Kamis, 18 September 2014

Etilogi Sosial Faktor Penyebab Korupsi di Indonesia


Etilogi  Sosial Faktor-faktor Penyebab Korupsi di Indonesia


Bagian dari teori atau ilmu pengetahuan kriminologi untuk mengungkap sebab-sebab kejahatan korupsi, disebut pendekatan sosiologi criminal yaitu pengetahuan tentang kejahatan sebagai gejala masyarakat  atau sampai dimana letak sebab-sebab kejahatan dalam masyarakat (etiologi social).
Permasalahan korupsi merupakan permasalahan yang sangat sulit untuk diberantas oleh karena sangart konpleks yang menurut Barda Nawawi arif, bahwa hal itu tersebut disebabkan karena korupsi berkaitan  erat dengan kompleksitas  masalah lain  seperti : “masalah sikap mental/moral, masalah pola/sikap hidup dan budaya social, masalah kebutuhan/tuntunan ekonomi dan struktur/ system ekonomi, masalah lingkungan hidup/sosila dan kesenjangan social-ekonomi, maslah struktur / budaya politik, masalah peluang yang ada didalam mekanisme pembnagunan atau kelemahan birokrasi/prosedur administrasi (termasuk sistem pengawasan) dibidang keuangan dan pelayanan umum.
Berkaitan dengan perkembangan korupsi di Indoneia selain dapat diselidiki fenomena social dalam praktik dengan mencermati secara etilogi social maka factor-faktor penyebab korupsi :
a.     Masih melekatnya budaya feudal, dengan prilaku upetiisme, premodialisme dan nepotisme yang memetingkan keluarga atau kroninya yang mendorong perbuatan korupsi.
b.     Kesenjangan dalam sistem pengajian dan kesejahteraan dalam bentuk politik risk dan economi risk sebagai dukungan anggaran, sarana fasilitas materil dalam bertugas dan tidak memadai kesejahteraan keluarga pegawai, karyawan yang tidak layak sesuai standar minimal kebutuhan hidup sehingga menjadi potensial dengan elemen perbuatan korupsi.
c.      Lemahnya manajemen kepeminpinan institusi pemerintahan termasuk para pelaku bisnis seperti BUMN, Koperasi, Swasta/Pengusaha yang tidak memberikan keteladana, kesederhanaan atau pola hidup sederhana sehingga kurangnya fungsi control melalui pengawasn melekat sehingga menjadi sangat toleran dengan perbuatan korupsi.
d.     Terjadinya erosi moral pada setiap lapisan social masyarakat, rendahnya kadar keimanan moralitas ajaran-ajaran agama dan etika yang hasilnya terjebak dengan mental pengabdian yang buruk dalam perilaku sebagai pegawai, karyawan serta pelaku bisnis lainnya dengan cara korupsi karena ego kepentingan pribadi jauh lebih tinggi daripada kepentingan umum, bangsa dan Negara.
e.     Gaya hidup sangat konsuntif, sebagai pengaruh negative yang sangat kuat dari pola kehidupan eforia neo liberalism, sehingga menjadi terllau interes dan individualistis bahwa nepotisme dan kepentingan keluarga diatas kepentingan segalanya.
f.      Adannya kemiskinan dan pengangguran, yang terstruktur dalam kehidupan masyarakat, disertai diskriminasi perlakuan hukum bagi para pelaku korupsi dan kejahatan biasa dengan cara penyalahgunakan wewenang dan kekuasaan yang menjadi peluang suburnya perilaku korupsi.
g.     Produk politik hukum yang menghasilkan instrument peraturan perundang-undangan yang potensi korupsi, misalnya pembetukan perturan perundang-perundangan melalui proses demokrasi dengan legislasi nasional yang sarat rekayasa atau interprestasi politik dan perbuatan gratifikasi sehingga menetapkan undang-undang tergolong korupsi dan saling bertentangan seperti pada UU keunagan Negara jika hasil korupsi dikembalikan bisa bebas sedangkan dalam UU Pemberantasan Korupsi, memgembalikan hasil korupsi tidak menghentikan  suatu proses peradilan pidana.
h.     Penerapan hukum terhadap pelaku korupsi disamping lamban juga tidak menimbulkan efek jera dan dianggap kasus biasa (ordinary crimer). Hasil tegaknya hukum bagi pelaku korupsi menjadi tidak konsisten sesuai instrument hukum korupsi sebagai extra  ordinary crime yang seharusnya diutamakan sebagai kasus yang luar biasa dengan sanksi yang paling berat dank eras, misalnya  dengan metode carot dan stick yaitu penerapan sanksi hukum mati atau seumur hidup.
i.       Kurangnya pemahaman masyarakat yang membedakan  antara perbuatan korupsi dengan perbuatan criminal lainnya atau perbuatan maling (kejahatan pencurian) pada umumnya, juga masyarakat dan pelaku bisnis dan prilaku hasil dari korupsi, sehingga dalam praktik bisnis banyak terjebak korupsi.
j.       Penindakan kasus korupsi oleh institusi penegak hukum yang berwenang (polisi, jaksa, KPK dan Hakim), hasil vonis peradilan kasus korupsi relative masih kecil dan banyak penyelesaian perkara korupsi tidak tuntas sampai tingkat peradilan, serta sering putusan peradilan kontroversial hanya dengan vonis bebas yang bertentangan dengan rasa keadilan.

sumber :  Buku Sistem Hukum Pidana  dan Bahaya Laten , DR. DRS. IGM NURDJANA, SH . MHUM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar