Kamis, 19 Maret 2015

Deponering

 
Penyampingan perkara pidana (deponering) dalam proses pidana adalah sebagai pengecualian dari azas legalitas.

UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI maupun penjelasannya mengatakan penyampingan perkara (deponering) demi kepentingan umum (Pasal 35 sub c) adalah sebagai berikut : yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan azas oportunitas, hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
Sebelum dicantumkannya azas oportunitas itu dalam pasal pasal 8 Undang-undang No 15 Tahun 1961, sebenarnya azas itu sudah ada diatur di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tanggal 9 Juli 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang di dalam pasal 4 nya dikatakan bahwa :“Jaksa
hanya diperbolehkan menyampingkan perkara korupsi, jika ada perintah dari Jaksa Agung”.

Bahwa dasar hukum pelaksanaan penyampingan perkara (deponering) berdasarkan azas oportunitas di Indonesia adalah :
a.      Hukum tidak tertulis (hukum kebiasaan)
b.     Pasal 4 PERPU No 24 Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi
c.      Pasal 35 sub ( c) UU No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI.

Apabila hal ini kita kaitkan dengan hukum pidana materiil, maka penyampingan perkara terdiri dari dua golongan yaitu :
a)     Penyampingan perkara berdasarkan azas oportunitas
b)    Penyampingan perkara atas dasar penilaian hukum pidana (strafrechtelijk)

Bahwa tujuan dari penyampingan perkara (deponering) pada prinsipnya adalah untuk memberi kemanfaatan, kelayakan dan kesempatan yang baik guna melindungi kepentingan masyarakat secara baik dan benar.

Pada Penyampingan perkara (deponering), perkara yang bersangkutan memang cukup alasan dan bukti untuk diajukan di muka sidang pengadilan. Dari fakta dan bukti yang ada, kemungkinan besar terdakwa dapat dijatuhi hukuman. Akan tetapi perkara yang cukup fakta dan bukti ini sengaja dikesampingkan dan tidak dilimpahkan ke pengadilan oleh penuntut umum atas alasan “demi untuk kepentingan umum”.
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum dan penegakan hukum dikorbankan demi untuk kepentingan umum. Seseorang yang cukup terbukti melakukan tindak pidana, perkaranya dikesampingkan dan tidak diteruskan ke sidang pengadilan dengan alasan kepentingan demi kepentingan umum. Itulah sebabnya azas oportunitas ini bersifat diskriminatif dan menggagahi makna equality before the lawatau persamaan kedudukan di depan hukum. Sebab kepada orang tertentu, dengan mempergunakan alas
an kepentingan umum, hukum tidak diperlakukan atau kepadanya penegakan hukum dikesampingkan.

Sedang pada penghentian penuntutan, alasan bukan didasarkan kepada kepentingan umum, akan tetapi semata-mata didasarkan kepada alasan dan kepentingan hukum itu sendiri, yakni :
a)     Perkara yang bersangkutan tidak mempunyai pembuktian yang cukup sehingga jika perkaranya diajukan ke pemeriksaan sidang pengadilan diduga keras terdakwa akan dibebaskan oleh hakim atas alasan kesalahan yang didakwakan tidak terbukti. Untuk menghindari keputusan pembebasan yang demikianlah maka lebih bijaksana penuntut umum menghentikan penuntutan.
b)    Apa yang dituduhkan kepada terdakwa bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran. Setelah penuntut umum mempelajari berkas perkara hasil pemeriksaan penyidikan dan berkesimpulan bahwa apa yang disangkakan penyidik terhadap terdakwa bukan merupakan tindak pidana, baik yang berupa kejahatan atau pelanggaran, penuntut umum lebih baik menghentikan penuntutan. Sebab bagaimanapun, dakwaan yang bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran yang diajukan ke muka persidangan, pada dasarnya hakim akan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (onstag van rechtvervolging).
c)     Atas perkara ditutup demi hukum

Penghentian penuntutan atas dasar perkara ditutup demi hukum adalah suatu perkara pidana yang terdakwanya oleh hukum sendiri telah dibebaskan dari tuntutan atau dakwaaan, dan perkara itu sendiri oleh hukum harus ditutup atau dihentikan pemeriksaannyapada semua tingkat pemeriksaan. Alasan yang menyebabkan suatu perkara ditutup demi hukum, bisa didasarkan pada:
-      Karena tersangka/terdakwa meninggal dunia (pasal 77 KUHP)
-      Atas alasan ne bis in idem (pasal 76 KUHP)
-      Terhadap perkara yang hendak ditutup oleh penuntut umum, ternyata telah kadaluarsa sebagaimana yang diatur dalam pasal 78-80 KUHP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar