Pendahuluan
Hampir seluruh negara
modern di dunia ini mempunyai sebuah institusi yang disebut dengan istilah
”kejaksaan”, yang mempunyai tugas utama melakukan penuntutan dalam perkara
pidana ke pengadilan. Istilah ”jaksa” atau ”kejaksaan” sebagai institusi
dalam bahasa Indonesia tidaklah mudah untuk dipersamakan dengan istilah yang
sama dalam berbagai bahasa. Dalam bahasa Inggris dibedakan antara ”attorney
general” dengan ”public prosecutor”. Istilah pertama diartikan sebagai ”jaksa
agung” dalam bahasa Indonesia, sedang yang kedua diartikan sebagai ”penuntut
umum”. Demikian pula dalam Bahasa Belanda, dibedakan antara ”officer van
justitie” untuk istilah ”jaksa” dan ”openbaar aanklager” untuk ”penuntut umum”.
Sementara dalam Bahasa Melayu Malaysia digunakan istilah ”peguam negara” untuk
jaksa, dan ”pendakwa raya” untuk ”penuntut umum”, yang kesemuanya berada di
bawah Jabatan Peguam Negara. Jabatan ini adalah semacam Direktorat Jenderal di
bawah Kementerian Dalam Negeri.
Sebelum membahas
lebih lanjut kedudukan kejaksaan dan posisi jaksa agung di bawah sistem
Presidensial UUD 1945, di bawah ini akan saya jelaskan latar belakang sejarah
kedudukan kejaksaan di negara kita.
Latar Belakang
Sejarah
Dalam sejarah
Indonesia sejak zaman kolonial Hindia Belanda, kita mengenal adanya institusi
yang dinamakan dengan istilah officer van justitie, yang tugas pokoknya adalah
menuntut seseorang ke pengadilan dalam suatu perkara tindak pidana. Istilah
”jaksa” umumnya digunakan untuk menerjemahkan istilah officer van justitie itu,
karena pada kesultanan-kesultanan di Jawa, istilah ini terkait dengan kegiatan
menuntut seseorang yang diduga melakukan kejahatan ke hadapan mahkamah, untuk
diadili dan diambil keputusan apakah salah atau tidak, meskipun kegiatan itu
dilakukan oleh polisi atau malahan oleh hakim sendiri. Istilah ”jaksa”
baru secara resmi digunakan di masa pendudukan Jepang untuk menggantikan
istilah ”officer van justitie” bagi petugas yang melakukan penuntutan perkara
di pengadilan pemerintah militer Jepang.
Di awal kemerdekaan,
pada tanggal 19 Agustus 1945, Presiden RI mengumumkan pengangkatan Jaksa
Agung RI yang pertama, Mr. Gatot dan mengumumkan pelantikan Ketua Mahkamah
Agung, Dr. Kusumah Atmadja. Pelantikan ini merupakan pelantikan kedua
pejabat negara, setelah pelantikan Presiden dan Wakil Presiden sehari
sebelumnya, tanggal 18 Agustus 1945. Hanya lebih kurang sebulan Mr. Gatot
menjalankan jabatan itu, kemudian digantikan oleh tokoh yang lebih berpengaruh,
yakni Mr. Kasman Singodimedjo, yang juga merangkap sebagai Panglima Barisan
Keamanan Rakyat (BKR).
Dalam tradisi
penyelenggaraan peradilan di zaman Hindia Belanda, jaksa tidaklah semata-mata
berurusan dengan penuntutan perkara pidana ke pengadilan.
Ketententuan-ketentuan dalam Herzeine Indonesich Reglement (HIR)
yang diperluas dengan Regerings Reglement Stb Tahun 1922 No
522 menyebutkan tugas jaksa, selain sebagai ”officer van justitie” juga
menjadi ”advokaat” dan ”lands advokat” yang mewakili kepentingan Pemerintah
Hindia Belanda dalam perkara-perkara perdata. Dalam menjalankan
tugas sebagai penuntut umum atau openbaar anklager jaksa juga tidak
sekedar menerima hasil penyidikan perkara pidana yang dilimpahkan oleh polisi,
tetapi berwenang untuk melakukan penyidikan lanjutan untuk memperdalam hasil
penyidikan yang dilimpahkan itu, guna mempertajam penyusunan surat dakwaan yang
akan mereka serahkan ke pengadilan. Ketika Indonesia telah merdeka,
ketentuan-ketentuan dalam HIR diperbaharui menjadi Reglement Indonesia yang
Diperbaharui (RIB).
Meskipun kita telah
merdeka dan memiliki UUD yang telah disahkan pada tanggal 18 Agustus
1945, dan telah menjadi Jaksa Agung, namun di awal kemerdekaan itu, kita
belumlah mempunyai peraturan perundang-undangan sendiri yang mengatur
kedudukan, tugas dan kewenangan kejaksaan. Untuk mengatasi
kevakuman hukum inilah, maka Pemerintah kita tetap menggunakan
peraturan-peraturan lama yang diwariskan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dasar
hukum menggunakan peraturan warisan kolonial itu ialah
ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang mengatakan
bahwa ”segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama
belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Kejaksaan adalah
badan negara (staatsorgan) yang sudah ada sebelum kita merdeka, demikian pula
aturan-aturannya. Jadi, Kejaksaan Agung RI, pada dasarnya
meneruskan apa yang telah ada diatur di dalam Indische Staatsregeling, yakni
semacam undang-undang dasar negeri jajahan, Hindia Belanda, yang menempatkan
Kejaksaan Agung berdampingan dengan Mahkamah Agung. Sementara secara
administratif, baik kejaksaan maupun pengadilan berada di bawah Kementerian
Kehakiman. Itulah sebabnya, dalam rapat PPKI (Panitian Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) tanggal 19 Agustus, Professor Soepomo melaporkan bahwa ruang lingkup
tugas Kementerian Kehakiman yang akan dibentuk ialah menangani hal-hal
administrasi pengadilan, kejaksaan, penjara, nikah, talak dan rujuk serta
penanganan masalah wakaf dan zakat. Sedangkan landasan hukum bagi
Kejaksaan untuk menjalankan tugas dan wewenangnya, seperti telah saya katakan,
sepenuhnya didasarkan pada Herzeine Indonesich Reglement (HIR) yang
diperluas dengan Regering Reglement Stb 1922 No 522. HIR kemudian dirubah
menjadi RIB (Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui).
Ketentuan-ketentuan
di dalam Indische Staatsregeling yang mengatur kedudukan Kejaksaan, pada
dasarnya adalah sama dengan ketentuan-ketentuan di dalam UUD Negeri Belanda.
Negeri Belanda menganut sistem pemerintahan Parlementer. Secara teori,
konstitusi Belanda memang memisahkan tugas badan eksekutif dengan badan
yudikatif. Namun dalam tradisi di Negeri Belanda, semua hakim dan jaksa, adalah
pegawai negeri. Secara struktural organisasi, personil dan keuangan baik jaksa
maupun pengadilan berada di bawah Ministrie van Justititie (Kementerian
Kehakiman). Namun secara fungsional dalam menjalankan tugas dan kewenangannya
di bidang yudikatif, jaksa dan hakim adalah independen. Jadi, memang terdapat
kerancuan kedudukan kejaksaan dalam sistem Belanda, yakni berada di antara dua
sisi, antara eksekutif dan yudikatif. Pola yang sama dengan di Belanda ini,
kita teruskan bukan saja berdasarkan Indische Staatsregeling, tetapi juga kita
teruskan ketika kita mengundangkan UU No 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan
Kedudukan Badan-Badan Kehakiman dan Kejaksaan.
Dalam hukum
tatanegara Belanda, Jaksa Agung diangkat oleh Perdana Menteri atas usul
Menteri Kehakiman. Calon Jaksa Agung diambil dari pejabat karir berdasarkan
kecakapan, pengalaman dan kemampuan. Jabatan Jaksa Agung bukanlah jabatan
politik. Oleh karena tugas jaksa terkait langsung dengan pengadilan, maka dalam
tradisi Belanda, Jaksa Agung disebut sebagai ”Jaksa Agung (Hoofd Officer van
Justitie) pada Mahkamah Agung (Hooge Raad)”. Pola seperti ini, diikuti dengan
konsisten di Hindia Belanda, dan terus dipraktikkan sampai tahun 1958, ketika
Perdana Menteri Juanda mulai merintis jalan untuk melepaskan keterkaitan
kejaksaan dengan pengadilan, dan mulai menempatkan kejaksaan sebagai institusi
yang sepenuhnya berada di bawah eksekutif. Dalam UU Republik Indonesia Serikat
(RIS) No 1 Tahun 1950 tentang Susunan, Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah
Agung Indonesia, pola penempatan Jaksa Agung di Mahkamah Agung tetap
dilanjutkan. Pasal 2 UU itu mengatakan ”Pada Mahkamah Agung adalah seorang
Jaksa Agung dan dua orang Jaksa Agung Muda”. Sedikit perubahan terjadi para
proses rekruitmen Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda, yang dalam tradisi Belanda
diangkat oleh Perdana Menteri atas usul Menteri Kehakiman, dalam
undang-undang ini diangkat oleh Presiden, yang dalam praktiknya dilakukan atas
usul Perdana Menteri. Sebagaimana kita maklumi, Konstitusi Republik Indonesia
Serikat menganut sistem Parlementer. Keberadaan kejaksaan yang rancu antara
eksekutif dan yudikatif ini, baru berakhir pada tahun 1959, ketika
UUD 1945 diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Meskipun Jaksa Agung
pertama, sebagaimana telah saya katakan, telah dilantik dilantik tanggal
19 Agustus 1945, namun institusi ini belumlah dapat bekerja secara
normal, akibat situasi revolusi dan perang kemerdekaan yang berlangsung hingga
akhir tahun 1949. Kejaksaan baru dapat berbenah diri setelah terbentuknya
kembali Negara Kesatuan RI menggantikan Republik Indonesia Serikat, pada
tanggal 17 Agustus 1950. Pemerintah Negara Kesatuan yang baru ini dipimpin
oleh Mohammad Natsir sebagai Perdana Menterinya. Salah satu program
Kabinet Natsir ialah ”mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan
pemerintahan serta membentuk peralatan negara yang bulat”. Badan-badan
yudikatif, yang keadaannya tidak menentu selama Perang Kemerdekaan, kembali
dikonsolidasikan Natsir.
Untuk mewujudan
programnya ”menyempurnakan susunanan pemerintahan serta membentuk peralatan
negara yang bulat” itu, Natsir mengangkat Mr. Wongsonegoro – Ketua
Partai Indonesia Raya dan dikenal sebagai tokoh kebatinan Jawa – menjadi
Menteri Kehakiman. PM Natsir, kemudian mengusulkan kepada Presiden untuk
mengangkat Mr. Soeprapto menjadi Jaksa Agung pada Mahkamah Agung RI, pada
tanggal 28 Desember 1950. Natsir juga membenahi badan-badan peradilan dan
mengajukan ke nama-nama calon hakim agung ke DPR, yang akhirnya menyepakati
untuk mengangkat Dr. Mr. Wirjono Prodjodikuro menjadi Ketua Mahkamah
Agung. Inilah awal Kejaksaan dan badan-badan peradilan bekerja secara normal
dalam sejarah ketatanegaraan RI. Mr. Soeprapto lah yang meletakkan dasar-dasar
Kejaksaan yang tetap dikenang sampai sekarang, sehingga patungnya didirikan di
depan Gedung Kejaksaan Agung RI di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Soeprapto mulai
membenahi struktur organisasi kejaksaan baik di pusat maupun di daerah, dalam
suasana baru, yakni terbentuknya kembali Negara Kesatuan RI. Menyadari
kekurangan-kekurangan pengaturan tentang tugas dan wewenang Kejaksaan
untuk melakukan penyidikan lanjutan sebagaimana diatur dalam RIB, Jaksa
Agung Mr. Soeprapto membentuk sebuah Direktorat di bawah Kejaksaan Agung, yang
dinamakan dengan Djawatan Reserse Pusat (DRP) yang bertugas melakukan
pemantauan, analisis dan penghimpunan informasi, yang meliputi berbagai
kegiatan dalam masyarakat, yakni politik, agama, aliran kepercayaan dan
luar negeri. Secara umum, terkesan bahwa kewenangan DRP hampir sama
dengan kewenangan Politiek Inlichten Dienst (PID), yakni badan intelejen
kolonial Belanda yang tugasnya memantau kegiatan-kegiatan yang berpotensi
subversif dan dapat mengancam stabilitas keamanan pemerintah Kolonial.
Dengan informasi
intelejen yang dihimpun direktorat ini, Kejaksaan memang mampu bekerja secara
efektif memberantas penyelundupan, yang dilakukan oleh perwira-perwira Angkatan
Darat, serta mengungkap persekongkolan politik yang dilakukan Sultan Hamid II,
Sultan Pontianak yang dikenal pro-Belanda, dengan Kapten Westerling yang
melakukan genosida di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Kejaksaan berhasil
mengungkap persekongkolan itu, dan mendakwa Sultan Hamid ke pengadilan, yang
pernah diangkat menjadi menteri dalam Kabinet RIS. Kewenangan intelejens
Kejaksaan yang begitu besar, dan keberaniannya mendakwa para plitisi , perwira
militer serta mendakwa Asa Bafagih, seorang wartawan terkemuka, menyebabkan
institusi kejaksaan tidak disenangi termasuk oleh Presiden Sukarno dan kepala
Staf Angkatan Darat Kolonel Abdul Haris Nasution. Mr. Soeprapto berkeinginan
menjadikan Kejaksaan sebagai institutsi negara yang independen, bebas dari
campur tangan manapun dalam menjalankan tugasnya.
Perdana Menteri
Natsir yang dikenal jujur dan bersih, setuju dengan tindakan Mr.
Soeprapto. Namun Kabinet Natsir memerintah tidak terlalu lama.
Ketika sistem pemerintahan parlementer dianggap gagal menjelang akhir tahun
1950, Presiden Sukarno dengan dukungan militer, berusaha untuk membangun sistem
pemerintahan yang lebih sentralistik dengan pemusatan kekuasaan di tangan
Presiden. Ketidakberhasilan Konstituante menyusun UUD yang baru,
terjadinya pergolakan-pergolakan di daerah yang memuncak dengan berdirinya PRRI
dan Permesta, semakin mempercepat proses pemusatan kekuasaan ini. Usaha
Soeprapto menegakkan hukum kandas. Dia dianggap terlalu ”Belanda” dalam
menjalankan tugas dan tidak berjiwa revolusioner seperti diinginkan Sukarno.
Dia diberhentikan menjelang Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Di bawah UUD 1945
yang didekritkan, keinginan untuk membangun pemerintahan yang sentralistik
makin terbuka. Slogan Sukarno bahwa ”Revolusi Belum Selesai” mengharuskan
adanya sebuah pemerintahan yang kuat agar mampu mendayagunakan
semua institusi negara untuk menjadi kekuatan revolusi. Hanya seminggu sesudah
dekrit, 13 Juli 1959, Presiden Sukarno membentuk kabinet baru yang bercorak
Presidensial yang dinamakan dengan Kabinet Kerja I. Dalam kabinet ini,
Presiden Sukarno mengangkat Mr. Gatot Tarunamihardja sebagai Menteri/Jaksa
Agung. Inilah pertama kalinya terjadi pergeseran kedudukan kejaksaan dan
posisi Jaksa Agung, yang dulunya rancu karena mengikuti tradisi Belanda,
menjadi lebih tegas: Kejaksaan adalah bagian dari ranah eksekutif.
Jaksa Agung adalah anggota kabinet dengan sebutan Menteri/Jaksa Agung.
Dari uraian di atas,
terlihat bahwa sejak era Mohammad Natsir sampai tahun 1959, Kejaksaan dapat
tumbuh mandiri menjalankan tugas dan kewenangannya yang semata-mata didasarkan
atas peraturan-peraturan kolonial yang sudah usang. Kedudukan Kejaksaan di masa
itu berada di antara dua sisi, antara eksekutif dan yudikatif, sebagaimana
dipraktikkan dalam tradisi Parlementer di Negeri Belanda. Namun kerancuan
kedudukan itu tidaklah mengurangi independensi jaksa dalam menjalankan tugas
dan kewenangannya. Mungkin faktor individu Suprapto dan para jaksa yang
lain di masa itu, yang membuat independensi itu tetap berjalan. Sebelum
kita menelaah bagaimanakah kedudukan kejaksaan dalam UUD 1945 yang menganut
sistem Presidensial, maka kita akan melihat lebih dulu bagaimana kedudukan
Jaksa di dua negara yang menganut sistem itu, yakni Amerika Serikat dan
Philipina.
Kejaksaan Di
Amerika dan Philipina
Kalau kita
membandingkan tugas dan wewenang jaksa di dua negara yang juga menganut sistem
pemerintahan Presidensial, yakni Amerika Serikat dan Philipina, maka nampaklah
bahwa tugas dan kewenangan kejaksaan kita yang kita warisi sejak zaman Hindia
Belanda dulu, jauh lebih luas dibandingkan dengan kedua negara ini. Di
Amerika maupun di Philipina, kejaksaan adalah semata-mata penuntut umum (public
prosecutor) yang pada tingkat pusat (federal di Amerika Serikat) dan
(nasional di Philipina) berada di bawah Department of Justice (Departemen
Kehakiman). Jadi letak institusi kejaksaan, tidaklah rancu berada pada dua sisi
sebagaimana dalam sistem parlementer di Belanda, tetapi tegas berada di dalam
ranah dalam ranah kekuasaan eksekutif. Di Amerika Serikat, pemimpin Department
of Justice disebut dengan istilah ”Attorney General”, yang diangkat Presiden
dengan konsultasi kepada Kongres. Bagi orang di luar Amerika Serikat,
penyebutan Attorney General ini dapat menimbulkan kerancuan seolah-olah di
adalah Jaksa Agung Amerika Serikat. Padahal Attorney General di Amerika Serikat
itu adalah sama dengan Menteri Kehakiman di Indonesia. Sementara di Philipina,
Kepala Department of Justice itu disebut dengan istilah ”Secretary of Justice”.
Di Philipina, istilah ”menteri” (minister) tidak dikenal. Sama halnya dengan di
Amerika, Kepala sebuah Departemen umumya disebut sebagai ”Seccretary” dan bukan
”minister”.
Public Prosecutor di
Amerika Serikat dan Philipina samasekali tidak mempunyai kewenangan intelejen
dan penyidikan. Kedua kewenangan ini untuk jenis-jenis kejahatan tertentu di
Amerika Serikat diserahkan kepada FBI (Federal Bureau of Investigation) dan
selenihnya diserahkan kepada polisi lokal. Sementara FBI dan Public Prosecutor
berada di bawah Department of Justice. Di Philipina, penyidikan atas hampir
semua kejahatan diserahkan kepada NBI (National Bureau of Investigation), yang berada
di bawah Department of Justice. Demikian pula Public Prosecutor Philipina, juga
berada di bawah Department of Justice. Jadi, baik kewenangan penyidikan oleh
FBI dan NBI, maupun kewenangan penuntutan oleh Public Prosecutor, semuanya
berada dalam ranah kekuasaan eksekutif, dan bukan yudikatif. Di Philipina
istilah Attorney General samasekali tidak dikenal. Istilah ”Attorney” digunakan
untuk menyebut Advokat profesional yang bekerja sebagai ”lawyer” swasta.
Di Amerika Serikat
dan Philipina, Public Prosecutor akan menuntut seseorang tersangka pelaku
kejahatan ke pengadilan dengan mengatas namakan seluruh rakyat Amerika dan
seluruh rakyat Philipina. Pada tingat daerah, jaksa wilayah akan menuntunya
atas nama seluruh rakyat di negara bagian (di Amerika) dan atas nama seluruh
rakyat di provinsi (di Philipina). Mengapa jaksa (public prosecutor) yang
menjadi bagian dari eksekutif yang menuntut, dan mengapa mereka
mengatas-namakan seluruh rakyat? Ini didasarkan pada filosofi mereka bahwa tiap
kejahatan yang dilakukan, apapun jenisnya, adalah perbuatan yang melawan dan
merugikan seluruh rakyat. Rakyat diwakili oleh eksekutif, yang
Presidennya pada tingkat federal – dan Gubernur pada tingkat
wilayah — dipilih langsung oleh rakyat. Sementara penyelenggara badan-badan
yudikatif, termasuk pada hakim di Amerika dan Philipina, bukanlah dipilih
langsung oleh rakyat, karena itu mereka tidak berhak mengambil tindakan apapun
atas nama rakyat. Sebab itulah, dalam sistem Presidensial, tidak mungkin
Kejaksaan akan berada di bawah ranah yudikatif.
Kejaksaan di
bawah UUD 1945
Pertanyaannya
sekarang, dalam ranah kekuasaan manakah kejaksaan – dengan kewenangan yang
lebih luas daripada di Amerika Serikat dan Philipina — itu berada dalam sistem
pemerintahan Presidensial di bawah UUD 1945? Di dalam UUD 1945 yang disahkan
pada tanggal 18 Agustus 1945, kita tidak menemukan satu katapun yang menyebut
institusi kejaksaan, baik dalam Batang Tubuh maupun Penjelasannya. Demikian
pula setelah UUD 1945 mengalami empat kali perubahan di Era Reformasi. Di dalam
Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan UUD Sementara 1950 yang menganut
sistem pemerintahan Parlementer, kata kejaksaan juga tidak kita temukan,
kecuali kata ”Jaksa Agung pada Mahkamah Agung” (Pasal 106 UUD Sementara 1950),
tetapi hanya dalam konteks pejabat tinggi negara yang hanya dapat diadili oleh
Mahkamah Agung sebagai pengadilan pertama dan terakhir kalau mereka didakwa
dalam perkara pidana. Ketentuan ini hanya mengatur ”forum previlegiatum” yang
samasekali tidak ada hubungannya dengan kedudukan kejaksaan dalam ranah
kekuasaan negara.
Karena tidak ada satu
katapun di dalam UUD 1945 yang menyebutkan tentang Kejaksaan, maka wajar saja
jika para akademisi dan politisi, mereka-reka di manakah tempat yang sesuai
bagi isntitusi ini. Sebagian akademisi berpendapat bahwa kejaksaan adalah
lembaga penegak hukum dan karena itu seharusnya berada dalam ranah kekuasaan
yudikatif. Sementara dalam UUD 1945 sebelum perubahan, hanya ada
dua pasal saja yang mengatur badan yudikatif ini, yakni ketentuan dalam Bab IX
tentang ”Kekuasaan Kehakiman”. Pasal 24 dibawah Bab IX itu mengatakan
”Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan
kehakiman menurut undang-undang” (Ayat 1). ”Susunan badan-badan kehakiman itu
diatur dengan undang-undang” (Ayat 2). Sementara Pasal 25 mengatakan
”Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan
dengan undang-undang”. Sedangkan penjelasan atas kedua pasal ini mengatakan
”Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari
pengaruh kekuasaan Pemerintah. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan
dalam undang-undang tentang kedudukannya para hakim”.
Kalau disimak pikiran
para penyusun UUD 1945 di zaman pendudukan Jepang itu, rumusan tentang kekuasaan
kehakiman ini nampak didominasi oleh pikiran-pikiran Mr. Muhammad Yamin,
seorang jurist tamatan Rechts Hooge School, yang memang banyak dipengaruhi oleh
sistem yudikatif di Negeri Belanda. Fokus perhatiannya adalah kemerdekaan
badan-badan peradilan, dalam konteks pengadilan, bukan keseluruhan sistem yang
terkait dalam penyelenggaraan proses peradilan, seperti yang dikenal dalam
teori Criminal Justice System yang muncul belakangan. Dalam pikiran Yamin,
institusi kejaksaan ialah apa yang dikenal pada masa itu, baik dipraktikkan di
Negeri Belanda maupun di Hindia Belanda. Karena itu, dalam keseluruhan proses
pembahasan UUD 1945 tidak ada ruang untuk membahas kedudukan kejaksaan. Bahkan
kepolisian – yang sebagian tugas dan kewenangannya juga berkaitan dengan
peradilan, juga tidak disinggung dalam UUD 1945 sebelum perubahan.
Sayangnya
pikiran-pikiran untuk mempertegas kedudukan Kejaksaan dalam sistem Presidensial
UUD 1945, baru muncul tatkala terjadi ketegangan politik antara Presiden
Sukarno, Parlemen, militer dan politisi akibat tindakan-tindakan Jaksa Agung
Soeprapto, yang terkenal gigih membangun institusi Kejaksaan yang mandiri dan
independen dalam melaksanakan tugas, kendatipun hanya bermodal HIR dan
RIB. Politik kemudian mulai mempengaruhi Kejaksaan, terutama ketika Mr.
Djody Gondokusumo dari PRN (Partai Rakyat Nasional) menjadi Menteri Kehakiman
dalam Kabinet Djuanda Kartawiguna dan berupaya untuk melakukan PRNisasi
institusi kejaksaan.
Dalam suasana politik
yang kisruh setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Sukarno
berkeinginan untuk memusatkan kekuasaan pada tangan Presiden, dengan dukungan
militer dan partai-partai politik pendukungnya. Suasana Revolusi kembali
digelorakan, sehingga segala organ negara, semua kekuatan dihimpun dan
disatukan untuk mencapai tujuan Revolusi. Dalam suasana yang penuh curiga, para
akademisi berpendapat bahwa UU Kejaksaan yang hendak disusun itu, tidak lain
adalah untuk memperkokoh hasrat Presiden Sukarno untuk memusatkan kekuasaan di
tangan dirinya. Sukarno memang tidak begitu perduli dengan teori trias
politika, karena keinginannya untuk menghimpun semua kekuatan revolusioner
menghadapi kolonialisme dan imprerialisme. Namun di sisi lain, kita harus pula
menghargai sebuah upaya untuk menata ulang institusi kejaksaan, untuk tidak
lagi mengikuti tradisi kolonial Belanda yang rancu, tetapi benar-benar
didasarkan pada konstitusi kita sendiri, UUD 1945, yang ketika itu baru
didekritkan untuk berlaku kembali. Itulah sebabnya, maka pada tanggal 22 Juli
1960, Presiden Sukarno mengeluarkan Keputusan Presiden No 204 Tahun 1960, yang
secara tegas memisahkan Kejaksaan dari Kementerian Kehakiman dan Mahkamah
Agung, dan menjadikanya sebagai suatu institusi yang berdiri sendiri dan
merupakan bagian langsung dari kabinet. Inilah landasan hukum pertama yang
menempatkan Kejaksaan sepenuhnya sebagai bagian dari ranah kekuasaan eksekutif.
Kedudukan
Kejaksaan Dalam UU No 15 Tahun 1961
Dalam suasana
revolusioner yang dibangun Presiden Sukarno pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
Presiden segera menata ulang lembaga-lembaga dan institusi pemerintahan untuk
diseuaikan dengan keadaan yang baru. DPR lama hasil Pemilu 1955 dibubarkan, dan
dibentuk DPR baru yang seluruh anggotanya diangkat. Kabinet Presidensial yang
langsung dimpimpin Presiden juga dibentuk hanya dua minggu setelah dekrit.
Setahun kemudian, Pemerintah dan DPR mensahkan UU Kejaksaan yang pertama dalam
sejarah kemerdekaan kita, yakni UU No 15 Tahun 1961 (LN 1961 No 254) tentang
Pokok-Pokok Kejaksaaan RI. Dalam UU ini disebutkan bahwa kejaksaan bukan
saja ”alat negara penegak hukum”, tetapi dalam konteks penyelesaian
Revolusi, kejaksaan adalah ”alat revolusi”, yang tugas utamanya adalah
sebagai ”penuntut umum”.
Secara khusus, dalam
konsideran ini, Pemerintah dan DPR setuju mengatakan bahwa Kejaksaan bukanlah
”alat pemerintah”, tetapi ”alat negara”. Namun dalam merumuskan UU No 15
tentang Kejaksaan ini, Presiden dan DPR rupanya tidak menggunakan ketentuan Bab
IX Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945 yang mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman
dalam konsideran mengingatnya. Ini secara implisit menggambarkan bahwa Presiden
dan DPR sejak awal tidaklah memandang Kejaksaan sebagai organ yang terletak
dalam ranah yudikatif, sebagaimana Presiden telah mengangkat Menteri/Jaksa
Agung sebagai anggota kabinet. Pasal yang digunakan justru adalah Pasal 27 ayat
(1) yang menyatakan ”segala warganegara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu tanpa ada
kecualinya”.
Konsisten dengan
pendirian bahwa institusi kejaksaan bukanlah bagian dari organ kekuasaan
yudikatif, , maka ketentuan Pasal 5 huruf a UU ini mengatakan ”Penyelenggaraan
tugas Departemen Kejaksaan dilakukan oleh Menteri”. Kalau Kejaksaan adalah
sebuah departemen pemerintahan yang dipimpin Menteri, maka dengan sendirinya
wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung dalam sistem
pemerintahan Presidensial adalah Presiden. Ketentuan ini, sebenarnya hanyalah
legitimasi atas apa yang telah dilakukan oleh Presiden dalam mengangkat Jaksa
Agung sebagai menteri anggota kabinet dua tahun sebelumnya. Namun ketentuan
ini, sekaligus pula menghapuskan ketentuan-ketentuan dalam Indische
Staatsregeling, HIR dan RIB. Jaksa Agung tidak lagi diangkat oleh Menteri
Kehakiman dengan persetujuan Perdana Menteri, tetapi langsung diangkat oleh
Presiden.
Tugas dan kewenangan
kejaksaan yang diberikan oleh UU No 15 Tahun 1961, jauh lebih luas dari apa
yang diatur di dalam HIR dan RIB. Tugas Jaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 1
ayat (1) adalah sebagai penuntut umum. Namun dalam menjalankan tugas utamanya
itu, Jaksa selain diberi wewenang untuk melakukan penyidikan lanjutan seperti
diatur dalam HIR, juga melakukan tugas koordinasi semua penyidik berdasarkan
hukum acara yang berlaku, termasuk melakukan pengawasan terhadap ”aliran-aliran
kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara” serta melaksanakan
tugas-tugas lain ”yang diberikan kepadanya oleh suatu peraturan negara”.
Dalam menyelesaikan
perkara pidana, Jaksa diberi kewenangan untuk mengadakan penggeledahan
badan dan tempat-tempat yang dipandang perlu dan mengambil tindakan-tindakan
lain yang dipandang perlu sesuai hukum acara yang berlaku. Jaksa juga diberikan
kewenangan untuk meminta ”Kepala Kantor Pos, Telekomunikasi dan lain-lain
kantor perhubungan” untuk membuat catatan-adanya surat-surat dan
lain-lain benda yang dikirim pada seseorang yang patut diduga terlibat dalam
suatu tindak pidana. Jaksa berhak untuk meminta supaya surat dan benda-benda
tersebut ditahan. Dengan tugas-tugas tambahan seperti ini, semakin tegas
tidak mungkin institusi kejaksaan akan berada di dalam ranah kekuasaan
yudikatif.
Ketika kekuasaan
Presiden Sukarno runtuh di tahun 1967, pemerintah baru di bawah Pejabat
Presiden, dan kemudian Presiden Suharto UU Kejaksaan No 15 Tahun 1961 ini terus
berlaku selama tiga puluh tahun lamanya, tanpa perubahan. Namun demikian, dalam
praktiknya, Kejaksaan Agung tidak lagi disebut sebagai Departemen Kejaksaan
Agung dan Jaksa Agung tidak disebut pula sebagai Menteri Jaksa Agung. Institusi
ini secara faktual disebut sebagai Kejaksaan Agung yang dipimpin oleh seorang
Jaksa Agung. Namun kewenangan pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung,
sepenuhnya tetap berada di tangan Presiden. UU No 15 Tahun 1961 tidak secara
spesifik menyebutkan berapa lama Jaksa Agung akan memegang jabatannya. Namun
setelah Pemilihan Umum 1971, Presiden Suharto memulai sebuah konvensi
ketatanegaraan, yakni Jaksa Agung selalu diangkat di awal Kabinet dan berakhir
masa jabatannya dengan berakhirnya masa bakti kabinet itu.
Jaksa Agung yang
disebut sebagai Menteri di dalam UU No 15 Tahun 1961 tidak lagi disebut
demikian, namun sebagai bagian dari kabinet, Jaksa Agung diberi kedudukan
setingkat menteri negara. Dalam perkembangan pelaksanaan UU No 15 tahun 1961,
wewenang Kejaksaan untuk melakukan penyidikan tambahan dalam perkara pidana,
dihapuskan dengan berlakunya UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang
mencabut ketentuan-ketentuan di dalam HIR dan RIB. Namun, dengan munculnya
berbagai undang-undang tindak pidana, yang sering disebut sebagai undang-undang
yang mengatur tindak pidana khusus dan tertentu, seperti UU Tindak Pidana
Korupsi dan Pengadilan HAM. Dalam kedua undang-undang ini, kewenangan Jaksa untuk
menyidik dikembalikan lagi, bukan lagi melakukan penyidikan tambahan
seperti diatur HIR dan RIB, tetapi bertindak sebagai satu-satunya penyidik.
UU No 15 Tahun 1961
memang memberi peluang untuk untuk memperluas tugas dan kewenangan Kejaksaan,
karena kejaksaan dapat melaksanakan tugas-tugas khusus yang lain yang diberikan
oleh suatu peraturan negara (Pasal 2 ayat 4). Tugas dan kewenangan Jaksa
melakukan penyidikan, sebagaimana telah saya kemukakan sebelum ini, jelaslah
bukan tugas suatu organ dalam ranah kekuasaan kehakiman. Tindakan penyidikan
akan selalu diikuti oleh penggeledahan, penyitaan, penahanan dan bahkan
belakangan dengan UU No 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI, Jaksa Agung juga
diberi kewenangan pencekalan terhadap seseorang yang diduga terlibat dalam
suatu tindak pidana. Tindakan-tindakan seperti ini, jelas tidak mungkin
dilakukan oleh organ yang berada dalam ranah kekuasaan kehakiman.
Kedudukan
Kejaksaan Dalam UU No 5 Tahun 1991
Berbeda dengan UU No 15 Tahun 1961 yang dalam konsideransnya menyebut Kejaksaan adalah ”alat negara” dan juga ”alat revolusi”, UU No 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dalam konsiderannya tidak lagi menyebut kejaksaan sebagai ”alat negara” tetapi menyebutnya sebagai ”lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dalam tatanan susunan kekuasaan badan-badan penegak hukum dan keadilan”. Jadi telah terjadi pergeseran cukup penting dalam memandang kedudukan institusi Kejaksaan, dari ”alat negara” menjadi ”lembaga pemerintahan”. Penegasan ini, lebih mempertajam dari rumusan UU No 15 Tahun 1961, yang menempatkan Kejaksaan sepenuhnya berada dalam ranah eksekutif.
Selanjutnya dikatakan bahwa Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggungjawab tertinggi kejaksaan yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan” (Pasal 18 ayat 1). Istilah Departemen Kejaksaan dan Menteri sebagai penyelenggaranya sebagaimana diatur di dalam UU No 15 Tahun 1961 dihapuskan. Jaksa Agung sendiri ”diangkat dan diberhentikan oleh serta bertanggungjawab kepada Presiden” (Pasal 19). Penegasan bahwa pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung adalah kewenangan Presiden, serta pertanggungjawabannya kepada Presiden, sekali lagi mempertegas bahwa kejaksaan adalah sepenuhnya berada di bawah ranah kekuasaan eksekutif. Penegasan ini adalah sejalan pula dengan konsideran mengingat yang digunakan dalam penyusunan undang-undang ini, yakni sebagaimana UU No 15 Tahun 1961 tidaklah menjadikan ketentuan Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai dasar pembentukannya. Undang-undang ini, selain menggunakan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, malah menjadikan UU No 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebagai konsideran mengingatnya.
Sebagaimana ketentuan dalam UU No 15 Tahun 1961, UU No 5 Tahun 1991 ini juga tidak mengatur tentang masa jabatan Jaksa Agung. Hal yang sama sebenarnya juga tidak ada di dalam hukum tatanegara Belanda dan ketentuan-ketentuan di dalam HIR dan RIB, karena Jaksa Agung adalah jaksa karier yang akan pensiun pada usia tertentu, atau setiap saat dia dapat diberhentikan oleh Menteri Kehakiman dengan persetujuan Perdana Menteri. Dalam UU No 5 Tahun 1991 tidak ada pula pembatasan apakah Jaksa Agung diangkat dari Jaksa karier, ataukah pengangkatan itu bersifat politik. Kedua-duanya dapat dilakukan oleh Presiden, berdasarkan pertimbangan subyektif Presiden sendiri. Namun konvensi ketatenegaraan yang telah berlangsung sejak tahun 1971, yakni Jaksa Agung selalu diangkat dan diberhentikan Presiden pada awal dan akhir masa bakti kabinet terus berlangsung. Konvensi itu terus diikuti sesudah Presiden Suharto menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Presiden pada tanggal 21 Maret 1998. Pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung di awal dan diakhir masa bakti kabinet, diikuti juga selama UU No 5 Tahun 1991 ini berlaku, yakni di bawah Presiden BJ Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati Sukarnoputri. Konvensi adalah hukum dasar yang tidak tertulis, namun terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara.
Sedikit ”pengecualian” memang terjadi pada masa Presiden Suharto berhenti, beliau, dengan inisiatifnya sendiri menyatakan bahwa Kabinet Pembangunan VII yang dipimpinnya demisioner. Dengan pernyataan demisioner – hal yang tidak pernah dipraktikkan di manapun juga di dunia ini dalam sistem pemerintahan Presidensial – maka para menteri sebenarnya tidaklah otomatis berhenti, sampai diberhentikan dan dilantik menteri-menteri baru oleh Presiden penggantinya, yang sebelumnya menjabat sebagai Presiden. Presiden Habibie mengumumkan pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan pada tanggal 23 Maret 1998 dengan memberhentikan para menteri Kabinet Pembangunan VII dan mengangkat menteri-menteri dan pejabat setingkat menteri yang baru, tetapi ketika itu Presiden Habibie tidak memberhentikan Jaksa Agung Sudjono Chanafiah Atmonegoro.
Saya berpendapat keberadaan Atmonegoro tetap sah sebagai Jaksa Agung dengan status demisioner – karena Presiden Suharto tidak membubarkan kabinet, melainkan menyatakannya demosioner, sampai Presiden Habibie mengangkat kembali yang bersangkutan sebagai Jaksa Agung dalam kabinet Reformasi Pembangunan, atau menggantinya dengan orang lain. Dalam kenyataannya pada tanggal 17 Juni 1998, Presiden Habibie memberhentikan Atmonegoro dan mengangkat Andi Muhammad Ghalib sebagai Jaksa Agung. Andi Ghalib diberhentikan sementara dari jabatannya tanggal 14 Juni 1999. Presiden Habibie kemudian mengangkat Wakil Jaksa Agung Ismudjoko sebagai Jaksa Agung ad interim sampai berakhirnya masa jabatan Presiden Habibie tanggal 20 Oktober 1999.
Berbeda dengan UU No 15 Tahun 1961 yang dalam konsideransnya menyebut Kejaksaan adalah ”alat negara” dan juga ”alat revolusi”, UU No 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dalam konsiderannya tidak lagi menyebut kejaksaan sebagai ”alat negara” tetapi menyebutnya sebagai ”lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dalam tatanan susunan kekuasaan badan-badan penegak hukum dan keadilan”. Jadi telah terjadi pergeseran cukup penting dalam memandang kedudukan institusi Kejaksaan, dari ”alat negara” menjadi ”lembaga pemerintahan”. Penegasan ini, lebih mempertajam dari rumusan UU No 15 Tahun 1961, yang menempatkan Kejaksaan sepenuhnya berada dalam ranah eksekutif.
Selanjutnya dikatakan bahwa Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggungjawab tertinggi kejaksaan yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan” (Pasal 18 ayat 1). Istilah Departemen Kejaksaan dan Menteri sebagai penyelenggaranya sebagaimana diatur di dalam UU No 15 Tahun 1961 dihapuskan. Jaksa Agung sendiri ”diangkat dan diberhentikan oleh serta bertanggungjawab kepada Presiden” (Pasal 19). Penegasan bahwa pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung adalah kewenangan Presiden, serta pertanggungjawabannya kepada Presiden, sekali lagi mempertegas bahwa kejaksaan adalah sepenuhnya berada di bawah ranah kekuasaan eksekutif. Penegasan ini adalah sejalan pula dengan konsideran mengingat yang digunakan dalam penyusunan undang-undang ini, yakni sebagaimana UU No 15 Tahun 1961 tidaklah menjadikan ketentuan Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai dasar pembentukannya. Undang-undang ini, selain menggunakan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, malah menjadikan UU No 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebagai konsideran mengingatnya.
Sebagaimana ketentuan dalam UU No 15 Tahun 1961, UU No 5 Tahun 1991 ini juga tidak mengatur tentang masa jabatan Jaksa Agung. Hal yang sama sebenarnya juga tidak ada di dalam hukum tatanegara Belanda dan ketentuan-ketentuan di dalam HIR dan RIB, karena Jaksa Agung adalah jaksa karier yang akan pensiun pada usia tertentu, atau setiap saat dia dapat diberhentikan oleh Menteri Kehakiman dengan persetujuan Perdana Menteri. Dalam UU No 5 Tahun 1991 tidak ada pula pembatasan apakah Jaksa Agung diangkat dari Jaksa karier, ataukah pengangkatan itu bersifat politik. Kedua-duanya dapat dilakukan oleh Presiden, berdasarkan pertimbangan subyektif Presiden sendiri. Namun konvensi ketatenegaraan yang telah berlangsung sejak tahun 1971, yakni Jaksa Agung selalu diangkat dan diberhentikan Presiden pada awal dan akhir masa bakti kabinet terus berlangsung. Konvensi itu terus diikuti sesudah Presiden Suharto menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Presiden pada tanggal 21 Maret 1998. Pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung di awal dan diakhir masa bakti kabinet, diikuti juga selama UU No 5 Tahun 1991 ini berlaku, yakni di bawah Presiden BJ Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati Sukarnoputri. Konvensi adalah hukum dasar yang tidak tertulis, namun terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara.
Sedikit ”pengecualian” memang terjadi pada masa Presiden Suharto berhenti, beliau, dengan inisiatifnya sendiri menyatakan bahwa Kabinet Pembangunan VII yang dipimpinnya demisioner. Dengan pernyataan demisioner – hal yang tidak pernah dipraktikkan di manapun juga di dunia ini dalam sistem pemerintahan Presidensial – maka para menteri sebenarnya tidaklah otomatis berhenti, sampai diberhentikan dan dilantik menteri-menteri baru oleh Presiden penggantinya, yang sebelumnya menjabat sebagai Presiden. Presiden Habibie mengumumkan pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan pada tanggal 23 Maret 1998 dengan memberhentikan para menteri Kabinet Pembangunan VII dan mengangkat menteri-menteri dan pejabat setingkat menteri yang baru, tetapi ketika itu Presiden Habibie tidak memberhentikan Jaksa Agung Sudjono Chanafiah Atmonegoro.
Saya berpendapat keberadaan Atmonegoro tetap sah sebagai Jaksa Agung dengan status demisioner – karena Presiden Suharto tidak membubarkan kabinet, melainkan menyatakannya demosioner, sampai Presiden Habibie mengangkat kembali yang bersangkutan sebagai Jaksa Agung dalam kabinet Reformasi Pembangunan, atau menggantinya dengan orang lain. Dalam kenyataannya pada tanggal 17 Juni 1998, Presiden Habibie memberhentikan Atmonegoro dan mengangkat Andi Muhammad Ghalib sebagai Jaksa Agung. Andi Ghalib diberhentikan sementara dari jabatannya tanggal 14 Juni 1999. Presiden Habibie kemudian mengangkat Wakil Jaksa Agung Ismudjoko sebagai Jaksa Agung ad interim sampai berakhirnya masa jabatan Presiden Habibie tanggal 20 Oktober 1999.
Kedudukan
Kejaksaan Dalam UU Nomor 16 Tahun 2004
UU No 5 Tahun 1991 ini berlaku terus sampai kita memasuki era reformasi. Perubahan terhadap UU ini baru terjadi pada masa pemerintahan Presiden Megawati, yakni pada tahun 2004, ketika seluruh proses perubahan UUD 1945 telah selesai. Di era Pemerintahan Presiden Megawati, baik DPR maupun Pemerintah sama-sama berkeinginan untuk melakukan perubahan atas UU No 5 Tahun 1991. Namun karena RUU yang berasal dari Badan Legislasi DPR masuk lebih dahulu, yakni tanggal 25 Oktober 2002, maka RUU inilah yang dijadikan pembahasan. Sementara RUU yang berasal dari Pemerintah dijadikan sebagai sandingan dan dimasukkan ke dalam Daftar Isian Masalah (DIM).
Rumusan pasal-pasal dalam bab IX UUD 1945 tentang ”Kekuasaan Kehakiman” yang melatarbelakangi penyusunan dan pembahasan RUU ini memang mengalami perubahan cukup besar jika dibandingkan dengan rumusan sebelumnya. Setelah perubahan, ketentuan IX Pasal 24 ayat (1) berbunyi ”Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Ayat (2) ”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan peradilan agama, lingkungan militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh Mahkamah Konstitusi”. Ayat (3) ”Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kekuasaan kehakiman diatur dengan undang-undang”.
Kalau kita membaca seluruh ketentuan di dalam Bab IX ini, sebagaimana juga dalam keseluruhan teks UUD 1945 setelah perubahan, niscaya kita tidak akan menemukan kata ”kejaksaan” disebutkan di dalamnya. Kata ”polisi” yang sebelumnya juga tidak ada, setelah perubahan mendapatkan tempat yang khusus diatur dalam Bab XII tentang Pertahanan Negara (Pasal 30 ayat 4 dan 5). Oleh karena kata kejaksaan tidak terdapat dalam UUD 1945 setelah perubahan, maka reka-rekaan akademis dan politis untuk menempatkan kedudukan Kejaksaan kembali terjadi. Di kalangan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang selalu berkeinginan agar lembaga-lembaga penegak hukum ”independen”, sudah barangtentu tidak menginginkan Kejaksaan berada di bawah ranah eksekutif. Sebagian akademisi berpendapat sama. Mereka berpendapat sudah seharusnya institusi kejaksaan ditempatkan ke dalam ranah kekuasaan yudikatif sebagaimana bunyi Pasal 24 ayat (3) UUD 1945.
Di Badan Legislasi DPR, para politisi bekerja merumuskan amandemen UU No 5 Tahun 1991 untuk menempatkan Kejaksaan sebagai lembaga independen. Usul Inisiatif DPR atas perubahan UU No 5 Tahun 1991 akhirnya diterima oleh Rapat Paripurna DPR dan dikirimkan oleh DPR kepada Presiden tanggal 25 Oktober 2002. Sementara itu, di kalangan Pemerintah juga dilakukan upaya yang sama, yakni ingin merubah keseluruhan UU No 5 Tahun 1991 dan membentuk UU Kejaksaan yang baru, bukan sekedar perubahan parsial seperti inisiatif DPR. Perbedaan prinsipil antara RUU inisiatif DPR dengan Pemerintah ialah dalam menafsirkan ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 dalam kaitannya dengan kedudukan Kejaksaan serta proses rekruitmen Jaksa Agung dan masa jabatan Jaksa Agung. Sedangkan persamaannya, kedua pihak sama-sama ingin menempatkan Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang bekerja secara independen, lepas dari pengaruh.
Bagi DPR ketentuan Pasal 24 ayat (3) haruslah ditafsirkan bahwa Kejaksaan adalah ”lembaga penegak hukum yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak mananpun”. Jadi DPR ingin agar lembaga ini terpisah dari ranah kekuasaan eksekutif dan sepenuhnya menjadi mandiri dan independen. Oleh karena itu, dalam hal rekruitment Jaksa Agung, DPR mengusulkan agar pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung ”diresmikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Calon Jaksa Agung diajukan oleh Presiden kepada DPR untuk disetujui oleh DPR. Setelah seorang calon disetujui, maka Presiden kemudian meresmikan calon itu menjadi Jaksa Agung. Jaksa Agung adalah pejabat negara (Pasal 19). Masa jabatan Jaksa Agung dibatasi selama 5 tahun (Pasal 19D).
Pemerintah sebaliknya berkeinginan mempertahankan kedudukan Kejaksaan sebagai ”lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan” namun dilakukan secara ”independen dalam tata susunan kekuasaan badan penegak hukum dan keadilan”. Jadi, Pemerintah tidak berkeinginan agar Kejaksaan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan itu, keluar dari ranah eksekutif. Jaksa Agung adalah pejabat negara, tetapi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden (Pasal 21). Namun mereka yang dapat diangkat menjadi Jaksa Agung adalah Wakil Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda. Dengan demikian, Pemerintah ingin Jaksa Agung diangkat dari pejabat karier untuk mengokohkan profesionalisme Kejaksaan. Oleh karena Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan Presiden, maka sebagaimana dalam UU No 5 tahun 1991, tidak diatur batas masa jabatan Jaksa Agung. Pemerintah berpendapat bahwa konvensi ketatanegaraanlah yang akan membatasi masa jabatan Jaksa Agung itu, sehingga tidak perlu dimasukkan ke dalam rumusan suatu pasal dalam RUU ini.
Pembahasan RUU ini dapat diselesaikan dalam waktu relatif singkat. Sebagian besar fraksi-fraksi DPR menarik usulan mereka tentang Jaksa Agung yang independen dan dikeluarkan dari ranah eksekutif. Mereka juga menarik usulan agar Jaksa Agung dipilih DPR dan diresmikan oleh Presiden. Pemerintah dan DPR akhirnya sama-sama menyepakati bahwa Jaksa Agung tetaplah pejabat negara yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, karena dalam sistem Presidensial, Kejaksaan Agung memang berada di bawah ranah eksekutif, maka menjadi kewenangan Presidenlah untuk mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung. DPR juga sepakat untuk menarik usulannya tentang pembatasan masa jabatan Jaksa Agung selama 5 tahun. Karena, seperti dikatakan oleh M Tahir Saimima dari Fraksi PPP, Jaksa Agung itu biasanya adalah pejabat setingkat menteri. Jadi sebagaimana menteri-menteri, mereka diangkat diawal masa jabatan Presiden dan diberhentikan ketika masa jabatan Presiden berakhir.
Apakah dengan tetap mempertahankan kedudukan Kejaksaan dalam ranah eksekutif tidak bertentangan dengan rumusan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 setelah perubahan? Saya berpendapat semua itu tergantung pada penafsiran kita atas seluruh ketentuan dalam BAB IX UUD 1945 yang membicarakan Kekuasaan Kehakiman dalam konteks Peradilan. ”Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Sementara lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman itu disebutkan secara limitatif yakni ”dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya…dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi” (Pasal 24 ayat 1 dan 2). Sementara ”badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”.
Ketika menulis makalah ini, saya belum sempat membaca ulang risalah pembahasan perubahan UUD 1945 di Badan Pekarja MPR ketika merumuskan pasal ini. Namun, di sinilah dasar hukum pembentukan Kejaksaan itu, sebagai badan, yang dalam praktik maupun aturan-aturan normatifnya, yakni tugas utamanya melakukan penuntutan dalam perkara pidana. Dalam melakukan penuntutan itu, dan juga nantinya dalam melaksanakan putusan pidana, maka Kejaksaan adalah badan yang secara fungsional terkait dengan kekuasaan kehakiman. Kalau hanya ”terkait” tidaklah harus diartikan Kejaksaan itu sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman itu sendiri. Petugas Rumah Tahanan dan Lembaga Pemasyarakatan juga terkait dengan kekuasaan kehakiman, dalam konteks teori criminal justice system. Namun dalam sejarahnya, rumah tahanan dan lembaga pemsyarakatan tetap berada di bawah Departemen Kehakiman yang merupakan ranah kekuasaan eksekutif.
UU No 5 Tahun 1991 ini berlaku terus sampai kita memasuki era reformasi. Perubahan terhadap UU ini baru terjadi pada masa pemerintahan Presiden Megawati, yakni pada tahun 2004, ketika seluruh proses perubahan UUD 1945 telah selesai. Di era Pemerintahan Presiden Megawati, baik DPR maupun Pemerintah sama-sama berkeinginan untuk melakukan perubahan atas UU No 5 Tahun 1991. Namun karena RUU yang berasal dari Badan Legislasi DPR masuk lebih dahulu, yakni tanggal 25 Oktober 2002, maka RUU inilah yang dijadikan pembahasan. Sementara RUU yang berasal dari Pemerintah dijadikan sebagai sandingan dan dimasukkan ke dalam Daftar Isian Masalah (DIM).
Rumusan pasal-pasal dalam bab IX UUD 1945 tentang ”Kekuasaan Kehakiman” yang melatarbelakangi penyusunan dan pembahasan RUU ini memang mengalami perubahan cukup besar jika dibandingkan dengan rumusan sebelumnya. Setelah perubahan, ketentuan IX Pasal 24 ayat (1) berbunyi ”Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Ayat (2) ”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan peradilan agama, lingkungan militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh Mahkamah Konstitusi”. Ayat (3) ”Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kekuasaan kehakiman diatur dengan undang-undang”.
Kalau kita membaca seluruh ketentuan di dalam Bab IX ini, sebagaimana juga dalam keseluruhan teks UUD 1945 setelah perubahan, niscaya kita tidak akan menemukan kata ”kejaksaan” disebutkan di dalamnya. Kata ”polisi” yang sebelumnya juga tidak ada, setelah perubahan mendapatkan tempat yang khusus diatur dalam Bab XII tentang Pertahanan Negara (Pasal 30 ayat 4 dan 5). Oleh karena kata kejaksaan tidak terdapat dalam UUD 1945 setelah perubahan, maka reka-rekaan akademis dan politis untuk menempatkan kedudukan Kejaksaan kembali terjadi. Di kalangan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang selalu berkeinginan agar lembaga-lembaga penegak hukum ”independen”, sudah barangtentu tidak menginginkan Kejaksaan berada di bawah ranah eksekutif. Sebagian akademisi berpendapat sama. Mereka berpendapat sudah seharusnya institusi kejaksaan ditempatkan ke dalam ranah kekuasaan yudikatif sebagaimana bunyi Pasal 24 ayat (3) UUD 1945.
Di Badan Legislasi DPR, para politisi bekerja merumuskan amandemen UU No 5 Tahun 1991 untuk menempatkan Kejaksaan sebagai lembaga independen. Usul Inisiatif DPR atas perubahan UU No 5 Tahun 1991 akhirnya diterima oleh Rapat Paripurna DPR dan dikirimkan oleh DPR kepada Presiden tanggal 25 Oktober 2002. Sementara itu, di kalangan Pemerintah juga dilakukan upaya yang sama, yakni ingin merubah keseluruhan UU No 5 Tahun 1991 dan membentuk UU Kejaksaan yang baru, bukan sekedar perubahan parsial seperti inisiatif DPR. Perbedaan prinsipil antara RUU inisiatif DPR dengan Pemerintah ialah dalam menafsirkan ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 dalam kaitannya dengan kedudukan Kejaksaan serta proses rekruitmen Jaksa Agung dan masa jabatan Jaksa Agung. Sedangkan persamaannya, kedua pihak sama-sama ingin menempatkan Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang bekerja secara independen, lepas dari pengaruh.
Bagi DPR ketentuan Pasal 24 ayat (3) haruslah ditafsirkan bahwa Kejaksaan adalah ”lembaga penegak hukum yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak mananpun”. Jadi DPR ingin agar lembaga ini terpisah dari ranah kekuasaan eksekutif dan sepenuhnya menjadi mandiri dan independen. Oleh karena itu, dalam hal rekruitment Jaksa Agung, DPR mengusulkan agar pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung ”diresmikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Calon Jaksa Agung diajukan oleh Presiden kepada DPR untuk disetujui oleh DPR. Setelah seorang calon disetujui, maka Presiden kemudian meresmikan calon itu menjadi Jaksa Agung. Jaksa Agung adalah pejabat negara (Pasal 19). Masa jabatan Jaksa Agung dibatasi selama 5 tahun (Pasal 19D).
Pemerintah sebaliknya berkeinginan mempertahankan kedudukan Kejaksaan sebagai ”lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan” namun dilakukan secara ”independen dalam tata susunan kekuasaan badan penegak hukum dan keadilan”. Jadi, Pemerintah tidak berkeinginan agar Kejaksaan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan itu, keluar dari ranah eksekutif. Jaksa Agung adalah pejabat negara, tetapi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden (Pasal 21). Namun mereka yang dapat diangkat menjadi Jaksa Agung adalah Wakil Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda. Dengan demikian, Pemerintah ingin Jaksa Agung diangkat dari pejabat karier untuk mengokohkan profesionalisme Kejaksaan. Oleh karena Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan Presiden, maka sebagaimana dalam UU No 5 tahun 1991, tidak diatur batas masa jabatan Jaksa Agung. Pemerintah berpendapat bahwa konvensi ketatanegaraanlah yang akan membatasi masa jabatan Jaksa Agung itu, sehingga tidak perlu dimasukkan ke dalam rumusan suatu pasal dalam RUU ini.
Pembahasan RUU ini dapat diselesaikan dalam waktu relatif singkat. Sebagian besar fraksi-fraksi DPR menarik usulan mereka tentang Jaksa Agung yang independen dan dikeluarkan dari ranah eksekutif. Mereka juga menarik usulan agar Jaksa Agung dipilih DPR dan diresmikan oleh Presiden. Pemerintah dan DPR akhirnya sama-sama menyepakati bahwa Jaksa Agung tetaplah pejabat negara yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, karena dalam sistem Presidensial, Kejaksaan Agung memang berada di bawah ranah eksekutif, maka menjadi kewenangan Presidenlah untuk mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung. DPR juga sepakat untuk menarik usulannya tentang pembatasan masa jabatan Jaksa Agung selama 5 tahun. Karena, seperti dikatakan oleh M Tahir Saimima dari Fraksi PPP, Jaksa Agung itu biasanya adalah pejabat setingkat menteri. Jadi sebagaimana menteri-menteri, mereka diangkat diawal masa jabatan Presiden dan diberhentikan ketika masa jabatan Presiden berakhir.
Apakah dengan tetap mempertahankan kedudukan Kejaksaan dalam ranah eksekutif tidak bertentangan dengan rumusan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 setelah perubahan? Saya berpendapat semua itu tergantung pada penafsiran kita atas seluruh ketentuan dalam BAB IX UUD 1945 yang membicarakan Kekuasaan Kehakiman dalam konteks Peradilan. ”Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Sementara lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman itu disebutkan secara limitatif yakni ”dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya…dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi” (Pasal 24 ayat 1 dan 2). Sementara ”badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”.
Ketika menulis makalah ini, saya belum sempat membaca ulang risalah pembahasan perubahan UUD 1945 di Badan Pekarja MPR ketika merumuskan pasal ini. Namun, di sinilah dasar hukum pembentukan Kejaksaan itu, sebagai badan, yang dalam praktik maupun aturan-aturan normatifnya, yakni tugas utamanya melakukan penuntutan dalam perkara pidana. Dalam melakukan penuntutan itu, dan juga nantinya dalam melaksanakan putusan pidana, maka Kejaksaan adalah badan yang secara fungsional terkait dengan kekuasaan kehakiman. Kalau hanya ”terkait” tidaklah harus diartikan Kejaksaan itu sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman itu sendiri. Petugas Rumah Tahanan dan Lembaga Pemasyarakatan juga terkait dengan kekuasaan kehakiman, dalam konteks teori criminal justice system. Namun dalam sejarahnya, rumah tahanan dan lembaga pemsyarakatan tetap berada di bawah Departemen Kehakiman yang merupakan ranah kekuasaan eksekutif.
Kesimpulan dan
Penutup
Dari uraian panjang lebar di atas, saya ingin menyimpulkan bahwa kedudukan Kejaksaan dalam sistem Parlementer Belanda, sebagaimana juga diikuti di Hindia Belanda, sampai kita merdeka hingga tahun 1959, kedudukan Kejaksaan adalah mendua. Secara organisasi, personil dan keuangan institusi ini berada di bawah Kementerian Kehakiman, namun secara fungsional, lembaga ini bekerja dalam penyelenggaraan badan-badan peradilan, sehingga Jaksa Agung disebut sebagai Jaksa Agung pada Mahkamah Agung. Namun dalam praktiknya di Negeri Belanda, maupun di Indonesia sebagaimana ditunjukkan Jaksa Agung Soeprapto, institusi ini dapat bekerja secara mandiri dan independen, tidak tunduk pada pengaruh kekuasaan eksekutif maupun yudikatif. Faktor individu, rupanya mempengaruhi efektifikas sebuah sistem ketika dia berjalan dalam kenyataan.
Pada semua negara yang menganut sistem Pemerintahan Presidensial, khususnya di Amerika Serikat dan Philipina, Kejaksaan semata-mata menjalankan tugas sebagai penuntut umum (Public Prosecutor). Tugas melakukan penyidikan atas perkara-perkara pidana dilakukan oleh badan yang terpisah, yakni Federal Bureau of Investigation dan National Bureau of Investigation. Namun kedua institusi ini sama-sama berada di bawah Department of Justice. Jadi, di Amerika dan Philipina yang menganut sistem Presidensial itu, Kejaksaan berada dalam ranah eksekutif, bukan ranah yudikatif.
Di negara kita, yang juga menganut sistem Presidensial di bawah UUD 1945, baik sebelum maupun sesudah perubahan, dalam tiga Undang-Undang tentang Kejaksaan yang pernah ada (UU No 15 Tahun 1961; UU No 5 Tahun 1991 dan UU No 16 Tahun 2004), semuanya mengatur bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah, yang juga berada di dalam ranah kekuasaan eksekutif. Tugas utama kejaksaan sebagai institusi yang berwenang melakukan penuntutan, di manapun di dunia ini memang tidak pernah dikategorikan sebagai tindakan yudikatif dan selalu menjadi tindakan eksekutif. Apalagi Kejaksaan kita mempunyai tugas-tugas lain seperti penyidikan dan pengawasan yang lazim dikategorikan sebagai tindakan ekskutif. Sejak Kejaksaan sepenuhnya ditempatkan di dalam ranah eksekutif di bawah UUD 1945 setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Jaksa Agung selalu menjadi menjadi anggota kabinet, baik dengan status menteri atau pejabat setingkat menteri.
Semua undang-undang Kejaksaan yang pernah ada di bawah UUD 1945 tidak ada yang mengatur berapa lamakah jabatan Jaksa Agung. Karena dia berstatus menteri atau pejabat setingkat menteri yang menjadi anggota kabinet, maka praktik ketatanegaraan menunjukkan kepada kita bahwa masa jabatan Jaksa Agung adalah sama dengan masa jabatan Presiden dan kabinet yang dibentuknya. Tidak ada kebingungan terhadap masalah ini sepanjang sejarah ketatanegaraan RI, kecuali kasus Hendarman Supandji di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Hendarman diangkat menjadi Jaksa Agung Kabinet Indonesia Bersatu berdasarkan Keppres No. 34/P Tahun 2007 tanggal 7 Mei 2007, menggantikan Abdul Rachman Saleh yang diangkat melalui Keppres No 187/M Tahun 2004. Semestinya, jabatan Hendarman berakhir pada tanggal 20 Oktober 2009, bersamaan dengan berakhirnya jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan pembubaraan Kabinet Indonesia Bersatu pada tanggal yang sama. Hendarman tidak diberhentikan meski jabatan Presiden berakhir dan kabinet dibubarkan dan juga tidak pernah diangkat kembali sebagai Jaksa Agung. Namun baik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono maupun Hendarman sendiri, tetap menganggap dirinya sebagai Jaksa Agung yang sah.
Kontroversi keabsahan Hendarman adalah kontroiversi hukum hukum administrasi negara kita, yang telah menimbulkan polemik di kalangan akademisi, politisi dan praktisi hukum kurun waktu dua bulan terakhir ini. Sah atau tidaknya Hendarman, akan tergantung pada tafsiran manakah yang benar dalam memahami masa jabatan jaksa agung, yang memang tidak diatur di dalam UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Mahkamah Konstitusi kini sedang memeriksa perkara pengujian ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan terhadap ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang pada akhirnya akan memberikan putusan, apakah Hendarman sah atau tidak menjadi Jaksa Agung setelah tanggal 20 Oktober 2009. Mahkamah Konstitusi adalah ”the guardian of the constitution” dan sekaligus ”the final interpreter of the constitution”, yang putusannya bersifat final dan mengikat semua pihak di negara kita ini.
Wallahu ’alam bissawwab.
Dari uraian panjang lebar di atas, saya ingin menyimpulkan bahwa kedudukan Kejaksaan dalam sistem Parlementer Belanda, sebagaimana juga diikuti di Hindia Belanda, sampai kita merdeka hingga tahun 1959, kedudukan Kejaksaan adalah mendua. Secara organisasi, personil dan keuangan institusi ini berada di bawah Kementerian Kehakiman, namun secara fungsional, lembaga ini bekerja dalam penyelenggaraan badan-badan peradilan, sehingga Jaksa Agung disebut sebagai Jaksa Agung pada Mahkamah Agung. Namun dalam praktiknya di Negeri Belanda, maupun di Indonesia sebagaimana ditunjukkan Jaksa Agung Soeprapto, institusi ini dapat bekerja secara mandiri dan independen, tidak tunduk pada pengaruh kekuasaan eksekutif maupun yudikatif. Faktor individu, rupanya mempengaruhi efektifikas sebuah sistem ketika dia berjalan dalam kenyataan.
Pada semua negara yang menganut sistem Pemerintahan Presidensial, khususnya di Amerika Serikat dan Philipina, Kejaksaan semata-mata menjalankan tugas sebagai penuntut umum (Public Prosecutor). Tugas melakukan penyidikan atas perkara-perkara pidana dilakukan oleh badan yang terpisah, yakni Federal Bureau of Investigation dan National Bureau of Investigation. Namun kedua institusi ini sama-sama berada di bawah Department of Justice. Jadi, di Amerika dan Philipina yang menganut sistem Presidensial itu, Kejaksaan berada dalam ranah eksekutif, bukan ranah yudikatif.
Di negara kita, yang juga menganut sistem Presidensial di bawah UUD 1945, baik sebelum maupun sesudah perubahan, dalam tiga Undang-Undang tentang Kejaksaan yang pernah ada (UU No 15 Tahun 1961; UU No 5 Tahun 1991 dan UU No 16 Tahun 2004), semuanya mengatur bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah, yang juga berada di dalam ranah kekuasaan eksekutif. Tugas utama kejaksaan sebagai institusi yang berwenang melakukan penuntutan, di manapun di dunia ini memang tidak pernah dikategorikan sebagai tindakan yudikatif dan selalu menjadi tindakan eksekutif. Apalagi Kejaksaan kita mempunyai tugas-tugas lain seperti penyidikan dan pengawasan yang lazim dikategorikan sebagai tindakan ekskutif. Sejak Kejaksaan sepenuhnya ditempatkan di dalam ranah eksekutif di bawah UUD 1945 setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Jaksa Agung selalu menjadi menjadi anggota kabinet, baik dengan status menteri atau pejabat setingkat menteri.
Semua undang-undang Kejaksaan yang pernah ada di bawah UUD 1945 tidak ada yang mengatur berapa lamakah jabatan Jaksa Agung. Karena dia berstatus menteri atau pejabat setingkat menteri yang menjadi anggota kabinet, maka praktik ketatanegaraan menunjukkan kepada kita bahwa masa jabatan Jaksa Agung adalah sama dengan masa jabatan Presiden dan kabinet yang dibentuknya. Tidak ada kebingungan terhadap masalah ini sepanjang sejarah ketatanegaraan RI, kecuali kasus Hendarman Supandji di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Hendarman diangkat menjadi Jaksa Agung Kabinet Indonesia Bersatu berdasarkan Keppres No. 34/P Tahun 2007 tanggal 7 Mei 2007, menggantikan Abdul Rachman Saleh yang diangkat melalui Keppres No 187/M Tahun 2004. Semestinya, jabatan Hendarman berakhir pada tanggal 20 Oktober 2009, bersamaan dengan berakhirnya jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan pembubaraan Kabinet Indonesia Bersatu pada tanggal yang sama. Hendarman tidak diberhentikan meski jabatan Presiden berakhir dan kabinet dibubarkan dan juga tidak pernah diangkat kembali sebagai Jaksa Agung. Namun baik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono maupun Hendarman sendiri, tetap menganggap dirinya sebagai Jaksa Agung yang sah.
Kontroversi keabsahan Hendarman adalah kontroiversi hukum hukum administrasi negara kita, yang telah menimbulkan polemik di kalangan akademisi, politisi dan praktisi hukum kurun waktu dua bulan terakhir ini. Sah atau tidaknya Hendarman, akan tergantung pada tafsiran manakah yang benar dalam memahami masa jabatan jaksa agung, yang memang tidak diatur di dalam UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Mahkamah Konstitusi kini sedang memeriksa perkara pengujian ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan terhadap ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang pada akhirnya akan memberikan putusan, apakah Hendarman sah atau tidak menjadi Jaksa Agung setelah tanggal 20 Oktober 2009. Mahkamah Konstitusi adalah ”the guardian of the constitution” dan sekaligus ”the final interpreter of the constitution”, yang putusannya bersifat final dan mengikat semua pihak di negara kita ini.
Wallahu ’alam bissawwab.
Prof. Dr. Yusril Ihza
Mahendra
Jakarta, 8 Agustus
2010/28 Sya’ban 1432
Tidak ada komentar:
Posting Komentar