Sistem pembuktian terbalik (omkering van bewijslast atau
shifting burden of proof) khususnya diberlakukandalam kasus narkotik dan KKN
secara selektif.
Dalam sistem pembuktian terbalik, tesangka atau terdakwalah
yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atas apa yang disangkakan
atau dituduhkan kepadanya. Oleh karena itu pembuktian terbalik merupakan
pengingkaran, penyimpangan, pengecualian terhadap "presumption of
innocence" dan "non self incrimination" dan ataupun bertentangan
dengan asas yang berlaku.
Dalam sistem hukum pidana yang berlaku di Indonesia beban
pembuktian di persidangan ada pada penuntut umum namun dalam perkara tertentu
seperti korupsi ada sistem pembuktian terbalik artinya tidak hanya ada pada
penuntut umum namun terdakwa juga diberi kesempatan untuk membuktikan darimana
harta-harta kekayaan tersebut dperolehnya artinya bukan dari hasil korupsi.
Pembuktian Terbalik atau istilahnya pembuktian secara a
contrario adalah seseorang tersangka ataupun terdakwa dianggap telah bersalah
sebelum dibuktikan terlebih dahulu di depan persidangan dengan kata lain, beban
pembuktian ada ditangan tersangka atau terdakwa.
Dalam prinsip hukum pembuktian terbalik ini melanggar Asas
praduga tidak bersalah (presumption of innocence) karena dgn prinsip ini,
seseorg dianggap tidak bersalah kecuali sudah dibuktikan di pengadilan
berdasarkan kekuatan hukum yg sudah tetap, beban pembuktian ada di jaksa
penuntut umum.
Di Indonesia untuk kasus tertentu Tindak pidana korupsi misalnya
menganut asas pembuktian terbalik, hal ini menyangkut asas lex spesialis
derogate lex generalis(ketentuan khusus menyampingkan ketentuan umum).
contoh pasal 12B UU No 20 tahun 2001 yang berbunyi:
"(1) Setiap Gratifikasi kepada pegawai negeri atau Penyelenggara Negara DIANGGAP PEMBERIAN SUAP, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya dgn ketentuan sbb:
a. Yg nilainya > Rp 10 Juta pembuktian bahwa gratifikasi itu bukan suap dilakukan OLEH PENERIMA GRATIFIKASI.
contoh pasal 12B UU No 20 tahun 2001 yang berbunyi:
"(1) Setiap Gratifikasi kepada pegawai negeri atau Penyelenggara Negara DIANGGAP PEMBERIAN SUAP, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya dgn ketentuan sbb:
a. Yg nilainya > Rp 10 Juta pembuktian bahwa gratifikasi itu bukan suap dilakukan OLEH PENERIMA GRATIFIKASI.
Pada dasarnya, dalam
sistem hukum pidana formil di Indonesia, beban untuk membuktikan ada atau
tidaknya pidana terletak pada Jaksa Penuntut Umum. Hal ini sebagaimana tersirat
dalam Pasal 66 KUHAP, bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani
kewajiban pembuktian. Dalam penjelasan Pasal 66 KUHAP, dikatakan bahwa
ketentuan ini adalah penjelmaan asas “praduga tak bersalah”.
Hal demikian juga
dikatakan M. Yahya Harahap, S.H. dalam bukunya yang berjudul Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding,
Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Di dalam hal. 274, Yahya menyatakan bahwa
ditinjau dari segi hukum acara pidana, penutut umum bertindak sebagai aparat
yang diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya membuktikan kesalahan
yang didakwakan kepada terdakwa.
Mengenai beban pembuktian,
Akil (ibid, hal. 130) lebih lanjut menjelaskan bahwa dalam hal adanya
sifat kekhususan yang sangat mendesak, beban pembuktian itu dapat diletakkan
tidak lagi pada diri Penuntut Umum, tetapi kepada terdakwa. Akil kemudian
mengutip pendapat Paul C. Giannelli dalam bukunya yang berjudul Understanding
Evidence (hal. 43), yang menyatakan bahwa beban pembuktian dialokasikan
atas dasar 3P, yaitu Policy, Possession of Evidence, dan Probabilities
(Kebijakan, Penguasaan bukti, dan Probabilitas). Convenience kadang
ditambahkan sebagai faktor ke empat. Lebih lanjut Akil menulis: …….“Possession
of evidence (penguasaan bukti) merujuk kepada lebih besarnya akses salah
satu pihak atas informasi. Konsep ini diilustrasikan oleh pembelaan-pembelaan
yang dinyatakan (affirmative defenses) seperti self-defense (bela diri)
dan insanity (ketidakwarasan). Dalam kedua situasi tersebut, terdakwa adalah
dalam suatu kedudukan yang lebih baik untuk tampil ke depan dengan alat bukti
oleh karena akses superiornya untuk membuktikan, contohnya penguasaan barang
bukti.
“Probabilities (Probabilitas) yang artinya suatu
estimasi kasar mengenai bagaimana karakteristik tentang sesuatu hal itu di
dunia ini, sebagai contoh adalah bahwa “kebanyakan orang adalah waras, tidak
gila.” Sebagai tambahan, alasan-alasan kebijakan (policy) kerap mendasari
alokasi beban pembuktian.”
Jadi pada dasarnya,
pembalikan beban pembuktian adalah peletakan beban pembuktian yang tidak lagi
pada diri Penuntut Umum, tetapi kepada terdakwa.
Di Indonesia, sistem
pembalikan beban pembuktian dapat dilihat antara lain dalam UU No. 31 Tahun
1999 jo UU No, 20 Tahun 2001 tentang Undang-undnag Tindak Pidana Korupsi, tetapi
yang diterapkan dalam UU Tipikor adalah sistem pembalikan beban pembuktian yang
bersifat terbatas atau berimbang. Sistem pembalikan beban pembuktian yang
bersifat terbatas atau berimbang ini dijelaskan dalam penjelasan UU Tipikor
tersebut, yaitu terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh
harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap
orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan,
dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.
Pembalikan beban
pembuktian yang bersifat terbatas atau berimbang ini dapat kita lihat dalam Pasal
37 ayat (1) UU Tipikor dan Pasal 37A ayat (3) UU Tipikor:
Pasal 37 ayat (1) UU Tipikor:…….“Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia
tidak melakukan tindak pidana korupsi.”
Pasal 37A ayat (3) UU Tipikor: …..“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum
tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.”
Selain di dalam UU
Tipikor, sistem pembalikan beban pembuktian juga diatur dalam UU No 8 tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucuian Uang.
Referensi:
-
Mochtar, Akil. 2009. Pembalikan Beban Pembuktian
Tindak Pidana Korupsi. Serketariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi.
-
Harahap, M. Yahya. 2010. Pembahasan Permasalahan dan
Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi , dan
Peninjauan Kembali. Sinar Grafika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar