Apakah Kejaksaan memiliki wewenang
melakukan penanganan asset?
|
|
1
|
Aset yang diamksud adalah asset yang
memilikikaitan dengan tindak pidana.
|
2.
|
KUHAP Pasal 1 angka 16 menerangkan
bahwa asset yang ada kaitannya dengan tindak pidana. Terhadap asset dapat dikenakan
penyitaan.
Tindakan penyitaan yang dimaksud dalam pasal ini adalah
serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaanya
asset-aset terkait tindak pidana untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan,
penuntutan dan peradilan.
|
3.
|
Jadi
tindakan terhadap asset hanya dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum karena tindakan
pro-yustisia.
|
4.
|
Aparat penegak hukum yang dimaksud
adalah penyidik baik itu Penyidik POLRI, Penyidik PNS, Penyidik KPK (tindak pidana korupsi)
dan Penyidik Kejaksaan (tindak pidana korupsi dan
Pelanggaran HAM Berat).
|
5.
|
Penanganan asset tidak hanya pada
tahap penyidikan melainkan juga ada pada tahap penuntutan,
|
6.
|
Pada tahap penuntutan, Jaksa Penuntut
Umum juga memiliki kewenaganan menangani asset karena sistim peradilan
Indonesia kewenangan adalah Dominus litis (domain) lembaga Kejaksaan.
|
7.
|
Walaupun terjadi penyerahan tersangka
dan berkas perkara pada tahap peradilan namum asset merupakan barang bukti tetap dalam penguasaan Jaksa
Penuntut Umum.
|
8.
|
Putusan pengadilan yang berkekuatan
tetap dieksekusi oleh Kejaksaan termasuk asset yang telah diputuskan oleh
pengadilan.
|
9.
|
Penuntutan yang merupakan wewenang
kkusus (dominus litis) kejaksaan, pelaksanaan putusan pengadilan yang telah
memiliki kekuatan hukum tetap (incraaht) juga merupakan kewenangan kejaksaan.
|
10.
|
Justifikasi dan legitimasi Kejaksaan
untuk bertindak sebagai asset recovery
office terkait dengan tugas pokok dan fungsinya dalam penyidikan, dan sebagai
eksekutor yang melaksanakan putusan dan atau ketetapan pengadilan serta
melakukan penyelesian sesuai dengan perintah pengadilan atau disposal.
|
11.
|
Barang milik Negara sebagai barang
yang diperoleh atas beban anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) atau
berasal dari perolehan lainya yang san
(Non APBN).
|
12.
|
Menurut peraturan pemerintah yang
dimaksud dengan barang milik Negara yang relevan dengan konteks pemulihan
asset, yaitu barang yang diperoleh berdasarkan keputusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap (incraaaht).
|
13.
|
Dalam konteks Kejaksaan Agung, Jaksa
Agung selaku pimpinan lembaga secara ex
officio berstatus sebagai “pengguna barang” yang
secara fungsional kewenangan dan tanggung jawabnya selaku pengurus barang
dijalankan oleh Jaksa Agung Muda Pembinaan. Jaksa Agung Muda Pembinaan
mendelegasikan kewenangan dan tanggung jawab fungsional menggunakan barng
kepada kepala Biro keunagan dan
fungsinya antara lain : “mengelola
pendapatan dan uang milik Negara serta pendapatan Negara bukan pajak (PNBP)
Kejaksaan dan mengelola barang
rampasan”.
|
14.
|
Menetri keuangan dengan PERATURAN
MENTERI KEUANGAN NO. 03/PMK.08/2011 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara
yang berasal dari barang rampasan Negara dan gratifikasi, mengakui dan
penegasan fungsi manajemen asset pro yustisi kejaksaan seperti pada pasal 8 dan pasal 9 yang
menyebutkan Jaksa Agung sebagai
Pengurus Barang rampasan Negara.
|
Minggu, 16 November 2014
Kejaksaan memiliki wewenang melakukan penanganan asset
Syarat Arbitrase
Arbitrase
dan Alternatif penyelesaian sengketa
(3).
|
|||
|
UU NO. 30
TAHUN 1999
|
||
|
Datun
|
||
Syarat Arbitrase
|
|
||
1
|
Para pihak
dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara
mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase.
|
||
2.
|
Dalam hal timbul
sengketa, pemohon harus memberithaukan dengan surat tercatat, telegram,
teleks, facsimile, e-mail atau dengan buku ekspedisi kepada termohon bahwa
syarat arbitrase yang diadakan oleh pemohon atau termohon berlaku.
|
||
3.
|
Surat
pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase sebagai mana dimaksud dalam ayat 1
memuat dengan jelas :
|
||
a.
|
Nama dan
alamat para pihak;
|
||
b.
|
Penunjukan
kepada klausulu atau perjanjian arbitrase yang berlaku;
|
||
c.
|
Perjanjian
atau masalah yang menjadi sengketa;
|
||
d.
|
Dasar
tuntutan dan jumlah yang dituntut, apabila ada;
|
||
e.
|
Cara
penyelesaian yang dikehendaki; dan
|
||
f.
|
Perjanjian
yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah artiber atau apabila tidak
pernah diadakan perjanjian semacam itu, pemohon dan mengajukan usul tentang
jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil.
|
||
4.
|
Dalam hal
para pihak memilih penyelesaian sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal
tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditanda tangani
oleh para pihak.
|
||
5.
|
Dalam hal
para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1, perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk
akta notaris.
Perjanjian
tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus memuat :
|
||
a.
|
Masalah
yang dipersengketakan;
|
||
b.
|
Nama
lengkap dan tempat tinggal para pihak;
|
||
c.
|
Nama
lengkap dan tempat tinggal arbiter dan majelis arbitrase;
|
||
d.
|
Tempat
arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan;
|
||
e.
|
Nama
lengkap sekretaris;
|
||
f.
|
Jangka
waktu penyelesaian sengketa;
|
||
g.
|
Pernyataan
kesediaan dari arbiter; dan
|
||
h.
|
Pernyataan
kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang
diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
|
||
6.
|
Suatu
perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan tersebut di bawah
ini :
|
||
a.
|
Meninggalnya
salah satu pihak;
|
||
b.
|
Bangkrutnya
salah satu pihak;
|
||
c.
|
Novasi;
Yang
dimaksud dengan novasi adalah
Pembaharuan utang.
|
||
d.
|
Insolvensi
salah satu pihak : yang dimaksud dengan insolvensi adalah keadaan tidak mampu
membayar;
|
||
e.
|
Pewarisan;
|
||
f.
|
Berlakunya
syarat-syarat hapusnya perikatan pokok.
|
||
g.
|
Bilamana
pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan
persetujuan pihak yang melakukan
perjanjian arbitrase tersebut; atau
|
||
h.
|
Berakhirnya
atau batalnya perjanjian pokok.
|
||
7.
|
Penunjukan
dua orang arbiter oleh para pihak memberi wewenang kepada dua arbiter
tersebut untuk memilih dan menunjuk arbiter yang ketiga;
|
||
|
Arbiter
ketiga sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diangkat sebagai ketua majelis
arbitrase;
Apabila
dalam waktu paling lama 30 hari setelah pemberitahuan diterima oleh termohon
sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat 1, dan salah pihak ternyata tidak
menunjuk seseorang yang akan menjadi anggota majelis arbitrase, arbiter yang
ditunjuk oleh pihak lainnya akan bertindak sebagai arbiter tunggal dan
putusannya mengikat kedua belah pihak.
|
Pelaksanaan Putusan dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Nasional/Internasional)
Arbitrase dan Alternatif penyelesaian
sengketa (8).
|
||||
|
UU NO. 30 TAHUN 1999
|
|||
|
Datun
|
|||
Pelaksanaan
Putusan Arbitrase
|
|
|||
ARBITRASE NASIONAL
|
|
|||
1
|
Dalam waktu
paling lama 30 hari terhitung sejak
tanggal diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase
diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasannya kepada Penitera
Pengadilan Negeri.
|
|||
2.
|
Putusan
arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para
pihak.
|
|||
3.
|
Perintah
sebagaimana dimaksud dalam pasal 61 diberikan dalam waktu paling lama 30 hari
setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri.
|
|||
4.
|
Putusan
arbitrase yang telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Negeri, dilaksankan
sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya
telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
|
|||
ARBITRASE
INTERNASIONAL
|
||||
1.
|
Yang
berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase
internasional adalah pengadilan negeri Jakarta Pusat.
|
|||
2.
|
Putusan
arbitrase internasional hanya diakui serta dapat dilaksankan diwilayah hukum
republic Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
|
|||
a.
|
Putusan
arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase
disuatu Negara yang dengan Negara Indonesia
terikat dengan perjanjian, baik secara bilateral maupul multilateral,
mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
|
|||
b.
|
Putusan
arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dengan huruf a terbatas pada
putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup
hukum perdagangan.
Yang
dimaksud dengan “ruang lingkup hukum perdagangan’ adalah kegiatan-kegiatan
antara lain bidang :
|
|||
-
|
Perniagaan;
|
|||
-
|
Perbankan;
|
|||
-
|
Keuangan;
|
|||
-
|
Penanaman
modal;
|
|||
-
|
Industry;
|
|||
-
|
Hak
kekayaan intelektual.
|
|||
3.
|
Permohonan
pelaksanaan putusan arbitrase internasional dilakukan setelah putusan
tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.
Penyampaian
berkas permohonan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus
disertai dengan :
|
|||
a.
|
Lembar asli
atau salinan otentik putusan arbitrase internasional, sesuai dengan ketentuan
perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahkan resminya dalam
bahasa Indonesia.
|
|||
b.
|
Lembar asli
atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar putusan arbitrase
internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan anskah
terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia; dan
|
|||
c.
|
Keterangan
dari perwakilan diplomat republic Indonesia dinegara tempat putusan arbitrase
internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa Negara pemohon
terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan
Negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanan putusan arbitrase
Internasional.
|
|||
4.
|
Terhadap
putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam
pasal 66 huruf d yang mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase
internasional, tidak dapat diajukan banding atau kasasi.
|
|||
5.
|
Setelah
ketua Pengadilan Jakarta Pusat memberikan
perintah eksekusi sebagaimana dimaksud dalam pasal 64, maka pelaksanan
selanjutnya dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang secara relative
berwenang melaksankan putusannya.
Sita
eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan serta baeang milik termohon
eksekusi.
Tata cara
penyitaan serta pelaksanaan putusan mengikuti tata cara sebagaimana
ditentukan oleh Hukum Acara Perdata.
|
|||
Hak Ingkar dalam Arbitrase dan alternatif Penyelesaian Sengketa
Arbitrase
dan Alternatif penyelesaian sengketa
(4).
|
||
|
UU NO. 30
TAHUN 1999
|
|
|
Datun
|
|
Hak Ingkar
|
|
|
1
|
Terhadap
arbiter dapat diajukan tuntutan ingkar apabila terdapat cukup bukti otentik
yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara
bebas dan akan berpihak dalam mengambil keputusan.
Tuntutan
ingkar terhadap seoarang arbiter dapat pula dilaksankan apabila terbukti
adanya hubungan kekeluargaan, keuangan atau pekerjaan dengan salah satu pihak
atau kuasanya.
|
|
2.
|
Hak ingkar
terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan Negeri diajukan kepada
Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Hak ingkar
terhadap arbiter tunggal diajukan kepada arbiter yang bersangkutan.
Hak ingkar
terhadap anggota majelis arbitrasi diajukan kepada majelis arbitrase yang
bersangkutan.
|
Saksi dan ahli dalam Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Arbitrase
dan Alternatif penyelesaian sengketa
(7).
|
||
|
UU NO. 30
TAHUN 1999
|
|
|
Datun
|
|
Saksi dan Saksi Ahli
|
|
|
1
|
Atas
perintah arbiter atau majelis arbitrase atau atas permintaan para pihak dapat
dipanggil seorang saksi atau lebih atau seorang saksi ahli atau lebih, untuk
didengar keterangannya.
Biaya
pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli diebankan kepada pihak
peminta.
Sebelum
memberikan keterangan, para saksi atau saksi ahli wajib mengucapkan sumpah.
|
|
2.
|
Arbiter
atau majelis arbitrase dapat meminta bantuan seorang atau lebih saksi ahli
untuk memberikan keterangan tertulis mengenai suatu persoalan khusus yang
berhubungan dengan pokok sengketa.
Para pihak
wajib memberikan segala keterangan yang diperlukan oleh para saksi ahli.
|
|
Pengertian Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa
Arbitrase dan Alternatif penyelesaian
sengketa (1).
|
||
|
UU NO. 30 TAHUN 1999
|
|
|
Datun
|
|
Pengertian
|
|
|
1
|
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa
perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang
dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa.
Para pihak adalah subjek hukum, baik
menurut hukum perdta maupun hukum public.
Perjanjian arbitrase adalah suatu
kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantun dalam suatu perjanjian
tertulis yang dibuat para pihak sebelum sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak
setelah timbul sengketa.
|
|
2.
|
Undang-undang ini mengatur penyelesaian
sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum
tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas
menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang
mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara
arbitrase atau melalui alternative penyelesaian sengketa.
|
|
3.
|
Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para
pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.
|
|
4.
|
Dalam hal para pihak telah menyetujui
bahwa sengketa diantara mereka akan diselesaikan melalui arbitase dan para
pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menetukan dalam
putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini tidak diatur
dalam perjanjian mereka.
|
|
5.
|
Sengketa yang dapat diselesaikan melalui
arbitrase hanya sengketa di bidang
perdaganagn dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundnag-undnagan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Sengketa yang tidak dapat diselesaikan
melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan
tidak dapat diadakan perdamaian.
|
Acara Arbittrase
Arbitrase
dan Alternatif penyelesaian sengketa
(5).
|
|||
|
UU NO. 30
TAHUN 1999
|
||
|
Datun
|
||
Acara Arbittrase
|
|
||
1
|
Semua
pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara
tertutup.
Ketentuan
bahwa pemeriksaan dilakukan secara tertutup adalah menyimpang dari ketentuan
acara perdata yang berlaku di Pengadilan Negeri yang pada prinsipnya terbuka
untuk umum. Hal ini untuk lebih menegaskan sifat kerahasiaan penyelesaian
arbitrase.
|
||
2.
|
Bahasa yang
digunakan dalam semua proses arbitrase adalah bahasa Indonesia, kecuali atas persetujuan arbiter atau
majelis arbitrase para pihak dapat memilih bahasa lain yang akan digunakan.
|
||
3.
|
Para pihak
yang bersengketa mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam mengemukakan
pendapat masing-masing. Para pihak yang bersengketa dapat diwakili oleh
kuasannya dengan surat kuasa khusus.
|
||
4.
|
Arbiter
atau majelis arbitrase berwenang untuk memperpanjang jangka waktu tugasnya
apabila :
|
||
a.
|
Diajukan
permohonan oleh satu pihak mengenal hal khusus tertentu;
Yang dimaksud
dengan “hal khusus tertentu” misalnya karena adannya gugatan antara gugatan
insedential diluar pokok sengketa seperti permohonan jaminan sebagaimana
dimaksud dalam hukum acara perdata.
|
||
b.
|
Sebagai
akibat ditetapkan putusan provisional atau putusan sela lainnya; atau
|
||
c.
|
Dianggap
perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase untuk kepentingan pemeriksaan.
|
||
5.
|
Penyelesaian
sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan denganenggunakan lembaga arbitrase nasional atau
internasional berdasarkan kesepakatan para pihak.
Penyelesaian
sengketa melalui arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan
menurut peraturan dan acara dari lembaga yang dipilih, kecuali ditetapkan
lain oleh para pihak;
|
||
6.
|
Pemeriksaan
sengketa dalam arbitrase harus diajukan secara tertulis.
Pemeriksaan
secara lisan dapat dilakukan apabila disetujui para pihak atau diaggap perlu
oleh arbiter atau majelis arbitrase.
|
||
7.
|
Tempat
arbitrase ditentukan oleh arbiter atau majelelis arbitrase kecuali ditentukan
sendiri oleh para pihak.
|
||
8.
|
Dalam
jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase, pemohon
harus menyampaikan surat tuntutan kepada arbiter atau majelis arbitrase.
Surat
tuntutan tersebut harus memuat sekurang-kurangnya :
|
||
a.
|
Nama
lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak;
|
||
b.
|
Uraian
singkat tentang sengketa disertai dengan lampiran bukti-buti dan
|
||
c.
|
Isi
tuntutan yang jelas. Isi tuntutan harus jelas dan apabila isi tuntutan berupa
uang harus disebutkan jumlahnya yang pasti.
|
||
9.
|
Setelah
menerima surat tuntutan dari pemohon, arbiter atau ketua majelis arbitrase
menyampaikan satu salinan tuntutan
tersebut kepada termohon harus menanggapi dengan memberikan jawabn dalam
waktu paling lama 14 hari sejak dierimanya salinan tuntutan tersebut oleh
termohon.
|
||
10.
|
Segera
setelah diterimanya jawaban dari termohon atas perintah arbiter atau ketua
majelis arbitrase, salinan dan jawaban tersebut diserahkan kepada pemohon.
Bersmaman
dengan itu, arbiter atau ketua majelsi arbitrasi memerintahkan agar para
pihak atau kuasa mereka menghadap dimuka siding arbitrase ayng ditetapkan
paling lama 14 hari terhitung mulai hari dikeluarkannya perintah itu.
|
||
11.
|
Dalam hal
par pihak dating menghadap pada hari yang telah ditetapkan, arbiter atau
majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara piha yang
bersengketa.
Dalam hal
usaha perdamaian sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 tercaai, maka arbiter atau majelis arbiter membuat suatu
akta perdamaian yang final dan mengikat para pihak dan memerintahkan para
pihak untuk memenuhi ketentuan perdamaian tersebut.
|
||
12.
|
Pemeriksaan
atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 hari sejak
arbiter atau majelis arbitrasi terbentuk.
|
||
Langganan:
Postingan (Atom)