Senin, 23 Maret 2015

Jaminan Fidusia (UUJF)


Pengertian Fidusia menurut Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang jaminan fidusia, pada Pasal 1 angka 1 menyatakan : “Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.” Kemudian pada Pasal 1 angka 2 menyatakan : Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.
Defenisi yang disebutkan di atas memperjelas perbedaan antara Fidusia dan jaminan Fidusia, dimana fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan dan Jaminan fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia, hal ini menunjukkan bahwa pranata jaminan fidusia yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999.
Hak jaminan dalam fidusia merupakan hak kebendaan, dimana kreditur memperjanjikan suatu jaminan khusus atas suatu atau sekelompok benda tertentu yang didahulukan dalam mengambil pelunasan atas hasil eksekusi tersebut, atau disebut juga sebagai hak preferen dan dalam undang-undang fidusia digunakan istilah “hak yang diutamakan” (Pasal 1 angka 2 UUJF) dan “hak yang didahulukan” (Pasal 27 UUJF).
Sifat dari hak jaminan dapat dibedakan yakni jaminan kebendaan dan jaminan perseorangan. Hak kebendaan memberikan kekuasaan langsung terhadap bendanya dan bertujuan memberikan hak verhaal (hak untuk meminta pemenuhan piutangnya kepada di kreditur) terhadap hasil penjualan benda-benda tertentu untuk pemenuhan piutangnya, hak kebendaaan ini mempunyai ciri khas dapat dipertahankan (dimintakan pemenuhan) terhadap siapun juga, yaitu terhadap mereka yang memperoleh hak, baik berdasarkan atas hak yang umum maupun yang khusus, juga terhadap pihak kreditur dan pihak lawannya dan selalu mengikuti bendanya dan haknya tetapi juga kewenangan untuk menjual bendanya dan eksekusi (droit de suite; zaaksgevolg) sedangkan hak perorangan menimbulkan hubungan langsung antara perorangan yang satu dengan yang lainnya yang bertujuan memberikan hak verhaal kepada kreditur terhadap benda keseluruhan dari debitur untuk memperoleh pemenuhan dari piutangnya.
Sifat dari perjanjian fidusia adalah assessoir (perjanjian buntutan), maksudnya perjanjian fidusia ini tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi mengikuti/ membuntuti perjanjian lainnya yang merupakan perjanjian pokok yaitu perjanjian hutang piutang.
Benda yang menjadi objek Jaminan fidusia dapat dirumuskan dalam pengertian yang luas,  (Pasal 3 UUJF ditafsirkan secara argumentum a contrario), meliputi :
1.     Benda bergerak yang berwujud;
2.     Benda bergerak tidak berwujud, termasuk piutang;
3.     Benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah;
4.     Benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan Hipotek sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan kitab Undang- Undang hukum dagang.
Benda bergerak adalah benda yang dimaksud dalam KUH Perdata dan setelah berlakunya UUPA memungkinkan status rumah/bangunan yang dipisahkan secara secara horizontal, yaitu memiliki bangunan diatas tanah orang lain yang mempunyai ciri sebagai berikut ;
1.     Bangunan dibangun oleh pemilik dengan bahan-bahannya milik sendiri diatas tanah orang lain.
2.     Hak membangun didasarkan atas persetujuan dengan pemilik tanah.
3.     Bangunan dianggap dan diperlakukan sebagai “benda bergerak”.
4.     Tanah dan bangunan merupakan dua benda yang terpisah (zelfstandige zaak) dan dapat dialihkan.
5.     Hubungan pemilik tanah pemilik bangunan diatur didalam perjanjian sewa.
6.     Jika hak sewa berakhir, pemilik bangunan tidak memperoleh ganti rugi. Pemilik tanah tidak wajib mengambil alih bangunan dan karena itu pemilik bangunan wajib membongkar bangunan itu.
7.     Pemutusan sewa harus seizin pejabat yang berwenang.
Jaminan Fidusia hapus secara hukum disebabkan oleh hal-hal tertentu, hal ini dapat kita lihat pada Pasal 25 angka (1) Undang-Undang Fidusia berbunyi jaminan fidusia hapus karena hal-hal sebagai berikut :
a)     Hapusnya hutang yang dijamin dengan fidusia
b)    Pelepasan hak atas jaminan Fidusia oleh penerima fidusia atau
c)     Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
Jaminan fidusia adalah pranata jaminan dan bahwa pengalihan hak kepemilikan dengan cara constitutum possessorium adalah semata-mata untuk memberi agunan dengan hak yang didahulukan kepada penerima fidusia, maka sesuai dengan Pasal 33 UUJF, setiap janji yang memberi kewenangan kepada penerima fidusia untuk memiliki benda yang menjadi objek jaminan fidusia apabila debitur cidera janji, batal demi hukum. Ketentuan tersebut dibuat untuk melindungi pemberi fidusia, terutama jika objek jaminan fidusia melebihi besarnya utang yang dijamin, jika hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitor tetap bertanggungjawab atas utang yang belum terbayar.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar