Diversi dan
Restoratif Justice Perlindungan Hukum bagi Anak
Pengaturan tentang hukum pidana dalam
perspektif dan pencapaian keadilan kepada perbaikan maupun pemulihan keadaan
setelah peristiwa dan proses peradilan pidana yang dikenal dengan :
1. keadilan
restoratif (restoratif justice) yang berbeda dengan
2. keadilan
retributif (menekankan keadilan pada pembalasan) dan
3.
keadilan restitutif (menekankan
keadilan pada ganti rugi).
Ditinjau dari perkembangan ilmu hukum
pidana dan sifat pemidaan modern, telah memperkenalkan dan mengembangkan apa
yang disebut pendekatan hubungan Pelaku-Korban atau “Doer-Victims”
Relationship. Bahwa ada 3 aspek pendekatan untuk membangun suatu sistem
hukum dalam rangka modernisasi dan pembaharuan hukum, yaitu
1. segi
struktur (structure),
2. substansi
(substance) dan
3.
budaya (legal culture) à secara integral,
simultandanparalel.
Dalam Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights
of the Child) yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Kepres
Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan dalam UU No. 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU
No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang kesemuanya mengemukakan
prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi, kepentingan
terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang dan menghargai
partisipasi anak.
Perlindungan hukum bagi anak dapat
dilakukan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak
asasi anak. Tidak hanya anak sebagai pelaku, namun mencakup juga anak yang
sebagai korban dan saksi. Dalam penanganan ABH agar tidak hanya mengacu pada UU
No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Sistem Peradilan Pidana Anak atau peraturan
perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penanganan ABH, namun lebih
mengutamakan perdamaian daripada proses hukum formal yang mulai diberlakukan 2
tahun setelah UU SPPA diundangkan atau 1 Agustus 2014 (Pasal 108 UU No. 11
Tahun 2012). PERMA No. 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak, PERMA ini memuat tata cara pelaksanaan diversi
yang menjadi pegangan Hakim dalam penyelesaian pidana anak mengingat belum ada
regulasi yang memuat hukum acara khusus diversi Sistem Peradilan Pidana Anak.
Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan
segala unsur sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan
kasus-kasus ABH, Polisi, Kejaksaan dan Pengadilan serta Pembimbing
Kemasyarakatan atau Balai Pemasyarakatan, Advokat atau pemberi bantuan, Lembaga
Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) dan
Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS)sebagai institusi atau
lembaga yang menagani ABH mulai dari anak bersentuhan dengan sistem peradilan,
menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak hingga
tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari
dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman dalam koridor keadilan
restoratif.
UU SPPA Diversi adalah pengalihan
penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar
peradilan pidana, yang bertujuan untuk:
1) Mencapai
perdamaian antara korban dan Anak;
2) Menyelesaikan
perkara Anak di luar proses peradilan;
3) menghindarkan
Anak dari perampasan kemerdekaan;
4) mendorong
masyarakat untuk berpartisipasi; dan
5)
menanamkan rasa tanggung jawab kepada
Anak.
Musyawarah Diversi adalah musyawarah
antara pihak yang melibatkan Anak dan orang tua/wali, korban dan/atau orang
tua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional, perawakilan
dan pihak-pihak yang terlibat lainnya untuk mencapai kesepakatan diversi
melalui pendekatan keadilan restoratif.
Fasilitator adalah hakim yang ditunjuk
oleh Ketua Pengadilan untuk menangani perkara anak yang bersangkutan. Diversi
adalah pengalihan proses pada sistem penyelesaian perkara anak yang panjang dan
sangat kaku.
Mediasi atau dialog atau musyawarah
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam diversi untuk mencapai keadilan
restoratif.
Penghukuman bagi pelaku Tindak Pidana
Anak tidak kemudian mencapai keadilan bagi korban, mengingat dari sisi lain
masih meninggalkan permasalahan tersendiri yang tidak terselesaikan meskipun
pelaku telah dihukum.
Melihat prinsip prinsip tentang
perlindungan anak terutama prinsip mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak
maka diperlukan proses penyelesaian perkara anak diluar mekanisme pidana atau
biasa disebut diversi.
Salah satu bentuk mekanisme restoratif
justice tersebut adalah dialog yang dikalangan masyarakat Indonesia lebih
dikenal dengan sebutan "musyawarah untuk mufakat”. Sehingga diversi
khususnya melalui konsep restoratif justice menjadi suatu pertimbangan yang
sangat penting dalam menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak.
1) PERMA
ini juga mengatur tahapan musyawarah diversi, dimana fasilitor yang ditunjuk
Ketua Pengadilan wajib memberikan kesempatan kepada :
Anak untuk didengar keterangan perihal dakwaan
Anak untuk didengar keterangan perihal dakwaan
2) Orang
tua/Wali untuk menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan anak dan
bentuk penyelesaian yang diharapkan
3) Korban/Anak
Korban/Orang tua/Wali untuk memberikan tanggapan dan bentuk penyelesaian yang
diharapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar