Jumat, 05 September 2014

Pemahaman tentang Pembuktian terbalik dalam Penyelesaian Kasus Tipikor



Sistem pembuktian terbalik (omkering van bewijslast atau shifting burden of proof) khususnya diberlakukandalam kasus narkotik dan KKN secara selektif.
Dalam sistem pembuktian terbalik, tesangka atau terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atas apa yang disangkakan atau dituduhkan kepadanya. Oleh karena itu pembuktian terbalik merupakan pengingkaran, penyimpangan, pengecualian terhadap "presumption of innocence" dan "non self incrimination" dan ataupun bertentangan dengan asas yang berlaku.
Dalam sistem hukum pidana yang berlaku di Indonesia beban pembuktian di persidangan ada pada penuntut umum namun dalam perkara tertentu seperti korupsi ada sistem pembuktian terbalik artinya tidak hanya ada pada penuntut umum namun terdakwa juga diberi kesempatan untuk membuktikan darimana harta-harta kekayaan tersebut dperolehnya artinya bukan dari hasil korupsi.
Pembuktian Terbalik atau istilahnya pembuktian secara a contrario adalah seseorang tersangka ataupun terdakwa dianggap telah bersalah sebelum dibuktikan terlebih dahulu di depan persidangan dengan kata lain, beban pembuktian ada ditangan tersangka atau terdakwa.
Dalam prinsip hukum pembuktian terbalik ini melanggar Asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) karena dgn prinsip ini, seseorg dianggap tidak bersalah kecuali sudah dibuktikan di pengadilan berdasarkan kekuatan hukum yg sudah tetap, beban pembuktian ada di jaksa penuntut umum.
Di Indonesia untuk kasus tertentu Tindak pidana korupsi misalnya menganut asas pembuktian terbalik, hal ini menyangkut asas lex spesialis derogate lex generalis(ketentuan khusus menyampingkan ketentuan umum).
contoh pasal 12B UU No 20 tahun 2001 yang berbunyi:
"(1) Setiap Gratifikasi kepada pegawai negeri atau Penyelenggara Negara DIANGGAP PEMBERIAN SUAP, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya dgn ketentuan sbb:
a. Yg nilainya > Rp 10 Juta pembuktian bahwa gratifikasi itu bukan suap dilakukan OLEH PENERIMA GRATIFIKASI.
Pada dasarnya, dalam sistem hukum pidana formil di Indonesia, beban untuk membuktikan ada atau tidaknya pidana terletak pada Jaksa Penuntut Umum. Hal ini sebagaimana tersirat dalam Pasal 66 KUHAP, bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Dalam penjelasan Pasal 66 KUHAP, dikatakan bahwa ketentuan ini adalah penjelmaan asas “praduga tak bersalah”.
Hal demikian juga dikatakan M. Yahya Harahap, S.H. dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Di dalam hal. 274, Yahya menyatakan bahwa ditinjau dari segi hukum acara pidana, penutut umum bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
Mengenai beban pembuktian, Akil (ibid, hal. 130) lebih lanjut menjelaskan bahwa dalam hal adanya sifat kekhususan yang sangat mendesak, beban pembuktian itu dapat diletakkan tidak lagi pada diri Penuntut Umum, tetapi kepada terdakwa. Akil kemudian mengutip pendapat Paul C. Giannelli dalam bukunya yang berjudul Understanding Evidence (hal. 43), yang menyatakan bahwa beban pembuktian dialokasikan atas dasar 3P, yaitu Policy, Possession of Evidence, dan Probabilities (Kebijakan, Penguasaan bukti, dan Probabilitas). Convenience kadang ditambahkan sebagai faktor ke empat. Lebih lanjut Akil menulis: …….Possession of evidence (penguasaan bukti) merujuk kepada lebih besarnya akses salah satu pihak atas informasi. Konsep ini diilustrasikan oleh pembelaan-pembelaan yang dinyatakan (affirmative defenses) seperti self-defense (bela diri) dan insanity (ketidakwarasan). Dalam kedua situasi tersebut, terdakwa adalah dalam suatu kedudukan yang lebih baik untuk tampil ke depan dengan alat bukti oleh karena akses superiornya untuk membuktikan, contohnya penguasaan barang bukti.
Probabilities (Probabilitas) yang artinya suatu estimasi kasar mengenai bagaimana karakteristik tentang sesuatu hal itu di dunia ini, sebagai contoh adalah bahwa “kebanyakan orang adalah waras, tidak gila.” Sebagai tambahan, alasan-alasan kebijakan (policy) kerap mendasari alokasi beban pembuktian.”
Jadi pada dasarnya, pembalikan beban pembuktian adalah peletakan beban pembuktian yang tidak lagi pada diri Penuntut Umum, tetapi kepada terdakwa.
Di Indonesia, sistem pembalikan beban pembuktian dapat dilihat antara lain dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No, 20 Tahun 2001 tentang  Undang-undnag Tindak Pidana Korupsi, tetapi yang diterapkan dalam UU Tipikor adalah sistem pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas atau berimbang. Sistem pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas atau berimbang ini dijelaskan dalam penjelasan UU Tipikor tersebut, yaitu terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.
Pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas atau berimbang ini dapat kita lihat dalam Pasal 37 ayat (1) UU Tipikor dan Pasal 37A ayat (3) UU Tipikor:
Pasal 37 ayat (1) UU Tipikor:…….“Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.”
Pasal 37A ayat (3) UU Tipikor: …..“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.”
Selain di dalam UU Tipikor, sistem pembalikan beban pembuktian juga diatur dalam UU No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucuian Uang.


Referensi:
-        Mochtar, Akil. 2009. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Serketariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
-        Harahap, M. Yahya. 2010. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi , dan Peninjauan Kembali. Sinar Grafika.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar