Etilogi Sosial Faktor-faktor Penyebab Korupsi di Indonesia
Bagian dari teori atau ilmu pengetahuan kriminologi untuk
mengungkap sebab-sebab kejahatan korupsi, disebut pendekatan sosiologi criminal
yaitu pengetahuan tentang kejahatan sebagai gejala masyarakat atau sampai dimana letak sebab-sebab
kejahatan dalam masyarakat (etiologi social).
Permasalahan korupsi merupakan permasalahan yang sangat
sulit untuk diberantas oleh karena sangart konpleks yang menurut Barda Nawawi
arif, bahwa hal itu tersebut disebabkan karena korupsi berkaitan erat dengan kompleksitas masalah lain
seperti : “masalah sikap mental/moral, masalah pola/sikap hidup dan
budaya social, masalah kebutuhan/tuntunan ekonomi dan struktur/ system ekonomi,
masalah lingkungan hidup/sosila dan kesenjangan social-ekonomi, maslah struktur
/ budaya politik, masalah peluang yang ada didalam mekanisme pembnagunan atau
kelemahan birokrasi/prosedur administrasi (termasuk sistem pengawasan) dibidang
keuangan dan pelayanan umum.
Berkaitan
dengan perkembangan korupsi di Indoneia selain dapat diselidiki fenomena social
dalam praktik dengan mencermati secara etilogi social maka factor-faktor
penyebab korupsi :
a. Masih
melekatnya budaya feudal, dengan prilaku upetiisme, premodialisme dan nepotisme
yang memetingkan keluarga atau kroninya yang mendorong perbuatan korupsi.
b. Kesenjangan
dalam sistem pengajian dan kesejahteraan dalam bentuk politik risk dan economi
risk sebagai dukungan anggaran, sarana fasilitas materil dalam bertugas dan
tidak memadai kesejahteraan keluarga pegawai, karyawan yang tidak layak sesuai
standar minimal kebutuhan hidup sehingga menjadi potensial dengan elemen
perbuatan korupsi.
c. Lemahnya
manajemen kepeminpinan institusi pemerintahan termasuk para pelaku bisnis
seperti BUMN, Koperasi, Swasta/Pengusaha yang tidak memberikan keteladana,
kesederhanaan atau pola hidup sederhana sehingga kurangnya fungsi control
melalui pengawasn melekat sehingga menjadi sangat toleran dengan perbuatan
korupsi.
d. Terjadinya
erosi moral pada setiap lapisan social masyarakat, rendahnya kadar keimanan
moralitas ajaran-ajaran agama dan etika yang hasilnya terjebak dengan mental
pengabdian yang buruk dalam perilaku sebagai pegawai, karyawan serta pelaku
bisnis lainnya dengan cara korupsi karena ego kepentingan pribadi jauh lebih
tinggi daripada kepentingan umum, bangsa dan Negara.
e. Gaya
hidup sangat konsuntif, sebagai pengaruh negative yang sangat kuat dari pola
kehidupan eforia neo liberalism, sehingga menjadi terllau interes dan
individualistis bahwa nepotisme dan kepentingan keluarga diatas kepentingan
segalanya.
f. Adannya
kemiskinan dan pengangguran, yang terstruktur dalam kehidupan masyarakat,
disertai diskriminasi perlakuan hukum bagi para pelaku korupsi dan kejahatan
biasa dengan cara penyalahgunakan wewenang dan kekuasaan yang menjadi peluang
suburnya perilaku korupsi.
g. Produk
politik hukum yang menghasilkan instrument peraturan perundang-undangan yang
potensi korupsi, misalnya pembetukan perturan perundang-perundangan melalui
proses demokrasi dengan legislasi nasional yang sarat rekayasa atau
interprestasi politik dan perbuatan gratifikasi sehingga menetapkan
undang-undang tergolong korupsi dan saling bertentangan seperti pada UU
keunagan Negara jika hasil korupsi dikembalikan bisa bebas sedangkan dalam UU
Pemberantasan Korupsi, memgembalikan hasil korupsi tidak menghentikan suatu proses peradilan pidana.
h. Penerapan
hukum terhadap pelaku korupsi disamping lamban juga tidak menimbulkan efek jera
dan dianggap kasus biasa (ordinary crimer). Hasil tegaknya hukum bagi pelaku korupsi
menjadi tidak konsisten sesuai instrument hukum korupsi sebagai extra ordinary crime yang seharusnya diutamakan
sebagai kasus yang luar biasa dengan sanksi yang paling berat dank eras,
misalnya dengan metode carot dan stick
yaitu penerapan sanksi hukum mati atau seumur hidup.
i. Kurangnya
pemahaman masyarakat yang membedakan
antara perbuatan korupsi dengan perbuatan criminal lainnya atau
perbuatan maling (kejahatan pencurian) pada umumnya, juga masyarakat dan pelaku
bisnis dan prilaku hasil dari korupsi, sehingga dalam praktik bisnis banyak
terjebak korupsi.
j.
Penindakan kasus korupsi oleh institusi penegak
hukum yang berwenang (polisi, jaksa, KPK dan Hakim), hasil vonis peradilan
kasus korupsi relative masih kecil dan banyak penyelesaian perkara korupsi
tidak tuntas sampai tingkat peradilan, serta sering putusan peradilan
kontroversial hanya dengan vonis bebas yang bertentangan dengan rasa keadilan.
sumber : Buku Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten , DR. DRS. IGM NURDJANA, SH . MHUM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar