan
demikian maka dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan barang rampasan
untuk negara itu sudah berhasil dijual melalui Kantor Lelang Negara (Pasal 273
ayat (3) dan (4) KUHAP).
3. Eksekusi biaya perkara
Apabila lebih dari satu orang dipidana dalam satu perkara,
maka biaya perkara dibebankan kepada mereka bersama-sama secara berimbang.
Berhubung terdakwa dalam hal yang dimaksud dalam Pasal 275 bersama-sama
dijatuhi pidana karena dipersalahkan melakukan tindak pidana dalam satu
perkara, maka adalah wajar bilamana biaya perkara dan atau ganti kerugian
ditanggung bersama secara berimbang (Pasal 275 KUHAP dan penjelasannya).
Siapapun yang diputus dijatuhi pidana, dibebani membayar
biaya perkara. Dalam hal dijatuhkan adalah putusan bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum, maka biaya perkara dibebankan kepada negara (222 KUHAP). Biaya
perkara yang dibebankan kepada terpidana disebutkan jumlahnya dalam putusan
pengadilan dan pelaksanaan penagihan/pemungutannya dilakukan oleh jaksa.
Apabila terpidana tidak mau membayar biaya perkara, jaksa
dapat menyita sebagian barang milik terpidana untuk dijual lelang guna melunasi
biaya perkaranya. Sedangkan terpidana yang nyata-nyata tidak mampu dan atau
tidak diketahui alamatnya berdasarkan Surat Keterangan Lurah/Kepala Desa, maka
Jaksa/KAJARI yang bersangkutan dapat mengajukan usul atau permohonan
penghapusannya kepada Jaksa Agung.
4. Eksekusi pidana bersyarat
Dalam hal pengadilan menjatuhkan pidana bersyarat (Pasal 14a
ayat (1) jo 14d ayat (1) KUHP), maka pelaksanaannya dilakukan dengan pengawasan
serta pengamatan yang sungguh-sungguh menurut ketentuan undang-undang (Pasal
276 KUHAP). Sampai sekarang ini (setelah Negara Hukum RI berusia 57 tahun)
belum ada undang-undang yang mengatur tentang pelaksanaan, pengawasan dan
pengamatan terhadap terpidana yang menjalani pidana bersyarat.
5. Eksekusi pidana mati
Dalam hal pengadilan menjatuhkan putusan pidana mati maka
pelaksanaannya dilakukan menurut ketentuan undang-undang tidak di muka umum
(Pasal 271 KUHAP). Menurut ketentuan yang diatur dalam KUHP Pasal 11
pelaksanaan hukuman/pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat penggantungan
dengan menggunakan sebuah jerat di leher terpidana dan mengikatkan jerat itu
pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri.
Ketentuan yang diatur dalam KUHP tersebut sejak tanggal 27
April 1964 sudah tidak berlaku karena diganti dengan UU No. 2/PNPS/1964 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan
Peradilan Umum dan Militer. Pelaksanaan
atau eksekusi pidana mati tidak dapat dilakukan sebelum Keputusan Presiden
tentang penolakan Grasi diterima oleh terpidana (Pasal 13 UU No. 22 TH. 2002).
Dengan tidak mengurangi ketentua-ketentuan hukum acara
pidana yang ada tentang menjalankan putusan pengadilan, maka pelaksanaan pidana
mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau
militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati, menurut ketentuan-ketentuan
dalam pasal berikut (pasal 1) Kepala Polisi Komisariat Daerah (KAPOLDA) tempat
kedudukan pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama, setelah
mendengar nasihat dari Jaksa Tinggi atau Jaksa yang bertanggung jawab untuk
melaksanakan (eksekusinya) menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana matau
(pasal 3 ayat (1)).
Kepala Polisi Komisariat Daerah bertanggung jawab atas
keamanan dan ketertiban sewaktu pelaksanaan pidana mati dan menyediakan
tenaga-tenaga serta alat-alat yang diperlukan untuk itu. (Pasal 3 ayat (3)).
Pidana mati dilaksanakan tidak dimuka umum dan dengan cara seederhana mungkin,
kecuali ditetapkan lain oleh Presiden (pasal 9).
Untuk pelaksanaan pidana mati Kepala Polisi Komisariat Daerah
membentuk sebuah regu penembak yang terdiri dari seorang bintara, duabelas
orang tamtama dibawah pimipinan seorang perwira, semuanya dari Brigade Mobil
(Brimob). Khusus untuk melaksanakan tugas pelaksanaan pidana mati, Regu
Penembak tidak menggunakan senjata organiknya. Regu penembak berada dibawah
perintah Jaksa Tinggi/jaksa sampai selesainya pelaksanaan pidana mati (pasal
10).
Setelah terpidana siap di tempat dimana dia akan menjalankan
pidana mati, maka regu penembak dengan senjata sudah terisi menuju ke tempat
yang telah ditentukan oleh Jaksa Tinggi/Jaksa (Pasal 13 ayat (1)). Apabila
semua persiapan telah selesai, maka Jaksa Tinggi/Jaksa yang bersangkutan
memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati. Dengan menggunakan
pedangnya sebagai isyarat, Komandan Regu Penembak memberikan perintah seupaya
bersiap, kemudian dengan menggerakkan pedangnya keatas memerintahkan regunya
untuk membidik jantung terpidana dan dengan menyatakan pedangnya ke bawah
secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak (Pasal 14). Jaksa
tinggi/Jaksa pelaksana pidana mati harus segera membuat berita acara
pelaksanaan pidana mati.
D. Biaya Perkara
KUHAP hanya menyebut tentang biaya perkara tanpa memperinci
bagaimana perhitungannya, dalam putusan yang bagaimana yang diharuskan
terpidana membayar biaya perkara, dan bagaimana menagihnya. Dua pasal yang
menyebut biaya perkara itu, yang pertama di bagian keputusan pengadilan dan
yang lain di bagian pelaksanaan keputusan. Dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang
mengatur apa yang harus dimuat suatu putusan pada huruf i menyebut: “ketentuan
kepada siapa biaya perkara dibebankan, dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti,
dan ketentuan mengenai barang bukti.”
Ketentuan kedua yaitu pasal 275 KUHAP, menyatakan bahwa
apabila lebih dari satu orang dipidana dalam satu perkara, maka biaya perkara
dan atau ganti kerugian dibebankan kepada mereka secara berimbang. Di sini ada
perbedaan dengan peraturan lama (HIR), karena menurut HIR, pembayaran biaya
perkara ditanggung oleh terpidana secara sendiri-sendiri (Hoofdelijk). Jadi,
masing-masing bertanggung jawab membayar keseluruhan biaya perkara.
Juga HIR jelas mengatur bahwa setiap orang yang dipidana
harus dipidana pula membayar biaya perkara (Pasal 378), jadi bersifat
imperatif. Hanya orang yang dibebaskan (vrijkspraak) dan yang lepas dari segala
tuntutan hukum (ontslag van rechts vervolging) yang tidak membayar biaya
perkara. Dalam undang-undang, baik KUHAP maupun HIR tidak mengatur sanksi jika
biaya perkara tidak dibayar. Jadi, jelas merupakan piutang negara (perdata).
Kemudian tidak jelas pula bagaimana memperhitungkan besarnya biaya perkara itu.
Kegiatan-kegiatan apa yang diperhitungkan untuk biaya
perkara. Untuk itu, perlu kita bercermin pada hukum acara pidana Belanda (Ned.
Sv) yang mengatur lebih jelas dalam Pasal 581 : (....semua biaya yang timbul
karena pemanggilan dan ganti kerugian saksi-saksi dan ahli-ahli, pelimpahan
berkar perkara, dan biaya perjalanan untuk menghadiri sidang peradilan, dengan
kecuali biaya-biaya yang tidak perlu). Patut disebut di sini bahwa sebagai
dasar jaksa menagih biaya perkara, harus dinyatakan hal itu dalam suatu surat
perintah bevel schrift.
E. Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan
Pada saat dan selama si terpidana menjalankan hukumannya
menurut putusan pengadilan yang telah dieksekusi oleh jaksa, masih juga ada
aturan pengawasan dan pengamatan terhadap pelaksanaan itu. Aturan detil teknis
untuk itu ditentukan dalam KUHAP Pasal 277-283, di antaranya diatur bahwa
setiap pengadilan harus memiliki dan menunjuk khusus hakim yang diberikan tugas
membantu ketua pengadilan. Tugasnya adalah untuk melakukan pengawasan dan
pengamatan terhadap setiap putusan pengadilan itu yang menjatuhkan hukuman
perampasan kemerdekaan seperti pidana kurungan, penjara, pidana bersyarat, dan
sebagainya. Dengan tugas itu, dia disebut sebagai hakim pengawas dan pengamat
yang ditunjuk bertugas paling lama dua tahun. Tugas pengawasan dan pengamatan
itu sudah dimulai sejak jaksa menyampaikan tembusan berita acara pelaksanaan putusan
pengadilan yang dilakukannya. Berita acara itu harus dicatat oleh panitera di
dalam register pengawasan dan pengamatan.
Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guna
memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan telah dilaksanakan sebagaimana
mestinya. Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengamatan untuk bahan
penelitian demi ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan, yang diperoleh dari
perilaku narapidana atau pembinaan Lembaga Pemasyarakatan serta pengaruh timbal
balik terhadap narapidana selama menjalani pidananya. Pengematan tersebut tetap
dilaksanakan setelah terpidana selesai menjalani pidananya. Pengawasan dan
pengamatan tersebut berlaku juga bagi terpidana bersyarat (Pasal 280 KUHAP).
Atas permintaan Hakim Pengawas dan Pengamat Kepala Lembaga Pemasyarakatan
menyampaikan informasi secara berkala atau sewaktu-waktu tentang perilaku
narapidana tertentu yang ada dalam pengamatan hakim tersebut. Jika dipandang
perlu demi pendayagunaan pengamatan, hakim pengawas dan pengamat dapat membicarakan
dengan Kepala Lembaga Pemasyarakatan tentang cara pembinaan narapidana tertentu
(Pasal 282 KUHAP). Hasil pengawasan dan pengamatan dilaporkan oleh Hakim
Pengawas dan Pengamat kepada Ketua Pengadilan secara berkala (Pasal 283 KUHAP).
KUHAP merumuskan secara eksplisit bahwa pengawasan dan
pengamatan oleh hakim itu dimaksudkan agar diperoleh kepastian bahwa putusan
pengadilan telah benar-benar dilaksanakan (Pasal 280). Hasil yang diperoleh
dari pengawasan itu akan menjadi bahan penelitian untuk memperoleh manfaat
apakah yang dapat ditemukan dari pemidanaan itu terhadap perilaku si
narapidana. Dari hasil penelitian itu, akan dapat pula diketahui bentuk dan
cara pembinaan apa yang lebih sesuai dan dapat saling berpengaruh timbal balik
terhadap cara hidup si terpidana selama dalam menjalani hukumannya di lembaga
pemasyarakatan. Bahkan, bisa jadi hasil penelitian itu pun akan berguna juga
sampai dengan setelah si terpidana selesai menjalani hukumannya dan kembali ke
masyarakat. Untuk maksud seperti itulah maka hakim pengawas dapat meminta
kepada atau diberikan sebagai laporan oleh kepala LP secara berkala atau
sewaktu-waktu mengenai perkembangan perilaku dan pembinaan yang diberikan
kepada si terpidana. Konsultasi dan konseling koordinatif antara hakim pengawas
dengan kalapas dapat dilakukan terhadap cara pengawasan dan pembinaan terpidana
tertentu dengan mengetahui kelakuan khusus dalam melaksanakan hukumannya.
Ketentuan KUHAP tentang pengawasan dan pengamatan di atas
itu menunjukkan bahwa hukum acara pidana yang dianut Indonesia kini, tidak lagi
bertujuan untuk menghukum sebagai balas dendam atas kejahatan si terpidana.
Hukuman sebagai balas dendam atas kejahatan telah ditinggalkan sebagai bagian
peradaban hukum masa lalu. Ajaran hukum terkini yang dianut Indonesia adalah
bahwa pelaksanaan hukum merupakan satu rehabilitasi dan reintegrasi bagi
terpidana agar kembali hidup normal ke dalam peradaban masyarakat umum. Dengan
ajaran yang diyakini itu, maka yang dulunya penjara telah diganti nama jadi
lembaga pemasyarakatan (LP). Nuansa substansi dalam konsep LP menjadi sebentuk
klinik penyembuhan penyakit masyarakat dalam bentuk kejahatan yang diidap oelh
si terpidana. Jumlah dan lama hukumannya menjadi sebentuk resep obat dengan
kadar kualitas tertentu, yang jika resep itu telah dipenuhi, maka seharusnya
orang yang bersangkutan sudah akan sehat, normal, kembali ke masyarakat setelah
keluar dari LP.
Dengan adanya ketentuan tentang pengawasan hakim terhadap
pelaksanaan putusan maka kesenjangan (gap) yang ada antara apa yang diputuskan
hakim dan kenyataan pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan dan di luar
lembaga pemasyarakatan jika terpidana dipekerjakan di situ dapat dijembatani.
Hakim dapat mengikuti perkembangan terpidana sebagai narapidana dan juga perlakuan
para petugas lembaga pemasyarakatan yang bersangkutan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengamatan yang dilakukan oleh
hakim KUHAP adalah sebagai berikut:
1)
Mula-mula jaksa
mengirim tembusan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan yang telah
ditandatangani olehnya, kepada kepala lembaga pemasyarakatan, terpidana, dan
kepada pengadilan yang memutus perkara tersebut pada tingkat pertama (Pasal 278
KUHAP).
2)
Panitera mencatat
pelaksanaan tersebut dalam register pengawasan dan pengamatan. Register
tersebut wajib dibuat, ditutup, dan ditandatangani oleh panitera setiap hari
kera dan untuk diketahui ditandatangani juga oleh hakim pengawas dan pengamat
(Pasal 279 KUHAP).
3)
Hakim pengawas dan
pengamat mengadakan pengawasan guna memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan
dilaksanakan semestinya. Hakim tersebut mengadakan penelitian demi ketetapan
yang bermanfaat bagi pemidanaan, serta pengaruh timbal balik antara perilaku
narapidana dan pembinaan narapidana oleh lembaga pemasyarakatan. Pengamatan
tetap dilaksanakan setelah terpidana selesai menjalani pidananya, pengawasan
dan pengamatan berlaku pula bagi pemidanaan bersyarat (Pasal 280 KUHAP).
4)
Atas permintaan hakim
pengawas dan pengamat, kepala lembaga pemasyarakatan menyampaikan informasi
secara berkala atau sewaktu-waktu tentangn perilaku narapidana tertentu yang
ada dalam pengamatan hakim tersebut (Pasal 281 KUHAP).
5)
Hakim dapat
membicarakan denagn kepala lembaga pemasyarakatan tentang cara pembinaan
narapidana tertentu. Hasil pengawasan dan pengamatan dilaporkan oleh hakim
pengawas dan pengamat kepada ketua pengadilan secara berkala (Pasal 282 dan 283
KUHAP).
F. Hapusnya Hak Eksekusi
Pada umumnya, setelah
adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap, jaksa pada kesempatan pertama akan
melakukan eksekusi (Pasal 270 KUHAP). Akan tetapi, adakalanya jaksa tidak dapat
melakukan eksekusi atau hak eksekusi telah habis sehingga putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap tidak dapat dilakukan untuk selama-lamanya. Hal ini
dapat terjadi karena hal-hal berikut.
a)
Kematian terpidana
Doktrin menganut
paham bahwa hukuman atau pidana dijatuhkan semata-mata terhadap pribadi
terpidana atau si terhukum, karenanya tidak dapat dibebankan kepada ahli waris.
Dengan demikian, jika terpidana meninggal dunia, hak eksekusi tidak dapat
dilakukan.
Terhadap ketentuan di
atas, dahulu ada pengecualian yang dimuat dalam Pasal 368 HIR yang berbunyi
sebagai berikut.
“Jika orang yang
melakukan pelanggaran pidana telah meninggal setelah putusan hakim yang tidak
dapat diubah lagi, maka dalam perkara-perkara pelanggaran peraturan pajak dan
cukai, semua denda dan perampasan serta biaya-biayanya ditagih dari ahli-ahli
waris atau wakil-wakil orang yang meninggal itu.”
b)
Akan tetapi,
ketentuan di atas tidak dianut oleh KUHAP.
Sebaiknya dalam
rangka penyempurnaan KUHAP, hal tersebut perlu mendapat perhatian. Daluwarsa
Ketentuan tentang
daluwarsa hak eksekusi dimuat dalam Pasal 84 KUHP yang berbunyi sebagai
berikut.
- Hak menjalankan hukuman hilang karena daluwarsa
- Tenggang daluwarsa ini untuk pelanggaran-pelanggaran,
lamanya dua tahun, untuk kejahatan yang dilakukan dengan alat percetakan,
lamanya lima tahun, dan untuk kejahatan lain, lamanya sama dengan lebih
tenggang daluwarsa hak menuntut pidana, ditambah sepertiga.
- Tenggang daluwarsa ini sekali-kali tidak boleh kurang dari
lamanya hukuman yang telah dijatuhkan.
- Hak menjalankan hukuman mati tidak kena daluwarsa.
Berkenaan dengan Pasal 84 ayat (3) KUHP, menjadi kabur jika terpidana dijatuhkan hukuman seumur hidup. Sayogyanya hal ini termasuk ayat (4).
Berkenaan dengan Pasal 84 ayat (3) KUHP, menjadi kabur jika terpidana dijatuhkan hukuman seumur hidup. Sayogyanya hal ini termasuk ayat (4).
3. Grasi
Ketentuan tentang
grasi dimuat dalam Pasal 14 UUD 1945. Pengertian grasi adalah wewenang dari
kepala negara untuk menghapuskan seluruh hukuman yang telah dijatuhkan hakim
atau mengurangi hukuman, atau menukar hukuman pokok yang berat dengan suatu
hukuman yang lebih ringan. Dahulu, grasi ini merupakan hak raja sehingga
dianggap sebagai anugerah raja. Akan tetapi, pada saat ini grasi merupakan
suatu alat untuk menghapuskan suatu yang dirasa tidak adil jika hukum yang
berlaku menimbulkan kekurangadilan.
Prihal grasi ini
sekarang diatur oelh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang
menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi.
Daftar
Pustaka
1)
Hamzah, Andi. 2009.
Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika Offset
2)
Hendrastanto, Dkk.
1987. Kapita Selekta Hukum Acara Pidana di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara HMA
Kuffal. 2007.
3)
Penerapan KUHAP dalam
Praktik Hukum. Malang: UMM Press
Hulsman. 1984.
Hulsman. 1984.
4)
Sistem Peradilan
Pidana dalam Perspektif Perbandingan Hukum. Jakarta: CV. Rajawali
5)
Marpaung, Leden.
2008. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, cet. IV Prodjodikoro,
Wiryo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar