Penyampingan perkara pidana (deponering) dalam proses pidana
adalah sebagai pengecualian dari azas legalitas.
UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI maupun
penjelasannya mengatakan penyampingan perkara (deponering) demi kepentingan
umum (Pasal 35 sub c) adalah sebagai berikut : yang dimaksud dengan
“kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan
masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
ini merupakan pelaksanaan azas oportunitas, hanya dapat dilakukan oleh Jaksa
Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan
negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
Sebelum dicantumkannya azas oportunitas itu dalam pasal
pasal 8 Undang-undang No 15 Tahun 1961, sebenarnya azas itu sudah ada diatur di
dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tanggal 9 Juli 1960 tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang di dalam
pasal 4 nya dikatakan bahwa :“Jaksa
hanya diperbolehkan menyampingkan perkara korupsi, jika ada
perintah dari Jaksa Agung”.
Bahwa dasar hukum pelaksanaan penyampingan perkara
(deponering) berdasarkan azas oportunitas di Indonesia adalah :
a.
Hukum tidak tertulis
(hukum kebiasaan)
b.
Pasal 4 PERPU No 24
Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi
c.
Pasal 35 sub ( c) UU
No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI.
Apabila hal ini kita kaitkan dengan hukum pidana materiil,
maka penyampingan perkara terdiri dari dua golongan yaitu :
a)
Penyampingan perkara
berdasarkan azas oportunitas
b)
Penyampingan perkara
atas dasar penilaian hukum pidana (strafrechtelijk)
Bahwa tujuan dari penyampingan perkara (deponering) pada
prinsipnya adalah untuk memberi kemanfaatan, kelayakan dan kesempatan yang baik
guna melindungi kepentingan masyarakat secara baik dan benar.
Pada Penyampingan perkara (deponering), perkara yang
bersangkutan memang cukup alasan dan bukti untuk diajukan di muka sidang
pengadilan. Dari fakta dan bukti yang ada, kemungkinan besar terdakwa dapat
dijatuhi hukuman. Akan tetapi perkara yang cukup fakta dan bukti ini sengaja
dikesampingkan dan tidak dilimpahkan ke pengadilan oleh penuntut umum atas
alasan “demi untuk kepentingan umum”.
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum dan penegakan hukum dikorbankan demi untuk
kepentingan umum. Seseorang yang cukup terbukti melakukan tindak pidana,
perkaranya dikesampingkan dan tidak diteruskan ke sidang pengadilan dengan
alasan kepentingan demi kepentingan umum. Itulah sebabnya azas oportunitas ini
bersifat diskriminatif dan menggagahi makna equality before the lawatau
persamaan kedudukan di depan hukum. Sebab kepada orang tertentu, dengan
mempergunakan alas
an kepentingan umum, hukum tidak diperlakukan atau kepadanya
penegakan hukum dikesampingkan.
Sedang pada penghentian penuntutan, alasan bukan didasarkan
kepada kepentingan umum, akan tetapi semata-mata didasarkan kepada alasan dan
kepentingan hukum itu sendiri, yakni :
a) Perkara yang bersangkutan tidak mempunyai pembuktian yang
cukup sehingga jika perkaranya diajukan ke pemeriksaan sidang pengadilan diduga
keras terdakwa akan dibebaskan oleh hakim atas alasan kesalahan yang didakwakan
tidak terbukti. Untuk menghindari keputusan pembebasan yang demikianlah maka
lebih bijaksana penuntut umum menghentikan penuntutan.
b) Apa yang dituduhkan kepada terdakwa bukan merupakan tindak
pidana kejahatan atau pelanggaran. Setelah penuntut umum mempelajari berkas
perkara hasil pemeriksaan penyidikan dan berkesimpulan bahwa apa yang
disangkakan penyidik terhadap terdakwa bukan merupakan tindak pidana, baik yang
berupa kejahatan atau pelanggaran, penuntut umum lebih baik menghentikan
penuntutan. Sebab bagaimanapun, dakwaan yang bukan merupakan tindak pidana
kejahatan atau pelanggaran yang diajukan ke muka persidangan, pada dasarnya
hakim akan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (onstag van
rechtvervolging).
c)
Atas perkara ditutup
demi hukum
Penghentian penuntutan atas dasar perkara ditutup demi hukum
adalah suatu perkara pidana yang terdakwanya oleh hukum sendiri telah
dibebaskan dari tuntutan atau dakwaaan, dan perkara itu sendiri oleh hukum
harus ditutup atau dihentikan pemeriksaannyapada semua tingkat pemeriksaan.
Alasan yang menyebabkan suatu perkara ditutup demi hukum, bisa didasarkan pada:
- Karena tersangka/terdakwa meninggal dunia (pasal 77 KUHP)
- Atas alasan ne bis in idem (pasal 76 KUHP)
-
Terhadap perkara yang
hendak ditutup oleh penuntut umum, ternyata telah kadaluarsa sebagaimana yang
diatur dalam pasal 78-80 KUHP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar